Setelah seharian mengajarkan Lorenzo cara merubah wajah menggunakan make-up dan kulit buatan, Dante tiba di villa pribadi Alessandra, di bawah langit oranye yang terlihat hangat yang tenang. Villa terletak di tengah taman yang luas dan indah, dengan deretan pohon palem dan bunga-bunga eksotis menghiasi jalan setapak menuju pintu utama. Sejak pertama kali dia melangkah masuk ke gerbang, Dante sudah merasakan keunikan tempat ini, tidak ada penjaga pria. Semua pengawal Alessandra adalah wanita, masing-masing terlihat tangguh dan berwibawa.Dante berjalan melewati lorong menuju villa utama, dia bisa merasakan tatapan para pengawal wanita yang mengamati setiap langkahnya. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, terkesan melihat sosok Dante yang selama ini hanya mereka dengar dari cerita. Dante tersenyum tipis, berjalan lurus tanpa terganggu oleh tatapan mereka. Begitu mendekati pintu utama, seorang pengawal berpenampilan rapi membukakan pintu untuknya dan mempersilahkan masuk."Nona Alessan
“Justru kita harus melakukannya malam ini, dan besok saat kau mengucapkan sumpah setia padaku, itu sebagai pengikat untukmu agar kau selamanya setia hanya padaku.”Dante terdiam, tidak ada alasan untuk melarikan diri, jadi dia hanya pasrah saat Alessandra mulai melumat bibirnya dengan rakus sambil melucuti bajunya satu per satu.Di tengah pemanasan yang semakin liar, Dante berusaha memegang kendali, namun Alessandra menempatkan kembali tubuh Dante di bawahnya.“Tidak sayang, aku adalah calon ketua, jadi aku harus menjadi orang yang memegang kendali. Dan tugasmu hanya patuh.”“Itu besok. Hari ini kau belum menjadi ketua. Jadilah gadis baik, atau lupakan saja, anggap tidak terjadi apapun malam ini.”Alessandra tertawa manja, “Dante kau sangat menggemaskan. Baik, aku akan menjadi gadis baik,” Alessandra membaringkan tubuhnya, “Lakukan apapun yang kau suka, aku tidak akan melawan.”Malam itu, Dante merasa menjadi seorang pria sejati yang memegang kendali penuh pada wanitanya. Dante dan A
Semua orang di lapangan menyaksikan pertarungan mereka, dan kata-kata Dante perlahan mulai mengubah pandangan mereka. Beberapa anggota mengangguk pelan, semakin yakin menerima bahwa Alessandra memang pilihan yang tepat.Dante mendekati Matteo, berdiri tegak di depannya, dan berkata tegas, "Kau mungkin tidak senang dengan keputusan ini, Matteo. Tapi sebagai bagian dari Serigala Malam, kau sudah bersumpah setia pada kepemimpinan yang sah. Jadi terima kenyataan ini, atau terima konsekuensinya."Matteo akhirnya terdiam, wajahnya menegang namun tidak lagi melawan. Tatapannya penuh kebencian, tetapi dia tidak bisa menyangkal bahwa dirinya telah kalah di depan semua orang.Alessandra, yang menyaksikan semuanya dari atas panggung, menatap Dante dengan ekspresi bangga dan kagum. Dia tahu bahwa kehadiran Dante di sisinya telah membuat perbedaan besar. Dengan tegas, dia berdiri di atas panggung, memandangi semua orang yang kini berlutut di hadapannya, termasuk Matteo yang terikat.***Saat mata
Para pelayan lalu-lalang membawa nampan berisi makanan dan minuman, musik jazz mengalun lembut, memberi kesan elegan pada pesta malam itu.Alessandra sesekali melirik ke arah Dante dan Lorenzo, memberikan senyum kecil penuh arti. Dia tahu kedua pria itu telah berperan besar dalam membawanya ke posisi ini, dan meskipun semua hanya sandiwara, ia merasa lebih kuat dan percaya diri.***Di tengah meriahnya pesta, suasana mendadak menjadi hening ketika seorang pria tua dengan jubah elegan dan tatapan berwibawa berjalan masuk ke ruang perjamuan. Alejandro, ayah Lorenzo sekaligus kakek Alessandra, melangkah di antara para tamu yang segera membungkuk memberi hormat kepadanya. Di sebelahnya, seorang pemuda tampan yang tampak patuh dan setia. Jose yang dirawat oleh Alejandro sejak kecil hingga menjadi orang kepercayaannya.Alessandra segera menghampiri mereka dengan senyum lebar di wajahnya, tampak begitu bahagia melihat kedatangan kakeknya dan pria yang sudah dianggap sebagai kakak. "Kakek A
Alejandro hanya mengangkat alisnya, agak terkejut melihat reaksi spontan cucunya yang tampak begitu akrab dengan Dante. Di sisi lain, Jose berdiri diam, memperhatikan bagaimana Alessandra memeluk lengan Dante dan terlihat begitu riang. Ada sedikit ekspresi tak suka di wajahnya.“Terima kasih karena sudah menyelamatkanku dari situasi yang membuatku sesak. Mereka membuatku frustasi. Ingatkan aku untuk memberimu hadiah.”Alessandra dan Dante berjalan cepat ke arah deretan panggangan besar di luar ruangan, di mana puluhan sapi utuh sedang dipanggang diatas bara api, dengan asap harum yang menggoda dan membuat perut siapapun bergemuruh kelaparan. Para koki berdiri di setiap masing-masing panggangan, sibuk mengolah dan mengoleskan bumbu, serta memastikan setiap bagian matang dengan sempurna.Alessandra berdecak kagum melihat pemandangan tersebut. "Ini sangat luar biasa!" Serunya dengan penuh kekaguman, memandang barisan panggangan yang seolah tak berujung itu.Ketika hidangan siap, para tam
Jose menyipitkan mata, semakin kesal karena pria itu tidak bereaksi. Dengan senyum yang tetap terpampang di wajahnya, Jose mendekatkan wajahnya lebih dekat ke arah Lorenzo dan berbisik lebih tajam, "Dengar, kau hanyalah pengawal level rendah. Jangan pernah bertingkah di luar batas, kau tidak punya hak untuk menatapku seperti itu. Kau bisa ada disini karena kami kasihan padamu.Lorenzo menahan diri dengan susah payah, dia tetap diam tanpa membalas. Dalam hati, dia merasakan bom waktu dalam dirinya semakin mendekati batasnya. Sifat asli Jose yang angkuh dan merasa lebih tinggi dari orang lain membuat Lorenzo muak. Namun, karena penyamarannya, ia hanya bisa menahan amarahnya.Jose tertawa kecil, lalu menepuk bahu Lorenzo dengan kasar untuk menghinanya. "Jaga sikapmu, ya? Kalau tidak, aku pastikan kau akan menyesal."Lorenzo mengepalkan tangannya di balik punggung, mencoba menenangkan dirinya. Meski wajahnya tetap tenang, dalam hati dia sudah memastikan bahwa Jose adalah ancaman yang per
Alessandra menggeleng dengan tatapan lembut, dan meminta Dante duduk di sampingnya. "Biar luka kecil tetap harus di obati. Ayo, duduk."Dante perlahan menghela nafas, namun menuruti Alessandra, duduk di sampingnya dan membiarkan Alessandra membuka kotak P3K itu. Dengan hati-hati, Alessandra mengambil kapas dan antiseptik, lalu perlahan mengoleskannya ke luka di bibir Dante. Sentuhannya lembut, dan matanya fokus pada luka di bibir Dante, tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Apakah sakit?" Tanyanya lembut sambil menatap wajah Dante.Dante menggeleng, meskipun dia merasakan sedikit perih. "Tidak terlalu, selama yang mengobati adalah kau." jawabnya dengan nada bercanda, meskipun sebenarnya ada kehangatan dalam ucapannya.Alessandra tersenyum kecil, sedikit tersipu. "Kau selalu bercanda, Dante. Padahal aku serius mengobatimu."“Aku serius. Jika luka seperti ini saja sudah membuatku mengeluh di depan Ketua, lalu mana mungkin aku bisa menjadi anggota Serigala Malam.”“Kau ini, selalu bermul
Saat mereka melangkah masuk, udara lembab dan aroma khas jamur memenuhi ruangan. Di dalam sana, Alessandra dan yang lainnya melihat deretan rak-rak besar yang penuh dengan jamur langka berwarna-warni. Setiap jamur tampak unik, beberapa berwarna ungu gelap dengan bercak putih, sementara yang lain berwarna kuning kehijauan. Cahaya lampu redup di sekitar rak memberikan kesan misterius yang menarik.Esteban berhenti di depan rak utama, menunjuk tumbuhan jamur itu dengan bangga. "Ini adalah proyek terbaru kami, Nona Alessandra," katanya. "Jamur-jamur ini merupakan bahan utama untuk produk obat jenis baru yang kami kembangkan. Kandungan alami dari spesies ini menghasilkan efek yang jauh lebih kuat daripada obat kualitas terbaik yang saat ini beredar dipasaran."Alessandra mengamati jamur-jamur tersebut dengan tatapan penasaran. "Jadi, apakah sudah ada contoh obat yang dibuat dari bahan ini?" Tanyanya sambil melirik Esteban.Esteban tersenyum, lalu mengangkat tangannya sebagai isyarat kepad
Warga desa menjerit dan menangis, beberapa mencoba berlutut dan memohon kepada Matteo. "Kami tidak tahu apa-apa! Tolong lepaskan kami" Seru seorang pria tua dengan suara bergetar. "Diam!" Bentak Matteo, menendang pria tua itu hingga jatuh ke tanah. Dante, yang bersembunyi di balik tumpukan karung jerami, menahan emosi. Dia mengatur napas, matanya menyipit memandang Matteo dari kejauhan. "Nexus, beri aku rute terbaik untuk mendekatinya, tanpa membahayakan warga desa," bisik Dante dalam hati. "Aku akan mengalihkan perhatian penjaga terdekat," jawab Nexus. "Bersiaplah." Sementara Matteo terus mengancam, Dante memanfaatkan keributan itu untuk melumpuhkan dua penjaga lainnya dengan cepat. Dia bergerak seperti bayangan, melumpuhkan setiap target tanpa suara. Ketika Matteo sadar bahwa hampir semua anak buahnya lenyap, dia menjadi semakin panik dan marah. "Keluar kau, pengecut!" Teriaknya lagi, kali ini sambil melepaskan tembakan ke udara. "Aku pasti akan menangkap dan mencincang
Pagi itu, Lorenzo masih belum sadarkan diri. Alfonso seperti biasa mengganti perban dengan telaten."Dia sangat kuat," ujar Alfonso sambil mengikat perban dengan hati-hati. "Tapi kondisinya tetap harus diawasi. Luka barunya cukup dalam." Dante menghela nafas panjang, "Aku tahu Enzo kuat, tapi tetap saja... melihatnya seperti ini membuatku merasa bersalah."Alfonso menoleh, menepuk bahu Dante dengan lembut. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, anak muda. Kadang, kita hanya bisa menunggu dan berharap."Sambil membereskan kotak obat, Alfonso kembali bicara, “Ngomong-ngomong, tadi di pasar, Rose mendengar berita yang sedang hangat dibahas warga desa, yaitu tentang kediaman Ernesto yang terbakar habis bersama semua penghuninya,” Alfonso melirik Dante, “Alex apa kau yang…”“Kakek, apa menurutmu mereka tidak pantas menerima hukuman dari kejahatan mereka terhadap kalian selama ini?”“Tidak, aku tidak bilang begitu. Justru sebaliknya, apa kau tahu jika warga desa menganggap orang yang sudah
Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, tapi matanya tetap menatap Ernesto tanpa rasa takut. "Kau lupa satu hal, Ernesto," kata Dante dengan suara rendah. "Untuk menghadapi orang sepertimu, aku tidak pernah bermain adil." Detik berikutnya, lampu di ruangan itu mendadak padam, suasana menjadi gelap gulita, dan suara perintah dari Nexus terdengar di kepala Dante. "Sekarang!" Kemampuan indra penglihatan Dante yang bisa melihat dalam gelap kembali aktif.Pertarungan sengit pun dimulai, Dante bergerak cepat seperti hantu di antara bayangan samar, anak buah Ernesto tumbang satu per satu, sementara Nexus terus memandu langkahnya. Meski kalah jumlah, Dante tidak akan menyerah sampai Lorenzo aman. “Kalian sudah melihat wajah Lorenzo, hanya mayat yang tidak akan banyak bicara. Jadi kalian semua harus mati,” gumam Dante.Dante memanfaatkan amunisi dan bahan peledak yang disimpan di kediaman Ernesto. Setelah memastikan Lorenzo berada di tempat aman, Dante menyalakan sumbu peledak dan me
Langkah Dante dan Mariana terhenti ketika melihat sesuatu yang tidak biasa. Pintu rumah terbuka lebar, dan barang-barang terlihat berserakan di halaman depan. "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Tanya Mariana dengan suara gemetar. Dante mempercepat langkahnya, meletakkan belanjaan di teras, dan langsung menuju pintu masuk. "Tetap di belakangku," katanya tegas, melindungi Mariana dari kemungkinan bahaya. Saat mereka masuk, pemandangan di ruang tamu membuat Dante terkejut. Meja kayu kecil terbalik, kursi-kursi berserakan, dan beberapa pecahan gelas berserakan di lantai. Tidak jauh, Alfonso tergeletak di lantai dengan wajah penuh luka dan napas tersengal. "Kakek!" Dengan panik Mariana berlari mendekat, berlutut di samping Alfonso. Rose, yang duduk di lantai memegangi kepala Alfonso di pangkuannya, menangis tersedu-sedu. "Mereka datang secara tiba-tiba... mereka melukai Alfonso dan mengambil Enzo," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi? Siapa mereka?" Tanya Dante sambil mem
"Aku tidak akan ke mana-mana," jawab Dante sambil duduk di kursi dekat kasur.Dalam pikirannya, Dante bertanya lagi pada Nexus. "Apa yang bisa aku lakukan agar dia cepat sembuh?""Beri dia waktu," jawab Nexus. "Semakin sering dia merasa aman, semakin cepat otaknya akan pulih. Tapi ini bukan proses yang instan." Dante menghela napas panjang, menatap Lorenzo yang perlahan tertidur dengan ekspresi damai dan polos. "Kau adalah Lorenzo yang legendaris, kenapa jadi begini?" gumamnya pelan. "Aku janji akan membantumu kembali menjadi dirimu kembali." ***Pagi itu, Dante berdiri di samping Lorenzo, menatap sahabat sekaligus bosnya yang kini tampak begitu berbeda. Lorenzo masih memeluk lututnya, wajahnya menatap ke jendela dengan ekspresi polos, seperti anak kecil yang tidak peduli pada dunia. "Ayo, Enzo," ujar Dante sambil menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita perlu membersihkan badanmu hari ini." Lorenzo mengalihkan pandangan, wajahnya terlihat bingung. "Mandi?" Tanyanya dengan suara
Pria itu mendengus kesal, lalu memutar badan dan pergi, meninggalkan kedua anak buahnya yang masih tergeletak. "Bawa mereka!" Perintahnya kepada anak buah lain yang menunggu di pinggir desa. Setelah para preman pergi, Dante mengikuti keluarga Alfonso masuk ke dalam rumah. Kakek mengunci pintu dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Di ruang tengah, mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil. "Bisakah kakek memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Dante. Alfonso menghela napas panjang, menatap Mariana yang masih menangis ketakutan di pelukan neneknya. "Mereka adalah anak buah Don Ernesto, seorang saudagar kaya yang memiliki banyak kekuasaan di desa ini." "Don Ernesto?" Dante mengernyit. "Kenapa dia ingin membawa Mariana?" Rose, mulai berbicara dengan suara sedih. "Semua ini dimulai dua tahun lalu," katanya sambil menggenggam tangan Mariana. "Ernesto datang ke Alfonso dengan tawaran uang untuk membantu perkebunan kami yang hampir bangkrut. Dia bilang itu hadiah
Suasana makan malam di rumah Alfonso terasa hangat, meski hujan deras masih mengguyur di luar. Dante duduk di meja makan, menikmati sup ayam lezat yang membuat perutnya hangat."Dari mana asalmu, Alex?” Tanya Alfonso sambil menyeruput supnya. "Aku... dari kota," jawab Dante singkat. Identitas mereka harus di rahasiakan.Mariana tersenyum kecil, menatap Dante dengan rasa ingin tahu. "Kota itu seperti apa? Aku ingin sekali pergi ke kota, tapi kakek tidak pernah memberikan izin,” katanya pelan. Sebelum Dante menjawab, terdengar ketukan di pintu depan. "Siapa yang datang malam-malam begini?" Gerutu Alfonso sambil bangkit dari kursinya. Dengan kewaspadaan seperti biasa, Alfonso membuka pintu, dan seorang wanita tua berdiri di sana. Tubuhnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya terlihat ramah. Dia memegang sebuah keranjang kecil yang tertutup kain, dengan senyuman di wajahnya. "Bukankah aku sudah katakan padamu untuk pulang besok pagi?” Kata Alfonso dengan
Di dalam rumah sederhana namun terasa hangat itu, kakek Alfonso duduk di samping Lorenzo, tangannya yang tua dan berkeriput masih cekatan membalut luka Lorenzo menggunakan kain yang dicelupkan ke dalam ramuan herbal berwarna kehijauan. “Tuan, anda mengerti pengobatan?” Tanya Dante matanya tidak lepas dari berbagai ramuan yang di pegang Alfonso. Dia tidak bisa membiarkan orang yang baru mereka kenal memberikan sembarang obat pada Lorenzo.“Aku tahu sedikit.”Dante duduk di dekat perapian, memperhatikan dengan cemas setiap gerakan kakek. "Lukanya dalam," kata Alfonso tanpa menoleh. "Aku sudah melakukan usaha terbaik dengan memberikan ramuan obat yang aku buat sendiri. Sekarang semua tergantung padanya." Dante mengernyit. "Maksud Anda?"Alfonso menghela napas panjang, lalu menatap Dante dengan tatapan mata yang serius. "Kalau dia bisa melewati malam ini, dia akan selamat. Tapi kalau demamnya semakin parah…" Alfonso menggeleng pelan, tidak meneruskan kalimatnya, namun Dante mengerti
Air sungai membawa mereka menjauh dari musuh, tapi arus yang kuat membuat Lorenzo kesulitan menjaga kesadarannya. Luka di pinggangnya membuat tubuhnya semakin lemah, namun ia tetap berusaha berenang, menjaga agar Dante tetap di dekatnya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Dante dengan suara keras, mencoba melawan suara arus. "Jangan pikirkan aku," sahut Lorenzo sambil mengatur napas. "Kita harus keluar dari sini sebelum arus membawa kita terlalu jauh."Tiba-tiba saja terdapat pusaran air yang cukup kuat menyeret tubuh Lorenzo, dan tanpa ampun kepalanya membentur batu hingga tidak sadarkan diri.Dante berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Lorenzo agar tidak tertelan pusaran air. Sambil berpegangan pada akar pohon yang menjuntai, dengan sisa tenaga, Dante berenang menuju tepian sungai, mencari tempat yang aman untuk beristirahat. Malam mulai tiba, dan luka di kepala Lorenzo terlihat parah.***Dante memapah Lorenzo, satu tangannya melingkari tubuh Lorenzo yang lemah, sementara tangan lainny