PoV UcokAku baru sadar kini, dibandingkan Ayah, aku tidak ada apa-apanya. Saat beliau sakit, hampir satu pesawat yang datang dari desa. Ada Bang Torkis yang pasang badan, aku sebagai anak tertua merasa tidak berguna. Aku tak bisa melindungi ayah dari penjahat. Selama ini Ayah selalu sehat, berbagai macam orang jahat sudah dihadapi ayah. Akan tetapi kali ini ayah kena tikam. Semua karena aku. Akulah yang bermasalah dengan para ormas tersebut.Bang Torkis dengan gagah berani menantang ormas tersebut. Bang Torkis mungkin tidak sadar badannya' sudah tua. Aku juga tahu ormas tersebut punya sasana, anggota ormas itu ada yang jadi petarung profesional. Aku harus mempersiapkan diri. Ilmu yang ayah ajarkan pada Bang Torkis, juga sudah diajarkan padaku. Akan tetapi ilmu memukul lawan itu belum pernah kugunakan, kata Ayah itu hanya saat darurat. Ayah saja sampai sekarang tidak pernah menggunakan.Saat melihat lawan Bang Torkis, aku sudah khawatir, Pria itu Haikal, petarung profesional, sudah
Aku tentu saja terkejut dengan tawaran tersebut, ini tawaran yang langka. Aku memang kurang suka nonton olahraga tersebut, bagiku melaga manusia itu bukan tontonan yang baik."Aku pikirkan dulu," kataku kemudian."Pikirkanlah, aku kasih gambaran saja ya, petarung di UFC bisa mendapatkan uang lima puluh miliar sekali bertarung. Itulah jika masalah uang, masalah ketenaran, wah, kamu akan terkenal, Kamu hanya perlu dilatih menerima pukulan, bayangkan nanti, Kamu sudah dipukuli, lalu membalas sekali pukul langsung ko," kata pria itu lagi."Saya pikirkan dulu, Pak," jawabku kemudian."Ini kartu nama saya," kata pria itu sebelum akhirnya pergi. Setelah dia pergi, aku temui Ayah di atas. Terus kuceritakan tentang kedatangan pria tersebut serta tawarannya yang menggiurkan."Cok, apa jawabanmu," tanya Ayah."Berpikir dulu, Yah,""Pikirkanlah, kamu sudah dewasa, sepertinya tak bisa lagi Ayah atur-atur. Jadi Ayah berikan gambaran saja, satu ilmu itu hanya untuk kondisi darurat, itu salah satu p
PoV NiaTernyata Bang Parlin tetap pergi juga ke Bandung, aku sudah tak bisa mencegah, biarlah. Tak lagi bicara kasar, aku justru doakan supaya selamat sampai tujuan dan kembalinya.Satu hari aku sendirian di rumah, Butet ke Sekolah, sedangkan Cantik dibawa pengasuhnya jalan-jalan. Akun coba telepon Ucok."Cok, jadi Ayahmu pulang?" tanyaku pada Ucok lewat sambungan telepon."Jadi, Mak, nanti sore berangkat," jawab Ucok."Jadi ke Bandung?" tanyaku lagi."Jadi, Mak," "Ceritakan dulu bagaimana ayahmu ziarah?" tanyaku kemudian.Aku bukan cemburu lagi, aku sudah kebal, hanya ingin tahu bagaimana Bang Parlin, apakah menangis lagi seperti yang sudah-sudah."Ayah makin aneh, Mak," jawab Ucok."Aneh bagaimana?" "Orang kan ziarah itu tabur bunga, Ayah justru tabur rambut,""Haaa, tabur rambut?""Iya, Mak, rambut ayah bagian belakang dipotong, terus ditaburkan di makam Rara," kata Ucok lagi.Aki terkejut, akan tetapi aku sudah kebal. Biarlah, sudah capek ribut-ribut soal Rara ini. "Mak, mama
PoV ButetSetelah mamak jadi wakil bupati, kehidupanku benar-benar berubah, di sekolah aku selalu dapat keistimewaan. Guru-guru juga jadi ramah. Ternyata begini yang didapatkan anak pejabat. Akan tetapi aku justru merasa risih. Saat aku dijemput supir pakai mobil plat merah, aku tidak mau naik mobil tersebut."Kenapa, Bapak gak bisa jemput, ibu juga ada urusan," kata sopir tersebut."Aku gak mau," kataku. Teringat cerita Ustadz Rizal, ustadz muda itu pernah bercerita, anak Umar Bin Khattab datang menemui ayahnya di kantor. Anaknya datang mau membicarakan urusan pribadi. Lampu dimatikan Umar Bin Khattab. Alasannya lampu itu pakai minyak, minyak itu dibayar negara, sedangkan mereka mau bicara hal pribadi."Iya, Butet, kenapa tidak mau?" tanya supir itu lagi."Ini mobil siapa, Pak?" tanyaku kemudian."Mobil negara,""Siapa yang beli minyaknya?""Ya, negara,""Yang gaji bapak siapa?""Negara juga,""Saya gak berhak naik mobil itu, itu termasuk korupsi, kalau dipergunakan untuk urusan pri
PoV ButetAku, ayah dan seorang pengacara yang kami bawa kembali ke desa, bertemu dengan kepala desa itu lagi di rumahnya. Sementara hari sudah jam sembilan lewat dua puluh menit."Bagaimana, Bang Parlin?" tanya kepala desa tersebut."Saya mau tanya dulu, Pak, yang menyerobot lahan di sini siapa?" tanya Ayah."Ya, mereka lah, Pak, perusahaan kapitalis, mereka pendatang di sini," kata Kepala Desa itu."Mereka itu harus hengkang dari desa ini, kalau bisa dari Indonesia, tahu Bang Parlin, mereka hanya lima persen dari seluruh penduduk Indonesia, tapi menguasai' lahan lima puluh persen," kata kepala desa itu lagi."Maaf, Pak, saya mau tanya, apakah bapak yang tanami sawit di situ," kata Ayah lagi."Benar, Pak, itu saya lakukan supaya mereka hengkang,""Yang bersihkan lahan siapa?" "Ummm, mereka, tapi kan ini Indonesia,""Maaf, Pak, mereka juga orang Indonesia," "Bapak kok malah memihak ke kapitalis?""Saya memihak ke kebenaran, Pak," "Kebenaran apanya? Mereka menguasai lahan di des
Kesal juga melihat dua pria ini, sampai ramai orang, teman-teman satu sekolah berkerumun di depan gerbang tersebut. Bang Umar dan Bang Sandy masih bersitegang. Entahlah, aku merasa ini bukan mereka, masa masalah mau jemput pun sampai ribut. "Aku yang duluan datang," kata Bang Sandy."Kalau kau duluan kenapa rupanya?" kata Bang Umar.Mereka kembali' bersitegang, Bang Umar menarik kerah Bang Sandy, tentu saja aku tidak ingin mereka saling pukul, aku melerai. "Sudah, sudah," kataku.Bang Umar masuk ke mobilnya, akan tetapi Bang Sandy mengangkat helm, sepertinya mau memukul mobil tersebut, aku mencegah dengan cara berdiri di depan Bang Sandy, tiba-tiba pintu mobil terbuka, terdengar musik keras dari mobil. Lalu Bang Umar turun dari mobil seraya memegang kue, lilinnya bertuliskan angka tujuh belas."Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas," kata Bang Sandy.Ya, Allah, aku benar-benar tak menyangka, ternyata aku sudah dikerjai. Aku benar-benar lupa hari ini ulang tahunku yang ke tujuh b
Setelah resmi tujuh belas tahun, yang pertama kulakukan adalah mengurus SIM. Bang Umar dengan sukarela membantu mengurus SIM untukku. Sebelum SIM itu keluar ayah tidak memperbolehkan aku bawa motor baru tersebut. Hari itu Sabtu, aku pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Saat aku tiba di rumah, ayah sepertinya lagi berkemas."Ikut kau, Tet, ke Sawit Seberang," kata Ayah."Dari tadi ayahmu sudah nunggu itu," bisik mamak. "Ohh," "Ganti bajumu kalau kau mau ikut," kata Ayah lagi."Ada acara apa, Yah?" tanyaku kemudian."Pertemuan perusahaan dengan warga desa, Ayah diminta jadi penengah," jawab Ayah."Oh, tunggu Yah," kataku seraya berlari ke kamar mandi.Ada satu kebiasaanku yang berbeda dari cewek pada umumnya, aku bisa cepat berganti pakaian dan mandi, tidak seperti mamak yang kadang berdandan saja sudah hampir satu jam. Tak sampai sepuluh menit aku sudah selesai, akan tetapi saat mau berangkat, datang Bang Sandy."Ini, Tet, mau ngantar nomor polisi motormu," kata Bang Sandy s
Akhirnya SIM-ku keluar juga, aku kini pergi sekolah naik motor, tak lagi menyusahkan ayah atau sopir yang disediakan pemerintah. Naik motor juga lebih leluasa, lebih bebas, bisa singgah sesuka hati di penjual jajanan. Hari itu aku lagi mencuci motor di depan rumah, tiba-tiba HP-ku bunyi, ada panggilan video dari Bang Ucok."Tet, lagi ngapain kau, motor siapa itu?" tanya Bang Ucok begitu panggilan video tersambung."Lagi nyuci motor, ini motorku," jawabku."Motormu? di rumah ada dua motor, beli lagi kau?" tanya Bang Ucok."Ini motor hadiah," "Hadiah apa?""Hadiah ulang tahun,""Ya, ampun, Butet, sejak kapan kita rayakan ulang tahun?" tanya Bang Ucok. Wajahnya tampak kesal."Yang rayakan ulang tahun siapa?""Kan, ada hadiah karena ada perayaan, kok gak logis kau sekarang?""Yang ini beda, ada hadiah tak ada perayaan," jawabku."Ah, makin aneh saja kau, mana mamak?" tanya Bang Ucok lagi."Di kantor,""Ayah?""Itu," kataku seraya berlari menemui ayah yang lagi sibuk berkebun."Cok, apa