Aku tentu saja terkejut dengan tawaran tersebut, ini tawaran yang langka. Aku memang kurang suka nonton olahraga tersebut, bagiku melaga manusia itu bukan tontonan yang baik."Aku pikirkan dulu," kataku kemudian."Pikirkanlah, aku kasih gambaran saja ya, petarung di UFC bisa mendapatkan uang lima puluh miliar sekali bertarung. Itulah jika masalah uang, masalah ketenaran, wah, kamu akan terkenal, Kamu hanya perlu dilatih menerima pukulan, bayangkan nanti, Kamu sudah dipukuli, lalu membalas sekali pukul langsung ko," kata pria itu lagi."Saya pikirkan dulu, Pak," jawabku kemudian."Ini kartu nama saya," kata pria itu sebelum akhirnya pergi. Setelah dia pergi, aku temui Ayah di atas. Terus kuceritakan tentang kedatangan pria tersebut serta tawarannya yang menggiurkan."Cok, apa jawabanmu," tanya Ayah."Berpikir dulu, Yah,""Pikirkanlah, kamu sudah dewasa, sepertinya tak bisa lagi Ayah atur-atur. Jadi Ayah berikan gambaran saja, satu ilmu itu hanya untuk kondisi darurat, itu salah satu p
PoV NiaTernyata Bang Parlin tetap pergi juga ke Bandung, aku sudah tak bisa mencegah, biarlah. Tak lagi bicara kasar, aku justru doakan supaya selamat sampai tujuan dan kembalinya.Satu hari aku sendirian di rumah, Butet ke Sekolah, sedangkan Cantik dibawa pengasuhnya jalan-jalan. Akun coba telepon Ucok."Cok, jadi Ayahmu pulang?" tanyaku pada Ucok lewat sambungan telepon."Jadi, Mak, nanti sore berangkat," jawab Ucok."Jadi ke Bandung?" tanyaku lagi."Jadi, Mak," "Ceritakan dulu bagaimana ayahmu ziarah?" tanyaku kemudian.Aku bukan cemburu lagi, aku sudah kebal, hanya ingin tahu bagaimana Bang Parlin, apakah menangis lagi seperti yang sudah-sudah."Ayah makin aneh, Mak," jawab Ucok."Aneh bagaimana?" "Orang kan ziarah itu tabur bunga, Ayah justru tabur rambut,""Haaa, tabur rambut?""Iya, Mak, rambut ayah bagian belakang dipotong, terus ditaburkan di makam Rara," kata Ucok lagi.Aki terkejut, akan tetapi aku sudah kebal. Biarlah, sudah capek ribut-ribut soal Rara ini. "Mak, mama
PoV ButetSetelah mamak jadi wakil bupati, kehidupanku benar-benar berubah, di sekolah aku selalu dapat keistimewaan. Guru-guru juga jadi ramah. Ternyata begini yang didapatkan anak pejabat. Akan tetapi aku justru merasa risih. Saat aku dijemput supir pakai mobil plat merah, aku tidak mau naik mobil tersebut."Kenapa, Bapak gak bisa jemput, ibu juga ada urusan," kata sopir tersebut."Aku gak mau," kataku. Teringat cerita Ustadz Rizal, ustadz muda itu pernah bercerita, anak Umar Bin Khattab datang menemui ayahnya di kantor. Anaknya datang mau membicarakan urusan pribadi. Lampu dimatikan Umar Bin Khattab. Alasannya lampu itu pakai minyak, minyak itu dibayar negara, sedangkan mereka mau bicara hal pribadi."Iya, Butet, kenapa tidak mau?" tanya supir itu lagi."Ini mobil siapa, Pak?" tanyaku kemudian."Mobil negara,""Siapa yang beli minyaknya?""Ya, negara,""Yang gaji bapak siapa?""Negara juga,""Saya gak berhak naik mobil itu, itu termasuk korupsi, kalau dipergunakan untuk urusan pri
PoV ButetAku, ayah dan seorang pengacara yang kami bawa kembali ke desa, bertemu dengan kepala desa itu lagi di rumahnya. Sementara hari sudah jam sembilan lewat dua puluh menit."Bagaimana, Bang Parlin?" tanya kepala desa tersebut."Saya mau tanya dulu, Pak, yang menyerobot lahan di sini siapa?" tanya Ayah."Ya, mereka lah, Pak, perusahaan kapitalis, mereka pendatang di sini," kata Kepala Desa itu."Mereka itu harus hengkang dari desa ini, kalau bisa dari Indonesia, tahu Bang Parlin, mereka hanya lima persen dari seluruh penduduk Indonesia, tapi menguasai' lahan lima puluh persen," kata kepala desa itu lagi."Maaf, Pak, saya mau tanya, apakah bapak yang tanami sawit di situ," kata Ayah lagi."Benar, Pak, itu saya lakukan supaya mereka hengkang,""Yang bersihkan lahan siapa?" "Ummm, mereka, tapi kan ini Indonesia,""Maaf, Pak, mereka juga orang Indonesia," "Bapak kok malah memihak ke kapitalis?""Saya memihak ke kebenaran, Pak," "Kebenaran apanya? Mereka menguasai lahan di des
Kesal juga melihat dua pria ini, sampai ramai orang, teman-teman satu sekolah berkerumun di depan gerbang tersebut. Bang Umar dan Bang Sandy masih bersitegang. Entahlah, aku merasa ini bukan mereka, masa masalah mau jemput pun sampai ribut. "Aku yang duluan datang," kata Bang Sandy."Kalau kau duluan kenapa rupanya?" kata Bang Umar.Mereka kembali' bersitegang, Bang Umar menarik kerah Bang Sandy, tentu saja aku tidak ingin mereka saling pukul, aku melerai. "Sudah, sudah," kataku.Bang Umar masuk ke mobilnya, akan tetapi Bang Sandy mengangkat helm, sepertinya mau memukul mobil tersebut, aku mencegah dengan cara berdiri di depan Bang Sandy, tiba-tiba pintu mobil terbuka, terdengar musik keras dari mobil. Lalu Bang Umar turun dari mobil seraya memegang kue, lilinnya bertuliskan angka tujuh belas."Selamat ulang tahun yang ke tujuh belas," kata Bang Sandy.Ya, Allah, aku benar-benar tak menyangka, ternyata aku sudah dikerjai. Aku benar-benar lupa hari ini ulang tahunku yang ke tujuh b
Setelah resmi tujuh belas tahun, yang pertama kulakukan adalah mengurus SIM. Bang Umar dengan sukarela membantu mengurus SIM untukku. Sebelum SIM itu keluar ayah tidak memperbolehkan aku bawa motor baru tersebut. Hari itu Sabtu, aku pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Saat aku tiba di rumah, ayah sepertinya lagi berkemas."Ikut kau, Tet, ke Sawit Seberang," kata Ayah."Dari tadi ayahmu sudah nunggu itu," bisik mamak. "Ohh," "Ganti bajumu kalau kau mau ikut," kata Ayah lagi."Ada acara apa, Yah?" tanyaku kemudian."Pertemuan perusahaan dengan warga desa, Ayah diminta jadi penengah," jawab Ayah."Oh, tunggu Yah," kataku seraya berlari ke kamar mandi.Ada satu kebiasaanku yang berbeda dari cewek pada umumnya, aku bisa cepat berganti pakaian dan mandi, tidak seperti mamak yang kadang berdandan saja sudah hampir satu jam. Tak sampai sepuluh menit aku sudah selesai, akan tetapi saat mau berangkat, datang Bang Sandy."Ini, Tet, mau ngantar nomor polisi motormu," kata Bang Sandy s
Akhirnya SIM-ku keluar juga, aku kini pergi sekolah naik motor, tak lagi menyusahkan ayah atau sopir yang disediakan pemerintah. Naik motor juga lebih leluasa, lebih bebas, bisa singgah sesuka hati di penjual jajanan. Hari itu aku lagi mencuci motor di depan rumah, tiba-tiba HP-ku bunyi, ada panggilan video dari Bang Ucok."Tet, lagi ngapain kau, motor siapa itu?" tanya Bang Ucok begitu panggilan video tersambung."Lagi nyuci motor, ini motorku," jawabku."Motormu? di rumah ada dua motor, beli lagi kau?" tanya Bang Ucok."Ini motor hadiah," "Hadiah apa?""Hadiah ulang tahun,""Ya, ampun, Butet, sejak kapan kita rayakan ulang tahun?" tanya Bang Ucok. Wajahnya tampak kesal."Yang rayakan ulang tahun siapa?""Kan, ada hadiah karena ada perayaan, kok gak logis kau sekarang?""Yang ini beda, ada hadiah tak ada perayaan," jawabku."Ah, makin aneh saja kau, mana mamak?" tanya Bang Ucok lagi."Di kantor,""Ayah?""Itu," kataku seraya berlari menemui ayah yang lagi sibuk berkebun."Cok, apa
Nampak di layar HP lawan Bang Ucok juga sudah naik ring. Badannya kekar, jauh lebih kekar dari Bang Ucok, aku jadi takut sendiri.Saat pembawa acara menyebut nama Pahlevi Siregar, para pekerja ayah justru bersorak."Uucok, Uucok," kata mereka seraya mengacungkan kepalan tangan. Sedangkan Ayah tampak tegang menonton pertandingan tersebut.Pertarungan dimulai, Bang Ucok bergaya bagaikan pesilat. Tidak seperti pegulat di TV pada umumnya, Bang Ucok justru ambil kuda-kuda pencak silat. Saat kami kecil, ayah memeng pernah mengajarkan olahraga beladiri silat. Belum apa-apa, Bang Ucok sudah kena pukul, kulihat ayah sampai menegang dadanya, sedangkan para pekerja kami seperti layaknya menonton di arena saja, berteriak-teriak memberikan semangat, akan tetapi Bang Ucok terus saja terdesak, entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan mengarah ke wajah dan perut Bang Ucok, sedangkan dia belum pernah memukul sekali pun. Aku mulai khawatir ketika pelipis kiri Bang Ucok berdarah. Ayah sudah tak s
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j