PoV UcokBelakangan ini ada saja kejadian di kampung yang membuat aku harus pulang kampung. Mulai dari banjir besar, konon banjir terbesar dalam sejarah terjadi di desa. Ayah dan mamak sudah merasa bersalah karena tak mampu mencegah orang pergi. Aku harus pulang, saat kembali' aku bawa teman. Udin mamanya. Teman yang istimewa.Aku suka Udin ini, dia selalu mengikuti ke mana kupergi, jika aku kuliah, dia jaga mobilku di parkiran, jika aku ke mesjid, dia ikut salat dan selalu di belakangku. Aku membelikan dia pakaian yang layak. HP juga kubelikan. Dari luar dia tidak seperti orang yang keterbelakangan mental. Baru ketahuan setelah dia bicara. Pernah suatu hari dia pukuli orang yang coba ambil kaca spion mobilku. Saat itu aku parkir di depan mini market, dia tidak ikut masuk karena kusuruh jaga mobil. Saat ada pencuri kaca spion mobil, dia dengan cepat menangkap dan memukuli pencuri, dia tak membiarkan pencuri itu lari. Ada musibah lagi, Uwak Nyatan meninggal dunia, aku harus pulang,
Untuk sesaat hening, tidak ada jawaban dari Amanda, ataukah dia sudah menikah? "Kita kopi darat saja," kata Amanda."Ok, kapan dan di mana?" tanyaku kemudian.Amanda kemudian menyebutkan tempat ngopi, sepertinya kafe mahal, akan tetapi kuiyakan juga, waktunya juga sudah ditetapkan. Hari Sabtu jam empat sore.Kembali' teringat kenangan bersama Amanda, gadis pertama yang aku sukai, dulu kami sering nonton film India di rumahnya. Amanda lebih tua dariku satu tahun, saat ini umurnya pasti sudah dua puluh dua. Teringat juga dulu dia titipkan kucing, akan tetapi aku tidak mau menerima. Ah, terlalu banyak kenangan pada gadis cantik tersebut. Akan tetapi terakhir aku kecewa padanya karena konon dia kuliah di Australia dan satu rumah bersama Lindung. Oh ya, bagaimana kira-kira kabar Lindung sekarang, dia saudaraku, akan tetapi lain ayah dan lain ibu. "Cok, mamak dan ayah sudah dapat yang cocok, " kata mamak lewat telepon malam itu, saat itu malam Sabtu, keesokan harinya ada janji berte
Aku terkejut mendengar perkataan Om Hermansyah, Childfree? Pernah kami bahas di kampus masalah itu, konon penganut child free sudah mulai banyak di Indonesia. Paham yang dibawa oleh orang yang kuliah di luar negeri, tak kusangka Amanda ikut berpaham seperti itu. Ini sungguh di luar prediksi, padahal aku mau nikah untuk memberikan cucu pada ayah, sementara calonnya ternyata tak mau punya anak? "Cok, kok malah melamun?" tanya Om Hermansyah."Iya, Om,""Aku yakin kamu bisa mengubahnya, aku tersiksa, sudah istri tak ada, anak tak mau punya anak, bagaimana hari tuaku nanti, aku juga ingin momong cucu, ada anakku satu lagi, itu pun tak mau punya anak, menyesal aku menyekolahkan mereka di Australia," kata Om Hermansyah."Sejak kapan dia berpaham seperti itu, Om?" tanyaku kemudian."Tiga tahun belakangan, dia bahkan ikuti komunitasnya, mereka ngeri," "Wah?""Tapi saya yakin kamu bisa, ini ladang dakwah untukmu, jika bisa membuat Amanda punya anak, Saya akan sangat berterima kasih sekali,
Di satu sisi Om Hermansyah benar, ini tantangan dakwah, jika aku bisa membuat Amanda sadar, ini prestasi yang bisa dibanggakan. Apapun alasan mereka menurutku perilaku seperti itu manyalahi kodrat manusia. Pilihan mereka benar-benar salah.Mamak kembali menelepon menanyakan perkembangan, aku tidak tahu harus bilang apa, sudah empat yang ditunjukkan mamak, tak ada yang cocok kurasa. Entah kenapa aku punya kriteria tinggi memilih teman, apalagi ini untuk memilih pendamping hidup. "Bagaimana, Cok?" tanya mamak."Masih pendekatan Mak,""Kau sudah kenal dia dari kecil, pendekatan lagi?" tanya mamak."Ya, gitulah, Mak," "Udah minta nomornya Om Hernyet?" tanya mamak lagi."Aduh, lupa, Mak, udah, tenang saja mamak, aku yang urus semua, cari calonnya, cari maharnya, aku semua, mamak sama ayah tinggal terima beres," kataku. Tentu aku jadi khawatir Om Hermansyah bicara' sama mamak. Nanti mamak tahu bagaimana Amanda, aku akan dapat ceramah panjang lebar.Makin ke sini, aku jadi makin merasa, ce
Aku terhenyak mendengar perkataan Amanda, aku sudah meninggalkan salat ashar, padahal biasanya sepenting apa pun urusan salatku tak pernah tinggal. Apakah aku terlena.Udin? Ya, Allah, aku sudah menyuruhnya pulang duluan, kebahagiaan Udin hanya jika bisa mengikuti orang, kini kusuruh dia pulang sendiri. Rasanya aku lah yang dipengaruhi Amanda, bukan Amanda yang bisa kupengaruhi.Kupacu motor dengan cepat, ingin segera pulang ke rumah, tunaikan Salat isya dan bertemu Udin. "Pelan-pelan saja," kata Amanda saat motor tua itu kukebut."Aku harus cepat," kataku kemudian.Karena rumahku yang lebih dulu dapat baru rumah Amanda, aku langsung ke rumah, Amanda juga ikut. "Udin!" teriakku begitu sampai rumah.Tak ada sahutan, biasanya dia duduk di kursi kayu teras rumah. Aku berlari melihat' kamarnya, kosong. Ya, Allah. Kemanakah Udin.Coba bertanya ke penghuni kos-kosan, kata mereka Udin pergi dengan jalan kaki.Kuambil HP, coba telepon Udin, percuma, dia tak pernah tahu menggunakan HP, dia
Aku hanya tersenyum, merasa menang, kulihat semua orang masih pada heran, pendiri komunitas itu sudah pergi, dia meninggalkan teman-temannya yang melongo. "Ayo pulang, Amanda," ajakku kemudian.Amanda menurut saja, dia sepertinya masih terheran-heran, mulutnya sampai terbuka. Sampai di mobil, Udin sudah menunggu, dia membuka pintu untuk Amanda."Bagaimana caramu melakukannya, Cok?" tanya Amanda lagi."Tak penting caranya, yang penting aku menang," kataku kemudian."Ini ..." Amanda sepertinya tak mampu berkata-kata lagi.Mobil pun meluncur, tiba-tiba terdengar suara getaran hp, alat komunikasi milik Amanda yang bergetar."Halo," Amanda menerima telepon memakai pengeras suara, hp itu dia letakkan di dasboard mobil."Amanda di mana?" terdengar suara dari seberang telepon."Lagi dalam perjalanan pulang, ada apa?" jawab Amanda "Jonathan sudah kembali ini," katanya lagi dari seberang."Dia kembali?""Iya, kamu pun kembalilah, kita lanjutkan acara,""Apa yang terjadi dengan Jonathan tadi?
Aku lalu duduk, semua mata seperti memandang ke arahku, aku merasa seperti terdakwa saja. "Kami sudah bicara' dengan ayahmu, Cok, kami ceritakan semua. Tapi mereka ternyata tidak setuju, tapi mereka bilang terserah Ucok juga," kata Om Hermansyah."Jujur saja ya, kalau orang tuamu tidak setuju, Kami tidak akan memberikan adik kami untuk kau nikahi," kata seorang pria yang tadi memperkenalkan diri sebagai Abangnya Amanda."Jadi terserah kamu, Cok, mau lanjut atau tidak," Kata Om Hermansyah.Aku terdiam sejenak, kulirik Amanda, dia justru menunduk. Jika ayah dan mamak tidak setuju, aku juga jadi ragu, karena kata orang restu orang tua itu sangat perlu."Maaf, aku mau bicara dulu dengan orang tuaku," kataku akhirnya.Aku lalu pergi menjauh, terus ambil HP dan menghubungi hp ayah. "Assalamualaikum, Ayah," salamku setelah sambungan telepon tersambung."Waalaikum salam," "Ayah sudah bicara' dengan Om Hernyet ya?" tanyaku langsung saja."Sudah, Om itu sudah ceritakan semua, juga tentang A
Perkataan Butet selalu menohok, aku sampai terdiam agak lama, dengan HP masih menempel di telinga. Aku bahkan disebut mereng otaknya, Udin lebih pintar dari pada aku, padahal Ustadz Rizal sendiri yang mengaku, aku lebih kuat imannya dari pada dia. Ustadz itu sendiri yang mengaku, dengan banyak harta lebih mudah berbuat baik. Sedangkan aku bisa menolak Amanda, biarpun dijanjikan harta warisan yang banyak."Bang Ucok, masih di situ kan?" kata Butet dari seberang."Masih, Tet, aku mau marah sama kau ini," kataku kesal. Masa dibilang Udin lebih pintar dariku."Bang, Abang kan paham agama, hapal Qur'an, kenapa Abang berpikiran kacau begitu?" kata Butet."Kacau? tambah lagi, tadi sudah otak mereng, kini pikiran kacau, suka-suka kau lah, Tet,""Bang, kenapa harus iri sama ustadz Rizal?""Iri yang positif lo, bukan negatif, iri yang positif itu boleh, sebagai penyemangat diri, contoh, ada orang yang lebih miskin, tapi lebih banyak sedekahnya, kita iri, boleh,""Udahlah, Bang, jika Abang lanj