Akhirnya, Nindya lulus, ia diterima di sebuah universitas ternama di Kota Denpasar, Universitas Mahadewa. Universitas elite yang memiliki beberapa ragam jurusan di dalamnya. Nindya berhasil masuk pada bidang keguruan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pertama kali menjadi mahasiswa, Nindya dan teman-teman seangkatannya diwajibkan mengikuti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau biasa disebut dengan OSPEK. "Anak jalang juga kuliah ya? Aku fikir, kamu cuma memiliki keahlian menggoda kekasih orang. Jadi, kamu juga bisa belajar?" sindir Raya, ia tidak menyangka jika Nindya berhasil masuk ke kampus elite tempatnya menempuh pendidikan."Siapa yang jalang? Tante ya? Astaga, Tante, aku kaget lo. Aku fikir Tante itu cewek baik-baik, kasihan Om Andy, aku harus menyadarkannya." Nindya tak mau kalah, ia malah balik menuding Raya."Kamu itu benar-benar ga punya ahklak ya, cih!" Raya mendorong Nindya sedikit keras, membuat gadis itu terhuyung dan hampir terjatuh, namun masih bisa me
"Raya?" Nindya yang sedari tadi fokus menatap ponselnya tersentak, menyadari siapa gadis yang kini berdiri di hadapannya."OH MY GOD, siapa ini? Ma, jangan bilang, dia akan menjadi adik tiriku?" pekik Raya, ia tak kalah kagetnya dengan Nindya."Nindya, jadi kamu sudah kenal dengan Raya?" tanya Rendy seraya menepuk pundak putrinya itu."Eh, apa maksudmu? Adik tiri? Aku juga tidak ada niat sedikitpun menjadikanmu kakak tiriku." Nindya lebih memilih merespon ucapan Raya ketimbang menjawab pertanyaan Rendy, papanya."Sudah ... Sudah ... Duduk dulu. Raya, mama tidak suka ya, kamu bersikap tidak sopan kayak gini."Memasang wajah penuh amarah dan kesal, Raya menuruti keinginan mamanya. Duduk tepat di hadapan Nindya. Ia menatap pedas ke arah Nindya, mata keduanya saling beradu pandang. Tak ada sedikit pun tatapan perdamaian.Sibuk dengan pikiran masing-masing, kedua gadis itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, ada apa gerangan kedua orang tua mereka bertemu?Kiara, mama Raya, sudah 5 tahun
"Selamat pagi, Nindya. Mau berangkat kuliah, ya?" sapa Andy, pria itu secara kebetulan baru saja membuka pintu gerbang rumahnya, bertepatan dengan keluarnya Nindya."Ehh ... Calon suami Ninya, mau ke sekolah, Om? Atau mau ngojekin tante? Atau mau dua-duanya? Upss, maaf, keceplosan." Nindya menutup mulutnya sesaat, menggunakan tangan kanannya."Kamu ini, kebiasaan, deh ... Mau bareng ga? Sini, Om anter ke kampus sekalian," tawar Andy."Makasih, Om. Tapi enggak deh. Aku lagi mau nunggu teman, mau di jemput," jawab Nindya.Yah, Semalam Nindya sengaja menghubungi teman 1 kampusnya, Dion, cowok yang sudah di kenalnya semasa SMA. Nindya ingin memulai permainannya antara dia, Andy dan Raya."Teman? Teman siapa? Cowok ya?" selidik Andy."Eh, kok Om Andy kayak curiga ya? Apa iya, dia ada perasaan padaku?" gumam Nindya dalam hati seraya mengulum senyumnya, ada segurat kebahagiaan saat cowok di hadapannya bersifat seakan-akan cemburu pada dirinya."Iya dong, Om, cowok. Raya tiap hari di antar je
"Nindya!" Semua menoleh ke arah suara, termasuk Nindya, jelas karena namanya yang di panggil."Eh ... Om Andy, kenapa ya?" tanya Nindya dengan santainya.Andy melangkah mendekat ke arah Nindya, di belakangnya ada Raya yang mengekor, seakan-akan meminta perlindungan."Ya ampun, Om. Apakah tante Raya mengadu sama Om? Iya?" tanya Nindya curiga saat menyadari ada Raya di balik punggung Andy."Nin, Om minta tolong. Berhenti mengganggu Raya," ucap Andy dengan nada santai."Ganggu? Yang ganggu tante genit ini siapa sih, Om? Om boleh tanya nih, sama yang ada di sini. Semua juga tahu siapa yang memulai." Nindya mengedarkan pandangannya, menatap satu persatu temannya meminta agar turut menjadi saksi tentang kejadian tadi."Liat tuh, Sayang. Dia selalu saja menghinaku, makanya, kamu jangan dekat-dekat dia terus, aku jadi malas," rengek Raya, ia masih berada di belakang Andy, tangannya bergelayut manja dilengan Andy."Wow, hebat. Selain pinter memfitnah, kamu juga pinter merayu ya, Tante? Ya amp
Suara sendok dan garfu menghiasai sarapan pagi Rendy dan Nindya. Tak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Benak Nindya sedang dipenuhi oleh beberapa hal yang membuatnya bimbang. Mimpi bertemu mama Almira semalam membuatnya yakin untuk mengijinkan sang papa menikah lagi. Sebenci apa pun dia dengan calon kakak tirinya itu, baginya bukanlah suatu perkara. Yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan papanya."Pa, Nindya merestui Papa." Akhirnya, Nindya membuka suara setelah ia menyelesaikan suapan terakhirnya.Rendy terdiam, ditatapnya kedua bola mata gadis manis di hadapannya penuh kasih sayang. Memastikan apakah ada kebohongan di sana. Nyatanya, tidak. Ucapan Nindya begitu tulus."Kamu yakin, Sayang?" "Nindya yakin, Pa. Kalau mama merestui, maka aku pun akan merestui Papa." Nindya melemparkan senyum tulusnya kepada Rendy."Mama? Maksud kamu, apa?"Nindya terdiam, sejurus kemudian ia kembali tersenyum. Ia menghela napasnya sesaat, lalu berucap, "Semalam, Nindya bertemu mama di mimpi
Hari HPernikahan Rendy dan KiaraPernikahan sederhana digelar. Tak ada tamu undangan, hanya keluarga inti dan keluarga besar dari keluarga mempelai yang hadir. Tak lupa, prajuru adat juga pemuka agama yang menikahkan kedua mempelai. Spesial undangan ditujukan kepada rombongan kantor catatan sipil. (Di Bali ada beberapa kabupaten yang menerapkan pembuatan akta pernikahan langsung dengan mendatangkan pegawai catatan sipil di hari H. Rencana pernikahan di daftarkan terlebih dahulu sebelumnya.)"Sebentar lagi Papa jadi istri tante Kiara dan Raya jadi anak tiri Papa. Apa pun yang terjadi di depan, Aku tetap sayang Papa." Nindya menghampiri Rendy yang telah siap untuk mengikuti rangkaian pernikahannya bersama Kiara."Nindya, Sayang, Papa akan selalu sayang padamu. Selamanya, inget kata-kata Papa, Ya?" Rendy menyentuh pipi Nindya lembut.Gadis cantik manis itu tersenyum. Rasanya masih berat tiba-tiba harus menjadi adik tiri dari perempuan yang selalu diajaknya bertengkar, Raya. Kini keduan
"Nindya!" Suara yang tak asing lagi di telinga Nindya, gadis itu menoleh ke arah suara yang memekik menyebut namanya."Om Andy? Kok ke sini? Acara papa sama tante Kiara sudah selesai?" "Ini jam berapa, Nindya? Aku disuruh papamu jemput kamu." Wajah Andy datar, ia seakan-akan tak suka menyaksikan apa yang baru saja terjadi di sana."Nin, jawab dulu!" pekik laki-laki yang masih berdiri di atas panggung, Dio.Nindya memandang kembali ke atas panggung, ia menatap dari kejauhan pria yang baru saja menyatakan cinta padanya. "Seben–""Pulang, masih kecil, ga usah pacar-pacaran dulu. Aku lapor nanti ke papamu." Andy memotong ucapan Nindya lantas manarik gadis itu keluar dari cafe dengan kasar.Dio terdiam, ia melangkah pelan, turun dari atas panggung. Menghampiri teman-temannya seraya Menatap kepergian Nindya dan Andy. Begitu pula dengan Wina dan Bella juga Bayu, ketiganya tak mampu mencegah kepergian salah satu temannya."Sabar ya, bro!" Bayu menepuk pundak Dio."Tenang aja, masih ada waktu
Sedangkan yang di umpat terkekeh seraya melambaikan tangannya berjalan mundur dan bruugggg!! Tanpa sengaja tubuhnya menabrak seseuatu."Nona kecilku!" Seseorang mengusap-usap pucuk kepala Nindya lembut.Nindya bergegas membalikkan badannya. Memastikan benar atau tidak, suara yang didengar adalah suara pria yang kemarin mengungkapkan perasaan padanya."Eh, Dio. Bikin kaget saja." Nindya menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia tersenyum malu. Pipinya yang tembem merah merona."Jadi pacarku, ya?" tanya Dio sekali lagi, memastikan jawaban atas hubungan yang akan mereka jalani selanjutnya.Nindya terpaku, ia menatap kedua bola mata Dio yang memancarkan kehangatan cinta. Bibirnya kelu tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu mengangguk pelan."Apa?" tanya Dio sekali lagi.Nindya tersenyum, masih memandang Dio. "Kita, pacaran," jawabnya.Banyak mata yang memandang ke arah mereka. Tak terkecuali Andy dan Raya. Begitu pula beberapa penghuni kampus lainnya, mereka terenyuh dengan adega
Satu bulan kemudian ....Hiruk pikuk para tamu undangan memenuhi hotel tempat berlangsungnya pernikahan Andy dan Nindya, Keduanya tampak anggun dan cantik dengan menggunakan busana elegan buatan dari design ternama Ivan Guntur. Sementara itu, Wina, Bella dan Raya sibuk menyambut para tamu yang berdatangan secara terus menerus. Begitu juga dengan kedua orang tua dari mempelai.Sampai akhirnya moment melemparkan buket bunga pengantin pun tiba."Siap-siap ya, kira-kira siapa nih, yang bakalan nyusul setelah aku ...." teriak Nindya yang sudah bersiap hendak melemparkan bunga."Nin, lempar ke arahku!" teriak Wina."Ke arahku saja, Nin." Raya juga turut berteriak."1 ... 2 ... 3 ...." Nindya melempar bunganya dengan sangat kencang dan hap! Yang pertama meraih bunga adalah Bella. Gadis yang tak pernah diduga-duga.Setelah beberapa jam acara pernikahan dan resepsi yang sekaligus dilaksanakan dalam satu waktu itu Akhirnya selesai saat itu juga Nindya langsung dihajar untuk tinggal di rumah An
"Kenapa semua diam? Benar? Jadi, Om Andy bersedia menikahi Raya walau yang ada di perutnya itu bukan anak, Om?"5 menit kemudian ...."Happy birthday to you ... happy birthday to you ... happy birthday, happy birthday, happy birthday Nindya ...."Kedua orang tua Andy masuk seraya membawa kue ulang tahun yang sudah dihiasi dengan lilin untuk Nindya. Semua ikut bernyanyi termasuk Raya dan Andy."Selamat ulang tahun calon mantu mama yang paling cantik," ucap Mama Andy setelah ia berada tepat di hadapan Nindya."Selamat ulang tahun ya, Sayang. Sebentar lagi kamu jadi menantu papa," lanjut papa Andy.Posisi Nindya masih dalam keadaan bingung. Ia lalu menoleh ke arah orang tuanya kemudian menatap Andy juga Raya secara bergantian. Mereka semua sudah mulai mendekat ke arah Nindya seraya bertepuk tangan."Selamat ulang tahun!" ucap Andy seraya berjongkok di hadapan Nindya. Ia lalu membuka kotak kecil yang ia pegang."Ini apa-apaan?" tanya Nindya masih bingung."Prank!!" teriak Raya dengan pen
Isak tangis mengiringi kepergian Dio. Seperti permintaan terakhirnya, ia dimakamkan di pemakaman setempat. Nindya merasa menyesal. Beberapa waktu ia memang ada di sisi Dio. Namun, Nindya sama sekali tak memahami akan keadaannya.Gadis itu masih tertunduk lemah, bahkan matanya terlihat bengkak karena terlalu banyaknya menangis. Andy yang setia menemani, tak henti-henti berusaha menenangkan hati Nindya."Kita pulang ya? Biarkan Dio beristirahat dengan tenang. Berhentilah menangis, agar ia tidak merasa bersalah telah pergi meninggalkan kita semua."Nindya tidak menjawab apa pun. Namun, gadis itu berusaha menghapuskan air matanya lalu berdiri membalikkan badannya menoleh kearah Andy yang berada di belakangnya."Kita pulang ya?" ajak Andy sekali lagi."Iya, Om," jawab Nindya lirih."Om, sebentar ya, aku pengen pipis. Mau ke toilet dulu." Nindya bergegas menuju ke toilet umum yang tidak jauh dari pemakaman. Andy menunggu di luar pintu seraya memainkan ponselnya."Aku sudah selesai, Om," uca
"Minum dulu, Om. Om, kok bisa pingsan sih?" tanya Nindya seraya memberikan air putih kepada Andy.Pria itu sudah duduk di salah satu kursi cafe ditemani oleh Nindya. Wajahnya bersemu merah menahan malu, bahkan banyak pasang mata yang memandang ke arahnya.Andy meneguk air putih yang diberikan oleh Nindya. Pria itu menghela napas sesaat, kemudian menghembuskannya perlahan."Berapa lama aku pingsan?" tanya Andy menatap Nindya.Nindya berpikir sejenak, ia menyentuh keningnya beberapa kali, menggunakan jari telunjuk kanannya. "Kayaknya 15 menit, Om. Om, kenapa pingsan? Belum makan ya? Emangnya tadi di rumahku, Om nggak minta makan? Nggak ditawari makan sama mama papaku?""Nindya kamu paham nggak? Aku itu grogi, apa lagi nyanyi di depan umum. Ditonton banyak orang, aku syok, makanya pingsan.""Dihhh ... Om Andy, berlebihan deh. Gitu aja kok pingsan? Om kan udah biasa tampil di depan umum, contohnya mengajar! Ya kan?""Itu beda, Nindya. Udah ayo, kita pergi dari sini. Coba tuh kamu lihat,
Memulai hari yang baru.Pagi ini Nindya masih mengurung diri di dalam kamar. Sementara Wina dan Bella sudah pamit pulang. Gadis itu sudah melewatkan sarapannya, ia tak menyentuh sedikit pun apa yang diantar oleh asisten rumah tangga di rumahnya. Hatinya masih terluka, ia tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Semua seperti mimpi, mimpi buruk baginya.Di ruang tamu, keluarga Nindya tengah berlangsung pembicaraan serius antara Rendy, Kiara dan Andy. sementara Raya sudah pergi sejak tadi."Ada apa, An? Kok tumben kamu pagi-pagi begini sudah ke sini?" tanya Rendy kepada Andy."Aku ingin berbicara serius.""Tentang apa?" tanya Rendy lagi."Jadi begini ... sebenarnya sudah beberapa lama, aku menyadari perasaan aku. Aku menyadari kalau sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Nindya. Semua sudah sempat aku utarakan, tapi Nindya menolakku dengan alasan ia sudah memiliki Dio dan akan segera bertunangan.""Lalu?" Kali ini Kiara yang bertanya."Aku ingin minta izin ke Om dan Tante, untuk ke
"Dio!!" teriak NindyaGadis itu hampir saja tak sadarkan diri melihat pria yang ia cintai tengah tergeletak bersimbah darah. Nindya histeris, ia berteriak kencang sembari menangis. Beberapa orang berusaha menenangkannya.Tak lama kemudian mobil ambulan datang. Dio segera dilarikan ke rumah sakit. Pria itu masih bernapas. Nindya menyusul dengan menggunakan sepeda motornya, ia mencoba tenang dan percaya jika pria yang ia cintai dalam keadaan baik-baik saja.Tidak butuh waktu lama, ambulan sudah tiba di rumah sakit disusul dengan Nindya yang mengikuti dari belakang. Dio segera dimasukkan ke ruang UGD, sementara Nindya menunggu di luar. Gadis itu berusaha menghubungi keluarga Dio."Apa yang terjadi, Nin?" tanya Gio yang baru saja tiba di rumah sakit bersama kedua orang tuanya."Maafkan aku, Gio. Semua salahku," jawab Nindya seraya terisak."Ada apa sebenarnya?" tanya Syla."Om, Tante, Gio. Sebelumnya aku minta maaf. Aku rasa Dio salah paham ...." Nindya pun menceritakan semua yang terjad
"Menikahlah denganku!"Nindya terdiam. Ia masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari bibir Andy. "Om Andy bilang apa?" tanya Nindya kemudian."Menikahlah denganku, Nindya!" Andy mengulang ucapannya."Om Andy bercanda ya? Kok tiba-tiba gini sih?""Aku nggak bercanda, Nindya. Sebelumnya aku minta maaf, mungkin selama ini aku sudah mengecewakan kamu, mungkin karena aku belum menyadari perasaanku, tapi saat aku dengar kamu akan bertunangan, kok rasanya hatiku sakit banget. Rasanya aku tidak terima jika kamu akan dimiliki oleh orang lain. Semalam suntuk aku memikirkan itu semua dan aku sadar kalau sebenarnya aku mencintaimu.""Maaf, Om. Sepertinya aku tidak bisa memenuhi permintaan Om. Lagipula Om juga sudah tahu jelas kalau aku akan segera bertunangan dengan Dio.""Kamu yakin kalau kamu mencintai Dio? Aku merasa sebenarnya perasaanmu masih ada sama aku.""Sekali lagi aku minta maaf, Om. Untuk perasaanku saat ini sepenuhnya aku mencintai Dio. Om hanyalah masa laluku dan a
"Dio!" pekik Nindya.Gadis itu segera berjongkok kemudian meletakkan kepala Dio di atas tumpuan kedua kakinya, sedangkan yang lain seketika berdiri lalu menghampiri mereka."Dio ... bangun, Sayang! Bangun!" Syla berusaha membangunkan putranya yang sudah tidak sadarkan diri."Kita bawa ke rumah sakit," ucap Robert yang kemudian membopong putranya dibantu oleh Rendy dan Gio.Semua ikut serta ke rumah sakit, walau pada kenyataannya Rendy, Kiara juga Nindya sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri Dio.Kondisi Dio cukup lemah. Ia mendapat penanganan secara cepat setelah tiba di rumah sakit. Robert dan Syla tampak mondar-mandir karena panik, mengkhawatirkan keadaan Dio, begitu pula dengan Gio. Pria itu bahkan masih merasa menyesal karena hampir saja pernah merebut Nindya dari Dio.Nindya dan kedua orang tuanya ingin sekali bertanya, menanyakan apa sebenarnya yang terjadi pada diri Dio. Namun, mereka mencoba menahannya setelah melihat kondisi keluarga Dio yang sedang ti
Malam hari, seperti yang dijanjikan oleh Dio. Pria itu benar-benar datang bersama dengan kedua orang tuanya, Robert dan Syla, Gio juga turut serta ikut bersama mereka."Silahkan masuk." Asisten rumah tangga di rumah Nindya mempersilahkan tamu tuannya untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Sementara Rendy dan Kiara baru saja ke luar dari kamarnya setelah bersiap."Maaf ... sudah membuat kalian menunggu begitu lama," ucap Rendy kepada tamunya seraya tersenyum, lalu ia duduk di hadapan mereka bersama istrinya."Sebentar ya, saya panggilkan Nindya dulu," ucap Kiara yang kembali berdiri setelah menyadari anaknya tidak ada di sana."Iya ... silakan," jawab Robert, Ayah Dio.Perbincangan-perbincangan kecil terjadi. Gio yang pada awalnya tidak merestui hubungan saudara kembarnya dengan Nindya mulai mengiklaskan semuanya. Ia sadar jika Dio lebih membutuhkan Nindya dibandingkan dirinya."Halo ... Om, Tante," ucap Nindya kemudian mencium punggung tangan kedua orang tua Dio dan Gio.Gadis itu kini