Kondisi menjadi tidak kondusif seiring dengan bertambahnya warga yang ikut terprovokasi meneriaki Silvi. Bahkan meskipun sudah diperingatkan oleh beberapa petugas kelurahan warga tak mau berhenti juga. Saat itu Silvi juga hanya bisa menunduk menahan malu atas perbuatannya.
“Enggak tahu terima kasih, udah ditampung malah nyebar fitnah!” teriak seseorang yang entah siapa.
Suaranya bahkan tampak menggelegar hingga memenuhi ruangan sidang yang penuh sesak dengan warga yang berebut ingin masuk ke balai pertemuan warga yang luasnya tidak seberapa itu.
“Bang, maaf ya. Aku enggak tahu kalau warga akan berbondong-bondong datang ke sini,” ucap Mayra yang malah merasa bersalah.
“Enggak apa-apa Sayang, Abang sudah memperkirakan kalau semua ini akan terjadi. Lagian kalau enggak begini nanti Mbak Silvi semakin seenaknya sendiri, kamu enggak ingat kemarin dia mau nyuri di rumah kita. Apa enggak keterlaluan?” tanya Romi.
“
Tepat saat Silvi berhasil melepaskan kalung pemberian Romi, anak tidak tahu diri itu justru tersenyum lebar.“Akhirnya masalahku selesai. Dulu Romi belikan ini harganya berapa?” tanya Silvi dengan begitu santai.Soelah hal itu bukanlah sesuatu yang salah, ini semua terjadi juga karena sebagai orang tua Bu Tuti selalu saja memanjakan anak sulungnya. Ia bahkan memberikan apa pun yang dimiliki jika Silvi yang meminta. Berbeda dengan Romi yang ia didik dengan sangat keras, Romi bahkan terbiasa dipukul hanya karena kesalahan kecil yang ia perbuat.Namun, entah kenapa ketika sudah besar semua anggota keluarganya justru mengandalkan Romi terutama jika terlibat masalah ekonomi.“Ibu kok diam aja? Aku nanya loh ini, berapa harga kalungnya?”“Ibu lupa Nak, itu sudah 5 tahun yang lalu.”“Enak juga ya jadi Ibu, bisa dibelikan perhiasan begini sama Romi. Aku mana pernah pakai yang beginian. Hm apa ini buat aku pa
"Sembab?” tanya Romi sembari mengerutkan keningnya.“Ia abis nangis kayaknya. Aku yakin banget, Mas.”Sejenak Romi pun menatap istrinya. Sontak saja merasakan keresahan suaminya perlahan Mayra mulai mengusap lembut lengan suaminya. Berharap itu akan sedikit menenangkan Romi yang sudah berpikir terlalu jauh.Devi dan Bambang juga memilih untuk berpamitan saat itu juga, mengingat banyak tempat yang harus mereka kunjungi di malam takbir. Terutama orang tua suaminya. Sepeninggalan Devi, bukannya memutuskan untuk langsung pergi, Romi malah terdiam sesaat.“Kenapa?” tanya May yang heran karena suaminya seperti sedang menahan diri, walau dalam hati mungkin ia ingin segera menemui ibunya.“Abang besok aja ke sananya.”“Bukannya Abang khawatir sama Ibu?”“Abang yakin ibu baik-baik aja.”“Mana ada yang baik-baik aja kalau sampai nangis.”“Kalau mem
“Bu yang benar aja ini aku masak sendiri?” tanya Silvi.Ia bahkan nekat menerobos masuk ke kamar ibunya yang sedang ditutup. Sontak saja Bu Tuti yang tengah berganti pakaian mendadak menjerit karena terkejut.“Kamu ini loh memang enggak bisa ketuk pintu dulu?” tanya Bu Tuti yang masih menetralkan detak jantungnya yang masih tidak karuan.“Udahlah Bu, jangan bahas yang lain dulu. Ini ada yang lebih penting.”‘Apa?”“Itu aku masak semua ini sendirian gitu?”“Iya mau bagaimana lagi, ibu mau zakat.”“Ibu zakatnya lama enggak?”“Tergantung, kalau di sana ngantri ya lama.”“Emang biasanya ngantri? Bukannya di kota udah sepi.”“Udah ah, Ibu mau berangkat dulu. Takut keburu malam. Kamu udah zakat belum?”“Udah tadi sore.”“Ya sudah kamu yang masak.”Bu Tuti ya
[Buat apa sih kamu ke sana, lagian orang tua Mayra juga udah pada dikubur.]Sungguh dari sekian banyak kata kenapa ia harus menggunakan kata dikubur. Itu sangat menyakitkan. Kebetulan Romi dan Mayra memang sedang menepi di jalan karena tiba-tiba saja Mayra merasa pusing dan mereka lupa membeli minyak kayu putih untuk sekedar meredakan sakitnya. Namun, begitu pusingnya telah hilang, kini berganti hatinya yang sakit.Apa lagi ia tengah hamil, bahkan orang normal saja akan tersingung jika disindir tetang orang tua. Sadar jika istrinya mendengar apa yang dibicarakan ibunya, sontak saja Romi menjauhkan diri.“Abang nelepon di sana dulu ya.”“Iya,” ucap Mayra dengan wajah yang sendu, meskipun begitu ia masih saja memaksakan diri untuk tetap tersenyum.Setelah mengusap pucuk kepala May yang terhalang hijab itu, Romi pun segera menjauh. Ia memilih menelepon tepat di bawah pohon mangga, di sana juga cukup sepi pemudik, jadi suaranya
“Kamu ini bagaimana sih katanya bisa masak?” keluh Bu Tuti yang sudah sangat kesal dengan kelakuan kedua putrinya yang manja itu.Baru sekarang ia merasa menyesal atas sikapnya yang memanjakan mereka selama ini. Lihat saja dampaknya sekarang, ia bahkan sudah sangat tergantung pada Mayra. Menantunya bahkan tak pernah mengeluh sedikit pun, meskipun ia kerap kali memberikan serentetan pekerjaan yang tiada habisnya setiap menjelang hari raya.“Namanya masak juga ada gagalnya Bu, chef juga begitu kok,” elak Silvi.“Diam kamu! Terus mana Gani! Kok jam segini dia belum pulang. Apa suamimu enggak pulang?” tanya Bu Tuti.“Sudah pulang kok.”“Terus mana sekarang.”“Lagi tidur?”“Sudah kamu kasih makan?”“Sudah indomie.”Bu Tuti hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir. Setidaknya jika ia gagal membuat masakan lezat untu
“Aku ingin berubah, Mas.” “Berubah jadi apa? Makin buruk. Aku juga bukan orang suci Silvi, kamu tahu aku pemabuk, tapi aku bisa ninggalin semuanya demi kalian. Apa enggak bisa kamu berhenti cari masalah?” “Aku enggak cari masalah.” “Ini apa? Bahan makanan sebanyak itu kamu buang. Kamu enggak tahu cari uang itu susah.” “Itu bukan aku yang beli, tapi dibawakan Romi.” “Ya Romi juga kerja buat beli semua itu. Bisa enggak mulai sekarang belajar menghargai uang mau sekecil apa pun itu.” “Aku pasti belajar Mas, aku juga sudah banyak berubah ‘kan?” “Apanya yang kamu pelajari, cantik itu enggak hanya kuku yang dicat! Ada banyak cara mempercantik diri kenapa malah begitu kelakuanmu.” “Aku cuma ikut-ikutan saja, Mas. Orang-orang juga bayak yang pakai.” “Ya terus kalau orang nyemplung sumur kamu mau ikut nyebur juga?” “Eng-enggak begitu juga.” “Tidur, aku malas berdebat.” “Aku mau nemenin kamu
Mayra tersenyum saja, sebenarnya seberat apa pun masalah yang ia hadapi, tidak ada yang mengalahkan rasa sakit saat kehilangan kedua orang tuanya. Sendirian di dunia sebesar ini, bukanlah hal mudah untuk dilewati. Mereka datang tentunya tidak dengan tangan kosong. Ada banyak oleh-oleh yang sudah Romi siapkan.“Assalamualaikum,” ucap Romi.“Waalaikumsalam, kamu ngapain ke sini? Lebarannya udah lewat? Baru inget masih punya orang tua?”Mereka baru saja mengucap salam, tetapi sambutan Silvi begitu tak enak didengar.“Kenapa enggak disuruh masuk?” tanya Gani yang kebetulan tengah berada di ruang tamu.“I-iya Mas ini yang datang Romi sama istrinya,” sahut Silvi dengan sedikit gugup.Meski idul fitri akan menjadi momen yang baik untuk saling memaafkan, rupanya tak menjadikan hubungan keduanya lantas membaik. Sepasang suami istri itu bahkan masih tampak kaku satu sama lain.Begitu mendengar Rom
Bahkan jika Bu Tuti begitu menyayangi putrinya, ia harus berpikir dua kali jika membiarkan kehilangan tambang emasnya. Sekarang dengan berat hati ia harus bersikap tegas pada Silvi. Lagi pula ia juga sangat menyayangi kalung pemberian putranya. Sebenarnya ia yang membelinya sendiri hanya saja uangnya dari Romi.“Ya sudah kasihkan kalungnya kenapa malah diem aja?” tanya Gani yang sudah marah bercampur malu dengan tingkah istrinya,Namun, entah apa yang dipikirkan Silvi ia tak segera melepaskan kalungnya. Seolah ia tidak ingin melakukannya. Sayangnya, meskipun begitu Gani dengan gemas langsung melepaskan kalung itu dari leher Silvi. Ia juga turut memberikan benda itu pada tangan ibu mertuanya.“Maaf ya Bu, lain kali ini enggak akan terjadi lagi,” ucap Gani.Mengingat karakter istrinya yang serakah, ia bahkan lebih percaya Bu Tuti.“Terus gelangnya mana Bu?” tanya Romi.Sebenarnya tanpa bertanya pun ia sudah
“Pasti Abang doain kamu Sayang, pokoknya kamu harus kuat. Abang yakin kamu dan adek bayi bakal selamat. Kamu harus lihat ‘kan anak kedua kita. Kita punya banyak banget rencana setelah ini. Kamu udah janji sama Abang, enggak boleh ingkarin gitu aja.”Tanpa sadar air mata lolos begitu saja dari sudut mata Romi. Namun, ia lekas menyekanya. Seharusnya ialah yang menguatkan Mayra, tetapi saat ini Romi justru terlihat sebagai pihak yang lebih butuh dikuatkan. Sepanjang jalan menuju ruang operasi Romi seakan tak mau melepaskan genggaman tangannya, sampai ketika Mayra masuk ia sempat mengatakan satu kalimat yang benar-benar membekas di hati Romi.“Abang, kita enggak boleh terlalu cinta sama manusia. Nanti Allah cemburu,” ucap Mayra.Sebelum akhirnya pintu ruangan operasi tertutup. Romi hanya diperkenankan mengantarnya sampai ke depan pintu, ia tidak menyangka kalau proses melahirkan anak keduanya justru berkali-kali lipat lebih sulit saat M
Sembari menghapus jejak tangisan di wajahnya Silvi memutuskan untuk mempercepat langkahnya menuju toilet. Ia hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk bisa melepaskan penyesalannya. Rupanya maaf saja tak cukup untuk menebus kesalahan yang sudah terlanjur menggunung. Memang benar semua butuh waktu, tetapi ia sendiri tidak menyangka jika Romi justru lebih sulit dihadapi dari pada Mayra.Sebelumnya ia selalu berpikir adiknya yang selalu ada di saat sulit akan mudah dihadapi, rupanya ia justru tampak begitu keras bahkan pada ibu kandungnya sendiri. Sudah semalam mereka berada dalam satu atap yang sama, tetapi sikap Romi justru semakin dingin. Ia bahkan terang-terangan melarang istrinya untuk sekedar membantu Silvi dalam hal menulis.Cukup lama Silvi berada di sana, mungkin sekitar satu jam. Tak ia pedulikan jika hari semakin larut, tetapi ia hanya takut jika tangisannya akan terdengar oleh Romi yang berada tepat di samping kamar tamu, jadi untuk saat ini toilet me
Saat sedang asyik mengobrol Romi dan yang lainnya malah datang. Mau tidak mau mereka harus menghentikan pembicaraan. Tak enak juga rasanya memaksa Mayra untuk terus membantunya. Jika Romi tahu, mungkin hal ini hanya akan memicu masalah baru.”“Terus sekarang kita mau bagaimana Bu, kalau Mayra yang jadi harapan satu-satunya malah enggak bisa bantu apa-apa.”“Ibu juga enggak tahu, kita udah terlanjur ke sini. Ya pokoknya kita harus bisa memperbaiki hubungan sama Romi,” ucap Bu Tuti.Usai mengatakannya, mereka pun ikut menyusul Romi dan yang lainnya ke dalam. Di sana Romi juga mengajak Pak Erik untuk melihat kebun sayuran Mayra di belakang rumah ia menceritakan bagaimana Mayra membuatnya tetap subur. Sampai Pak Erik pun berencana untuk membuat kebun sayuran yang sama di depan rumahnya.“Kayaknya bagus juga Bu, idenya Mayra ini. Kita bisa buat di de
Menyadari kedatangan Silvi dan orang tuanya, jelas saja ekspresi Gani langsung berubah. Ia terlihat sedikit gelisah, mungkin terkejut karena tak menyangka jika mereka akan datang. Gani tetap menyalami mantan mertuanya dengan takzim, tentunya kecuali Silvi ia hanya menundukkan kepala.“Bapak sama Ibu sehat?” tanya Gani.“Alhamdulillah, ini kamu mau pulang apa bagaimana? Kok udah bawa tas aja?” tanya Pak Erik sekaligus memecah suasana canggung di antara mereka.“Iya Pak, ini mau pulang ke Subang. Udah lama di Bandung, kangen juga sama Yoora.”“Bukannya Subang sama Bandung deket banget, emang enggak sering pulang.”“Sebenarnya sering sih paling 2 minggu sekali, tergantung kerjaan aja. Kalau bisa tiap minggu pulang ya maunya sih begitu. Cuma ‘kan yang ada kerjaannya enggak selesai-selesai. Ya sudah kalau begitu Pak, saya pamit dulu.”Sata itu Bu Tuti juga bingung harus berka
Entah kenapa rasanya dunia Silvi mendadak berhenti berputar. Kenapa ada Bunda selain dirinya?Silvi pun tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi, tetapi kenapa harus secepat ini? Ia melihat keduanya begitu akrab, bahkan sepertinya Yoora terlihat begitu nyaman berada di pelukan wanita yang ia panggil Bunda itu. Di sampingnya juga adik iparnya yang tampak cukup dekat dengannya.Jika diingat kembali hubungan Silvi dan adik iparnya bahkan tidak sedekat itu. Ia sendiri yang sengaja menjaga jarak dari adik suaminya. Sekarang melihat mereka begitu akrab, Silvi bahkan tidak bisa menyalahkannya juga. Apa lagi statusnya sekarang juga bukan lagi istri Gani. Niat hati ingin memberikan kejutan pada anaknya, sekarang ia sendiri yang terkejut.“Bunda Silvi,” ucap Yoora yang saat itu mengalihkan pandangannya.Ia baru sadar jika sejak tadi ada Silvi di dekatnya. Anak kecil itu pun langsung menghambur memeluk ibu kandungnya.“Bunda kenapa enggak bilang mau ke sini?” Bahkan jika hatinya begitu sakit
Saat itu juga Bu Tuti langsung menghubungi Romi lewat panggilan telepon. Namun, entah kenapa tak kunjung diangkat juga. Sudah 10 kali mencoba, tetap saja tak ada hasilnya.“Pak, kenapa Romi enggak mau ngangkat telepon dari Ibu?”“Enggak tahu, kemarin-kemarin masih mau ngangkat telepon dari Bapak kok. Mungkin lagi sibuk aja.”“Apa jangan-jangan dia masih marah sama Ibu, sampai enggak mau ngangkat. Gak mungkin Romi jauh dari hpnya Pak, di aitu sibuk terus kalau jam segini.”Sebagai ibunya sedikit banyak ia tahu kebiasaan Romi, termasuk jam sibuk putranya. Rasanya sedikit janggal kalau Romi tak memegang ponselnya di jam sibuk.“Bentar, biar Bapak yang coba telepon!”Kali ini karena penasaran, Pak Erik juga mencoba untuk menghubunginya. Namun, hasilnya sama. Mereka sontak saja jadi berpikir yang tidak-tidak.“Jangan-jangan terjadi sesuatu sama Romi, Pak?” ucap Bu Tuti dengan wajah yang mulai panik.“Kamu jangan ngomong sembarangan. Bisa aja dia memang lag
“Bu Tuti tahu enggak sih kemari ‘kan Silvi ke sini,” ucap Bu Mia saat mereka sama-sama belanja di warung.“Oh iya saya tahu, Bu,” ucap Bu Tuti canggung.Pasalnya di sana tak hanya mereka berdua ada pembeli lain yang juga sedang memilih sayuran. Ia hanya tidak ingin pembahasan ini jadi ke mana-mana. Apa lagi gosip di sini mudah sekali menyebar.“Loh kalau tahu kenapa enggak pulang cepat-cepat Bu Tuti? Kasihan loh jadinya Silvi keburu diusir sama Pak RT.”Sudah ia duga, Bu Mia ini pasti akan membahas perkara pengusiran ini.“Saya juga enggak bisa ninggalin kerjaan begitu aja, saya jaga bayi. Enggak mungkin bayinya saya tinggal malam-malam.”“Ya harusnya ibu kasih tahu Silvi alamat ibu kerja, eh apa Ibu takut ya kalau Silvi nanti malah mencuri barang-barang di rumah majikannya. Hehe, susah juga ya jadi ibu, serba salah banget. Dipikir-pikir kalau saya jadi Bu Tuti juga akan ngelakuin hal yang sama sih, dari pada ngambil risiko yang malah merugikan diri sendiri.”“Sudah Bu ngomongnya, say
“Tapi, Pak saya enggak ada niat buat mencuri, saya juga enggak mau lagi masuk penjara. Saya sudah tobat.”“Saya tahu, tapi sebagai ketua RT saya juga punya kewajiban bikin warga tenang. Ada banyak sekali keluhan dari siang sampai sekarang, warga sangat keberatan kalau Mbak Silvi memutuskan kembali tinggal di lingkungan sini. Tolong pengertiannya ya Mbak, saya ikut senang kalau Mbak memang sudah tobat. Cuma Mbak juga harus tahu kalau enggak semua orang bisa menerima dan enggak Mbak enggak bisa maksa orang lain buat mengerti.”“Apa karena saya bukan warga sini, makanya Bapak tega mengusir saya malam-malam begini?”“Bukan masalah itu, saya pikir Mbak juga sudah tahu apa alasannya. Mbak dipenjara atas kasus pencurian, sudah jadi hukum sosial kalau Mbak jadi dijauhi orang-orang.”Akhirnya emosi Pak RT yang sejak tadi ditahan kini tidak terbendung juga sekarang mau tidak mau ia harus mengutarakan maksud dari perkataannya secara gamblang. Masa bodo kalau Silvi akan saki
Sejak kepergian ibu mertuanya tempo hari Mayra memang sengaja menahan untuk tak membahas masalah itu. Sampai ia merasa kali inilah waktu yang tepat untuk mengatakan ini pada suaminya. Perlu waktu seminggu untuk Mayra menunggu sampai Romi bisa diajak diskusi. “Sayang, boleh aku ngomong sesuatu?” tanya Mayra tepat ketika ia dan Romi hendak beristirahat di malam hari. “Kenapa Sayang, ngomong aja!” “Ini soal Ibu.” Mayra bahkan sengaja memberi jeda ucapannya, hanya untuk melihat respons suaminya. Melihat Romi yang terlihat menatapnya dengan antusias, barulah Mayra yakin kalau kali ini ia tidak salah waktu. “Seseorang yang susah untuk dinasihati itu memang kadang perlu merasakan kehilangan dulu, sampai mereka mengerti kalau apa-apa yang tidak ada dalam genggamannya itu begitu berharga.” “Harus dengan cara enggak kasih kabar sama sekali?” “Abang tetap kontrol kok, ‘kan di depan rumah Ibu ada istrinya Jefri. Dia ka