WANITA HARUS MELAHIRKAN NORMAL"Mas, normal atau secar itu sama saja! Yang penting Ibu dan anak sehat," jawab Dinda."Beda, kau mau membantah suami?" tanya Hasan."Apa bedanya Mas? Semua sama- sama jadi Ibu!" sanggah Dinda."Jika lahiran secar akan menyusahkanmu sendiri! Kau tak tahu itu, Dek? Perutmu akan di belah, pemulihannya lama dan lagi akan sangat merepotkan jika harus mengurusimu," kata Rio."Tapi kan sekarang ada proses lahiran secar yang tak sakit, Mas! Namanya metode ERACS! Itu aman untuk Ibu hamil," protes Dinda."Apakah bisa di bayar dengan BPJS?" tanya Hasan."Bisa, paling hanya nambah sepuluh juta," jawab Dinda."Hahahah! Hanya? 10 juta itu nominal uang yang sangat banyak Adinda Salsabila!" ejek Hasan."Apakah Mas tak mau membiayainya?" tanya Dinda."Bukan aku tak mau, tapi aku tak mampu! Sadar diri dong Dinda, suamimu hanya karyawan rendahan! Mana ada uang segitu?" tanya Hasan."Tapi harusnya Mas rela mencarikan uang itu, sebagai wujud tanggung jawab Mas sebagai suami
TAK DAPAT GURAME BAKAR DI GANTI DENGAN RANTANGAN PADANG!Dinda menengok ke arah tamu yang datang. Ternyata Nanda datang sambil membawa rantang. Dinda mengernyit matanya."Sepertinya aku kenal rantang itu," batin Dinda."Aduh Nanda Dateng! Masuk sini," ujar Bu Nafis datang dari belakang.Nanda menyerahkan bungkusan kresek di meja tempat Zain dan Hasan duduk. Berbicara sebentar baru kemudian berlenggok ke dalam rumah."Eh gapura kecamatan! Ngapain cosplay jadi patung selamat datang depan kamar?" tanya Nanda saat melihat Dinda berdiri menghadap ke arahnya."Dapat rantang itu dari mana kamu?" tanya Dinda."Mambu saja idungmu itu kalau ada makanan! Nih ambil!" perintah Nanda sambil mengulurkan rantangan dari tangannya."Makasih," jawab Dinda."Tapi sebenarnya ini bukan masalah makanannya! Aku tanya kamu dapat rantang itu dari mana?" tanya Dinda lagi."Ini rantang milik Bu Nafis," jawab Nanda santai."Siapa yang memberikannya padamu? Perasaan tak ada yang memberikan rentang itu," ujar Dinda
SEL DARAH PUTIH NAIK!"Ingat kamu itu...""Ingat kamu itu adalah benalu, numpang hidup? Tapi aku tak mandul kan, bu," potong Dinda."Sewot amat, bukan itu! Maksud Ibu kau itu sedang hamil! Jangan terbiasa kebanyakan tidur pagi," jelas bu Nafis."Lihatlah! Sekarang pipi dan badanmu bengkak-bengkak semua karena terlalu banyak tidur pagi," sindir bu Nafis.Bu Nafis sudah memasak menyiapkan dagangannya. Mulai membuat aneka sayur lodeh dan bening, juga adonan gorengan."Kalau hamil itu jangan tidur pagi-pagi! Nanti bikin naik darah putihnya!" sambung bu Nafis lagi."Lah perasaan memang karena Dinda gemuk, Bu! Jadi memang badannya sudah segini," sanggah Dinda."Bantah terus kalau di kasih tau orang tua!" bentak bu Nafis."Sana keluar rumah! Buka semua jendela dan pintu, lalu jalan- jalan sebentar sambil hirup udara pagi yang belum tercemar polusi sebanyak-banyaknya! Itu sehat buat bayimu," perintah bu Nafis.Dinda tersenyum mendengarnya. Meskipun tak terdengar seperti pujian ternyata mertua
KONDOM MILIK SIAPA?"Astagfirullah! Mas!" teriak Dinda."Ada apa?" Tanya Hasan panik datang tergoblok-kopok tergopoh-gopoh menuju istrinya takut Dinda kenapa-kenapa"Itu...."Dinda tak menjawab pertanyaan Hasan tapi langsung menunjukkan sesuatu di lubang pembuangan air. Dinda melihat seperti bekas balon berwarna putih putih kusam di saluran pembuangan samping rumah mereka."Astaghfirullahaladzim! Punya siapa itu Dek?" tanya Hasan tak kalah heran."Ada apa, San? Kenapa Dinda berteriak?" tanya bu Nafis yang baru datang karena terkendala gerakan kakinya menggunakan krek.Dia harus berjalan perlahan."Tidak ada apa-apa, Bu! Tadi ada ular," jawab Hasan asal."Bikin kaget saja! Wong ada ular mbok di gusah sana, di usir! Jangan di matikan lho, San! Ingat Istrimu sedang hamil, kau tidak boleh sembarangan membunuh hewan meskipun hewan itu sangat berbahaya," jelas bu Nafis."Usir saja dengan kayu, mereka juga kepingin hidup! Jangan sampai membunuh hewan, amit-amit jabang bayi nanti kalau anakmu
IDE BISNIS BARU UNTUK IBU"Ehhhh jangan menghina Mas, sebenernya aku bisa bangun pagi kalau memang ada kepentingan," sungut Ifah."Ya ini kan hal yang jarang terjadi seorang Ifah bangun pagi! Wong biasanya selalu bangun siang," jawab Hasa."Alah Mas Hasan mah gitu, bangun pagi salah bangun siang juga salah, yang bener Ifah itu harus bagaimana toh, Mas?" tanya protes Ifah."Ya syukur-syukur kalau kamu bangun pagi seperti ini! Mas seneng lihatnya, jadi kamu bisa membantu ibu dan Mbak Dinda. Apalagi Mbak Dinda sekarang sedang hamil, kamu bisa lebih sering menggantikan posisinya untuk membantu ibu!" jelas Hasan."Lihatlah, kasihan Ibu juga masih pakai krek jalannya, harus masak sendiri," sambung Hasan."Iyo Mas, Iyo," keluh Ifah.Ifah duduk di meja makan. Dinda kali ini tak banyak bicara dan memutuskan untuk diam. Dia mengamati Ifah."Hari ini mau ke mana, Fah?" tanya ibu Nafis."Mau endorse warung bakso maju mapan, Bu! Habis itu Ifah akan langsung menyusul Mbak Alip ke rumah sakit saja,
MASIH TENTANG KONDOM'Ku Menangis, merasakan betapa kejamnya dirimu pada diriku'Dinda segera kembali ke kamar mencari Hpnya yang sedang berbunyi. Di layar terlihat jelas panggilan dari Eva kakak Iparnya. Dinda segera mengangkatnya."Hallo, Assalamualaikum Mbak!" sapa Dinda ramah."Waalaikumsalam, halo bagaimana Din? Ada berita apa? Maaf ya, Mbak Eva baru sempat menelponmu, maklum kalau pagi harus menyiapkan ponakanmu dulu untuk bersekolah sekarang sudah ikut kelas bermain," jelas Eva."Wah, Alhamdulillah kalau bocil sudah ikut kelas bermain, jadi Mbak Eva tak kesusahan lagi untuk membagi waktu mengajar," jawab Dinda."Hehehe, Dinda ada sesuatu yang ingin di tanyakan pada Mbak Eva, tapi apakah ini tidak mengganggu jam mengajar Mbak Eva?" tanya Dinda lagi."Tidak Din, Mbak nanti ada jadwal mengajar jam sebelas siang. Ini Mbak sedang santai sambil mengoreksi beberapa pekerjaan rumah yang Mbak berikan kepada anak-anak. Ada apa toh, Din?" tanya Eva."Oh ya, Mas Zain tidak jadi pulang hari
TELPON DARI LELAKI ASING"Sudah dulu ya, Mbak! Kanjeng ratu sudah meneriaki aku," pamit Dinda."Kanjeng ratu? Siapa Kanjeng ratu itu, Din?" tanya Eva tak paham."Ya masak Mbak Eva lupa? Itu kan mertuamu,""Loh kamu bagaimana mertua aku kan yo mertuamu juga, hahaha," sahut Eva."Wis, wis sudah! Dinda mau ke Kanjung ratu dulu Mbak, kasihan nanti kalau teriak- teriak malah tambah kena penyakit darah tinggi! Jalannya saja masih pakai krek sekarang, sudah ke tambah darah tinggi," kata Dinda."Wooo! Menantu semprul kau itu, ya sudah matikan dulu teleponnya, assalamualaikum," ujar Eva sambil mematikan telponnya."Waalaikumsalam," kata Dinda."Din! Dinda, budeg kamu ya!" teriak bu Nafis lagi."Iya... Bu! iya ada apa toh, sampai teriak- teriak begitu," ujar Dinda keluar dari kamar."Buta matamu? Lihat apa ini," bentak bu Nafis sambil menunjuk lantai rumah yang sudah basah semua."Astagfirullah! Mengapa ini bisa terjadi ya, Bu?" tanya Dinda sambil menggaruk kepalanya.Dinda heran melihat akuari
BU SUN!"Kau lupa Din? Aku adalah Surya! Kakak kelasmu dulu," jawab suara di sebrang."Bukankah kau dulu sangat tergila- gila padaku? Bagaimana kabarmu sekarang? Aku dengar kau udah punya suami ya?" tanya Surya lagi.Surya adalah lelaki kakak kelas Dinda saat kuliah dulu. Dinda dulu sempat menyukainya karena dia pintar dan banyak relasi. Mereka sempat dekat, ternyata Surya hanya mempermainkan Dinda saja. Dia hanya menginginkan harta Dinda dan tidak mencintai Dinda. Bahkan Dinda pernah melihat secara langsung Surya memiliki pacar lain. Dia sangat sakit hati, walaupun sebenarnya Dinda juga tak pernah berpacaran dengan Surya. Status mereka hanya dekat saja."Ah! Sayang sekali sepertinya aku datang terlambat," ujar Surya lagi."Dari mana kau mendapatkan nomorku?" tanya Dinda."Apakah kau lupa? Ketika aku ingin mencari seseorang, maka dengan mudah saja aku akan mendapatkan apa yang aku mau, Dinda!" ujar Surya dengan nada tegas dan mengancam.Dinda bergidik ngeri mendengar perkataan itu dar
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."