MELABRAK EPISODE 1
"Halo guys! Aku sedang menaiki mobil menantuku tersayang, Dinda istri Hasan! Tuh gaiss ini mobil Pajero, mobil orang kaya dan mewah! Menantuku itu membelinya dengan cash loh, Alhamdulillah ya berkah mertua baik mendapatkan menantu yang baik pula," kata bu Nasif narsis.'Uhuk' Uhuk'Dinda langsung terbatuk-batuk mendengar ucapan bu Nafis barusan. Apa mertuany sedang kesurupan? Atau apa? Bisa bisanya tanpa rasa berdosa dan bersalah menyebut berkah mertua baik. Dari mana bisa dia mengatakan hal itu dengan percaya dirinya serta tanpa bersalah pada sosial media. Padahal kenyataannya Dinda tak pernah di anggap menantu oleh bu Nafis."Ehem! Hukum berbohong itu berdosa loh, Bu!" sindir Dinda."Cerewet," bentak Bu Nafis.Akhirnya Dinda membiarkan bu Nafis dan Ifah berpuas diri membuat instastory di sosial medianya. Dinda tahu betul takaran kebahagiaan orang itu berbeda. Mungkin adik ipar dan mertuanya begitu saja bahagia. Tak masalah selama iWANITA ITU PASTI TERLIHAT SALAH"Pulanglah dulu Mbak, sampean itu emosi. Besok datang lagi ke sini kalau kau datang baik- baik aku akan menerimamu baik- baik. Tapi jika kau datang seperti ini siapa yang mau berbicara denganmu?" tanya Dinda."Kamu melindungi adik iparmu itu?" sahut wanita itu"Demi Allah, aku tidak melindungi adik iparku," ujar Dinda.Dinda saat ini ingin mengasah ilmu negosiasinya seperti dulu. Saat ini wanita di depannya hanya sediri. Bukan dengan rombongan yang bisa mengompori. Harusnya lebih mudah untuk bernegosiasi dengan wanita ini."Mbak, dengarkan aku. Posisiku di sini sebagai ipar juga bukanlah saudara kandung. Sampean tahu kan bagaimana posisi ipar? Akan serba salah dalam keluarga suaminya, apa Mbak juga tak tahu itu? Aku begini karena aku ingin jalan yang terbaik untukku dan untuk Mbak," jelas Dinda."Apa maksudmu?" tanya Wanita itu."Juju saja, memang benar adikku ipar ada di dalam rumah, tetapi jika kau datang ke sini den
KEDUDUKAN MENANTU DALAM KELUARGA SUAMI!"Entahlah Mas, bodohnya Dinda tadi tidak menanyakan siapa! Tapi yang jelas namanya adalah Nova," jawab Dinda."Apa Nova?" tanya Mbak Alif terkejut."Iya Mbak, namanya Nova. Ini tadi Dinda juga sudah bernegosiasi untuk menyuruhnya datang ke sini lagi besok dengan cara yang baik-baik, jika dia menggunakan cara seperti itu, maka Dinda tidak akan membukakan pintu untuknya lagi," jelas Dinda."Bodoh mngapa kau mengatakan seperti itu?" hardik bu Nafis otomatis yang melupakan keberadaan orang tua Dinda di sana."Lah Ibu mau dia tetap teriak- teriak seperti itu dan semua tetangga datang?" sahut Dinda."Lah kau tak pakai otak? Bagaimana jika justru wanita itu nanti kembali lagi besok ke sini membawa rombongan orang yang banyak? Apa kau tak memikirkan sampai sana resikonya?" bentak bu Nafis mulai emosi."Bu, itu keputusan yang Dinda rasa paling mudah saat ini!" sahut Dinda."Jika memang Ibu tak terima dengan keputusa
KEPERGIAN PAPA DINDA TANPA BANYAK KATA!"Apakah artinya kau tak mau lagi terlibat dalam masalah ini, Dek?" tanya Hasan sambil menatap mata Dinda dalam- dalam."Juju saja, Mas! Aku sebenarnya mau-mau saja turut campur dalam masalah ini, Mas! Aku ikhlas dan tak keberatan, dari pada dalam masalah ini tak selesai. Mengingat aku juga sudah menganggap keluarga ini seperti keluargaku sendiri, terutama Ifah yang sudah mulai dekat denganku, tetapi mengingat semua ucapan Ibu yang tak pernah sedikitpun mau menghargai dan mengerti semua pengorbanan dan usahaku untuk keluarga kalian, jujur saja aku sedikit tersinggung, Mas," jawab Dinda."Rasanya kok semua yang aku lakukan dan apa yang selama ini aku korbankan ini tak bernilai sama sekali, padahal aku murni melakukannya untuk keluargamu, Mas! Aku sampai mengesampingkan keluargaku sendiri, bahkan egoku, untuk tetap bisa bersamamu! Sampai detik ini rasa itu tak pernah berubah. Tapi sepertinya Ibu kurang menghargainya, sebenarnya a
LAMARAN DADAKAN"Tentulah aku keberatan! Adikku masih terlalu muda untukmu," hardik Hasan dengan muka memerah. Dia merasa Arif justru main- main dengannya saat ini. Dia terkesan menantang Hasan."Apa hanya itu alasannya?" tanya Hasan sinis."Tidak! Tidak hanya itu, istrimu ke sini dia melabrak adikku! Pikirkan keselamatannya, dong! Bagaimana jika itu terjadi di luar rumah? Siapa yang menjamin keselamatan adikku? Apa kau bisa menjaminnya?" cerca Hasan."Baik saya jelaskan dulu. Saya dan istri sudah bercerai sejak lama! Kami sudah tidak memiliki hubungan apapun secara sah di negara, maupun agama , kami sudah bercerai tepatnya hampir satu tahun yang lalu itu pertama," ucap Arif sambil mengeluarkan KTP nya lalu menaruhnya di atas meja."Silahkan baca sendiri, status di KTP saya apa? Bukannya apa- apa saya tak suka jika hanya modal bicara tanpa adanya bukti! Saya buktikan dengan KTP dan KTA saya," ucap Arif.Mas Andri mengambil KTP itu dan menunjukkannya pada
KEDATANGAN ARIF"Telepon Arif suruh dia ke sini sekarang!" perintah Hasan pada Ifah.Tanpa banyak bicara lagi Ifah segera mengirim pesan wa kepada Arif untuk menyuruhnya ke rumah. Dia juga mengatakan secara singkat sedikit detail cerita kedatangan mantan istrinya, Mbak Nova itu pada Arif."Iya, Mas! Mas Arif akan datang dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit lagi karena masih ada urusan," jelas Ifah."Hasan kau jangan terlalu keras begitu dengan adikmu! Bagaimanapun juga Ifah itu adikmu, bukan musuhmu," tegur Mbak Alif karena kasihan dengan nasib Ifah yang ketakutan dan selalu di salahkan oleh adiknya Hasan."Jika seperti ini memang siapa yang menyelesaikan masalah, Mbak?" tanya Hasan."Hasan lagi! Mbak enak tak ada dalam satu rumah dengan kami, Mbak tak tahu bagaimana Hasan sudah lelah mengingatkan Ifah agar tak dekat! Hasan lelah menghadapi teror rumah ini! Hasan lelah, Mbak! Lelah sekali! Sampai Hasan menelantarkan istri Hasan sendiri, Hasan di mus
PERKARA LAMARAN!"Secara bibit, bebet, dan bobotnya, Arif rasa sudah memenuhi, jika memang boleh maka saya akan melamar Ifah secara resmi, terserah mau kapan, monggo! Agar saya dapat bertanggung jawab sepenuhnya pada Ifah kapanpun dan di manapun," kata Mas Arif santai."Apa kau serius?" tanya Mas Andri. Jujur saja saat ini Mas Andri juga bingung dia tak mengira dan tak menyangka bahwa temannya itu berani melakukan hal senekat ini. Memang dalam agama di perbolehkan saja melamar, mengingat status Arif yang jelas duda. apalagi Arif telah lama bercerai. Tetapi dia tidak menyangka justru sahabatnya akan menjadi nekat dan ingin menjadi adik iparnya."Apakah aku pernah bermain-main dengan ucapan sendiri? Kau tahu sendiri kan Andri, bagaimana aku sejak SMA dulu, Alif pun aku rasa kenal denganku mendalam! Aku tak pernah bermain dengan setiap ucapan dan aku akan membuktikannya. Bagaimana? Apakah Ibu Nafis setuju jika saya melamar Ifah?" tanya Arif sekali lagi."Kalau Ibu
TEROR ITU DATANG LAGI!"Menurutmu sendiri bagaimana, Dek? Apa Ifah mau segera di lamar Mas Arif dan menikah?" tanya Mas Andri kepada Ifah yang dari tadi hanya bisa terdiam.Ifah memandang takut-takut ke arah Hasan. Karena dia takut perkara ini akan membuat Hasan murka. Tetapi dalam hati dia ingin juga menyampaikan semua yang dirasakannya. Tidak hanya semua orang yang menilai dirinya."Dek, jawablah jujur saja! Insya Allah kami semua akan mengerti dan menghargai semua pendapatmu. Ini hidupmu, kau lebih tau apa yang terbaik untuk dirimu sendiri dari pada kam," bujuk Dinda agar Ifah mau menyuarakan isi hatinya. Dia tak mau adik iparnya itu sakit hati karena keluarga menolak lamaran Arif."Jujur saja kalau untuk menikah dalam waktu dekat ini Ifah rasa juga belum siap, Mbak! Ifah masih senang jalan-jalan, masih mau mengejar banyak mimpi. Tetapi kalau ditanya apakah Ifah mencintai Mas Arif, jawabannya satu iya. Ifah sangat mencintai Mas Arif, karena Mas Arif satu-satunya lelaki yang memperl
Kesehatan Mental Ifah!"Astagfirullah! Istighfar kau, Mas! Tak mungkin Ibu melakukan hal menjijikkan itu! Jangan aneh-aneh kau," tegur Mbak Alif yang tak terima ibunya di tuduh begitu oleh suaminya sendiri."Baca dan cermatilah ancaman ini! Lalu sambungkan dengan cerita-cerita sebelumnya pastilah begitu," ujar Mas Andri dengan wajah yang sangat serius."Istighfar, Mas! Kau jangan macam-macam. Dia Ibuku dan mertuamu! Awas saa kau mengucapkan begitu di depan semua orang," ancam Mbak Alif. Mendengar ancaman istrinya itu Mas Andri hanya menggarukkan kepalanya saja. Bagimana lagi dia juga takut kalau itrinya marah dan memilih pulang ke rumah bu Nafis. Akan panjang urusannya.Dinda teringat akan cctv yang di pasang beberapa hari lalu. Harusnya alat itu berfungsi dengan baik dan bisa merekam kejadian barusan. Dia segera masuk ke kamar diam- diam. Dia memastikan semua tak ada yang menguntitnya. Sang suami pun tak terlihat, mungkin Hasan sedang menyusul Mbak Alif dan Mas
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."