BERTAHAN DI ERA GEMPURAN SEUMUR HIDUP TERLALU LAMA!"Apa lagi?" tanya Umi Laila."Konflik dengan mertua Umi!" teriak Dinda bersemangat."Wah! Semangat sekali kakak ipar Mbak Ifah ini. Sebenanrnya mewakili Ibu- Ibu muda lainnya di sini atau curahan hati ini?" tanya Umi Laila. Dinda langsung terdiam mendengar ucapan Umi Laila. Dia tak mungkin mengatakannya di sini juga dengan jujur. Ini adalah rumah mertuanya, lagipula ada Ifah adik iparnya. Belum lagi jika mertuanya Bu Nafis muncul tiba- tiba, bisa jadi dia akan di coret dari KK sekarang juga."Tak usah di masukkan hati, Mbak Dinda ya namanya?" tanya Umi Laila. Dinda mengangguk malu dan tersenyum sekilas."Memang tak jarang pasangan baru mungkin akan tinggal dengan mertua untuk sementara waktu. Hal ini biasanya kerap menjadi masalah dan menjadi salah satu ujian rumah tangga berikutnya. Karena mungkin ada saja hal yang tidak cocok antara pasangan dengan mertua maupun sebaliknya. Jangan langsung melayangka
KESEMPURNAAN DALAM RUMAH TANGGA?"Lalu sampai kapan rumah tangga harus di pertahankan Umi di era gempuran seumur hidup terlalu lama?" sahut wanita di sampingnya."Harus sampai mana batas kesabaran dalam rumah tangga? Sampai batas mana rumah tangga kita itu harus di perjuangkan untuk tidak sampai terpecah dan tidak sampai nanti akan muncul kata- kata perceraian. Sampai batas mana dan kemudian di batasan apa kita terus memutuskan? begitu kan?" tanya Umi Laila.Mereka semua pun menganggukkan kepalanya. Menyetujui ucapan Umi Laila, kapan lagi ada seorang ustadzah yang mau menyarankan dan membahas perceraian. Semua ustad rasanya hampir melarang perceraian dengan dalil cerai adalah perbuatan yang sangat di benci Allah."Kadang nih, kita ada perasaan di hati tampaknya saya harus bercerai, karena perceraian itu pun ketika di jalankan sesuai dengan syariat ketika kemudian alasannya adalah alasan yang memang di perkenalkan oleh syariat, kemudian ada niatan -niatan yang baik dari pasangan itu,
MERTUA IDAMAN"Intinya kita harus mengalah. Jangan bangun narasi kesempurnaan dalam rumah tangga kita. Karena apa?" tanya Umi Laila."Karena rumah tangga tak ada yang sempurna, Umi," jawab Dinda."Betul. Kita yang repot nantinya. Kita yang akan berantakan, kita akan kepikiran, kita akan menuntut kesempurnaan. Karena apa? Tak akan ada yang sempurna dalam pernikahan itu. Ingat konsep nya menikah itu adalah konsep persatuan atau pertautan antara dua sosok yang satu pendosa, yang satu pendosa juga. Betul tidak? Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan yang terbaik di antara mereka yang paling banyak bertaubat. Jadi kita khususnya, pasangan yang menikah maka jangan bangun narasi dalam rumah tangga itu sempurna dan salah satunya adalah dengan terlalu menuntut suami. Memarahinya setiap ada permasalahan dan selalu menyaahkannya," jelas Umi Laila."Jika memang dalam berumah tangga kau menginginkan samara, maka bersikaplah seperti zauji. Pas
ISTRI YANG ADA DI PERSIMPANGAN"Masya Allah, andai mertuaku begitu," gumam Dinda spontan."Mertua Mbak Dinda kenapa?" tanya Sifa."Entahlah Mbak, aku ini harus bagaimana juga bingung. Cobaan rumah tangga ada saja, apalagi saat ini aku sedang hamil muda. Bawaannya perasaan terus," ujar Dinda."Masya Allah selamat ya, Mbak. Selamat sudah hamil, aku pun juga baru melahirkan putriku, masih berusia enam bulan. Kalo wanita juga wah akan menjadi teman nanti. Mbak Dinda sudah berapa bulan kandungannya?" tanya Sifa."Baru juga dua bulan ini, Mbak. Doakan ya," pinta Dinda."Insya Alla, hati -hati Mbak Dinda, jaga diri baik- baik, jaga mentalnya. Jangan sampai apa yang kau rasakan nanti berpengaruh kepada janin," perintah Sifa."Amalkan amalan Ibu hamil yang sesuai dengan ajaran islam, Mbak. Tak hanya perkara kesehatan yang perlu dijaga, tetapi ketenangan hati ibu juga jadi salah satu kunci kehamilan yang sehat. Selain asupan nutrisi yang perlu dijaga dan dipenuhi dengan baik, berdoa juga jadi s
BUKAN TENTANG SEMANGKOK RAWON"Dinda! Dinda! Buka! Di!!!!" teriak Bu Nafis.'Dok' 'Dok' 'Dok' sambil menggedor pintu samping rumah."DIIIIINNNNNN! BUDEK YAAAA!!!!!" perintahnya."Iya, Bu!" sahut Dinda segera berjalan setengah berlari ke belakang. Gedoran pintu belakang berbunyi berkali- kali. Nampak Bu Nafis seperti menggedor namun menggunakan tubuh bukan tangan karena pintu seng itu sampai mleyot- mleyot. Dinda segera membukakan pintu."Lama sekali! Kau sedang apa sebenarnya, jadi wanita itu mbok yo seng gesit. Wanita kok gak bisa tes tes tes tes! Kau buta matamu, lihat aku membawa panci panas," omel Bu Nafis menggerutu."Astagfirulloh," gumam Dinda menggelengkan kepalanya.Bu Nafis masuk ke dalam rumah sambil membawa sepanci kecil rawon panas. Bau nya harum menguar, rawon khas jawa timur dengan bumbu medoknya. Hasan nampak di depan pintu dapur."Ada apa to, Bu? Kok teriak- teriak?" tanya Hasan."Lihat, ini Ibu bawa rawon enak sekali! Kau sudah makan belum?" sahut Bu Nafis. Hasan
SEMANGKOH SALAD BUAH DENGAN IFAH"Tapi Bu, Dinda itu sedang hamil lho, Bu. Sungguh Hasan merasa bersalah sekali," ujar Hasan."Justru karena itu dia manja dan gampang perasaan. Kalau kau terlalu manja dan menuruti nya nanti kau yang susah sendiri. Manut Ibu," kata Bu Nafis sambil mencap mencep saja."Jangan begitu lah, Bu. Bagaimanapun juga Dinda ada di sini dan menjadi tanggung jawab Hasan. Dia adalah istriku, mungkin Dinda tadi benar- benar lapar dan berharap Hasan mengajaknya makan bersama. Namun, karena Hasan juga terlalu lapar akhirnya sampai melupakannya. Itu juga salah Hasan, Bu," jawab Hasan sambil berjalan berlalu meninggalkan sang ibu di ruang makan. Bu Nafis pun hanya mencap -mencep saja, begitupun dengan Ifah langsung terdia. Jujur saja dalam hati terdalamnya Ifah merasa juga bersalah karena menghabiskan makanannya. Padahal dari tadi dia sangat tahu kakak iparnya itu kelelahan untuk membersihkan sisa acara kajian tanpa membangunkannya. Eh, air susu di balas air tubah, If
DARI MULKI SAMPAI FAHMI!"Mbak," panggil Ifah."Hmmm," sahut Dinda."Mbak tahu siapa laki- laki di luar tadi saat kajian?" tanya Ifah."Siapa? Adiknya Mbak Sifa?" sahut Dinda."Hehehe, mungkin. Mbak kenal tidak dengan anaknya umi Laila yang lelaki itu? Adik Mbak Sifa, sepertinya dia sepantaran dengan Mbak toh? Tak lihat tadi Mbak dekat sekali dengan Mbak Sifa. Apakah Mbak Sifa pernah membahasnya dengan sampean, Mbak?" tanya Ifah."Hmmm, kau kenapa?" selidik Dinda."Heheh, ganteng ya Mbak," ujar Ifah lirih."Heleh- heleh kau suka dengannya?" tanya Dinda. Tanpa menjawab wajah Ifah langsung tersipu malu."Terus Fahmi mau kau taruh, Dek?" sambung Dinda."Ya mana yang cepat, Mbak. Jadi siapa cepat dia dapat!" seloroh Ifah."Ngawur kamu," ujar Dinda."Mbak! Dekatkan Ifah dengannya dong. Mbak kan dekat sekali dengan Mbak Sifa, kakaknya Mas Mulki itu. Kayak se frekuensi dan se bestie lama," pinta Ifah."Lah alah, kau sudah tahu namanya to sebenarnya dari tadi? Kau hanya menjebak ku saja," cer
PERKARA MAKAN NASI BERKAT!"Sek yo, Dek. Tak lihat siapa yang mengirim pesan," pamit Dinda menghargai lawan bicaranya."Wah panjang umur sekali, Dek!" pekik Dinda kegirangan."Kenapa, Mbak? Ada apa memangnya?" tanya Ifah penasaran."ini Mbak Sifa mengirimkan pesan kepada Mbak Dinda," ucap Dinda."Lihat, Mbak! Lihat, pesan apa, Mbak? Bahas Mas Mulki tidak?" tanya Ifah sangat antusias."Sebentar kita buka ya," ujar Dinda sambil membuka Hpnya."Assalamualaikum Mbak Dinda, ini aku Sifa. Tak kirimkan ya doa dan amalan apa saja yang harus dilakukan selama hamil ya, Mbak. Semoga bermanfaat," sambung Dinda membacakan pesan dari Sifa."Masya Allah, Dek! Lihatlah, kok ada ya orang sebaik ini di dunia. Dia itu malaikat, bidadari, atau manusia. Aku ingin sekali anakku bisa seperti Mbak Sifa, kalem, perhatian, lemah lembut," ujar Dinda membelai kandungannya."Bener, Mbak. Kadang aku tuh masih tidak habis pikir loh, Mbak. Apa amalan Umi Laila, bisa melahirkan putra putri yang memiliki bibit unggula
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."