APA YANG MENYEBABKAN IBU MEMBENCI MBAK DINDA, MAS?"Bu! Kenapa Ibu begini?" pekik Hasan dengan nada suara bergetar."Bah, aku rindu Abah," sambungnya.Entahlah apa yang sebenarnya di cari sang ibu sehingga dia tidak mau segera menikah dengan Pak Hendi. Tetapi Hasan sudah tak bisa menebak semua jalan pikiran ibunya itu, karena jujur saja sampai detik ini dia juga kadang masih tak bisa mengenali sosok ibunya. Kadang di satu sisi dia sangat mencintai Hasan, dia tak ingin Hasan terluka, seringkali menyiapkan semua yang Hasan perlu kan, termasuk makanan dan sebagainya. Tapi di sisi lain dia juga tega berbuat konyol seperti menggadaikan kendaraan milik istrinya yang tentu saja mengancam keberlangsungan rumah tangganya.Hasan memutuskan jika sampai nanti sore Dinda tak memberi kabar maka akan menelepon kedua orang tua Dinda alias mertuanya. Ya, mau tak mau dia harus mengakui kesalahan itu secara gantle. Dia tak mau di cap sebagai lelaki tak bertanggung jawab, jika mertuanya marah itu sdah
TAK SELAMANYA ORANG TUA BENAR"Tentang mobil yang kecelakaan itu. Katanya mobilmu kecelakaan, apakah sudah beres semua?" tanya pak Hendi mencoba mencairkan suasana.'Glek' Zain meneguk ludahny kasar, dia melirik mimik wajah Hasan yang berubah. Zain bingung mendengar semua ucapan Pak Hendi. "Apakah Pak Hendi sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi?" batin Zain dalam hati."Em, belum Pak. Katanya bengkel masih seminggu lagi," jawab Zain lirih."Lalu perkara mobilnya temanmu yang membawa uangmu, bagaimana?" tanya Pak Hendi."Sebenarnya ingin di berikan besok, Pak. Tetapi dia meminta ada mobil, ada uang," ujar Zain."apakah kau untung?" tanya Pak Hendi. Zain menggelengkan kepalaya."Kau bisa menjadikan ini pembelajaran, Le," kata Pak Hendi. Zain menganggukkan kepalanya."Iya Pak, jujur saja saya kapok sekali. Tapi ya mau bagaimana lagi, Pak. Namanya musibah juga tak ada yang tahu, saya sebenarnya juga tak ingin mengalaminya. Namun hari apes memang tak ada di kalender, Pak," ujar Zain menc
MAAF"AAARGGGGGGGHHHHHHH!" teriak Hasan sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Hasan berteriak sambil memukul sofa dengan keras, dia mencoba melampiaskan emosinya. Otomatis hal itu membuat Bu Nafis sangat ketakutan Ini baru pertama kalinya dia melihat Hasan putranya mengamuk seperti itu. 'Prang' Bahkan tak sampai itu saja, Hasan menjungkalkan dan membalik meja yang ada di depannya membuat kacanya pecah berserahan di lantai. 'Glek' Bu Nafis tertegun, ini pertama kalinya Hasan se- gila itu."Astaghfirullahaladzim!" kata Pak Hendi sambil memeluk Hasan dari belakang agar anak itu tak makin menjadi saja."Hasan tenanglah, Le. Hasan tenang, istighfar," perintah Pak Hendi."Bagaimana aku bisa tenang, Pak! Sekarang aku tanya siapa yang bertaanggung jawab atas semua? Hah? Bagaimana aku bisa tenang saat ini, di saat rumah tanggaku diambang kehancuran. Saat Dinda kembali ke Kediri tanpa aku tahu apa sebabnya dan bukan salahku. Semua karena ulah mereka," tunjuk Hasan k
BERITA LUKA DAN DUKA"Sakit ya, Fah? Sakit, Nduk?" tanya Hasan menggendong Ifah."Pak, antarkan kami ya," pinta Hasan tak menggubrik Ibu dan kakak lelakinya."Mas," panggil Ifah memeluk leher Hasan."Apa Sayang? Sakit ya? Sudah tak usah dipikirkan lagi ya, jika memang Ibu tak mau minta maaf kepada Mbak Dinda biarkan Ifah saja yang meminta maaf pada keluarga Mbak Dinda ya. Kita ke Kediri ya, Mas. Biarkan Ifah yang meminta maaf, pokoknya Ifah yang akan berlutut dan bersujud kepada kedua mertua Mas Hasan," ujar Ifah."Sudah ya, Dek. Sudah. Nanti kita akan menjelaskan bersama ya, kita ke rumah sakit dulu," ajak Hasan."Pah Hendi, pinjam mobil ya. Antarkan kami," pinta Hasan."Ayok kita pergi," ujar Pak Hendi langsung setengah berlari pulang ke rumahnya mengambil mobilnya. Hasan menggendong Ifah, sedangkan gadis itu mengusapi tangis Hasan yang terus menetes di pipinya. Ifah sangat nelangsa sekali melihat sang kakak seperti ini. Karena bagaimanapun juga ka
EVA MENANTU PERTAMA!Eva terdiam sebentar, dia sangat mengenal bahwa suaminya itu akan mengeyel jika itu adalah kebenaran selama ini. Apalagi apa yang di katakan suaminya memang benar, bahwa dia selalu di rumah. Dia tak pernah keluar rumah akhir-akhir ini, bahkan saat masalah ini terjadi."Lalu apa yang membuat Hasan marah padamu, Mas?" tanya Eva penasaran."Untuk menebus hutang itu Ibu menggadaiakan mobil Dinda, Dek," jawab Zain."Astaghfirullahaladzim! Ibu menggadaikan mobil Dinda di mana? Kok bisa Ibu memiliki pemikiran seperti itu, Mas? Dia menggadaikan pada siapa, Mas? Cobalah jawab jujur semua nya," perintah Eva penasaran."Innalillahiwainnailaihirojiun. Bagaimana bisa ini semua terjadi, Mas. Sungguh nalarku tak sampai sana! Allah, jangan sampai kau berkata bahwa ibu mu itu juga menggadaikan itu tanpa persetujuan Dinda juga," cerca Eva."I- iya, Dek," jawab Zain tergagap."Astaghfirullahaladzim! Allah, Allah! Sungguh tak habis pikir aku, Mas!
KAMI DI SINI! KEMARI LAH!"Bapak dan Ibu tidak ada di rumah, Bu. Panjenengan ke sini mencari siapa?" tanya wanita setengah baya itu mencoba ramah. Dia memang tak sembarangan menerima tamu untuk masuk."Saya adalah menantu pertama keluarga Madiun, Bu. Nama saya Eva. Saya istri dari Mas Zain, kakak Mas Hasan, suami Mbak Dinda," kata Eva memperkenalkan diri."Oh begitu ya? Tapi Bapak dan Ibu sedang tidak ada di rumah," jawab wanita setengah baya itu."Di mana mereka, Bu?" tanya Eva curiga. Tampak pembantunya itu tidak bisa menjawab."Em, saya tak bisa menjawab nya. Sebentar ya, Bu! Saya teleponkan dulu, tunggu ya," ujar pembantu itu."Iya Mbok, eh Bu! Aduh aku memanggil siapa ya?" tanya Eva."Panggil Simbok saja," jawab wanita itu."Iya Mbok. Saya akan menunggu di sini saja. Saya tadi sebenarnya juga sudah menelpon ke nomor Dinda, tetapi kok tidak diangkat ya," keluh Eva."Oh iya hp-nya ketinggalan di rumah mungkin, Bu. Jadi tidak di bawa," jelas Simbok."Ya sudah kalau begitu tolong di
KESEMPATAN KESEKIAN KALINYA"Mbok sudah ya saya permisi dulu. Pak Bukhori sudah mengatakan kepada saya dia di mana. Mbok tolong siapapun yang datang ke sini termasuk Hasan simbok jangan berbicara apapun," kata Eva."Iya Nduk Simbok sudah paham dan Simbok mengerti," kata Simbok yang berjaga di rumah Dinda. Eva pun lega, dia pun segera menyalakan motornya dan menuju ke rumah sakit itu. Jujur saja sepanjang perjalanan, hati Eva kacau sekali karena memikirkan segala kemungkinan buruk yang sudah bergelayut di hatinya. Dinda berada di rumah sakit, posisi dengan masalah seberat ini, apalagi dia sangat tahu bahwa Dinda saat ini sedang hamil muda. Jujur saja, pikiran Eva hanya satu."Apakah mungkin kehamilan ini akan keguguran lagi? Apakah Dinda memang tak kuat menerima kenyataan ini dan akan menyerang kandungan Dinda?" batin Eva.Ya, selama perjalanan pikiran Dinda keguguran itu yang ditakutkannya. Jika sampai seperti itu terjadi betapa Eva sudah bisa membayangkan murkanya keluarga Pak Bukha
MAAFKAN AKU, DINDA!"Mbak Eva," panggil Mama Dinda."I-iya, Bu," jawab Mama Dinda tergagap."Apa yang sebenarnya terjadi?" selidik Mama Dinda.Eva langsung terdiam, dia sekarang galau. Haruskah mengatakan semua kepada Ibu Dinda, jika ibu Dinda tahu bagaimana reaksinya nanti. Bukan tanpa alasan masalah internal yang sangat rentan sekali, apalagi membahas tentang keuangan. Eva terdiam sejenak mencoba mencari alasan yang tepat, kemudian tak lama untunglah Dinda bangun."Mbak Eva," panggil Dinda."Alhamdulillah kalau sudah bangun, Dek," ujar Eva lega."Iya Mbak," sahut Dinda."Bu, saya tak ke Dinda dulu ya. Saya ke Dinda sebentar ya," pamit Eva pada ibu Dinda. Ibu Dinda pun hanya bisa menganggukkan kepalanya. Dia pun kemudian duduk di samping Dinda, begitupun dengan Ibunya Dinda mengikuti Eva duduk di sisi lain Eva. Mama Dinda masih sangat penasaran sekali sebenarnya apa yang terjadi, karena Eva belum menjelaskannya."Mbak Eva," panggil Mama Dind