Apa yang diajarkan Hakam padanay semalam, tidak banyak membantu. Meski pria itu memang tidak sampai meminta haknya, namun, godaan yang diberikan pada Faryn, malah membuatnya semakin berpikir jauh.Ia tidak sepenuhnya bisa menikmati godaan itu. Akhirnya, Hakam menghentikan semua kegiatan mereka dan mengatakan bahwa sebenarnya yang dibutuhkan oleh Faryn dalam menuntaskan rasa penasarannya adalah dengan tidak lagi memikirkannya."Ck, memangnya semudah itu bisa melupakan rasa penasaran?" decak Faryn sedikit kesal kala mengingat perkataan Hakam.Saat ini, Faryn sudah resmi duduk di kursi sekertari yang berada tepat di samping depan ruangan Bahari. akan lebih mudah baginya sekarang untuk mengintai dan mencari tahu lebih dalam mengenai Bahari."Hari ini rapat jam berapa, Faryn?"Faryn yang masih disibukan dengan pikirannya sendiri, mendongak sedikit. Mendapati Bahari yang tengah berdiri depannya, sedikit membuatnya gugup.Dalam alam bawah sadar, ia etap merasa bahwa Bahari sebagai pemimpin y
Waktu berlalu cepat. Ulang tahun Faryn tinggal seminggu lagi. Hakam dengan sengaja mengingatkan istrinya jauh-jauh mengenai perayaan ulang tahunnya, agar wanita itu bisa menyempatkan waktu pulang lebih cepat.Mana ada orang yang lembur di hari ulang tahunnya?Meski ia sudah membocorkan mengenai perayaan ulang tahun, tapi Hakam mengatakan apa hadiah atau bagaimana detail perayaan ulang tahun itu. Dan di sinilah Hakam sekarang.Berdiri di depan sebuah rumah tua yang cukup sederhana. Halaman depannya di penuhi oleh rumput liat yang mulai meninggi, cat tembok yang mulai mengelupas di sana sini, dan jendela panjang yang berdebu. Oh, jangan lupakan pintu rumahnya yang terbuka lebar dengan sedikit retakan di bagian pojok engselnya.Kepala Hakam melongok sedikit melewati pagar sebatas betisnya, mengintip ke dalam rumah. Sedikit berantakan dan sepi."Cari siapa, Mas?""Ah, saya mencari pemilik rumah ini."Ibu-ibu yang menepuk bahunya barusan menyipit mengamati wajah dan penampilan Hakam. Setel
"Fa-Faryn anak saya?" tanya Ibu kemala tidak percaya.Hakam mengangguk.Ibu Kemala menggeleng pelan. Hakam tahu, bila hanya sebatas ini yang ia sampaikan, lawan bicaranya tidak akan percaya."Faryn, anak Ibu, tidak banyak bercerita tentang masa lalunya. Hanya saja beberapa kali saya terbangun karena dia bermimpi buruk. Dan setiap kali dia bangun, akan ada sembab di matanya."Hakam mengambil jeda sejenak. Lalu kembali melanjutkan."Saya tidak bertanya karena saya percaya jika dia ingin menceritakan apa yang terjadi pada dirinya, dia pasti akan melakukannya. Hanya saja, saya juga tidak ingin berdiam diri. Jadi, saya mencari tahu tentang masa lalu Faryn," jelas Hakam panjang lebar.Hakam menyerah foto terbaru dari Faryn yang diambil secara tidak sengaja. Foto saat mereka makan bersama. Wajah wanitanya menghadap ke samping dengan latar belakang deretan meja makan.Ibu Kemala tidak bisa menahan tangisnya. Menatap selembar foto itu membuatnya yakin jika anaknya memang masih hidup meski beru
Dalam perjalan kembali ke kantor, Hakam terus tersenyum cerah. Meski begitu memang sedikit terselip rasa bersalah pada Davina karena menyalahi waktu kerjanya. Seharusnya hari ini ia pakai untuk meninjau lokasi cabang baru. Namun, ia malah mampir ke rumah orang tua Faryn.Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa hanya satu kali ini saja Hakam mengkorupsi waktu kerja untuk kepentingan pribadinya.Hakam tidak menyangka bahwa rencana berkunjungnya akan memakan waktu begitu lama. Yah, tapi dia tidak menyesal. Karena dia jadi bisa mendengar banyak cerita dari Ibu Kemala.Dari yang menyenangkan, memalukan, sampai mengiris hati.Siapa yang menyangka jika wanita yang sangat jarang tersenyum itu ternyata begitu ramah ketika kecil?"Selamat datang di toko kami."Sapaan pelayan toko bunga yang ramah itu menambah cerah senyum Hakam. Pelayan wanita malah terpaku melihat senyum yang diumbar oleh pembelinya."Saya ingin memesan bucket untuk istri saya.""Bunga apa kira-kira yang mau Bapak pilih?""Saya
Ini ... bukan rumah khusus. Ini rumah bordil.Mata Faryn mendelik sempurna begitu melihat bagian dalam rumah itu. Orang-orang dengan pakaian minim dari berbagai jenis usia dan campuran antara pria dan wanita, berjejer di atas sebuah etalase.Mereka barang yang dipamerkan dalam pagelaran pameran."Pak ... ini ...," Faryn tidak bisa menyelesaikan ucapannya."Ah, saya lupa memberitahu kamu. Kita di sini hanya akan berkunjung. Hari ini kita akan menjadi tamu."Penuturan Bahari sama sekali tidak menjelaskan apapun. Dan apa barusan dia bilang? Hari ini mereka menjadi tamu?Apa itu berarti di hari lain mereka akan menjadi 'pembeli'?Bahari yang melihat ketercengangan Faryn, menarik pinggul wanita itu, menggiring langkahnya ke sebuah meja. Setiap etalase terpisah oleh sebuah jalan kecil bagi 'pengunjung' untuk berkeliling mencari yang mereka minati.Faryn melewati setiap etalase dengan memperhatikan setiap orang di dalamnya. ada yang hanya diam seperti patung dan ada juga yang menahan tangis.
"Maksud Anda Linggar?"Saba mengangguk. "Yah, saya nggak menyangka Linggar akan tumbuh menjadi pria tampan dan cerdas. Meski dari kecil memang sudah terlihat dia memiliki kemampuan yang dibutuhkan sebagai seorang pemimpin. Saya penasaran pendidikan seperti apa yang diajarkan Bahari pada anaknya."Faryn berusaha menenangkan dirinya. Tangannya menggenggam erat rok yang dikenakannya. Ada pemikiran-pemikiran yang berseliweran saat mendengar nama Linggar. Mungkinkah dia ingin menjual Faryn pada Saba saat perjanjian mereka usai?"Melihatnya dan berbicara dengan Linggar secara langsung, bisa membuat lawan bicara mempercayai kata-katanya. Mungkin karena itu dia memperoleh kesuksesannya. Orang-orang tentu mengantri untuk bekerjasama dengan perusahaan yang dijalankannya. Tapi sepertinya dia sama sekali tidak tertarik pada kerjasama dengan rumah ini. Dia malah lebih tertarik sengan cerita anak yang dibawa oleh Bahari beberapa tahun yang lalu."Sekali lagi, Saba meneguk minumannya. Kali ini sampa
Ingatan Faryn tumpang tindih. Ia tidak bisa membedakan mana yang ingatan dan mana yang imajinasi. Mana yang miliknya dan mana yang sekedar cerita. Mana yang dialami secara langsung dan mana yang hanya didengar.Semuanya terasa nyata. Semua berkumpul menjadi satu bagian.Mungkin sebagian ingatannya adalah hasil dari cerita Saba. Mungkin juga tidak. Faryn kebingungan. Ia tidak bisa mengingat kenangan saat ia masih kecil.Ingatan yang terakhir dia ingat dari masa kanak-kanaknya adalah saat dia dipindahkan dari panti asuhan milik seorang wanita muda yang biasa menampung anak-anak jalanan ke panti asuhan milik seorang pemuka agama. Setelah itu ia sering berganti panti asuhan."Siapa? Anak itu siapa? Ini ... ingatan siapa?" tanya Faryn pada dirinya sendiri.Lalu sekali lagi dia memuntahkan isi perutnya di kamar mandi rumah. Setiap kali dia mencoba mengingat kenangan yang terlupakan itu, perutnya meronta. Ada bagian dari dirinya yang menolak mengingat."Aku ... siapa?"Dia mulai kehilangan d
"Hei. Nama kamu siapa?"Siapa? Suara siapa itu?Seseorang menggoyang bahunya. Suaranya terdengar ceria dan juga bersahabat. Haruskah ia menjawab pertanyaan itu?"Hei. Aku bicara sama kamu."Sekali lagi seseorang menggoyang bahunya. Perlahan wajahnya terangkat sari telungkup di atas lutut. Sudah berapa lama ya dia duduk dengan posisi ini? Satu sejam? Dua jam? Atau seharian?Tulang belakang lehernya terasa sakit saat mendongak. Matanya mencoba membuka sedikit. Cahaya yang menembus jendela menusuk matanya.Silau sekali.Ia terpaksa memejamkan kembali matanya untuk menyesuaikan keadaan. Suara kayu berderit terdengar dari sisi kanannya. Anak itu ... duduj di sebelahnya."Nama kamu siapa? Kenapa bisa ada di sini?"Kenapa? Memangnya ini di mana? Otaknya belum bisa memproses informasi apapun saat ini. Dia tidak tahu kenapa bisa di sini."Apa kamu dibawa mobil abu-abu itu juga?"Abu-abu? Seingatnya, dia tidak dibawa dengan mobil abu-abu.Hitam. Mobilnya berwarna hitam legam. Merknya ... Ia tid
Benarkah itu yang terjadi? Benarkah itu yang selama ini direncanakan oleh pemilik asli dari nama 'Faryn Titis Kemala' ini? Bukankah semua yang dikatakan Bahari semuanya terdengar mengada-ada? Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Lava hanya membutuhkan jawaban 'tidak' untuk menyangkal semua tanda tanya di benaknya. Tapi siapa yang melakukannya? Kepada siapa harus bertanya? Siapa yang yang memberikan jawaban itu? Di tengah berkecamuknya batin dan pikirannya, fisik Lava masih berusaha keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Bahari yang kini sudah berhasil mengunci pergerakan tangannya. Tubuh besar pria itu berada tepat di atas tubuh mungilnya. Lava sangat ketakutan saat ini. Untuk beberapa saat, ia berhara Hakam akan mencarinya, lalu menemukannya di sini, dan menyelamatkannya. Tapi akal sehatnya dengan cepat menyangkal itu semua. Semuanya tidak akan mungkin terjadi. Hakam tidak akan pernah mencarinya. Karena pria itu tidak akan pernah kembali kepada dirinya. "Anak dan
Berulang kali Hakam mengembuskan napas. Berusaha melegakan sesak di dadanya. Ia tidak percaya seratus persen dengan apa yang disampaikan oleh kakak iparnya. Tidak. Lebih tepatnya ia enggan percaya. Mana mungkin Faryn berselingkuh dengan Bahari, ayah iparnya? Wanita itu baru mengenal kepala keluarga Jatayu itu saat mereka mulai bekerja. Tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu mereka bisa langsung saling tertarik. Tunggu dulu. Kenapa itu tidak mungkin? Bukankah mereka sering bertemu di kantor? Tapi apa mungkin seorang karyawan staf biasa bisa sering berkunjung ke ruangan atasan? Tentu saja tidak. Hakam pernah berada di posisi sebagai atasan, dan ia tahu betul tidak semua karyawan biasa bisa mampir ke ruangan kerjanya. Kalau pun bertemu secara langsung, tentu bukan di ruangannya. Melainkan di ruang rapat. Lalu kapan tepatnya Faryn dan Bahari mulai bermain api di kantor mereka saat kemungkinan intensitas berpapasan begitu kecil? Sudah pasti apa yang disampaikan oleh Linggar me
Paras menatap iba sekaligus gamang pada Hakam. Bagaimana tidak? Ia adalah salah satu orang yang mengenal baik pria itu. Ia tidak ingin menyakitinya. Tapi hatinya tidak bisa berbohong bahwa Paras lebih mencintai Linggar."Jelaskan apa, Paras?" tuntut Hakam.Linggar menatap Paras tajam. Wanita ini, kenapa hanya menjelaskan saja membutuhkan banyak waktu? Akhirnya karena kesabarannya sudah makin terkuras, suami sah Lintang itu mendahului kekasihnya yang baru saja akan bersuara."Kami berpacaran dan sudah memutuskan akan menikah," jelas Linggar langsung ke inti.Hakam terkejut. Otot di tubuhnya terasa kaku. Rasanya jantung di balik tulang rusaknya berusaha melompat keluar. Dan tenggorokannya terasa tersekat bongkahan batu besar, hingga membuatnya sulit bernapa. Seolah seluruh oksigen di dunia sudah habis tak bersisa."A-apa?" tanyanya terbata. Informasi ini terlalu sulit diterima oleh otaknya. Bagaimana mungkin Linggar yang masih berstatus sebagai suami kakaknya, bisa mengatakan tengah me
"Selamat datang, Sayangku." Sapaan yang diucapkan dengan nada yang dibuat seolah menyambut bahagia, menyapa telinga Faryn tatkala ia memasuki sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu, hanya ada Bahari yang duduk sendirian di kursi kebesarannya. Mata Faryn dengan cepat memindai isi ruangan. Tidak ada yang berubah. Semua masih sama seperti terakhir kali ia ingat. Namun, hal itu tidak mengurangi sikap waspada wanita itu. Siapa yang tahu kalau Bahari sudah memasang jebakan? "Kenapa wajah kamu cemberut begitu?" tanya Bahari sembari bangkit dari posisinya. Kakinya berjalan pelan menghampiri Faryn yang bergeming dengan tatapan tajam menelisik. Pikirannya dipenuhi dengan banyak kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya saat mantan atasannya itu mendekat. Yap, Faryn secara resmi sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya dua minggu yang lalu tanpa sepengetahuan Bahari. "Apa uang, properti, dan saham yang saya berikan untuk kamu masih kurang?" lanjut Bahari sarkas. Faryn masih tetap diam mem
Seharusnya Faryn bertemu dengan Bahari pagi ini. Namun, ia tidak bisa melakukannya. Saat dirinya terbangun beberapa waktu lalu, nyeri menghantam kepalanya begitu keras sampai membuatnya kesulitan untuk sekedar mengangkat kepalanya. Setelah menghirup napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan melalui mulut, dia dapat mengendalikan sedikit rasa sakit di kepala. Meski dengan langkah sempoyongan, Faryn berhasil mencapai meja makan dan meneguk setengah gelas air putih yang tersisa dari minumnya semalam. Ia kira, rasa sakitnya bisa berkurang lagi setelahnya, sayangnya tidak. Rasa mual malah muncul. Dia berusaha secepat yang ia bisa untuk melangkah ke kamar mandi sebelum isi perutnya mengotori lantai yang akan menambah pekerjaannya pagi ini. Sesampainya di kamar mandi, tidak ada satu pun sisa makanan yang dicernanya yang keluar. Meski begitu, rasa mualnya masih belum berkurang. Ia memutuskan untuk duduk sebentar di atas closet. Napas terengah, muka basah, dan bibirnya pucat. Ia kem
Hakam sama sekali tidak bisa dan tidak ingin memahami apa yang dijelaskan Faryn. Baginya semua itu tidak lebih dari sekedar alasan yang mengolok-olok dirinya.Dia melakukan banyak hal untuk Faryn, demi istrinya. Sebagai balasannya, wanitanya tetap berselingkuh dengan pria lain. Hakam rela melepas apa yang dia punya sebelumnya, untuk bisa bersama Faryn. Dan inilah hasilnya."Ha ... Hahaha. Sial," umpatnya pelan. Tawanya penuh dengan nada ironi yang terdengar menyesakan.Pukul tiga dini hari. Jika semuanya berjalan seperti biasanya, dia pasti sedang tertidur pulas untuk persiapan pulang beberapa jam lagi. Jika situasinya segawat barusan, saat sang kakak harus segera menjalankan operasi, tentu saja saat ini dia tengah menunggui kakaknya.Siapa sangka, sekarang dia malah berada di bar dengan keadaan setengah sadar akibat minuman keras yang ditenggaknya karena mengetahui istrinya selingkuh dengan kakak iparnya."Sial sial sial!" umpatnya kian geram. Ia kesal pada dirinya, pada Faryn, pada
Faryn mengabaikan panggilan yang masuk ke ponselnya. Dia tidak peduli pada siapa yang mencoba menghubunginya. Tidak terkecuali suaminya sendiri. Setelah kekacauan yang dia buat, tentu pihak-pihak yang mengenalnya akan berebut mencari tahu kebenaran hubungannya dengan Bahari. Dan cepat atau lambat, Hakam juga akan mengetahuinya meski saat itu dia sedang berada di luar kota. Yang dilakukan oleh Faryn, hanya duduk diam menatap kosong pada televisi yang tidak dinyalakan. Wajahnya terpantul dari layarnya yang hitam, menampilkan raut tak terbaca. Ia sendiri juga masih menelaah mengenai perbuatan impulsifnya. Dan dalam dirinya sendiri mulai mengembangkan sebuah pertanyaan. Apakah semua yang ia lakukan ini sebanding dengan apa yang terjadi di masa lalu? Hidupnya hancur, hidupnya menderita. Dan dengan semua yang telah ia lakukan, kenapa dia tidak merasakan kelegaan atau pun ketenangan seperti yang dipikirkannya? Kalau begitu, sebenarnya apa yang ia cari dari semua ini? Semakin jauh ia
Hakam terus menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan selama perjalanan menuju rumah sakit. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri setelah menerima telpon dari Lintang. Jika sesuai jadwal, dia seharusnya baru kembali besok pagi.Tapi, Hakam tidak memiliki pilihan lain. Begitu menyelesaikan acara terakhir dari rangkaian acara seminar yang diikutinya, dia segera bergegas menyusul Lintang.Wanita hamil itu mengatakan jika ia kini berada di rumah sakit dan meminta Hakam untuk menemani. Dia harus segera menjalankan operasi untuk mengeluarkan bayi dalam kandungan karena air ketubannya kurang.Setahu Hakam, perhitungan hari lahir keponakan keduanya itu masih 2 minggu lagi. Ia tidak menyangka jika ternyata sang bayi ingin keluar lebih cepat.Bukan, bukan karena itu dia panik dan gelisah seperti sekarang. Melainkan karena sang kakak mengatakan jika tidak ada seorang pun yang menemaninya saat ini di rumah sakit.Mama sedang tidak enak badan dan sedang akan beristirahat, jadi Lintang
Linggar kesal setengah mati. Setelah semua yang terjadi, tidak ada satu pun rencananya yang berjalan lancar. Rencananya untuk mengorbankan Vina ternyata tidak berjalan semulus yang ia kira.Vina adalah salah satu pion yang dia harapkan akan mengakhiri rencana Faryn yang tidak ia prediksi. Namun, nyatanya bukan wanita selingkuhannya yang berakhir. Malah hidup Vina yang memiliki kisah tragis.Linggar tahu semua perempuan yang menemani sang Papa ketika dinas keluar kota. Dia sudah mengetahui sejak lama bahwa Bahari menjadikan sahabat anak menantunya itu sebagai perempuan simpanan. Dan dia sama seai tidak mempermasalahkan apalagi peduli.Pria itu percaya Vani bisa menjadi senjatanya di kemudian hari. Yang tidak ia ketahui adalah ternyata perempuan itu bisa menjadi senjata yang berbalik menyerangnya. Senjata makan tuan."Argh. Sialan. Dasar pria tua tengik!"Linggar tidak berhenti memaki Bahari. Mulutnya dipenuhi sumpah serapah untuk Faryn dan Papa. Malam ini dia tidak bisa menemui Paras u