Rachel mengenal tempat itu. Lembah kosong dengan padang rumput coklat keemasan yang diterpa hembusan angin musim gugur. Sama seperti sebelumnya lembah itu juga terlihat kosong. Rachel bangkit dari tempatnya dan melangkah ke sisi lembah mencari sebuah sungai yang dia ingat berada di sana. Benar saja, sungai itu masih ada di sana. Namun, kali ini tidak ada seorangpun di tempat itu. Tidak ada gadis kecil yang duduk termenung sendirian sambil melempar kerikil kecil ke atas permukaan air. Juga tidak ada pria paruh baya yang tiba-iba datang menemani gadis itu.
Rachel kembali melihat sekeliling. Dia jelas mengingat tempat ini. Dia mengenal tempat ini. Padang rumput yang pernah dia lihat dalam mimpinya ketika dia terbangun di East Land. Padang rumput dimana Rachel melihat Lord Dixon dan Kailani kecil menyimpan pedang sang Guardian of Topaz. Padang rumput yang terhubung dengan Land of Soul.
<Ada sebuah tempat di Benua Saiwara yang sangat sakral bagi seluruh klan kuno. Sebuah danau yang mampu menyimpan rahasia masa lalu dan masa depan. Konon, danau itu adalah sebuah tempat magis yang tidak nyata. Namun, kami para Elf percaya bahwa danau itu ada. Tersembunyi di sebuah tempat tak tersentuh. Diantara selimut suci sang alam, tersembunyi sebuah bentang indah layaknya fatamorgana. Cahaya matahari tak akan bisa menyentuhnya, hanya sang bulan yang selalu menemaninya.***Rachel mengerjapkan matanya beberapa kali tak percaya dengan apa yang ada di depannya. Sebuah danau luas dengan permukaan yang telah membeku. Membentang layaknya sebuah lantai marmer indah dengan selimut salju di tepiannya.Rachel menoleh pada Adish yang telah berjalan mendahuluinya. GAdis itu melangkah menuruni sebuah anak tangga yang
“Diantara seluruh makhluk yang tinggal di benua Saiwara, beast adalah makhluk paling unik dan ajaib yang pernah ada. Keberadaan mereka adalah anugrah tapi juga bisa menjadi bencana untuk beberapa hal,” ungkap Adish.Gadis itu menatap Rachel dengan sorot teduh yang mampu menenangkan kegelisahan yang sempat menguasai benak Rachel.“Misalnya saja unicorn, phoenix, dan griffin. Ketiga Beast ini adalah makhluk ajaib yang selalu dipuja dan dianggap sebagai makhluk suci. Sayangnya juga ada beberapa Beast yang kehadirannya bisa membawa bencana, seperti—““Sassafras,” potong Rachel.“Benar, Sassafras.” Adish mengangguk membenarkan tebakan Rachel.“Diantara berbagai jenis naga
Padang rumput itu telah berubah menjadi sebuah hutan lebat dengan ratusan orang yang berdiri siaga di sekitar Rachel. Dari tempatnya berdiri Rachel hanya bisa melihat orang-orang itu mengelilingi sesuatu di tengah sana. Entah apapun itu pasti dia adalah sesuatu yang amat dahsyat. Beberapa kali Rachel bisa merasakan tanah bergetar dan gelombang-gelombang cahaya muncul di sekitarnya seakan ada sesuatu yang memberontak keluar dari dalam sana. Tak lama, sosok yang Rachel kenal muncul di tempat itu. Seorang pemuda yang selalu menemani Rachel, Nerwin. “My Lord, kita tidak bisa menahan makhluk ini lebih lama lagi,” seru Nerwin pada seorang pria tua. Rachel sungguh tak habis pikir, bagaimana pemuda itu ada di sana. Perang klan Jade ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan Nerwin telah berada di sini bersama mereka. Namun, mengapa Nerwin tidak pernah mengungkapkan hal
Cahaya matahari itu jatuh menyinari sisa-sisa medan pertempuran semalam dengan perlahan. Menghangatkan tanah lembab dan udara dingin yang sempat menyelimuti tanah para Jade itu. Mencairkan es yang membekukan beberapa sisi hutan yang sempat mendapatkan serangan Sassafras.Kailani menggeliat pelan saat kesadarannya mulai kembali. Dengan mata yang menyipit dan mengerjap pelan, Kailani perlahan membuka matanya. Dibalik cahaya menyilaukan matahari pagi itu, Kailani melihat sosok seorang gadis berdiri tak jauh dari tempatnya. Apakah itu Sigrid?Kailani memekik pelan merasakan rasa nyeri di sekujur tubuhnya saat dia bergerak pelan. Suara pekikannya itu perlahan membuat sosok siluet itu bergerak. Mengabaikan rasa sakitnya Kailani lantas mencari Jade Amora dan segera mengambil senjata itu dan menarik tali busurnya serta mengarahkan senjata itu ke arah siluet tadi.
Lucian Dorgon kembali memasuki hutan seorang diri. Pria itu duduk dengan diam di atas batang pohon yang telah tumbang. Lucian tidak melakukan apapun, juga tidak bergerak sedikitpun. Dia hanya diam memejamkan matanya dengan tenang. Tak lama kemudian sebuah kabut tebal tiba-tiba menyelimuti hutan. Kabut itu datang dengan sebuah hawa dingin yang menusuk. Lucian membuka matanya menyadari kabut itu. Pria itu bangkit berdiri memandang kabut yang mendekat ke arahnya.Kabut itu berhenti tepat satu meter di depan Lucian. Tidak menyentuh pria itu atau mendekati pria itu lebih dari itu. Perlahan dari balik kabut, seorang gadis muncul. Tubuhnya dibalut jubah perak tebal dengan sebuah kain transparan yang menutupi wajahnya.“Selamat datang, Lady Hatron,” sapa Lucian.Wanita di depan Lucian melepaska
Suara teriakan remuk redam bagaikan sebuah batu yang terlontar puluhan meter jauhnya. Dingin lantai ruangan itu tak menyusutkan tekadnya, namun tubuhnya yang lebih menguasai kekuatannya. Tubuhnya tahu bahwa dia telah tiba di batasnya. Tubuhnya telah berteriak meminta sang pemilik jiwa untuk segera berhenti. Tapi kekuatan itu tak lekas menghentikan apapun yang sedang terjadi. “Bahkan jika kau menguras habis darahku, itu tak berarti aku akan mati dengan mudah di sini, Lucinda,” lirih pemilik tubuh itu. Lucinda melirik pemilik suara itu yang tengah di ikat di tengah ruangan. Empat pilar berdiri mengelilingi gadis itu. Tubuhnya diikat dengan rantai besi besar yang telah berkarat. Belasan luka sayatan terlihat di kedua lengan gadis itu, memaksa darah gadis itu menetes di wadah-wadah yang telah dipersiapkan oleh Lucinda.
George dan Elise telah tiba di Ridelve ketika mereka melihat sebuah ledakan dari arah Selvence. Keduanya yang awalnya ingin beristirahat terlebih dahulu akhirnya kembali menaiki kuda mereka dan memimpin pasukan mereka saat itu juga menuju Selvence. Entah apa yang telah dilakukan oleh pemimpin mereka disana, tapi semoga itu bukan sesuatu yang buruk.“Kau yakin kakakku mengambil keputusan dengan kepala dingin?” teriakan Elise pada George yang berkuda di depannya.Awalnya George tak langsung menjawab, tapi kemudian pemuda itu menarik pedangnya keluar ketika mulai melihat pasukan Redrock berkuda beberapa puluh meter di depan mereka.“Awalnya aku yakin, tapi sekarang tidak lagi,” tukasnya dan dia menebas prajurit Redrock pertama yang menyerang mereka dan pertarungan tak bisa lagi di hindari.
Raungan makhluk itu menggema di perbukitan pegunungan utara. Terdengar lantang layaknya sebuah gelegar yang telah lama dipendam. Makhluk itu terbang rendah dengan sayap lebar yang mampu menghempaskan sebuah rumah dalam sekejap. Semburan nafas es nya telah membekukan hampir separuh dari kota Selvence dan serangannya telah membunuh sebagian besar orang yang ada di tempat itu. Sassafras, makhluk itu benar-benar menepati janjinya untuk menghancurkan segalanya.Rachel masih berdiri diam di tempatnya melihat semua pemandangan itu. Semua kekacauan dan kerusakan yang disebabkan oleh Sassafras terlihat jelas di matanya tapi hal itu tak cukup untuk menggerakkan hati Rachel agar meminta makhluk itu berhenti. Dalam sekejap Rachel seakan berubah menjadi sosok yang lain.Hatinya terluka menerima semua kecurangan dan perlakuan tak adil semua orang terhadapnya. Ben