“Kartu apa yang kau berikan pada Sheriff, Dude?” bisik Dwight takut-takut.“Hanya salah satu kartu yang aku miliki,” jawab Joseph dengan netra yang terus mengarah pada Sheriff.“Dari mana kau mendapatkan kartu ini, Nak?” tanya Sheriff itu dengan nada serius, seserius cara menatapnya pada Joseph.“Seseorang yang baik hati mengatakan bahwa kartu itu bisa digunakan sebagai ganti kartu identitasku yang hilang, Sir,” jawab Joseph dengan maksud tersirat.Sekali lagi Sheriff itu memeriksa kartu tersebut. Tidak perlu diragukan lagi bahwa kartu itu memang asli. Hanya saja, sebagai penegak hukum, dia tidak bisa sembarangan percaya kepada orang asing yang menunjukkan kartu tersebut.“Tunggu di sini, aku akan memeriksanya,” kata si Sheriff.“Baik, Sir,” balas Joseph.Sheriff itu lantas membalik badan, kembali ke mobilnya. Dari kejauhan, Sheriff itu tampak melakukan panggilan menggunakan radio sambil memperhatikan kartu yang diberikan oleh Joseph. Setelah itu, Sheriff tampak mengambil ponsel dan m
Dengan identitas palsu yang dikirimkan oleh Antonio melalui seorang kurir, Joseph kini telah berpindah ke penginapan yang lebih srategis. Tak hanya strategis, penginapan itu pun memiliki fasilitas yang lebih memadai. Rupanya Antonio tidak hanya mengirimkan identitas palsu untuk pria itu, tetapi juga sebuah macbook. Fasilitas lain yang akan memudahkan Joseph untuk mencapai tujuannya.“Aku tidak akan melupakan semua ini, Antonio,” gumam Joseph.Membaca cetak biru mansion Julian memang terasa lebih mudah dengan menggunakan macbook itu dibandingkan ponsel yang memiliki layar lebih kecil. Joseph mematangkan kembali rencana yang telah dia buat sebelumnya. Semua harus benar-benar terencana dengan baik jika dia ingin misi ini berhasil. Malam ini, Joseph akan bergerak.Entah ini suatu kebetulan atau memang Julian sengaja meminta arsiteknya untuk merancang mansion itu seperti mansion yang pernah mereka tinggali bersama. Namun, Joseph melihat banyak sekali kemiripan antara bangunan megah itu den
Bukan perkara mudah untuk membuka pintu besi yang sudah berkarat. Namun, semua itu sudah diperkirakan oleh Joseph sebelumnya. Alih-alih membawa gada sebagai senjata, pria itu lebih memilih menggunakan bahan pelebur logam hasil racikannya sendiri dengan bahan-bahan yang dia dapatkan di sebuah toko bahan kimia. Salah satu bahan yang dahulu selalu ada di bengkel miliknya.Bahan berbentuk busa cair itu dia semprotkan ke sekitar pintu, dengan ukuran yang sekiranya cukup untuk dirinya masuk. Busa itu bersifat korosif, dan sangat kuat. Sehingga ketika bersentuhan dengan benda berbahan logam, akan melepuh dan akhirnya melebur dengan cepat. Joseph hanya perlu menunggu beberapa waktu hingga bahan pelebur logam itu bekerja pada pintu besi di hadapannya."... 5, 4, 3, 2, 1." Joseph menghitung mundur sambil menilik jam di pergelanagan tangan, kemudian dengan keras dia menendang pintu tersebut hingga terdengar suara gaduh akibat benda logam yang berbenturan dengan permukaan keras. Seketika bau tida
Camila meneguk ludah. Pria ini, pria yang sama dengan yang mengaku sebagai suaminya—ah, ralat! Pria itu memang adalah suaminya di masa lalu. Untuk apa lagi dia datang ke mansion? Dan apa katanya? Dia datang untuk menjemput Camila pulang?What the heck!Suasana memang sedikit tegang selama beberapa waktu. Namun, wanita itu adalah Camila. Dia bisa dengan cepat mengendalikan diri dalam situasi tertentu.“Tunggu sebentar!” Camila menegakkan kedua telunjuknya, kemudian dia duduk di atas kerpet tebal di dekat ranjang dengan posisi kaki bersila dan punggung yang tegak. Kedua tangannya dia letakkan di atas lutut dengan posisi ujung ibu jari dan jari tengahnya yang saling bersentuhan.Tak hanya duduk, Camila juga memejamkan mata lantas menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya dengan perlahan melalui mulut. Hal itu dia lakukan berkali-kali, sampai jantung di dalam rongga dadanya berhenti membuat keributan.“Camila—”“Jangan ganggu aku dulu, Mr. Ex Husband! Beri aku sepuluh detik lagi!” serga
Camila terbangun dalam kondisi kepala yang terasa begitu berat. Pening, dan ketika dia membuka mata, ruang di sekitar seolah berputar-putar.“Akh!” Camila refleks menjambak rambut ketika rasa sakit yang tak terkira itu menghantam kepala.“Kau sudah bangun?” Suara baritone itu menyapa indera pendengaran Camila.Sontak wanita itu memutar kepala sambil memaksa kedua mata untuk terbuka, kendati dunia seakan berputar tak berarah. Kemudian, Camila menyeret tubuh yang setengah bangkit itu hingga punggungnya membentur dinding yang dingin.“Apa yang kau lakukan padaku?” Camila menatap curiga pada Joseph sambil menahan sakit yang begitu menusuk di kepala.Camila menurunkan pandangan pada pakaiannya yang terlihat masih utuh, lalu dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamar yang sama sekali tidak luas, tapi cukup bersih. Hanya ada satu tempat tidur berukuran single, dengan sebuah meja kayu dan sebuah lemari pakaian yang letaknya bersebelahan. Di sisi lain, ada sebuah pintu yang Camila perkirak
Meski baru sebentar Joseph mengenal pasangan tua Simms, namun pria itu sudah begitu akrab dengan mereka. Kepada dua orang itu, Joseph tidak berbohong sama sekali. Ketika pasangan Simms itu bertanya apakah Joseph datang ke pulau itu untuk berlibur, putra kedua Markus Blight itu menjawab bahwa dia ingin menjemput istrinya yang dibawa lari oleh pria lain. Awalnya, pasangan Simms terkejut mendengar pengakuan Joseph. Namun, beberapa saat kemudian mereka justru memberikan dukungan. Manis sekali, pasangan tua itu hanya tidak tahu bahwa pria yang membawa lari istri Joseph adalah pemilik pulau yang mereka tinggali saat ini.“Kuharap kalian akan segera dikaruniai bayi-bayi yang lucu,” ujar Mrs. Simms dengan mata berbinar, seolah benar-benar menginginkan cucu dari pasangan muda itu.“Ah … sepertinya tidak untuk sekarang-sekarang ini, Nyonya Simms. Istriku sedang dalam kondisi yang tidak baik. Dia perlu pemulihan selama beberapa waktu sampai kami siap untuk menimang buah hati,” balas Joseph.“Apa
Pada akhirnya, Camila mengangguk ketika Joseph meminta satu kesempatan padanya. Wanita itu tidak dapat memungkiri jika jauh di dasar hatinya merasakan kenyamanan saat bersama dengan Joseph.Hal ini terbukti, ketika Camila merasa semua ancaman yang dia lontarkan kepada pria itu hanya berupa omong kosong belaka. Mulutnya bisa saja berucap akan mengadukan pria itu pada Julian, tetapi dia merasa tidak ingin berpisah dari Joseph."Tidurlah, Camila. Kau butuh banyak istirahat," ujar Joseph lembut.Meskipun ragu-ragu, tapi perempuan itu tetap melakukannya. Berbaring di atas kasur empuk dengan seprei yang sedikit usang tapi bersih dan wangi.Joseph sama sekali tidak meninggalkan sang istri, hingga wanita itu terlelap. Tetap menemani hingga Camila terbuai ke alam mimpi.Selama Camila tertidur, Joseph memanfaatkan kesempatan ini untuk memantau keadaan di luar. Julian pasti sudah mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari keberadaan dirinya dan Camila. Dia harus berhati-hati, karena sewaktu-
Joseph benar-benar tidak mengerti, mengapa Camila begitu bersikeras menolak pergi dengan speedboat. Wanita itu tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya."Sungguh? Kau akan melakukan ini padaku?" Joseph melemaskan bahu dengan raut sedih."Aku hanya meminta satu kesempatan, Camila. Dan aku tidak akan mengganggumu lagi jika memang aku tidak bisa membuktikan apa-apa," lanjut Joseph dengan nada lelah."Sudah kubilang, aku tidak bisa, Joseph! Jadi jangan memaksaku!" tukas Camila tajam.Joseph melepas napas pelan, kemudian dia bertanya, "Kenapa? Beri aku alasan, mengapa kau rela menarik kembali kata-katamu hanya karena speedboat. Aku butuh alasan, Camila. Jangan membuatku seperti orang bodoh yang tidak tahu alasan dibalik masalah sepele seperti ini," ujar Joseph."Ini bukan masalah sepele, Joseph!" Camila menunjuk pria itu dengan netra merah yang berair, bersiap menitikkan air mata. "Aku tetap tidak mau pergi jika kau masih ingin menggunakan speedboat itu untuk keluar dari pulau ini," lanj
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk