Pada akhirnya, Camila mengangguk ketika Joseph meminta satu kesempatan padanya. Wanita itu tidak dapat memungkiri jika jauh di dasar hatinya merasakan kenyamanan saat bersama dengan Joseph.Hal ini terbukti, ketika Camila merasa semua ancaman yang dia lontarkan kepada pria itu hanya berupa omong kosong belaka. Mulutnya bisa saja berucap akan mengadukan pria itu pada Julian, tetapi dia merasa tidak ingin berpisah dari Joseph."Tidurlah, Camila. Kau butuh banyak istirahat," ujar Joseph lembut.Meskipun ragu-ragu, tapi perempuan itu tetap melakukannya. Berbaring di atas kasur empuk dengan seprei yang sedikit usang tapi bersih dan wangi.Joseph sama sekali tidak meninggalkan sang istri, hingga wanita itu terlelap. Tetap menemani hingga Camila terbuai ke alam mimpi.Selama Camila tertidur, Joseph memanfaatkan kesempatan ini untuk memantau keadaan di luar. Julian pasti sudah mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari keberadaan dirinya dan Camila. Dia harus berhati-hati, karena sewaktu-
Joseph benar-benar tidak mengerti, mengapa Camila begitu bersikeras menolak pergi dengan speedboat. Wanita itu tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya."Sungguh? Kau akan melakukan ini padaku?" Joseph melemaskan bahu dengan raut sedih."Aku hanya meminta satu kesempatan, Camila. Dan aku tidak akan mengganggumu lagi jika memang aku tidak bisa membuktikan apa-apa," lanjut Joseph dengan nada lelah."Sudah kubilang, aku tidak bisa, Joseph! Jadi jangan memaksaku!" tukas Camila tajam.Joseph melepas napas pelan, kemudian dia bertanya, "Kenapa? Beri aku alasan, mengapa kau rela menarik kembali kata-katamu hanya karena speedboat. Aku butuh alasan, Camila. Jangan membuatku seperti orang bodoh yang tidak tahu alasan dibalik masalah sepele seperti ini," ujar Joseph."Ini bukan masalah sepele, Joseph!" Camila menunjuk pria itu dengan netra merah yang berair, bersiap menitikkan air mata. "Aku tetap tidak mau pergi jika kau masih ingin menggunakan speedboat itu untuk keluar dari pulau ini," lanj
"Apa yang kau bawa itu?" Camila menunjuk kotak gitar di tangan Joseph."Maksudmu, kotak gitar ini?" Pria tersebut mengangkat barang yang dibawanya."Hehem." Camila mengangguk."Tentu saja gitar, Sayang. Memangnya kau pikir apa?" Joseph menurunkannya lagi dengan gesture lelah."Benarkah?" Camila mengerutkan wajah. "Tapi ... kenapa waktu aku mengangkatnya, terasa berat sekali? Sebuah gitar tidak akan seberat itu, Joseph. Dan berhenti memanggilku 'sayang'! Okay!" Wanita itu memberi tatapan peringatan."Kau mengangkatnya? Apa kau juga membukanya?" telisik Joseph, mengabaikan peringatan Camila tentang panggilannya untuk wanita itu.Camila mengedikkan bahu sambil menggulir bola mata dengan liar. "Aku tidak bermaksud melanggar privasimu. Maaf," ujarnya.Tidak, bukan itu yang Joseph maksud. Sama sekali tidak masalah jika Camila menerobos privasinya, karena seluruh hidup Joseph memang didedikasikan untuk wanita itu. Hanya saja, apa Camila sempat melihat senjata yang dia simpan di dalam kotak g
Seorang pria berdiri di depan pintu ruang kerja Julian dengan perasaan takut yang bergelayut. Dia adalah orang yang ditugaskan Julian untuk mengawasi daerah di sekitar pantai, memblokir akses yang mungkin akan digunakan Joseph untuk kabur membawa kekasihnya. Namun, mereka baru saja gagal melakukan tugas tersebut.Julian lebih dulu mendapatkan informasi dari anak buahnya yang ada di luar pulau, bahwa Joseph telah berhasil menyeberang bersama seorang wanita yang tak lain adalah Camila. Hanya saja, ketika mereka hendak menangkapnya, tiba-tiba muncul dua orang asing yang menghajar mereka hingga babak belur.Putra sulung Markus Blight itu marah besar. Hal ini menunjukkan ketidakbecusan anak buah yang dia tunjuk untuk mengamankan pesisir pantai. Oleh sebab itu, harus ada yang mempertanggung jawabkan kegagalan ini."Dia sudah datang, Mr. Blight," ucap Morgan, tangan kanan Julian sambil menunduk hormat.Pemberitahuan itu membuat gerakan tangan Julian yang sedang menandatangani berkas terhenti
Wanita itu meneguk ludah dengan susah payah."Apa yang kau inginkan?" tanyanya lirih.Camila yang ketakutan pun beringsut mundur. Suaranya terdengar samar-samar bergetar. Di dalam dada wanita itu, jantungnya berdegup ribut. Semakin dekat jarak Joseph pada dirinya, semakin gila pula entakan jantung yang seolah ingin merobek rongga dada."Kau masih bertanya apa yang aku inginkan?" Bibir Joseph menyeringai samar. Menimbulkan aura yang begitu mengintimidasi.“Jangan macam-macam, Joseph! Aku menguasai ilmu bela diri. Jika kau berani macam-macam padaku, akan kupastikan kau menyesal seumur hidup!” peringat Camila.Joseph berhenti merangkak. Pria itu menundukkan kepala dengan tawa yang terlepas dari bibir, meski sudah berusaha dia tahan.“Apa yang kau tertawakan, hah? Aku serius!” hardik Camila.Kekehan kecil terdengar, seiring kepala Joseph yang menggeleng samar. Kemudian, pria itu mengangkat pandangan. Tersisa senyum di bibir pria itu yang terlihat sangat menyebalkan di mata Camila.“Kau me
"Apa?! Kita akan pergi sekarang? Lagi?" Camila memekik ketika Joseph mengatakan padanya bahwa mereka harus segera meninggalkan hotel tersebut pagi-pagi sekali.Wanita itu bahkan baru saja membuka mata ketika Joseph membangunkan dengan cara mencium keningnya.Kesal? Memang.Bukan hanya karena Joseph yang telah membangunkannya di pagi buta, wanita itu juga merasa kesal karena apa yang terjadi semalam. Ketika mereka sedang berciuman panas, tiba-tiba saja Joseph meninggalkan dan melupakan apa yang terjadi begitu saja. Joseph bahkan memintanya untuk segera tidur, seolah tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka. Sungguh sangat menyebalkan!Yang lebih parah lagi, Camila begitu menurut. Bahkan ketika Joseph mendekap dirinya, Camila sama sekali tidak menolak. Hal yang membuat wanita itu tidak habis pikir, mengapa dia merasa begitu nyaman berada di dekat pria ini."Betul, Sayang. Mereka mendatangi hotel ini. Aku tidak mau mengambil risiko lebih besar lagi," jawab Joseph seraya memasukkan
Serangan yang tiba-tiba, membuat Joseph tersungkur. Seruan yang terdengar dari pria di belakangnya membuat Joseph semakin waspada. Dengan cepat, Josep bangkit. Kemudian pria itu membalas tendangan dan berhasil menjatuhkan pria yang telah menyerang dirinya."Awas!" peringat Camila ketika seorang pria hendak mendaratkan pukulan ke tubuh Joseph.Joseph berpaling kemudian menangkis pukulan tersebut dan membalasnya dengan sebuah tendangan. Pria yang menyerangnya terhuyung, tersungkur, dan mengerang kesakitan di lantai.Tak berhenti sampai di sana Joseph kembali mendapat serangan dari pria yang menggunakan sebuah balok untuk memukul kepalanya. Kali ini joseph tidak benar-benar berhasil menghindar. Kendati tidak mengenai kepala, namun balok itu berhasil menyasar bahu kirinya. Joseph mengerang, menahan sakit yang menyerang. Sempat terhuyung beberapa langkah, namun dia berhasil kembali bangkit.Dengan tangan kosong, pria itu melawan balik. Terhitung ada sekitar lima pria di sana. Joseph kembal
Joseph membiarkan Camila menangis hingga wanita itu menjadi tenang. Namun demikian, pria itu tidak melonggarkan kewaspadaannya. Netra Joseph mengedar ke sekeliling, memperhatikan kelima pria yang tergeletak tak sadarkan diri di sekitarnya."Jangan takut, Camila. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi," ujar pria itu sembari memberikan kecupan hangat di dahi istrinya.Perlahan, Camila mulai tenang. Wanita itu menarik diri dari Joseph lalu menyeka air mata di wajah dengan jemari lentiknya. Dia tatap wajah Joseph lamat-lamat dengan netra merah yang basah."Aku pernah berada dalam situasi seperti ini," adunya dengan suara tercekat yang sesekali masih terisak."Tentu saja kau pernah, Camila. Selama satu tahun, kita berada dalam pelarian dari ayahmu. Di mana setiap saat, bahaya selalu mengancam kita. Dan kejadian semacam ini, sering sekali kita alami," terang Joseph.Wanita itu menatap kian lekat pada si pria. Tidak heran jika dia melihat Joseph bertarung seperti yang terjadi baru saja,
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk