Ucapan terakhir Andrew merupakan sebuah tamparan keras bagi Carnicero, terutama Joseph. Pria itu memiringkan kepala dan tersenyum ke arah belakang Joseph, yang mana di sana ada Jenderal Boyd beserta Dreyfus dan ketiga gladiatornya, yang sedang menunggu eksekusi terhadap pemimpin kartel The Demon yang sekarang sudah ada di depan mata. Hanya perlu satu langkah lagi, dan kartel yang membuat resah seluruh dunia itu akan tumbang. Namun, masalah justru kembali menghadang, dan itu berasal dari seseorang yang harusnya menutup misi ini dengan sebuah keberhasilan. Permasalahn pribadi yang mengganggu misi.“Bukan begitu, Nona?”Kalimat tersebut ditujukan bukan kepada ketiga pria di belakang Joseph, melainkan kepada salah satu di antara dua wanita yang berdiri di barisan tersebut. Kontan saja, Joseph memutar badan. Menurunkan bidikan, untuk melihat pada siapa mata Andrew tertuju. Tidak ada orang lain yang Joseph lihat selain Jill dan Helena. Dan di antara kedua wanita itu, akhirnya Joseph tahu si
Jill tidak dapat menyembunyikan sisi lemahnya lagi kali ini. Entah kapan terakhir kali Jill menitikkan air mata untuk hal sentimentil seperti ini. Wanita itu bahkan tidak dapat mengingatnya.“Aku mencintaimu, Hunter. Bahkan sejak saat pertama aku melihat dirimu memasuki ruang konferensi bersama Dreyfus. Ya, aku mencintaimu jika itu yang ingin kau dengar,” tegas Jill sekali lagi.Kendati air mata itu telah tumpah, namun suara wanita itu tidak terdengar bergetar sedikit pun. Ketegasan yang selalu dia tunjukkan di hadapan orang lain, seakan mampu menjadi tameng bagi wanita itu untuk tetap terlihat tegar, tak peduli seberapa dalam luka yang menganga di dalam hatinya.Joseph seolah kehabisan kata-kata. Napasnya yang memburu akibat amarah yang menyala-nyala, seakan telah berubah menjadi perasaan rumit yang dia sendiri tidak dapat mendeskripsikannya. Joseph terjajar ke belakang hingga tubuhnya membentur satu-satunya lemari yang ada di sana.“Kenapa?” tanya pria itu dengan suara lirih.Manik
Camila memejamkan mata seiring dengan bibirnya yang bersentuhan dengan bibir Julian. Lalu dia memagutnya dengan lembut, berharap akan menemukan rasa yang dia cari. Manis dan lembut, Julian memperlakukannya dengan sangat baik. Perlahan, ciuman pria itu semakin menuntut, dan Camila berusaha mengimbanginya. Namun, hingga sejauh itu Camila belum juga menemukan apa yang dia cari. Rasa ciuman itu tetap sama seperti saat dirinya berciuman dengan Julian seperti biasa.Mungkin aku harus melakukan yang lebih dari ini. Wanita itu berbicara dalam hati.Tak hanya berakhir menjadi sebuah niat, ketika Julian menuntut cumbuan yang semakin intens, Camila pun tidak menolak. Wanita itu mengikuti arah permainan Julian. Mencoba sesuatu yang lebih intim dalam cumbuan mereka. Gerakan pria itu memang terasa begitu tidak sabar, tetapi Camila masih bisa merasakan bahwa Julian sedang menahan diri.Julian adalah pria posesif jika itu menyangkut dirinya. Ah ralat! Posesif dan protektif. Bukan hanya membuat Camila
“Jadi, bisakah kau melepas cincin itu dari jarimu? Aku … tidak suka melihatnya,” ucap Julian setelah mereka berpelukan cukup lama, urung untuk bercinta karena keadaan yang ada.Camila mengangguk. Wanita itu lantas mengangkat jemari dan menarik cincin pernikahannya dengan Joseph dari jari manis. Meski sebenarnya ada perasaan enggan ketika harus melepaskan benda tersebut dari sana. Kemudian dia letakkan cincin itu di atas nakas begitu saja, dan segera kembali ke pelukan sang kekasih.“Aku sangat mencintaimu, Vanessa,” bisik Julian sembari mengecup kepala sang kekasih.Kalimat cinta itu dibalas dengan pelukan yang semakin erat di perutnya oleh Camila. Wanita itu mendusal, mencari kenyamanan dalam dekap hangat pria yang dia pikir dia cintai pula.“Julian,” panggil Camila lirih tanpa mengangkat wajah untuk melihat orang yang dia ajak berbicara.“Hm?” sahut Julian singkat disertai sebuah kecupan di dahi wanita itu.“Boleh aku meminta sesuatu padamu?” tanya si wanita.“Kau boleh meminta apa
Kapal kargo berjenis mini bulker dengan tonase bobot mati sekitar 15.000 ton itu mulai berlayar sekitar satu jam setelah pembicaraan Joseph dan kru kapal itu terjadi.Tak hanya menumpang dengan cuma-cuma, Joseph menyamarkan aksinya dengan sedikit membantu para awak kapal dalam melakukan pekerjaan mereka. Setelah semua muatan naik ke kapal, moda transportasi laut itu segera meninggalkan dermaga."Apa lagi yang bisa kulakukan untuk kalian?" tanya Joseph kepada kru kapal yang belakangan dia ketahui bernama Dwight tersebut."Tidak ada, Buddy. Kau bisa beristirahat. Perjalanan ini akan memakan waktu sekitar tiga puluh menit," jawab Dwight."Sungguh?" Joseph mengerutkan wajah. "Aku merasa sangat bersyukur kalian mau memberi tumpangan kepadaku. Dan, beruntungnya aku yang dapat membayar ongkosnya dengan tenaga," kekeh Joseph.Dwight balas terkekeh. Baru beberapa jam saja mereka saling mengenal, tetapi Joseph merasa Dwight adalah orang yang sangat baik. Pria yang dia perkirakan berumur sekitar
Anak buah Julian melihat ke arah Joseph dengan pandangan menyelidik. Seolah Joseph adalah ancaman bagi mereka.Untuk memutus kecurigaan, Joseph memberikan senyum kepada orang-orang itu. Pria tersebut lantas membuka pintu truk dan melompat turun. Menapakkan kakinya di permukaan tanah yang sedikit berpasir, kemudian berjalan dengan tegap menghampiri Dwight dan anak buah Julian dengan senyum yang tidak hilang dari bibirnya.“Ini adalah Billy, temanku,” ujar Dwight memperkenalkan Joseph dengan nama samaran yang Joseph sebut saat berkenalan dengan teman barunya itu.Berusaha terlihat biasa saja, tetapi Joseph juga tidak ingin terlalu banyak bicara. Sehingga pria itu hanya mengangguk ketika Dwight memperkenalkan dirinya.“Kau sudah lama bekerja dengan Seabold?” tanya anak buah Julian.Joseph melirik pada Dwight lalu pada anak buah Julian. Berpikir sejenak harus menjawab pertanyaan itu dengan jujur atau tidak.“Dia baru bergabung hari ini, Tuan.” Dwight membantu Joseph untuk menjawab pertany
“Kartu apa yang kau berikan pada Sheriff, Dude?” bisik Dwight takut-takut.“Hanya salah satu kartu yang aku miliki,” jawab Joseph dengan netra yang terus mengarah pada Sheriff.“Dari mana kau mendapatkan kartu ini, Nak?” tanya Sheriff itu dengan nada serius, seserius cara menatapnya pada Joseph.“Seseorang yang baik hati mengatakan bahwa kartu itu bisa digunakan sebagai ganti kartu identitasku yang hilang, Sir,” jawab Joseph dengan maksud tersirat.Sekali lagi Sheriff itu memeriksa kartu tersebut. Tidak perlu diragukan lagi bahwa kartu itu memang asli. Hanya saja, sebagai penegak hukum, dia tidak bisa sembarangan percaya kepada orang asing yang menunjukkan kartu tersebut.“Tunggu di sini, aku akan memeriksanya,” kata si Sheriff.“Baik, Sir,” balas Joseph.Sheriff itu lantas membalik badan, kembali ke mobilnya. Dari kejauhan, Sheriff itu tampak melakukan panggilan menggunakan radio sambil memperhatikan kartu yang diberikan oleh Joseph. Setelah itu, Sheriff tampak mengambil ponsel dan m
Dengan identitas palsu yang dikirimkan oleh Antonio melalui seorang kurir, Joseph kini telah berpindah ke penginapan yang lebih srategis. Tak hanya strategis, penginapan itu pun memiliki fasilitas yang lebih memadai. Rupanya Antonio tidak hanya mengirimkan identitas palsu untuk pria itu, tetapi juga sebuah macbook. Fasilitas lain yang akan memudahkan Joseph untuk mencapai tujuannya.“Aku tidak akan melupakan semua ini, Antonio,” gumam Joseph.Membaca cetak biru mansion Julian memang terasa lebih mudah dengan menggunakan macbook itu dibandingkan ponsel yang memiliki layar lebih kecil. Joseph mematangkan kembali rencana yang telah dia buat sebelumnya. Semua harus benar-benar terencana dengan baik jika dia ingin misi ini berhasil. Malam ini, Joseph akan bergerak.Entah ini suatu kebetulan atau memang Julian sengaja meminta arsiteknya untuk merancang mansion itu seperti mansion yang pernah mereka tinggali bersama. Namun, Joseph melihat banyak sekali kemiripan antara bangunan megah itu den
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk