Adrian baru saja melepas jas putihnya, bersiap pulang setelah shift panjang di rumah sakit. Wajahnya lelah, tetapi pikirannya tenang, membayangkan malam yang akhirnya bisa ia habiskan di rumah bersama keluarga. Semoga saja semua orang dalam keadaan sehat, dan dia tidak perlu mendapatkan panggilan darurat.
Namun, langkahnya terhenti saat suara langkah tergesa dan roda brankar terdengar memenuhi lorong Unit Gawat Darurat.
Refleks, Adrian menoleh ke arah sumber suara. Tim medis UGD sudah bersiap menangani pasien yang baru saja tiba. Adrian memutuskan untuk terus berjalan, mempercayakan semuanya pada dokter yang bertugas malam itu.
Namun, langkahnya kembali terhenti. Ada sesuatu yang membuat pandangannya tertarik pada pasien di brankar itu. Seberkas ingatan menyeruak, sesuatu yang tampak tak asing. Pakaian itu, tampak seperti yang dikenakan oleh keponakannya pagi tadi. Adrian mengerutkan kening, lalu mendekat untuk memastikan.
Dan benar saja. Wajah pucat yang
Nadira berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri dengan perasaan campur aduk. Gaun pastel yang dikenakan malam itu membalut sempurna tubuhnya. Mbok Ras yang membantunya bersiap—sang asisten rumah tangga yang sudah seperti ibu kedua baginya. Renda halus menghiasi bagian leher dan lengan, memberikan kesan anggun, tetapi terasa seperti seragam penjara bagi Nadira. Sejak sore, ia sudah mematuhi semua perintah ayahnya tanpa banyak bertanya, meskipun dadanya bergemuruh hebat.Dia tahu apa yang akan terjadi malam ini. Rekan bisnis ayahnya akan datang untuk melamarnya. Pak Wirawan sudah mengatur semuanya—pertemuan keluarga yang terasa lebih seperti transaksi bisnis dibandingkan acara sakral. Mendadak, memang. Sepertinya belum ada persiapan, tetapi Nadira tidak ingin repot-repot bertanya.Nadira merapikan rambutnya, tapi tangannya gemetar. Berkali-kali dia memeriksa ponsel yang tergeletak di meja rias. Pesan-pesan yang ia kirimkan ke Adhinata masih t
Adhinata Rahagi mondar-mandir di kamar, sambil memegang ponsel. Wajah yang biasanya tenang kini terlihat tegang. Layar ponselnya penuh dengan notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan dari Nadira.Ia menekan keningnya, berusaha berpikir jernih, tetapi kegelisahannya tak kunjung surut. Justru membuat kepalanya kian berdenyut."Nata Sayang, bisa gak kamu diam sebentar?" Suara lembut tapi tegas dari Liana—sang ibu, terdengar di belakangnya.Adhinata berhenti sejenak, menoleh ke arah ibunya yang tengah berdiri tak jauh darinya. "Maaf, Mami. Tapi aku gak bisa tenang.""Kalau kamu mondar-mandir terus seperti ini, Mami gak bakal selesai bantuin kamu bersiap," ujar Liana dengan nada sabar, meski raut wajahnya mulai kelelahan mengikuti gerakan putranya yang tak henti-henti.Haidar, yang duduk santai pada sofa, melirik anaknya dengan pandangan sinis. "Salah siapa minta dilamarkan dadakan. Padahal sebelumnya, diajak bicara lebih serius saja menolak. T
Nadira berdiri mematung di ruang tamu, tubuhnya terasa kaku melihat siapa yang kini ada di hadapannya itu. Adhinata memang memintanya untuk menunggu. Pria itu akan datang katanya. Namun, Nadira tidak tahu kalau Adhinata akan datang bersama orang tuanya.Dan lagi ... bagaimana bisa Tuan Haidar dan Nyonya Liana-lah orang tua Adhinata."Mas Nata ...."Tatapan Nadira terpaku pada Adhinata yang kini sudah duduk di sofa bersama kedua orang tuanya, juga Adrian yang lebih dulu di sana. Adhinata tidak banyak bicara sejak memasuki rumah, dan itu membuat Nadira semakin bingung sekaligus terluka.Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Nadira tak tahan lagi. Ia menarik napas panjang dan mendekati Adhinata, memberanikan diri untuk berbicara."Mas Nata," panggil Nadira, suaranya terdengar lirih tapi cukup tegas untuk didengar. "Apa maksud semua ini?"Adhinata yang duduk dengan punggung tegak, mengangkat wajah ke arah Nadira. Matanya b
Nadira berdiri mematung di ruang tamu, setelah sesaat lalu kembali masuk bersama Adhinata. Tubuhnya terasa dingin saat tatapannya bertemu dengan sang ayah. Namun, perasaan itu bergeser menjadi bingung ketika Adhinata menggenggam tangannya. Sentuhan Adhinata yang lembut membawa kehangatan, meskipun pikiran Nadira masih berkecamuk."Nadira," bisik Adhinata, suaranya pelan tetapi penuh ketegasan. "Apa pun yang terjadi, jangan menyela ucapan orang tua. Dengarkan dengan baik apa yang Papi katakan. Percaya sama saya, ya."Nadira menatap mata pria itu, berusaha menemukan keyakinan. Ia mengangguk kecil, meskipun hatinya tetap diliputi rasa waswas.Adhinata mempererat genggaman, lalu mengantar gadis itu untuk duduk di samping Pak Wirawan. Sementara dirinya, kembali duduk di sebelah Haidar.Wirawan terlihat gelisah. Sementara Liana tetap tenang, meski sesekali tatapannya terarah ke Nadira dengan sorot penuh empati. Adrian sendiri seolah tak punya kepentingan, hanya
Suasana kelas XI IPS 4 hari itu berbeda dari biasanya. Semua siswa duduk manis di tempat mereka, bahkan yang biasanya suka berisik sekalipun. Ada yang menggaruk kepala, ada yang menatap ke depan dengan penuh fokus, dan ada yang diam-diam menggenggam pulpen erat sambil melirik sekilas ke arah meja guru.Sebabnya jelas. Pak Adhinata masuk ke kelas dengan suasana hati yang berbeda. Pria yang biasanya dingin dan kaku itu terlihat lebih santai, bahkan sering tersenyum. Senyum itu, meskipun tipis, cukup untuk membuat para siswa saling melirik bingung."Kenapa Pak Nata hari ini kayak baru dapat warisan, ya?" bisik seorang siswa di barisan tengah, membuat beberapa orang di sekitarnya terkikik pelan.Namun, di bangkunya, Nadira tidak ikut berkomentar. Ia lebih memilih menunduk, pura-pura mencatat sesuatu di buku catatannya, padahal pikirannya melayang ke kejadian beberapa malam sebelumnya. Lamaran yang tiba-tiba itu masih membuat hatinya berdebar-debar, apalagi kini ia h
Mobil terparkir di bawah rindangnya pohon mahoni, menghadap ke area pemakaman yang sunyi. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan dedaunan yang menutupi deretan nisan. Adhinata memandang lurus ke depan, matanya terlihat menerawang seolah menembus waktu.Nadira, yang duduk di kursi penumpang, menggigit bibirnya. Keheningan di antara mereka membuat gadis itu semakin gelisah. Ia ingin bertanya, tetapi ragu. Tatapannya masih terkunci pada foto di tangannya.Adhinata bilang, pria muda itu adalah seseorang yang mencintainya. Akan tetapi, siapa dia? Nadira belum mampu mengingat.Dia ini siapa? Kayak pernah lihat, tapi lupa. Nadira membatin.Dan sekarang Mas Nata ngajak aku nemuin pria itu? Aneh. Bukan apa-apa, tapi kenapa juga ketemuan di kuburan?! Kan serem."Mas ... kita beneran mau ketemu orang dalam foto ini? Di sini? " Akhirnya Nadira memberanikan diri bertanya.Adhinata menghela napas panjang sebelum menjawab. "Hm. Saya ma
Adhinata mematut diri pada cermin toilet di ruangannya. Ini adalah hari pertama dirinya akan memasuki dunia bisnis, setelah beberapa waktu mendapatkan bimbingan khusus. Adhinata belajar sangat cepat dan mudah paham. Sehingga Haidar sudah percaya untuk melepasnya dan mengambil alih perusahaan Pak Wirawan.Pria itu menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, sebelum masuk ke ruang rapat. Setelan jas hitamnya rapi, dasi biru tua yang sederhana memberikan kesan profesional tanpa terkesan berlebihan. Ini adalah hari pertamanya secara resmi diperkenalkan sebagai direktur baru PT Wana Elektronika, sebuah perusahaan yang sebelumnya di ambang kehancuran. Langkah kakinya mantap, meskipun ada sedikit kegelisahan yang ia sembunyikan di balik ekspresi tegasnya.Di ruang rapat yang luas, semua kursi sudah terisi oleh jajaran staf dan manajer. Wirawan, pemilik PT Wana Elektronika sebelumnya, berdiri di depan, menunggu Adhinata bergabung di sampingnya."Bapak Adhinata sudah
Adhinata duduk gelisah di ruangannya, menatap layar ponsel yang sunyi tanpa tanda-tanda balasan dari Nadira. Pesan terakhirnya yang meminta Nadira berbagi lokasi masih centang satu. Jantungnya berdetak kencang, membayangkan berbagai kemungkinan buruk. Tangannya mengetik pesan baru.[Kamu di mana? Share lokasi sekarang.]Namun, pesan itu pun tetap terabaikan. Adhinata mendengkus, memijat keningnya yang mulai terasa berat. Pikiran-pikiran liar menyerangnya seperti badai. Bagaimana jika Regas, dengan segala cara, nekat memanfaatkan momen ini untuk melancarkan niat yang lebih dari sekadar bercanda? Apa Nadira—dengan kepolosannya, bahkan menyadari situasi yang bisa menjebaknya?"Regas berengsek,” gumamnya, mengeratkan genggaman pada ponsel. Satu sisi dia mengizinkan Regas berjuang untuk Nadira, tapi sisi lain batinnya tak bisa menerima jika sepupunya itu melangkah terlalu jauh.Jam kerja masih jauh dari selesai, tapi Adhinata tak bis
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad