Makan malam kali ini terasa begitu canggung. Aku dan dia masih saling diam. Tak ada yang berani memulai percakapan.Tak lama terdengar suara ketukan dari pintu depan.Aku beranjak dari ruang makan untuk melihat siapa yang datang. Aku tercengang saat melihat ibunya Kania kembali berdiri di ambang pintu, lagi-lagi dengan membawa sesuatu."Ini baru saja matang. Masih panas." Senyumnya mengembang sembari menyodorkan mangkuk kaca dengan asap yang masih mengepul dari lubang tutupnya. Ada piring batu di bawahnya sebagai tatakan.Aku menelan ludah. Sepertinya sikap ramahku kemarin disalah artikan oleh wanita ini. Dia muncul kembali seperti ingin mendekatkan diri dengan keluarga kami."Ibu tidak usah repot-repot. Aku dan bang Haikal tidak terlalu banyak makan. Kebetulan kami sudah ada makan malam." Aku menolak secara halus."Ini kolak labu. Haikal sangat suka jika ibu memasak ini. Katanya dia paling suka masakan yang manis-manis."Aku menghela napas, mencoba menahan diri. Ibu ini membuatku ber
Aku seperti mengenali suara itu. Aku langsung mendongak untuk meyakinkan diri. Lalu melihat sekeliling untuk memastikan bahwa saat ini aku masih berada di kawasan sekitar rumahku. Tapi kenapa bisa ada dia sedang berdiri menatapku?"Kau menangis lagi!" Pemuda dengan celana pendek di bawah lutut dan kaos rumahan itu kembali bersuara."Bim__Bima?" Dengan ragu aku menyebut namanya. "Kau mengikutiku sampai ke sini?" Dia mendesis. "Kau berlari seperti orang kesurupan. Tentu saja aku mengikutimu."Dia melihatku berlari? Dari mana? Sejak kapan dia menjadi penguntit seperti Kania? Apa dari sore tadi dia mengikuti mobil Dea hingga sampai ke rumahku?"Sejak kapan kau melihatku?" tanyaku penasaran.Aku langsung bangkit dan mengusap air mata dengan punggung tangan."Kalau sudah tidak sanggup, berpisah saja. Masa depanmu masih panjang." Bukannya menjawab dia malah bertausiah memberikan nasihat."Apa maksudmu?" "Bukankah waktu itu suamimu bilang kau ingin bercerai? Kenapa tidak jadi? Dasar plinpl
Aku menggeleng dengan cepat."Hanya mantan. Tapi wanita itu masih juga mengejar dan berusaha mendekati suamiku.""Oh, berarti pernah saling cinta, ya. Kalau suamimu juga masih menyukainya, bagaimana?" Ucapannya membuat hatiku semakin memanas.Aku terdiam. Tak langsung mengelak. Karena memang seperti itulah kenyataannya. Aku lebih memilih bungkam, tak menjawab."Kau tidak lelah?" Dia menarik lenganku agar berhenti. Aku menurut, sembari menunduk. "Kuantar pulang!" Dia menarik kembali lenganku yang masih dipegangnya.Aku langsung menarik tanganku kembali, tak ingin dia terlalu lancang dengan sembarangan menyentuh isteri orang. Seberapa marahnya pun aku saat ini, hanya dengan tangan suamikulah aku ingin disentuh."Maaf." Dia mengangkat kedua tangannya ke atas, seperti tanda menyerah. "Ini sudah malam. Kau tidak ingin membuat suamimu khawatir, kan?"Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk. Dia menggeser tubuhnya, seperti memberikan jalan agar aku bisa lewat. Aku menatapnya sebentar, lalu me
"Tetangga?" Aku mengulangi ucapannya. Merasa tak percaya atau mungkin salah dengar.Dia hanya mengucapkan kata 'hem' sambil mengangguk."Bagaimana bisa?" tanyaku penasaran."Apanya yang bagaimana? Tentu saja aku harus mengikuti kemana orang tuaku tinggal. Mereka melihat rumah itu dijual dan membelinya. Ada yang salah?"Aku terdiam. Kembali melihat bangunan dua lantai yang sudah direnofasi itu. Aku bahkan tak menyadari seseorang yang aku kenal tinggal di sana sudah berhari-hari. "Dokter gigi itu, ibumu, ya?" Dia kembali mengangguk.Aku pun jadi ikut mengangguk-ngangguk, mulai mengerti."Baiklah. Aku pulang dulu, ya." Bima pamit padaku dan juga bang Haikal.Aku memandangi Bima yang menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu berlari kecil menyeberang jalan. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia benar-benar masuk ke rumah itu.Dia membuka pagar di sisi kiri, jalan masuk yang berbeda dari ruangan sisi kanan yang dijadikan sebagai tempat praktek ibunya. Ya, pemuda itulah yang bang Haikal dengar se
"Jangan membawa-bawa Bima dalam masalah kita. Dia tidak tahu apa-apa. Aku sudah cukup bersabar. Percaya kalau Abang benar-benar berusaha melupakan Kania. Tapi kenyataannya apa? Hanya gara-gara kolak labu Abang membentak dan memarahiku di depan orang itu. Abang sengaja ingin mempermalukanku, kan? Agar mereka tahu kalau isteri Abang sekarang tidak sehebat kekasih Abang itu.""Maafkan aku, Dwi! Bukan itu maksudku." Suaranya sedikit tertahan."Aku tak percaya lagi pada Abang. Aku sudah lelah. Aku akan bilang pada ayah akan bercerai. Abang tidak perlu khawatir, aku tidak akan membuat nama Abang jelek di depan keluargaku. Hanya itu kan yang Abang takut kan?" Aku kembali terisak.Padahal sudah setengah mati aku menahannya. Mencoba bersikap tegar dengan tak mau lagi terlihat lemah di matanya. Tapi tetap saja mata ini ingin menangis. Entah karena sakit yang kurasakan, atau bersedih karena akan berpisah dari orang yang masih sangat aku cintai.Dia terdiam. Tak lagi mengiba seperti tadi. Sudah k
Aku tertegun. Tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku kembali mengalihkan pandangan ke arah suamiku. Sejenak kami saling terpaku, namun setelah tersadar aku langsung melirik ke arah Kania.Matanya membesar, masih saja menatap wajah suamiku. Meski tak mendapat balasan, tetap saja itu melukai perasaanku.Aku langsung menepiskan tangan bang Haikal yang masih setia menggenggamku."Kenapa?" tanya dia. Seperti tak rela aku melepaskannya."Untuk apa lagi Abang memintaku tinggal? Bukankah sudah ada dia?" Aku menunjuk Kania dengan nada kasar, penuh emosi."Hanya kau saja yang kubutuhkan. Bukan yang lain," jawabnya.Aku kembali melirik wajah Kania. Bulir bening kini menetes dari kedua matanya. Terdiam, seperti merasa terpukul mendengar permohonan dari laki-laki yang dikasihinya itu padaku."Aku mohon, Dwi. Jangan pergi." Suara bang Haikal lagi-lagi seperti mengiba.Tidak, tidak. Pasti sudah terjadi kesalahan. Apa yang terjadi pada laki-laki ini? Apa dia tidak sadar dengan keberada
Aku kembali membaringkan diri di atas ranjang. Kembali ke rumah setelah bang Haikal menarik dan menyeretku ke dalam. Dia sama sekali tak memperbolehkan aku pergi.Aku meronta dan memukul-mukul dadanya dengan kuat. Melampiaskan kekesalan dan juga hancurnya hatiku akibat perbuatan mereka. Dia diam tak mengelak. Memberikan tubuhnya dengan sukarela agar aku merasa puas.Sepeninggal Kania tadi, bang Haikal terus memegangi tanganku. Mengatakan jika ingin pergi, tunggulah sampai masalah selesai. Tak boleh mengambil keputusan dengan emosi. Semua harus diselesaikan dengan kepala dingin. Masih kuingat kala Kania memandang sendu pada suamiku tanpa mendapat balasan. Lalu berjalan dengan langkah gontai, pulang kembali ke rumahnya.Aku yang belum puas menangis mendengar suara pintu kamar terbuka. Aku tahu dia masuk tanpa permisi, lantas menyembunyikan wajah dengan memeluk guling."Minum teh nya, Dwi. Perutmu belum terisi dari malam tadi." Kudengar suara cangkir yang diletakkan di atas nakas sampin
Aku mendengus kesal mendengar pengakuan bang Haikal. Meminta terus dicintai tanpa mau memberi balasan. Egois sekali makhluk Tuhan yang satu ini.Aku mendorong tubuhnya dengan kuat, lalu menjatuhkan kepala ke atas bantal. Memunggunginya sambil memeluk guling."Abang keluar saja. Jangan lagi bicara padaku!"*"Plin plan!" Suara Bima mengagetkanku dari belakang, saat sedang mengantri pembayaran di minimarket ujung jalan.Aku menatapnya heran, lalu melanjutkan transaksi dan segera keluar. Aku berdiri di samping pintu, menunggunya sampai selesai."Apa maksudmu?" Aku langsung menghampiri, begitu dia muncul dari balik pintu kaca.Dia tersenyum mengejek, lalu berjalan mengabaikan pertanyaanku."Hei, kau bicara apa tadi? Siapa yang kau sebut plin plan, ha?" tanyaku lagi. Ikut berjalan menyusulnya. Kini kami jalan beriringan."Kupikir akan ada yang melarikan diri. Ternyata hanya drama. Sama sekali tidak seru." Ucapannya seakan sedang menyindirku.Apa dia melihat kejadian waktu itu? Ah, tentu sa
"Sudah kubilang itu bukan urusanmu. Kau semakin lancang, Bim. Aku tak mau punya teman sepertimu!" Kubuang muka, tanda tak terima dengan sikapnya."Aku mendengar pembicaraanmu saat di toko buku. Kenapa tak menurut saja? Suamimu bahkan ingin menjauh dengan kembali menyekolahkanmu." Ucapannya kini tak lagi kasar. Terkesan seperti memohon pengertian.Aku menelan ludah. Lalu beralih kembali menatap wajahnya. Begitukah cara dia mengungkapkan perasaannya? Sama sekali tak ada bedanya denganku. Egois dan selalu menggunakan berbagai cara."Kau mengikuti kami?" Aku langsung menebak.Dia sama sekali tidak menyangkal. Malah memandangku dengan sorot mata yang... mungkin meminta pengertian."Sikapmu sama sekali tidak mencerminkan mahasiswa terpelajar, Bim. Kau seperti....""Ya! Aku terlihat seperti orang gila, kan?!" Menggeram dia menebak ucapanku yang terhenti. "Aku sama sepertimu. Jatuh cinta pada orang yang salah."Mata itu kini
Setelah menjalani proses yang memakan waktu cukup lama, akhirnya pengadilan memutuskan Kania bersalah. Dia dijatuhi hukuman dua tahun kurungan.Aku merasa lega, bukan hanya karena tindakan kekerasan yang dia lakukan terhadapku. Namun juga karena sikapnya yang selama ini terus menerus meneror batinku. Membuatku merasa tak layak dicintai oleh suamiku sendiri. Juga membuat bang Haikal selalu merasa rendah diri dan takut mencintai wanita sepertiku, meski telah sah menjadi isterinya.Masih kuingat dengan jelas wajah terakhir gadis itu sebelum petugas membawanya. Tak ada penyesalan terlihat di sana. Seolah apa yang dia lakukan bukanlah sesuatu yang salah. Di sidang-sidang sebelumnya pun dia selalu mengumpat jika sedang berpapasan denganku. Mengatakan kalau dia belum kalah, dan akan merebut kembali miliknya yang telah aku curi.Matanya jelas masih begitu berharap agar bisa bertemu lagi dengan suamiku. Memang selama sidang berlangsung, hanya sekali mantan kekasihnya itu
"Jangan pedulikan ucapan mereka, Bang." Aku mulai merayu saat mendatangi suamiku di kamarnya. Aku membantu melepaskan kemeja yang tadi dia pakai.Entahlah. Masih canggung rasanya bagi kami untuk bersatu dan menempati kamar yang sama. Hingga kami masih harus saling menghampiri jika ada yang ingin dibicarakan."Sudah kubilang aku tak apa-apa." Bang Haikal tersenyum sembari memakai kaos oblong tipis untuk tidur. Lalu seenaknya membuka kancing dan resleting celana panjang, lalu menurunkannya tanpa pemberitahuan."Ish, Abang!" Tubuhku refleks berbalik memunggunginya. Malu jika melihat sesuatu yang sebenarnya sudah pernah aku rasakan."Kau kenapa?" Dia berjalan dengan suara yang kian mendekat."Kenapa buka celana di hadapanku?" Aku merengek."Kau ini aneh. Seperti tidak pernah melihatnya saja." Bang Haikal berjalan mendekati pintu dan menggantung celana panjang tadi. Kini dia sudah terlihat memakai celana pendek di bawah lutut."Tapi
Bima tampak masih sangat tenang meski semua orang menatapnya. Ingin sekali rasanya aku mencekik lehernya karena telah membuat suamiku kembali memikirkan hal yang bukan-bukan tentang aku dan dia.Bang Haikal pasti berpikir kalau Bima masih menaruh perhatian dan mencari cara agar bisa mendekatkan diri denganku. Tanpa dia tahu, kini aku dan Bima terlibat selisih paham karena kekurang ajaran mahasiswa psikologi itu.Jika malam ini sampai terjadi masalah lagi di antara kami karena Bima, aku bersumpah akan melempar kaca jendelanya hingga pecah. Aku lelah dengan semua masalah yang seperti tidak ada habisnya."Wah, Bima baik sekali. Kau dengar itu, Dwi?" Ibu tampak lebih mengagumi pemuda itu dari sebelumnya. "Harusnya kau juga bersemangat seperti Bima. Bukannya kalian seumuran? Kau bisa mengejar ketertinggalan jika belajar bersama Bima."Aku mendesis pelan. Ibu seolah-olah masih menaruh harapan agar aku juga memiliki antusias seperti Bima. Menjadi anak perempuan
Aku rasa sikapku selama ini terlalu kasar menghadapinya. Dari caranya menatapku tadi, seperti ingin menyapa dan menanyakan kabarku. Namun hal itu urung dia lakukan, karena Kania langsung menarik tangannya, dan menyeretnya menjauh dari kami.Tak lama kulihat sebuah mobil Daihatsu Sigra berhenti menghampiri mereka. Lalu gadis yang masih menatapku dengan penuh kebencian itu menghilang bersama ibunya saat mobil itu melintasi dan meninggalkan tempat."Singgah ke rumah, ya, Dwi. Biar nanti Haikal suruh menjemputmu di rumah." Ibu merangkulku hendak menuju mobil.Aku melirik Bima sekilas."Iya, Bu. Bang Haikal pasti akan bergegas menjemput jika tahu aku tidak di rumah." Sengaja aku bicara berlebihan agar Bima tahu bahwa hubungan rumah tanggaku tak seperti yang dia pikirkan.Dia hanya menatapku tajam tanpa mengucap sepatah kata pun.*[Norak!] Sebuah pesan whatsapp masuk atas nama Bima.Mataku membesar saat membacanya. Aku yang duduk di bangku belakang mobil milik ayah langsung membalasnya.[K
"Sudah mulai nakal kau rupanya, ya." Bang Haikal menyentil keningku dengan jemarinya. Membuat bibirku mengerucut dibuatnya."Makanya jangan menyuruhku yang bukan-bukan. Lebih baik aku mengurus sepuluh anak daripada memegang buku pelajaran," protesku.Dia tertawa kecil. "Kalau soal membantah, kau memang juaranya." Bang Haikal mengacak-acak rambutku.Aku tersenyum malu. Menganggap bahwa hal itu adalah suatu pujian, bukan lagi sebuah sindiran yang dia alamatkan untuk mengejekku seperti biasanya.*Siang ini aku menemani Dea ke toko buku. Tadi aku menghampirinya di kampus, lalu pergi bersama dengan Honda Brio merah-nya. Hal rutin yang sering kami lakukan saat bahan bacaan di rumah sudah habis.Dea terkikik geli saat aku menceritakan ide bang Haikal yang ingin kembali menyekolahkanku. Aku mencubit bahunya karena terus-terusan meledek, bahwa suamiku mungkin amnesia dan tak lagi mengenalku. Si bodoh yang ingin cepat-cepat lulus SMA agar bisa menikah dengan pria impiannya."Wanita yang baik
"Abang bicara apa? Kalau mau punya mainan, ya menikah saja. Abang bisa membuat anak sebanyak-banyaknya." Aku menggantikan suamiku menjawab permintaannya. "Aku masih kecil. Belum siap menjadi seorang ibu." Aku memasang wajah merengut.Ini kali kedua abangku meminta hal yang bukan-bukan pada kami. Hanya karena aku sudah jarang mengganggunya, dia jadi meminta penggantiku sebagai tumbal keisengannya.Bang Haikal mengamati wajahku, kemudian menunduk. Masih mengusap-usap dadanya yang mungkin masih merasa sakit akibat tersedak tadi.*Aku dan bang Haikal kembali melintasi malam dengan motor matic kesayangannya. Masih dengan pelukanku yang mesra melingkari pinggangnya. Kami tak ubahnya seperti pasangan remaja yang sedang dimabuk cinta. Dia juga tak lagi canggung saat menunjukkan perhatiannya padaku di depan keluarga kami. Baik di hadapan orang tuaku, terlebih lagi pada ayah dan ibunya. Tak seperti saat awal-awal pernikahan dulu. Selalu saja kaku, bahkan hanya untuk merangkul bahuku."Dwi?" B
Di pagi hari aku kembali menyiapkan sarapan dan juga bekal untuk suamiku. Bang Haikal keluar dari kamar sudah dalam keadaan rapi, lengkap dengan rambutnya yang masih basah dan juga wangi.Aroma shampo menyeruak menerobos indera penciuman. Membuatku merasa nyaman seperti menghirup aroma terapi.Dia duduk di kursi makan. Memerhatikan aku yang meletakkan secangkir teh di hadapannya. "Wajahmu memerah. Apa kau demam?" tegur pria dengan kemeja lengan panjang itu.Sontak aku memegang kedua pipiku. Lalu melotot ke arahnya. Tahu Kalau dia sedang meledekku. Padahal wajahnya sendiri tak berbeda jauh dari apa yang dia katakan tentang aku. Merah dan juga merona di bagian pipinya.Dia tertawa kecil. Lalu menarikku agar berdiri merapat ke tubuhnya. Wajahnya yang kini hanya setinggi perutku dia dongakkan untuk menatapku. Memandang dengan tatapan penuh cinta. Membuatku semakin terpesona dibuatnya."Terima kasih." Setengah berbisik dia ucapkan kata itu. Aku mengulum senyum. Mengingat sikap manisnya m
"Kau tahu aku tidak suka berbasa-basi, kan?" Dia tak lagi terlihat santai. "Lalu sekarang kau mau apa? Kau ingin aku mengakui semuanya dan bertanggung jawab atas pelecehan yang aku lakukan padamu? Aku akan bertanggung jawab. Akan kukatakan semuanya pada suamimu.""Hentikan, Bima! Kau lepas kendali. Aku sudah bersuami dan kau tidak pantas mengatakan semua itu padaku.""Kau sendiri yang memaksaku mengaku. Aku bisa menyelamatkanmu dari pernikahan palsu itu. Sadarlah. Hubungan kalian tidak akan pernah berhasil.""Kau benar-benar kelewatan. Aku membencimu. Aku tak mau lagi bicara padamu!" Aku berlari masuk dan membanting pintu dengan keras. Duduk bersimpuh di balik pintu dengan meremas kerah bajuku sendiri.*Aku baru saja selesai mandi. Terkejut saat melihat bang Haikal sudah berdiri di depan pintu kamarnya yang berhadapan langsung dengan kamar mandi. Sontak aku menutup tubuh bagian atas yang hanya berbalut handuk sampai sebatas dada."Kenapa ditutup? Aku sudah pernah melihat semuanya." B