Panggilan ini masih juga dari nomor yang sama. Aku kembali mempertimbangkan ingin menjawabnya atau tidak. Baru saja aku ingin menggeser layar berwarna hijau, panggilan itu seketika berhenti. Mungkin karena aku terlalu lama merespon, atau dia tersinggung karena merasa diabaikan.Tak lama Dea datang dan kembali menempati kursinya. Kami kembali berbincang, sampai kulihat gadis berlesung pipit itu tersenyum dan melambai ke suatu arah. Aku langsung berbalik untuk melihat siapa yang dia sapa.Mataku langsung menyipit melihat Bima sedang berjalan menuju ke arah kami. Aku menatapnya heran. Dia berjalan sambil tersenyum seperti separuh hati. Dia pasti tersinggung dengan sikap cuekku saat dia menelepon tadi."Tadi Bima menghubungiku. Dia melihat postingan kita dan kebetulan berada tidak jauh dari sini." Dea memberi penjelasan tanpa kuminta.Ah, ya. Dia punya opsi lain dengan menghubungi Dea rupanya. Bukankah nomor kami semua tertera di grup alumni SMP? Dia juga pasti anggota pasif sepertiku, hi
Sempat terjadi perdebatan antara aku dan bang Haikal sejak ayah menuruti keinginanku. Meski dengan berbagai pertimbangan dan rembukan keluarga. Mereka akhirnya menyerah. Mungkin bagi mereka bang Haikal memang pantas dan sudah begitu paham tentang diriku. Tak ada yang lebih mengenal dan bisa menenangkanku selain dirinya. Satu-satunya pria yang pernah dan selalu dekat denganku.Dia bilang aku keterlaluan. Membuatnya merasa malu, karena nyatanya ayah dan bang Eka mengaggap lain hubungan kami. Dia tak tahu harus berkata apa. Tak mungkin dia tega mengatakan bahwa aku hanya terobsesi padanya, dan ini hanya perasaan sepihak dariku.Dari sini saja aku sudah yakin, bang Haikal memang paling tahu caranya menghargai perasaanku di hadapan orang lain.Dengan segala cara dia membujukku agar berubah pikiran dan bilang kalau aku hanya bercanda. "Hubungan kita tidak seperti itu, Dwi. Kau bisa mendapatkan pria mana pun yang kau inginkan. Tapi bukan aku. Aku sama seperti Eka. Aku juga abangmu. Kau tak
Aku menunggu suamiku di teras rumah, sembari mendengarkan bacaan doa yang dikumandangkan dengan pengeras suara. Sangat jelas terdengar dari rumahku yang hanya dibatasi oleh jalan kecil saja.Tak lama dia muncul dengan menenteng sebuah bungkusan. Senyumku mengembang, menyambut pria gagah yang mengenakan sarung dan juga baju koko lengan pendek itu. Lalu mengulurkan tangan padanya.Dia langsung menyodorkan bungkusan plastik yang dibawanya, kemudian masuk mendahuluiku. Mataku melotot. Dia begitu tidak peka. Padahal aku sedang belajar menjadi istri yang baik dengan berusaha mencium tangannya. Namun dia salah sangka dan berpikir bahwa aku sudah tidak sabar dengan buah tangan yang dibawa olehnya.Aku mengekor dari belakang sambil merapatkan pintu, mendesis pelan."Ada apa?" Dia seperti menyadari tingkahku."Ah, tidak." Aku mengelak. "Kita langsung makan ya, Bang. Aku lapar." Aku langsung mengalihkan pembicaraan."Kau saja. Aku sudah kenyang!" sahutnya tanpa dosa."Kenapa bisa kenyang?" Aku t
"Kalau setiap hari ada tetangga baru, kita bisa hemat uang belanja karena mendapat makanan gratis," selorohnya.Aku tertawa sembari menutup mulut mendengar ucapannya. Lalu mengambil kesempatan dengan mencubit perutnya. Dia sedikit merintih lalu menekan kepalaku dengan gemas."Kau pasti tidak akan masak lagi agar bisa makan berdua denganku, kan?"Aku menunduk malu sambil menggigit bibir bawahku."Kau tidak marah lagi, kan?" ucapnya. Aku mengulum senyum, lalu mengangguk."Lain kali jika mendapat camilan di luar, aku akan membawanya sebagian, biar kau tidak marah-marah lagi." Dia kembali meledek, lalu berlalu begitu saja meninggalkanku."Hish, Abang! Abang mulai lagi!" Aku kembali berdecak kesal.Tawanya terdengar meski terus berjalan membelakangiku menuju ke dalam.Aku tahu, dia hanya menggodaku. Malam tadi dia kembali mengetuk pintu kamar dan mengajakku makan bersama. Seolah mengerti bahwa semua yang kulakukan hanya agar bisa makan bersamanya.Hatiku yang terlanjur marah masih tak mau
"Kau gila!" Aku langsung menyentak. Hatiku bak disambar petir mendengar pengakuannya. "Tidak malukah kau berusaha mendekati suami orang sampai sejauh ini?""Mendekati, katamu?" Dia tertawa kecil. "Aku bahkan tidak tahu kalau kau dan Haikal tinggal di sini. Aku hanya ingin menyapa tetangga baru saja. Tak menyangka bisa bertemu dengan kalian." Dia beralasan."Kau tidak perlu bersandiwara. Aku sudah tahu semuanya. Kau sedang berusaha mendekati suamiku lagi, kan?" Aku menatap tajam ke arahnya. Merasakan sesak yang kini menyerang paru-paru dan mulai membuat napasku tak lagi beraturan."Untuk apa aku mendekatinya? Aku bahkan langsung memutuskan hubungan saat Haikal berkhianat dengan menikahimu." Dia berucap angkuh, seolah memiliki harga diri yang tinggi.Setahuku memang seperti itulah yang dikatakan oleh bang Haikal. Kania kecewa, karena merasa bang Haikal memilihku karena uang. Lagi-lagi suamiku menutupi alasan sebenarnya, hal-hal yang membuatku marasa rendah dan tak punya harga diri. Dan
Matanya mulai memerah. Sepertinya sebentar lagi akan menangis. Untuk pertama kalinya aku melihat mimik wajah itu. Mimik wajah yang dulu selalu tersenyum licik saat dia memeluk tubuh bang Haikal di hadapanku. Sengaja menunjukkan kemesraan dan memperlihatkan betapa pria itu mencintainya.Menggunakan berbagai cara agar kekasihnya menjaga jarak dan tak lagi melakukan apa pun untukku. Dia cemburu, seperti yang pernah dikatakan bang Eka padaku.Ya, baru kini kusadari. Sejak awal gadis itu sudah cemburu melihat kedekatanku dengan bang Haikal. Betapa pria sederhana itu begitu peduli dan juga selalu memerhatikanku. Meski hanya sebagai adik, namun jelas terlihat jika dia begitu sayang padaku. Dan wanita di hadapanku ini tidak suka itu."Kenapa kau harus hadir di antara hubungan kami?!" Dia kembali meradang. Dengan tetesan air mata, tentu saja. Seolah dirinyalah yang menjadi korban."Kaulah yang merebutnya dariku, Kania!" balasku tak mau kalah. "Kau yang belakangan hadir dan merusak hubungan k
Aku tersentak saat mendengar suara ketukan dari pintu. Lalu meraba kasur guna mencari ponsel untuk melihat waktu. Aku menghela napas saat mendengar namaku dipanggil oleh bang Haikal.Rupanya aku tertidur. Hari sudah hampir sore, dan aku belum melakukan apa pun sejak bertemu Kania tadi.Aku langsung beranjak dari tempat tidur. Belum lagi menginjakkan kaki ke lantai, pintu sudah terbuka. Kepala bang Haikal melongo melihat ke arahku."Kau sedang tidur?" tanyanya. Kemudian dahinya mengernyit begitu melihat keadaanku. "Kau kenapa?"Dia langsung masuk tanpa kupersilakan. Aku langsung merapikan rambut dan mengusap wajahku yang sedikit menegang karena bekas air mata yang sudah mengering."Kau habis menangis? Ada apa?" tanyanya lagi, sembari mendekatiku. Dari mana dia tahu? Apa mataku kini terlihat sembab? Aku memang menangis separah itu tadi."Ada apa? Kau sakit?" Dia terlihat begitu khawatir. Aku menggeleng cepat. Tak tahu harus memulai semuanya dari mana."Katakan saja. Apa yang terjadi?
"Abang?""Hem?""Apa aku terlau egois? Apa aku terlalu kekanakan dan selalu memaksakan kehendakku pada Abang? Apa Abang bosan dan menjadi benci padaku?"Air mata ini kian mengalir, aku menatap begitu dalam ke arah manik matanya. Mencari ketulusan dan kejujuran di sana, tentang apa yang akan dia jawab nanti.Dia tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya ke udara. Perlahan, tangan besar itu mulai menyentuh pucuk kepalaku. Mengusap rambut panjangku dengan hati-hati."Aku tak pernah membencimu, Dwi. Katakan saja apa yang kau inginkan. Aku tak ingin membuatmu menangisiku lagi.""Sungguh? Abang akan lakukan itu?""Aku tak mau kau terus-terusan menganggapku pria jahat. Tak pernah sekalipun aku berniat menyakitimu, Dwi."Aku terpaku. Sejenak kurasakan kata-kata itu begitu tulus. Bukan hanya sebuah rayuan ataupun sandiwara. Apa itu artinya dia langsung setuju jika aku mengajaknya pindah dari sini?*Hari beranjak siang. Kudengar suara ketukan dari pintu depan. Aku baru saja selesai mandi sete
"Sudah kubilang itu bukan urusanmu. Kau semakin lancang, Bim. Aku tak mau punya teman sepertimu!" Kubuang muka, tanda tak terima dengan sikapnya."Aku mendengar pembicaraanmu saat di toko buku. Kenapa tak menurut saja? Suamimu bahkan ingin menjauh dengan kembali menyekolahkanmu." Ucapannya kini tak lagi kasar. Terkesan seperti memohon pengertian.Aku menelan ludah. Lalu beralih kembali menatap wajahnya. Begitukah cara dia mengungkapkan perasaannya? Sama sekali tak ada bedanya denganku. Egois dan selalu menggunakan berbagai cara."Kau mengikuti kami?" Aku langsung menebak.Dia sama sekali tidak menyangkal. Malah memandangku dengan sorot mata yang... mungkin meminta pengertian."Sikapmu sama sekali tidak mencerminkan mahasiswa terpelajar, Bim. Kau seperti....""Ya! Aku terlihat seperti orang gila, kan?!" Menggeram dia menebak ucapanku yang terhenti. "Aku sama sepertimu. Jatuh cinta pada orang yang salah."Mata itu kini
Setelah menjalani proses yang memakan waktu cukup lama, akhirnya pengadilan memutuskan Kania bersalah. Dia dijatuhi hukuman dua tahun kurungan.Aku merasa lega, bukan hanya karena tindakan kekerasan yang dia lakukan terhadapku. Namun juga karena sikapnya yang selama ini terus menerus meneror batinku. Membuatku merasa tak layak dicintai oleh suamiku sendiri. Juga membuat bang Haikal selalu merasa rendah diri dan takut mencintai wanita sepertiku, meski telah sah menjadi isterinya.Masih kuingat dengan jelas wajah terakhir gadis itu sebelum petugas membawanya. Tak ada penyesalan terlihat di sana. Seolah apa yang dia lakukan bukanlah sesuatu yang salah. Di sidang-sidang sebelumnya pun dia selalu mengumpat jika sedang berpapasan denganku. Mengatakan kalau dia belum kalah, dan akan merebut kembali miliknya yang telah aku curi.Matanya jelas masih begitu berharap agar bisa bertemu lagi dengan suamiku. Memang selama sidang berlangsung, hanya sekali mantan kekasihnya itu
"Jangan pedulikan ucapan mereka, Bang." Aku mulai merayu saat mendatangi suamiku di kamarnya. Aku membantu melepaskan kemeja yang tadi dia pakai.Entahlah. Masih canggung rasanya bagi kami untuk bersatu dan menempati kamar yang sama. Hingga kami masih harus saling menghampiri jika ada yang ingin dibicarakan."Sudah kubilang aku tak apa-apa." Bang Haikal tersenyum sembari memakai kaos oblong tipis untuk tidur. Lalu seenaknya membuka kancing dan resleting celana panjang, lalu menurunkannya tanpa pemberitahuan."Ish, Abang!" Tubuhku refleks berbalik memunggunginya. Malu jika melihat sesuatu yang sebenarnya sudah pernah aku rasakan."Kau kenapa?" Dia berjalan dengan suara yang kian mendekat."Kenapa buka celana di hadapanku?" Aku merengek."Kau ini aneh. Seperti tidak pernah melihatnya saja." Bang Haikal berjalan mendekati pintu dan menggantung celana panjang tadi. Kini dia sudah terlihat memakai celana pendek di bawah lutut."Tapi
Bima tampak masih sangat tenang meski semua orang menatapnya. Ingin sekali rasanya aku mencekik lehernya karena telah membuat suamiku kembali memikirkan hal yang bukan-bukan tentang aku dan dia.Bang Haikal pasti berpikir kalau Bima masih menaruh perhatian dan mencari cara agar bisa mendekatkan diri denganku. Tanpa dia tahu, kini aku dan Bima terlibat selisih paham karena kekurang ajaran mahasiswa psikologi itu.Jika malam ini sampai terjadi masalah lagi di antara kami karena Bima, aku bersumpah akan melempar kaca jendelanya hingga pecah. Aku lelah dengan semua masalah yang seperti tidak ada habisnya."Wah, Bima baik sekali. Kau dengar itu, Dwi?" Ibu tampak lebih mengagumi pemuda itu dari sebelumnya. "Harusnya kau juga bersemangat seperti Bima. Bukannya kalian seumuran? Kau bisa mengejar ketertinggalan jika belajar bersama Bima."Aku mendesis pelan. Ibu seolah-olah masih menaruh harapan agar aku juga memiliki antusias seperti Bima. Menjadi anak perempuan
Aku rasa sikapku selama ini terlalu kasar menghadapinya. Dari caranya menatapku tadi, seperti ingin menyapa dan menanyakan kabarku. Namun hal itu urung dia lakukan, karena Kania langsung menarik tangannya, dan menyeretnya menjauh dari kami.Tak lama kulihat sebuah mobil Daihatsu Sigra berhenti menghampiri mereka. Lalu gadis yang masih menatapku dengan penuh kebencian itu menghilang bersama ibunya saat mobil itu melintasi dan meninggalkan tempat."Singgah ke rumah, ya, Dwi. Biar nanti Haikal suruh menjemputmu di rumah." Ibu merangkulku hendak menuju mobil.Aku melirik Bima sekilas."Iya, Bu. Bang Haikal pasti akan bergegas menjemput jika tahu aku tidak di rumah." Sengaja aku bicara berlebihan agar Bima tahu bahwa hubungan rumah tanggaku tak seperti yang dia pikirkan.Dia hanya menatapku tajam tanpa mengucap sepatah kata pun.*[Norak!] Sebuah pesan whatsapp masuk atas nama Bima.Mataku membesar saat membacanya. Aku yang duduk di bangku belakang mobil milik ayah langsung membalasnya.[K
"Sudah mulai nakal kau rupanya, ya." Bang Haikal menyentil keningku dengan jemarinya. Membuat bibirku mengerucut dibuatnya."Makanya jangan menyuruhku yang bukan-bukan. Lebih baik aku mengurus sepuluh anak daripada memegang buku pelajaran," protesku.Dia tertawa kecil. "Kalau soal membantah, kau memang juaranya." Bang Haikal mengacak-acak rambutku.Aku tersenyum malu. Menganggap bahwa hal itu adalah suatu pujian, bukan lagi sebuah sindiran yang dia alamatkan untuk mengejekku seperti biasanya.*Siang ini aku menemani Dea ke toko buku. Tadi aku menghampirinya di kampus, lalu pergi bersama dengan Honda Brio merah-nya. Hal rutin yang sering kami lakukan saat bahan bacaan di rumah sudah habis.Dea terkikik geli saat aku menceritakan ide bang Haikal yang ingin kembali menyekolahkanku. Aku mencubit bahunya karena terus-terusan meledek, bahwa suamiku mungkin amnesia dan tak lagi mengenalku. Si bodoh yang ingin cepat-cepat lulus SMA agar bisa menikah dengan pria impiannya."Wanita yang baik
"Abang bicara apa? Kalau mau punya mainan, ya menikah saja. Abang bisa membuat anak sebanyak-banyaknya." Aku menggantikan suamiku menjawab permintaannya. "Aku masih kecil. Belum siap menjadi seorang ibu." Aku memasang wajah merengut.Ini kali kedua abangku meminta hal yang bukan-bukan pada kami. Hanya karena aku sudah jarang mengganggunya, dia jadi meminta penggantiku sebagai tumbal keisengannya.Bang Haikal mengamati wajahku, kemudian menunduk. Masih mengusap-usap dadanya yang mungkin masih merasa sakit akibat tersedak tadi.*Aku dan bang Haikal kembali melintasi malam dengan motor matic kesayangannya. Masih dengan pelukanku yang mesra melingkari pinggangnya. Kami tak ubahnya seperti pasangan remaja yang sedang dimabuk cinta. Dia juga tak lagi canggung saat menunjukkan perhatiannya padaku di depan keluarga kami. Baik di hadapan orang tuaku, terlebih lagi pada ayah dan ibunya. Tak seperti saat awal-awal pernikahan dulu. Selalu saja kaku, bahkan hanya untuk merangkul bahuku."Dwi?" B
Di pagi hari aku kembali menyiapkan sarapan dan juga bekal untuk suamiku. Bang Haikal keluar dari kamar sudah dalam keadaan rapi, lengkap dengan rambutnya yang masih basah dan juga wangi.Aroma shampo menyeruak menerobos indera penciuman. Membuatku merasa nyaman seperti menghirup aroma terapi.Dia duduk di kursi makan. Memerhatikan aku yang meletakkan secangkir teh di hadapannya. "Wajahmu memerah. Apa kau demam?" tegur pria dengan kemeja lengan panjang itu.Sontak aku memegang kedua pipiku. Lalu melotot ke arahnya. Tahu Kalau dia sedang meledekku. Padahal wajahnya sendiri tak berbeda jauh dari apa yang dia katakan tentang aku. Merah dan juga merona di bagian pipinya.Dia tertawa kecil. Lalu menarikku agar berdiri merapat ke tubuhnya. Wajahnya yang kini hanya setinggi perutku dia dongakkan untuk menatapku. Memandang dengan tatapan penuh cinta. Membuatku semakin terpesona dibuatnya."Terima kasih." Setengah berbisik dia ucapkan kata itu. Aku mengulum senyum. Mengingat sikap manisnya m
"Kau tahu aku tidak suka berbasa-basi, kan?" Dia tak lagi terlihat santai. "Lalu sekarang kau mau apa? Kau ingin aku mengakui semuanya dan bertanggung jawab atas pelecehan yang aku lakukan padamu? Aku akan bertanggung jawab. Akan kukatakan semuanya pada suamimu.""Hentikan, Bima! Kau lepas kendali. Aku sudah bersuami dan kau tidak pantas mengatakan semua itu padaku.""Kau sendiri yang memaksaku mengaku. Aku bisa menyelamatkanmu dari pernikahan palsu itu. Sadarlah. Hubungan kalian tidak akan pernah berhasil.""Kau benar-benar kelewatan. Aku membencimu. Aku tak mau lagi bicara padamu!" Aku berlari masuk dan membanting pintu dengan keras. Duduk bersimpuh di balik pintu dengan meremas kerah bajuku sendiri.*Aku baru saja selesai mandi. Terkejut saat melihat bang Haikal sudah berdiri di depan pintu kamarnya yang berhadapan langsung dengan kamar mandi. Sontak aku menutup tubuh bagian atas yang hanya berbalut handuk sampai sebatas dada."Kenapa ditutup? Aku sudah pernah melihat semuanya." B