"Kau benar-benar ingin bercerai?" tanya pria yang kini sedang berdiri di hadapanku. Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan itu.
"Hanya karena kau melihat aku berbicara dengan Kania?" Aku kembali mengangguk. Kali ini dengan mata yang mulai menghangat.
Ada rasa sesak setiap kali suamiku_ Haikal _ menyebut kembali nama itu dengan bibirnya. Seolah sebuah kata-kata yang sengaja dia ciptakan untuk menyakiti perasaanku.
"Cemburu?" Dia kembali bertanya. Aku diam tak mau menjawab. Kemudian membuang pandangan.
"Aku tak sengaja bertemu dengannya." Nada suaranya terdengar rendah. Hingga aku kembali merasa bersalah. "Dan itu hanya sebentar. Tak ada hal istimewa yang kami bicarakan."
Aku memandang wajah tirus berkulit putih itu, lalu kembali menundukkan pandangan. Sejak aku tahu hatinya tak mungkin lagi bisa kumiliki, aku tak berani lagi memandang wajahnya berlama-lama. Bukan karena dia melarang atau tak membalasnya, tapi akulah yang merasa takut.
Takut melihat wajah kecewanya yang mungkin hingga kini masih membenciku.
"Kita sudah menikah. Aku tak mungkin melakukan perbuatan rendah dengan menjalin hubungan dengan wanita lain," tuturnya yang membuatku semakin bertambah rendah diri.
"Tapi tetap saja dia selalu istimewa di hati abang." Entah kenapa bibirku bergetar mengucapkan kalimat itu. "Sama sekali tak ada tempat untukku, kan?"
Mendung yang tadi bergelayut di pelupuk mata, kini telah jatuh bagai gerimis membasahi pipi. Aku semakin menunduk agar pria gagah itu tak melihatnya dan merasa kasihan padaku.
Bisa kudengar kalau suamiku menghela napas dengan kasar. Lalu sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi tubuhnya denganku yang kini sedang duduk di tepi ranjang.
"Kau sudah tahu itu sejak awal, tapi masih memaksa untuk menikah. Salahku di mana?" Dia berucap dengan hati-hati.
Aku kembali menoleh ke arahnya. Melihat wajah itu dari jarak dekat. Tampan dan begitu... dewasa.
"Maaf." Hanya itu yang aku ucapkan. Lalu kembali menangis.
*
Semua memang salahku. Memaksa pria yang jelas-jelas sudah punya kekasih untuk menikahiku. Memanfaatkan keadaan keluarganya yang sedang terdesak hingga mau tak mau menerima bantuan dan syarat dari keluargaku.
Telah kupikirkan matang-matang. Baiknya kulepaskan saja dia.
Enam bulan sudah aku mencoba menarik perhatiannya sebagai istri. Seperti kisah novel-novel romantis yang kubaca, banyak pernikahan tanpa cinta akan tetap berakhir dengan malam pertama yang lucu dan berkesan. Entah diawali dengan pertengkaran, lalu berakhir dengan jatuh terpeleset, kemudian saling berpelukan.
Romantis, bukan?
Meski malam pertama tak melakukan ritual pengantin, tetap saja akan ada adegan yang membuat kami saling berdebar dan berakhir dengan sebuah keakraban. Tapi ternyata aku salah. Kisah romantis dalam novel sepertinya bukan untukku. Atau semua itu hanya kisah fiktif belaka.
Pria berusia dua puluh lima tahun itu bersikap biasa saja. Tak ada rasa canggung atau malu-malu saat menghadapi wanita yang telah sah dan halal untuk dia sentuh. Tingkah polahnya masih tetap menganggapku sebagai adik dari sahabatnya. Datar-datar saja. Tak seperti jantungku yang dag dig dug tak beraturan.
Bukan aku berharap nafkah batin sebagai seorang istri. Karena aku pun belum pernah merasakannya. Tak tahu apakah rasanya benar-benar enak atau tidak. Aku hanya berharap dia mau memelukku saja. Memberikan ciuman di kening seperti yang aku lihat saat dia melakukannya pada Kania, kekasihnya sebelum menikahiku.
Apa aku semenjijikkan itu. Hingga melakukan hal-hal seperti orang berpacaran saja dia tidak mau. Aku tahu bang Haikal tak sereligius seorang ustadz. Tapi setiap masuk adzan, aku selalu melihatnya berwudhu untuk mengerjakan perkara lima waktu. Paling tidak laki-laki seperti itu paham akan ilmu agama walau hanya sekedar kewajiban sebagai suami.
Namun tetap saja rasa kagum itu tak berkurang. Tanggung jawabnya sebagai seorang suami patut kuancungi jempol. Semua gaji dia serahkan untuk aku kelola. Padahal dia sendiri tahu bahwa uangku lebih banyak dari jumlah gaji yang dia hasilkan.Sampai saat ini kami masih seperti orang asing yang tetap tidur di kamar terpisah. Dia masuk ke kamarku dan bermalam, hanya saat keluarga kami datang, dan mungkin menginap. Setelahnya kami tak lebih dari anak kost yang berdiam di masing-masing kamar.*Sore ini aku kembali menantinya pulang dari kantor. Kulihat sepeda motornya sudah memasuki halaman. Aku bergegas menyeduh teh manis yang airnya sudah aku panaskan sebelumnya.Seperti biasa dia langsung duduk di meja makan dan menyeruput teh aroma melati itu. Aku ikut duduk di hadapannya. Menatap wajahnya dengan serius."Ada apa?" Dia tampak heran dengan sikapku.Mataku mengerjab. Bingung harus mulai dari mana. Detik berikutnya dia mengangkat pergelangan tangan untuk melihat jam yang melingkarinya."Ak
Aku melotot ke arahnya. Lalu menarik tanganku yang masih berada dalam pegangannya. Sejak kapan suamiku ini jadi pria mesum yang memikirkan nina ninu malam pengantin.Apa wajahku ini terlihat sedang membutuhkan sesuatu yang sensitif seperti itu? Berpacaran saja tidak pernah. Mana mungkin aku memikirkan hal-hal menjijikkan seperti itu."Kenapa diam? Mau?" Suamiku kembali bertanya dengan nada tegas.Sekarang sepertinya dialah yang menginginkan hal itu. Dasar mata keranjang!Aku memasang wajah cemberut. Sekujur pipiku kini terasa panas mendengar ajakan konyol seperti itu. "Abang jangan asal bicara!" Aku sedikit membentak. Agar dia tahu kalau pikirannya tadi jelas salah. "Aku tidak mau lagi jadi wanita egois seperti yang abang katakan selama ini. Aku juga punya hati dan harga diri. Kalau selama ini abang belum juga bisa menganggap aku seperti Kania, baiknya aku mundur. Bukankah seharusnya abang mengucapkan terima kasih?" Lagi-lagi mataku ikut menghangat saat terlibat perdebatan dengannya
Waktu sudah menunjukkan hampir magrib. Tak lama terdengar suara adzan. Kali ini aku sengaja memperlambat diri ke kamar mandi untuk berwudhu. Tahu bahwa bang Haikal langsung ke sana.Aku menguping dari depan pintu, lalu segera keluar untuk berwudhu setelah mendengar pintu ditutup dari kamar sebelah.Kamar mandi di rumah ini memang tak ada yang berada di dalam kamar. Usai menikah, bang Haikal langsung mengajakku untuk pindah dan mengontrak rumah.Rumah sederhana dengan dua kamar. Dia tak ingin kami tinggal di rumah orang tuaku ataupun orang tuanya.Padahal aku tahu, dia pasti hanya ingin membuatku merasa tak nyaman. Tinggal di rumah sederhana, sedang sebelumnya aku tinggal di rumah besar dan punya asisten rumah tangga untuk membersihkan rumah.Namun aku tetap harus membuktikan bahwa aku benar-benar pantas menjadi istri yang baik baginya. Mengikuti kemana dia pergi dan melayani kebutuhannya sehari-hari. Memasak, mencuci, bahkan membersihkan rumah dengan ikhlas aku jalani. Semewah apa p
"Naf__nafkah ba__tin?" Ucapanku terbata.Kapan aku bilang menginginkannya?"Abang sedang mabuk, ya?" protesku, sambil bangkit dari tempat tidur. Tentu saja masih dengan tangan yang masih setia melindungi kerah piyama."Bu_bukankah kau sudah setuju? Kau bahkan terdengar begitu yakin." Suara bang Haikal tampak gugup. "Tapi... itu...."Ah, ya. Ini pasti salah paham. Dia membahas apa, aku menjawab apa.Aku menarik napas. Jadi yang dari tadi dia maksud adalah tentang nina ninu malam pengantin? Pantas saja hanya aku sendiri yang dia bilang akan merasa sakit. Kudengar memang seperti itulah rasanya pertama kali seorang wanita menanggalkan status perawannya. "Jadi, kau mau atau tidak?" Bang Haikal kembali bertanya. Namun lagi-lagi pertanyaan itu terasa begitu ambigu. Aku takut kembali terjadi kesalah pahaman."TIDAK MAU!" Aku setengah berteriak sambil menggeleng. Mengusap sisa air mata yang tadi mengalir deras.Apa pun itu, aku tidak mau. Baik bercerai atau nafkah batin, aku tetap tidak mau
Malam hari usai salat isya, bang Haikal tetap berada di dalam kamar seperti biasa. Kami benar-benar seperti anak kost yang tidak saling peduli satu sama lain. Sibuk dengan urusan masing-masing. Terkadang aku menguping dari pintu kamarnya, siapa tahu dia sedang mengobrol bersama Kania melalui video call. Sikap bang Haikal berubah seratus delapan puluh derajat saat aku memintanya menikah. Dia tak mau lagi dekat denganku seperti sebelum-sebelumnya.Seumur hidup aku dan dia bertetangga dan akrab layaknya kakak dan adik. Namun perasaannya lenyap begitu saja begitu aku bilang mencintainya dan memaksa ingin menikah dengannya.Memangnya aku sehina itu? Tak pantas jatuh cinta dengan pria istimewa yang selalu aku puja. "Jangan main-main, Dwi," ucapnya kala itu. "Sekolah yang benar." Dia lalu mengacak-acak rambutku saat pertama kali mengungkapkan perasaan.Saat itu aku masih kelas dua SMP. Sedang usia kami yang hampir terpaut enam tahun membuat dia sudah berada di fase usia hampir dewasa. Saa
"Kenapa Abang jadi galak? Kalau tidak mau kan tidak harus marah-marah." Aku mulai menangis.Hatiku terasa begitu sakit. Entah karena merasa dia terlalu kasar hanya karena masalah sepele seperti ini, ataukah saat dia kembali membawa-bawa nama Kania.Obsesi katanya? Dia bilang aku iri? Ya. Aku memang iri. Gadis bernama Kania telah mencuri perhatian dan semua waktu yang dulu bang Haikal berikan untukku. Lebih memilih mengantar Kania yang berlawanan arah ketimbang menjemputku dari pulang les meski tempat tinggal kami berdekatan."Minta Eka atau Pak Ali menjemputmu, ya. Kasihan kalau Kania pulang sendirian."Alasan ke sekian yang membuatku begitu membenci Kania.*Aku dan suamiku akhirnya memakai mobil ayah. Dia akhirnya mengalah setelah melihatku menangis, lalu meminta maaf karena terlalu kasar dan berjanji tidak akan mengungkit soal Kania lagi. Ya. Sebesar itu cara dia menghargai perasaanku. Tapi, jika perasaannya sendiri juga belum berubah untuk mencintaiku, aku bisa apa?Kami sampai
"Eh, sudah, ya? Suamiku pasti sudah menunggu." Aku bergegas pergi tanpa berniat menjawab pertanyaannya.Kuliah? Bahkan berangkat sekolah dulu pun aku sudah malas. Tak ada pelajaran yang aku sukai. Juga tak ada guru tampan atau kakak kelas yang membuatku bersemangat menuju ke sana. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar cepat pulang dan melintasi rumah kontrakan yang ditempati bang Haikal dan keluarganya."Ini saladnya, Bang." Aku meletakkan mangkuk kecil di atas meja. Dia hanya mengangguk."Abang lama menunggu, ya? Tadi aku berbicara sebentar dengan teman. Sudah lama tidak bertemu. Dulu dia itu__.""Tidak apa-apa," selanya sebelum aku menyelesaikan ucapan. "Kau temui saja dulu teman-temanmu. Aku tunggu di sini." "Abang bosan, ya?""Kubilang tidak apa-apa. Ini pesta temanmu. Berbaurlah."Aku tak menggubris ucapannya. Aku lebih memilih menemaninya meski tahu tak akan ada pembicaraan berarti di antara kami. Ingin sekali aku mengajaknya pulang. Kasihan karena kelihatannya dia t
Aku langsung mendongak karena tak mengenali sepatu itu. Lalu Kulihat sesosok pria yang tadi kutemui sedang berdiri menatapku. Aku langsung bangkit dan berdiri. Mengusap air mata dengan menekuk jari telunjuk. Menyelipkan rambutku ke belakang telinga yang kurasa tadi sedikit acak-acakan. Bima tak boleh melihat keadaanku yang kacau seperti ini."Sedang apa kau di sini?" Aku balik bertanya."Pulang. Itu mobilku." Dia menunjuk dengan dagu ke samping mobil yang kami bawa tadi.Aku hanya ber oh ria saja. Tak ingin bertanya lebih jauh."Kau sendiri? Kenapa menangis?""Aku? Siapa yang menangis? Aku baik-baik saja." Aku berdusta agar dia tak bertanya lagi. Dia menatapku heran. Raut wajahnya jelas tak percaya pada pengakuanku."Kenapa sendirian? Mana suamimu?""Oh, itu... dia....""Aku di sini. Ada perlu apa mencariku?" Suara bariton itu tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. Aku langsung menekuk wajah begitu melihatnya. Meski di depan orang lain aku baik-baik saja, tetap saja tak bisa kuse
"Sudah kubilang itu bukan urusanmu. Kau semakin lancang, Bim. Aku tak mau punya teman sepertimu!" Kubuang muka, tanda tak terima dengan sikapnya."Aku mendengar pembicaraanmu saat di toko buku. Kenapa tak menurut saja? Suamimu bahkan ingin menjauh dengan kembali menyekolahkanmu." Ucapannya kini tak lagi kasar. Terkesan seperti memohon pengertian.Aku menelan ludah. Lalu beralih kembali menatap wajahnya. Begitukah cara dia mengungkapkan perasaannya? Sama sekali tak ada bedanya denganku. Egois dan selalu menggunakan berbagai cara."Kau mengikuti kami?" Aku langsung menebak.Dia sama sekali tidak menyangkal. Malah memandangku dengan sorot mata yang... mungkin meminta pengertian."Sikapmu sama sekali tidak mencerminkan mahasiswa terpelajar, Bim. Kau seperti....""Ya! Aku terlihat seperti orang gila, kan?!" Menggeram dia menebak ucapanku yang terhenti. "Aku sama sepertimu. Jatuh cinta pada orang yang salah."Mata itu kini
Setelah menjalani proses yang memakan waktu cukup lama, akhirnya pengadilan memutuskan Kania bersalah. Dia dijatuhi hukuman dua tahun kurungan.Aku merasa lega, bukan hanya karena tindakan kekerasan yang dia lakukan terhadapku. Namun juga karena sikapnya yang selama ini terus menerus meneror batinku. Membuatku merasa tak layak dicintai oleh suamiku sendiri. Juga membuat bang Haikal selalu merasa rendah diri dan takut mencintai wanita sepertiku, meski telah sah menjadi isterinya.Masih kuingat dengan jelas wajah terakhir gadis itu sebelum petugas membawanya. Tak ada penyesalan terlihat di sana. Seolah apa yang dia lakukan bukanlah sesuatu yang salah. Di sidang-sidang sebelumnya pun dia selalu mengumpat jika sedang berpapasan denganku. Mengatakan kalau dia belum kalah, dan akan merebut kembali miliknya yang telah aku curi.Matanya jelas masih begitu berharap agar bisa bertemu lagi dengan suamiku. Memang selama sidang berlangsung, hanya sekali mantan kekasihnya itu
"Jangan pedulikan ucapan mereka, Bang." Aku mulai merayu saat mendatangi suamiku di kamarnya. Aku membantu melepaskan kemeja yang tadi dia pakai.Entahlah. Masih canggung rasanya bagi kami untuk bersatu dan menempati kamar yang sama. Hingga kami masih harus saling menghampiri jika ada yang ingin dibicarakan."Sudah kubilang aku tak apa-apa." Bang Haikal tersenyum sembari memakai kaos oblong tipis untuk tidur. Lalu seenaknya membuka kancing dan resleting celana panjang, lalu menurunkannya tanpa pemberitahuan."Ish, Abang!" Tubuhku refleks berbalik memunggunginya. Malu jika melihat sesuatu yang sebenarnya sudah pernah aku rasakan."Kau kenapa?" Dia berjalan dengan suara yang kian mendekat."Kenapa buka celana di hadapanku?" Aku merengek."Kau ini aneh. Seperti tidak pernah melihatnya saja." Bang Haikal berjalan mendekati pintu dan menggantung celana panjang tadi. Kini dia sudah terlihat memakai celana pendek di bawah lutut."Tapi
Bima tampak masih sangat tenang meski semua orang menatapnya. Ingin sekali rasanya aku mencekik lehernya karena telah membuat suamiku kembali memikirkan hal yang bukan-bukan tentang aku dan dia.Bang Haikal pasti berpikir kalau Bima masih menaruh perhatian dan mencari cara agar bisa mendekatkan diri denganku. Tanpa dia tahu, kini aku dan Bima terlibat selisih paham karena kekurang ajaran mahasiswa psikologi itu.Jika malam ini sampai terjadi masalah lagi di antara kami karena Bima, aku bersumpah akan melempar kaca jendelanya hingga pecah. Aku lelah dengan semua masalah yang seperti tidak ada habisnya."Wah, Bima baik sekali. Kau dengar itu, Dwi?" Ibu tampak lebih mengagumi pemuda itu dari sebelumnya. "Harusnya kau juga bersemangat seperti Bima. Bukannya kalian seumuran? Kau bisa mengejar ketertinggalan jika belajar bersama Bima."Aku mendesis pelan. Ibu seolah-olah masih menaruh harapan agar aku juga memiliki antusias seperti Bima. Menjadi anak perempuan
Aku rasa sikapku selama ini terlalu kasar menghadapinya. Dari caranya menatapku tadi, seperti ingin menyapa dan menanyakan kabarku. Namun hal itu urung dia lakukan, karena Kania langsung menarik tangannya, dan menyeretnya menjauh dari kami.Tak lama kulihat sebuah mobil Daihatsu Sigra berhenti menghampiri mereka. Lalu gadis yang masih menatapku dengan penuh kebencian itu menghilang bersama ibunya saat mobil itu melintasi dan meninggalkan tempat."Singgah ke rumah, ya, Dwi. Biar nanti Haikal suruh menjemputmu di rumah." Ibu merangkulku hendak menuju mobil.Aku melirik Bima sekilas."Iya, Bu. Bang Haikal pasti akan bergegas menjemput jika tahu aku tidak di rumah." Sengaja aku bicara berlebihan agar Bima tahu bahwa hubungan rumah tanggaku tak seperti yang dia pikirkan.Dia hanya menatapku tajam tanpa mengucap sepatah kata pun.*[Norak!] Sebuah pesan whatsapp masuk atas nama Bima.Mataku membesar saat membacanya. Aku yang duduk di bangku belakang mobil milik ayah langsung membalasnya.[K
"Sudah mulai nakal kau rupanya, ya." Bang Haikal menyentil keningku dengan jemarinya. Membuat bibirku mengerucut dibuatnya."Makanya jangan menyuruhku yang bukan-bukan. Lebih baik aku mengurus sepuluh anak daripada memegang buku pelajaran," protesku.Dia tertawa kecil. "Kalau soal membantah, kau memang juaranya." Bang Haikal mengacak-acak rambutku.Aku tersenyum malu. Menganggap bahwa hal itu adalah suatu pujian, bukan lagi sebuah sindiran yang dia alamatkan untuk mengejekku seperti biasanya.*Siang ini aku menemani Dea ke toko buku. Tadi aku menghampirinya di kampus, lalu pergi bersama dengan Honda Brio merah-nya. Hal rutin yang sering kami lakukan saat bahan bacaan di rumah sudah habis.Dea terkikik geli saat aku menceritakan ide bang Haikal yang ingin kembali menyekolahkanku. Aku mencubit bahunya karena terus-terusan meledek, bahwa suamiku mungkin amnesia dan tak lagi mengenalku. Si bodoh yang ingin cepat-cepat lulus SMA agar bisa menikah dengan pria impiannya."Wanita yang baik
"Abang bicara apa? Kalau mau punya mainan, ya menikah saja. Abang bisa membuat anak sebanyak-banyaknya." Aku menggantikan suamiku menjawab permintaannya. "Aku masih kecil. Belum siap menjadi seorang ibu." Aku memasang wajah merengut.Ini kali kedua abangku meminta hal yang bukan-bukan pada kami. Hanya karena aku sudah jarang mengganggunya, dia jadi meminta penggantiku sebagai tumbal keisengannya.Bang Haikal mengamati wajahku, kemudian menunduk. Masih mengusap-usap dadanya yang mungkin masih merasa sakit akibat tersedak tadi.*Aku dan bang Haikal kembali melintasi malam dengan motor matic kesayangannya. Masih dengan pelukanku yang mesra melingkari pinggangnya. Kami tak ubahnya seperti pasangan remaja yang sedang dimabuk cinta. Dia juga tak lagi canggung saat menunjukkan perhatiannya padaku di depan keluarga kami. Baik di hadapan orang tuaku, terlebih lagi pada ayah dan ibunya. Tak seperti saat awal-awal pernikahan dulu. Selalu saja kaku, bahkan hanya untuk merangkul bahuku."Dwi?" B
Di pagi hari aku kembali menyiapkan sarapan dan juga bekal untuk suamiku. Bang Haikal keluar dari kamar sudah dalam keadaan rapi, lengkap dengan rambutnya yang masih basah dan juga wangi.Aroma shampo menyeruak menerobos indera penciuman. Membuatku merasa nyaman seperti menghirup aroma terapi.Dia duduk di kursi makan. Memerhatikan aku yang meletakkan secangkir teh di hadapannya. "Wajahmu memerah. Apa kau demam?" tegur pria dengan kemeja lengan panjang itu.Sontak aku memegang kedua pipiku. Lalu melotot ke arahnya. Tahu Kalau dia sedang meledekku. Padahal wajahnya sendiri tak berbeda jauh dari apa yang dia katakan tentang aku. Merah dan juga merona di bagian pipinya.Dia tertawa kecil. Lalu menarikku agar berdiri merapat ke tubuhnya. Wajahnya yang kini hanya setinggi perutku dia dongakkan untuk menatapku. Memandang dengan tatapan penuh cinta. Membuatku semakin terpesona dibuatnya."Terima kasih." Setengah berbisik dia ucapkan kata itu. Aku mengulum senyum. Mengingat sikap manisnya m
"Kau tahu aku tidak suka berbasa-basi, kan?" Dia tak lagi terlihat santai. "Lalu sekarang kau mau apa? Kau ingin aku mengakui semuanya dan bertanggung jawab atas pelecehan yang aku lakukan padamu? Aku akan bertanggung jawab. Akan kukatakan semuanya pada suamimu.""Hentikan, Bima! Kau lepas kendali. Aku sudah bersuami dan kau tidak pantas mengatakan semua itu padaku.""Kau sendiri yang memaksaku mengaku. Aku bisa menyelamatkanmu dari pernikahan palsu itu. Sadarlah. Hubungan kalian tidak akan pernah berhasil.""Kau benar-benar kelewatan. Aku membencimu. Aku tak mau lagi bicara padamu!" Aku berlari masuk dan membanting pintu dengan keras. Duduk bersimpuh di balik pintu dengan meremas kerah bajuku sendiri.*Aku baru saja selesai mandi. Terkejut saat melihat bang Haikal sudah berdiri di depan pintu kamarnya yang berhadapan langsung dengan kamar mandi. Sontak aku menutup tubuh bagian atas yang hanya berbalut handuk sampai sebatas dada."Kenapa ditutup? Aku sudah pernah melihat semuanya." B