Perempuan itu tersungkur di lantai dalam kondisi lemas dan melindungi wajahnya menggunakan kedua tangan. Erica masih berusaha untuk kuat dan berdiri meski sempoyongan.Erica tampak sangat memprihatinkan, mulai dari bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah, wajahnya terasa remuk dan berbekas serta merah, rambutnya berantakan dan dia merasa rahang giginya seperti akan rontok. Pandangan Erica juga menjadi kabur. "Kamu yang membuatku jadi begini, Topan." Erica masih tidak mau kalah. "Kenapa kamu marah padaku? Seharusnya kamu marah pada istrimu yang lumpuh itu. Dia bersekongkol dengan orang tuanya."Walaupun Erica merasakan kepalanya pusing karena dihantam tangan Topan, tetapi dia akan berhenti ketika tubuhnya benar-benar kehabisan darah."Dan kamu sendiri juga tahu mertua kamu menyekap Emma, tapi kamu tidak berbuat apa-apa pada mereka. Kamu dan mereka yang seharusnya yang dilenyapkan, bukan aku!""Kamu bersekongkol
"Kamu dan orang tuamu menghancurkanku. Kalian membeli data perusahaanku. Kalian bekerja sama dengan Erica mencuri data perusahaanku!" Topan menggeleng. "Kamu tega, Laura. Kenapa kamu tega melakukan ini?" Laura tidak dapat menahan rasa terkejutnya mendapat tuduhan dari suaminya. Dia tertegun dengan mata menerawang, lalu menggeleng. "Tidak, itu tidak benar. Aku tidak mencuri data perusahaan. Ini perusahaanku juga. Kenapa kamu menuduhku seperti itu?""Aku tidak menuduhmu, tapi bukti perbuatanmu sudah ditemukan oleh Jeremy. Erica pun sudah mengakuinya!" Laura tidak berkutik ketika Topan menyebut nama Erica dan Jeremy. Dia bertanya dalam situasi terjepit itu bagaimana Jeremy bisa mengetahui perbuatan Erica?"Untuk apa aku melakukan kejahatan itu? Erica menjual informasi rahasia perusahaan pada orang tuaku, bukan berarti aku juga terlibat dalam kasus itu." Laura harus meyakinkan mereka bahwa keluarga tak selalu sejalan."Kamu juga tahu aku tidak setuju dengan perbuatan orang tuaku yang me
"Cukup, Laura. Aku tidak ingin mendengar apa-apa." "Topan!" Laura memanggil setengah berteriak, saat Topan berdiri dan meninggalkan mereka. "Kembali ke kamarmu!" perintah Alex. "Bawa Nyonya ke kamar. Dia harus dihukum!""Kakek …." Laura menggeleng, lalu menolak para pelayan untuk membawanya ke kamar. "Saya tidak akan ke mana-mana." "Seret dia ke kamar!" perintah Alex. Jeremy mencari Topan setelah Laura dibawa paksa oleh pelayan. Dia menemukan Topan mengurung diri di kamar lain, bahkan saat Jeremy membuka pintu, Topan tidak bereaksi sama sekali. "Ceritakan semuanya, Jeremy." Alex tiba-tiba muncul di pintu. Dia tampak terpukul dari wajahnya yang keriput di sudut mata, kening dan pipi yang sangat jelas. Ketika mendengar permintaan Alex, Topan menoleh membawa beban berat di dada. "Kemarilah, Topan. Ayo, kita duduk mendengarkan penjelasan Jeremy."Mereka mengambil tempat duduk di sofa, sedangkan Alex di dekat sofa mereka. Jeremy sangat jelas menceritakan semua yang dia ketahui dan
Itu sangat benar. Permasalahan mereka akan melebar dan semakin pelik, jika Kia ditukar sebagai syarat transaksi dengan Emma. Topan pasti akan menjadi gila jika hal itu terjadi. "Malvino baru saja mengabari Kakek. Kita bicarakan itu nanti. Ayo, kita ke rumah sakit sekarang membawa Kia. Sepaya Laura atau komplotannya tidak bisa membawa Kia pergi." Permbicaraan mereka berhenti ketika Feni datang mengetuk pintu. "Tuan, Kia sedang tidur dan baru saja setelah lelah bermain.""Bawa saja kemari. Saya ingin menggendongnya."Tapi, Tuan … Kia belum lama tertidur. Beberapa hari belakangan dia kesulitan tidur dan sering menangis di malam hari.""Bawa saja dia ke sini. Saya yang akan menidurkannya kalau dia bangun." desak Alex. "Cepatlah."Feni menganggukkan kepala, lalu kembali ke kamar Laura untuk mengambil Kia. Dia kembali ke kamar Alex bersama Kia yang menangis. "Nyonya Laura tidak mengizinkan Kia saya ambil, karena itu saya agak lama membawa Kia.""Berikan Kia pada saya dan kamu bersiap s
"Tidak, Kia anak yang kuat dan sehat. Dia juga sayang pada Anda, mana mungkin dia pergi meninggalkan ibunya?" sahut Jeremy."Di mana anakku? Di mana dia? Aku ingin bertemu dengannya!" Reaksi Emma membuat Jeremy kesulitan memberi jawaban. Perempuan itu sangat lemah, tertekan, dan merintih histeris setiap membicarakan anaknya. Cara Emma menatap sangat menyentuh hati Jeremy, hingga lelaki itu tidak tega mengabaikan permintaan Emma. Namun, dia tidak bisa membawa Kia masuk untuk mempertemukan mereka, sebab peraturan IGD yang melarang keras membawa anak-anak masuk ke IGD. "Saya harap Nyonya kuat melewati masa sulit ini. Kia baik-baik saja. Jangan gusar. Saya harus pergi sekarang." Jeremy segera berjalan keluar tanpa menggubris panggilan Emma.Perempuan itu memanggil dengan suara yang terdengar pilu dan menyakitkan. Dia berusaha bangun dan membuka selang infus, lalu turun dari kasur dengan usaha keras. Emma hampir terjatuh ketika berjalan memegang bankar, menuju ke pintu untuk mewujudkan
Laura terkejut ketika mendengar suara pintu dibuka dengan keras. Dia melihat Topan masuk dengan wajah sangar ketika menoleh ke pintu. Di belakang Topan ada tiga orang pelayan mengikutinya. Mereka mulai mengambil koper dari tempat penyimpanan di kamar Topan, lalu memyusun pakaian Laura tanpa bicara sepatah kata."Kenapa kalian mengeluarkan pakaian saya dari dalam lemari? Siapa yang menyuruh kalian?" Laura bertanya dengan suara keras. "Aku! Kita harus pergi sekarang." Topan memutar arah kursi roda Laura, lalu mendorongnya keluar kamar."Pergi ke mana?" Wajah Laura terlihat heran dengan sikap yang tiba-tiba dan aneh dari Topan. "Tiara, bereskan barang-barang Nyonya yang lain!" perintah Topan sesaat setelah keluar dari pintu."Aku tidak mengerti ini, Topan. Apa maksud kamu?" "Kita akan menemui orang tuamu.""Orang tuaku? Kenapa? Ada apa? Kenapa kamu membawaku ke rumahku? A
"Liburan yang menyenangkan." Erica tersentak ketika mendengar suara lelaki dari jarak dekat. Matanya mendelik dan tubuhnya menegang saat melihat Jeremy tersenyum misteri di dekat tiang pintu. Setelah memutuskan kabur dari Indonesia, Erica memutuskan tinggal di hotel dekat bandara sebelum melanjutkan penerbangan. Dia sedang menikmati hidangan setelah renang ketika Jeremy mengamatinya sejak tadi. "Pasti healingmu sudah membaik," sindir Jeremy lagi. Kamu pecundang, Erica."Erica mengumpat pedas dalam hati karena Jeremy berhasil menemukannya. Dan lirikannya menjadi tajam karena disebut pecundang. "Aku perlu bicara denganmu." Jeremy mengeluarkan borgol dari saku celana, lantas mengikat satu tangan Erica dengan tangannya. "SHIT!" Erica menarik tangan yang diborgol dan berusaha lari. Namun, Jeremy sigap menarik Erica ke dalam mobil. Steve sudah menunggu dengan sebatang rokok, langsung me
"Saya tidak tahu bukti apa yang kamu maksud. Kamu sekretaris cerdas, bisa jadi bukti itu hanya buatan kamu untuk memojokkan saya." Laura melakukan bantahan agar dia tidak terseret arus permainan Erica, sebab dia tidak yakin pernyataan Erica tentang bukti yang dimiliki adalah benar. Meskipun, Laura merasa kekhawatiran menyelinap dalam dirinya. Bisa jadi Erica mengatakan hal yang benar. "Termasuk cek dari Tuan Albert adalah palsu?" Dia terus menggiring Laura ke situasi yang membuat Laura tidak bisa membantah setiap serangan yang dia lakukan. Erica tertawa sumbang dan geli atas tuduhan Laura tentang bukti palsu dan wajah Laura yang berubah pucat."Cek itu dari ayah saya untukmu, bukan dari saya." "Itu benar, karena Anda juga terlibat, Nyonya. Saya hanya mengingatkan Anda bagian-bagian yang mungkin sengaja Anda lupakan." "Bagaimana kamu membuktikan tentang bukti itu?" tanya Alex pada Erica. "Saya menyimpan file itu dengan sangat baik. Jangan mencarinya di apartemen saya, karena tidak
Mereka turun di restoran mahal. Topan memesan menu-menu barat yang belum pernah Emma rasakan. Sambil menunggu pelayan mengantarkan makanan, Topan lanjut berbincang. Memperkenalkan banyak hal pada Emma tentang kehidupan orang-orang kaya, kebiasaan mereka dan lainnya."Aku sering melihatnya di tv. Kalian suka membuang-buang uang untuk barang-barang tidak penting. Sandal untuk ke WC saja harganya tiga juta Rupiah." Topan tidak terima dikatakan buang-buang uang hanya untuk sandal WC. Itu bukan buang-buang uang melainkan kualitas hidup dan prestige. "Emma, karena kamu bicara denganku maka aku masih mengerti. Tapi kalau kamu bicara dengan orang lain seperti tadi kamu akan ditertawakan. Tidak tahu apa-apa tentagn kehidupan orang kaya, kenapa membeli produk mahal hanya untuk dipakai di kamar mandi, kenapa beli tas mahal sampai satu milyar untuk satu tas."Topan mendekatkan dirinya lagi pada Emma. Dia ingin Emma memahami tentang gaya hidup dan cara pandang orang kaya dalam memaknai sesuatu b
"Kamu pernah ke sini?" Topan bertanya ketika mobil menginjak rem di Kota Tua. "Belum pernah, hanya sering mendengarnya. Katanya Kota Tua tempat wisata yang banyak nilai sejarah," kata Emma, terpana memandang pemandangan Kota Tua yang menakjubkan. Dengan menggendong Kia, Topan menggandeng tangan Emma masuk ke Kota Tua. Dia terlhat sangat keren dan menjadi pusat perhatian pengunjung di sana. Topan menggunakan kaca mata gelap, memakai pakaian kasual yang sederhana tetapi terlihat mahal.Emma awalnya tidak peduli dengan perhatian para perempuan di sana. Namun, dia menjadi risih pada akhirnya karena mereka turut meliriknya.Aroma parfum Topan juga sangat menggoda. Dia sangat wangi dan membuat perempuan semakin tidak bisa berpaling darinya. Emma tahu risiko menjadi istri orang ganteng dan kaya. Namun, apa mereka tidak bisa menjaga matanya sebentar saja?Entah apa yang membuat Emma mengeratkan jarinya di genggaman Topan, tetapi hatinya tidak suka melihat yang matanya lihat.Topan membawa
"Kamu tahu apa yang paling diinginkan seseorang yang mencinta?" Emma menoleh ketika pertanyaan Topan terdengar menggelikan di telinganya. Entah kenapa Topan terdengar seperti seorang pujangga kali ini."Aku tidak tahu. Aku tidak mengharapkan mencintai lagi karena itu menyakitkan," sahut Emma membuat Topan tertegun. "Aku hanya ingin bebas dan tenang, bahagia bersama Kia dan mewujudkan cita-citaku." Topan mendadak merasa kecil hati karena tidak dilibatkan dalam hidup Emma. Dia lalu bertanya, "Apa kamu tidak ingin bahagia bersamaku?" Emma menoleh padanya. Hati Emma berdesir dan dia merasa melambung ke awan. Emma merasa gugup dan kikuk, salah tingkah karena emosinya seketika berubah. "Apa aku salah kalau berkata 'mungkin' karena tidak mau terburu-buru?" "Kalau aku tidak mau menerima kata mungkin, bagaimana?" Topan malah membuat Emma terjun ke dasar jurang, tidak memiliki jalan keluar untuk naik lagi ke tebing. Kenapa dia suka sekali membingungkan Emma? Apa itu hobinya, membuat orang
Laura mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan Topan agar mantan suaminya itu terpancing amarah dan keceplosan mengatakan kebenaran tentang Erica."Saat dia disekap, aku juga ada di sana 'kan? Apa kamu lupa itu,Topan? Jadi sudah pasti aku tahu apa yang terjadi padanya.""Apa yang terjadi padanya?" serang Topan mulai mengikuti alur permainan Laura."Kamu suruh dia keluar menemui seseorang."Topan sempat menegang saat Laura mengatakan tentang perjanjiannya dengan Erica pada hari itu. Ekspresi itu sempat tertangkap oleh Laura meski sekilas. Perempuan itu tersenyum miring dan sinis melihat Topan masuk dalam permainannya. "Kamu dengar sendiri apa yang kukatakan padanya, lalu dia tewas bunuh diri meninggalkan surat permintaan maaf. Siapa yang menduga dia akan berakhir seperti itu? Mengenaskan. Aku tidak menyangka nekat yang dia miliki bisa sejauh itu."Laura memerhatikan Topan dengan ekspresi tajam. Mimik muka Topan ketika berbicara tampak sangat serius dan meyakinkan. Gerakan tubuhnya da
Topan terdiam kaku di depan ranjang Alex dengan perasaan sakit entah bagaimana mengatakannya. Dia menangis diam, tetapi tangannya menggenggam erat dan geram ketika memegang ujung besi ranjang tersebut. Setelah dokter mengatakan yang terjadi dan penyebab terjadinya penyakit tersebut, Topan sontak dihantui rasa takut. Dia bahkan melupakan Emma dan Kia yang menunggunya di luar. Dia ditemani Dagna menemui Alex. Topan tidak mempunyai kata-kata untuk dikatakan. Namun, di kepalanya bergelayut banyak hal yang membuat sesak dan penat. Satu-satunya orang yang dia miliki, temannya bermain, dan tempatnya berkeluh kesah, Alex akan menjadi mimpi buruk bagi Topan jika pria tua itu pergi. "Kita hanya bisa berdoa buat kakekmu," ujar Dagna mengusap punggung Topan untuk menenangkannya. "Maafkan Bibi karena lalai menjaga kakekmu."Dagna mengatakannya dengan suara dan bibir bergetar. Matanya belum berhenti meneteskan air matas sejak Topan mengajaknya masuk ke kamar Alex. "Kakek tidak boleh mati. Tid
"Tidak perlu, aku tahu kamu mengambil kesempatan." Emma memalingkan muka. Entah apa yang membuatnya kikuk dan pipinya merona.Emma juga tidak bisa menjabarkan bagaimana jantungnya berdetak tidak karuan dan sekujut tubuhnya mulai terasa gemetar."Kenapa kamu bilang begitu? Aku punya hak untuk melakukan itu. Kita suami istri. Jadi, apanya yang salah?"Emma tidak menggubris komentar Topan, melainkan beranjak menuju ke kasur, mengambil posisi di sebelah Kia. Topan juga melakukan hal serupa. Sebelumnya, dia mengirim pesan pada Jeremy untuk mengabarinya bila pesawat sudah tiba di bandara.Topan membelai pipi Kia. Dia merasa penat dan beban di bahu luruh ketika jarinya yang kasar dan besar menyentuh kulit Kia yang halus. Lelahnya pun menjadi hilang melihat Kia tidur lelap dengan polosnya."Ceritakan padaku, bagaimana masa kecilmu? Aku ingat kita tidak pernah membahas topik ini sebelumnya," kata Topan memandang Emma."Aku suka bermain layangan. Dulu aku sering bermain di lapangan dekat rumah
"Wahhh … ini indah sekali." Emma terkagum-kagum melihat keindahan Kahlenberg. Salah satu wisata paling populer di Wina. Pengunjung bisa menikmati keindahan kota dan alam Wina dari atas bukit. Topan membawa Emma ke bukit tersebut, sekaligus untuk bersenang-senang di alam terbuka yang lebih bebas. "Kamu suka?" Topan bertanya dengan senyum semringah. Usahanya membawa Emma dan Kia jalan-jalan dan berlibur membuatnya senang. "Tentu saja aku suka. Semuanya sangat indah. Ah, aku tidak bisa mengatakannya seperti apa. Tapi ini benar-benar luar biasa," ujar Emma terkesima memandangi kota dari atas bukit. Topan mengusap kepala Emma ketika angin menerbangkan rambut Emma yang panjang. Dia memindahkan segumpal rambut yang jatuh di wajah Emma dengan tatap terpana. Emma terlihat sangat cantik dan menawan. Entah kenapa. Namun, Topan sulit memindahkan tatap matanya dari Emma. Perempuan itu sedang sangat gembira menikmati pemandangan ditembus angin Kohlenberg. Topan memberi Emma waktu untuk menik
"Dari mana kalian? Aku mencari-cari sejak tadi. Kamu bahkan tidak membawa ponsel," kata Topan ketika melihat Emma dan Kia dari lorong kamar lantai satu. "Aku baru saja bertemu Nyonya Laura." "Apa? Laura? Sedang apa dia di sini?" Kening Topan samar-samar mengerut. "Katanya ada pertemuan bisnis denganmu." Emma berkata tanpa menghentikan langkah. "Ada-ada saja, tidak ada pertemuan di hotel ini. Jeremy harus ikut denganku jika menyangkut bisnis." Topan terkekeh. "Dia menginap di hotel sini juga?" "Dia mengatakan itu padaku. Aku tidak peduli karena aku tidak mengerti bisnis." "Dan kamu percaya?" Topan mengikuti Emma berjalan menuju lift. "Aku tidak peduli kalaupun itu benar. Setahuku bisnis bisa dilakukan di mana saja." Topan menaruh curiga pada kedatangan Laura di hotel itu. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Jeremy untuk mencari informasi tentang Laura. "Tunggu!" Topan menahan pintu lift, ketika Emma akan masuk. "Mau ke mana?" "Kembali ke kamar," sahut Emma bermuka datar. Ent
Entah kenapa Topan menanyakan hal itu di situasi bahagia seperti ini. Dia seperti tidak memiliki waktu lain dan kesempatan untuk mengetahui jawaban Emma yang terakhir. Topan ingin mencuci otak Emma untuk tetap bersamanya dan Kia."Tidak, tidak, anggap saja aku tidak pernah bertanya. Lupakan."Emma mengerutkan kening ketika tipan mengatakan hal itu. Dia tidak mengerti apa yang Topan katakan, sebab saat itu terjadi Emma sedang menyesuaikan posisi berdiri Kia. Dia tidak mendengar apa yang Topan katakan. Topan jadi salah tingkah sekarang. Dia menyandarkan kepala sambil menarik napas agar bisa lega. "Kamu bicara sesuatu?" tanya Emma heran melihat Topan seperti maling tertangkap basah. Topan langsung menoleh dan terdiam memandangi Emma. "Tadi kamu ada mengatakan sesuatu atau tidak?" ulang emma melihat Topan tidak juga menjawab pertanyaannya. Bingung Emma semakin bertambah ketika menemukan ekspresi bingung juga muncul di wajah suaminya."E-tidak-tidak, aku hanya bilang jangan terlalu lam