Pagi itu, Tama sudah bersiap duduk di kursi makannya. Menu sarapan sudah tersaji di piringnya dan Zahra tentu saja sudah berdiri tegak di sampingnya. Sudah lima menit berlalu akan tetapi laki-laki itu belum juga menyentuh makanannya sama sekali."Kenapa dia?" batin Zahra berbicara.Pandangan Tama terus tertuju pada layar ponsel di tangannya dan sesekali melihat ke arah kamar sang Ibu yang masih saja belum terbuka. Selang beberapa saat kemudian, Nufa keluar dari kamar Ibu Naya tapi hanya seorang diri. Wanita paruh baya itu berjalan mendekati sang atasan dengan pandangan yang menunduk."Ada apa? Dimana Ibu?" tanya Tama. "Maaf Tuan. Nyonya bilang kalau beliau tidak mau sarapan. Saya sudah membujuknya tapi beliau bilang katanya Tuan sudah tahu," jelas Nufa masih menunduk. Dia tidak berani menatap wajah Tama yang sudah dipastikan akan sangat marah setelah membawa kabar yang dia bawa ini. Tama mengernyit. Dia sempat berpikir sejenak, apa maksud kalimat terakhir dari sang Ibu? Dengan cepat
Sepanjang hari dari sejak pagi, Tama terus saja marah-marah. Semua pegawai terkena bentak sekecil apapun kesalahan yang mereka buat. Bahkan mereka yang tidak melakukan kesalahan pun, tetap ada saja yang membuatnya terkena omelan sang CEO.Rey yang setiap saat selalu ada di samping Tama adalah orang yang paling banyak terkena semprotan emosi laki-laki itu. Semua karyawan saling bertanya apa yang sedang terjadi pada orang nomor satu di perusahaan Kalingga tersebut. Karena tidak biasanya Tama bersikap seperti itu. Selalu saja ada masalah yang datang akan tetapi tak ada satupun yang bisa membuat sang CEO menjadi tak bisa mengontrol emosi seperti ini."Ada apa Tuan," tanya Rey saat mereka sudah masuk jam istirahat makan siang akan tetapi Tama masih terus fokus pada layar laptopnya."Kenapa?" tanya Tama tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun."Maaf jika saya terlalu ikut campur tapi hari ini anda terlihat sangat berbeda. Apa ada sesuatu yang sedang anda pikirkan?" tanya Rey lagi."Tidak
Suasana yang sebelumnya tenang dan membosankan tiba-tiba saja berubah menjadi panik. Rey yang seketika diminta untuk menjalankan mobilnya secepat yang dia bisa oleh Tama, langsung menginjak pedal gas mobil tersebut dengan dalam. Untungnya kondisi jalanan saat itu cukup lenggang dan tidak sampai membuat mereka kecelakaan.Rey masih belum tahu apa yang terjadi. Selepas Tama menerima panggilan telepon tadi, laki-laki itu langsung saja panik. Dia tidak bisa mendengar pembicaraan orang dari balik telepon itu karena volume ponsel Tama kecil. Sehingga apapun obrolan yang terjadi via ponsel tersebut, tidak akan terdengar oleh orang lain. Dan Rey juga tidak sempat bertanya ada apa karena Tama yang tanpa basa-basi langsung memerintah dengan cepat.Setelah melewati beberapa menit perjalanan akhirnya mobil mereka pun telah sampai di mansion. Tama langsung keluar dari dalam mobil bahkan sebelum kendaraan itu berhenti dengan sempurna. Rey yang melihat hal itu hanya bisa mengernyit bingung."Ada apa
Zahra duduk di samping tempat tidur Ibu Naya. Tangannya menyuapkan sendok demi sendok makanan ke mulut wanita tua itu yang menyantapnya dengan sangat lahap. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir gadis itu. Pandangannya malah lebih sering menunduk. Hatinya juga tak karuan. Bagaimana tidak, di sana di dekat jendela kamar, Tama berdiri dengan angkuhnya.Laki-laki itu memang tidak melihat ke arah mereka. Tama berdiri tegak dengan posisi memandang keluar jendela. Sesekali Zahra mencuri pandang ke arah sang majikannya tersebut. Pakaian kaos berwarna hitam serta celana training berwarna selaras tidak menutupi kekar tubuhnya. Dilihat dari sisi manapun fisik yang dimiliki oleh Tama adalah fisik laki-laki idaman bagi setiap wanita. Jambang tipis, kulit putih, mata tajam, menjadi pelengkap wajahnya yang begitu tampan. Dan jangan lupakan juga hidupnya yang mapan bahkan bisa dikatakan bergelimang harta.Aksi curi pandang yang dilakukan oleh Zahra tak lepas dari pantauan Ibu Naya. Wanita
Tiga hari telah berlalu dari sejak Zahra menyetujui perjodohan dirinya dengan Tama. Iya, dengan alasan tidak tega jika harus membuat kecewa Ibu Naya akhirnya gadis itu pun memilih untuk menerimanya saja. Sebuah keputusan besar yang sangat berani dia ambil tentang masa depannya yang bahkan dirinya tidak memiliki bayangan sama sekali. Apakah keputusannya ini adalah tepat atau salah? Apakah ini akan membawanya pada sebuah kebahagiaan ataukah dia akan menjadi semakin menderita?Sore itu Zahra, Tama dan juga Ibu Naya sedang duduk di sebuah mobil berwarna hitam yang dikendarai oleh Rey. Tama sengaja pulang kerja lebih cepat dari biasanya atas perintah sang Ibu. Laki-laki itu duduk di bangku depan disamping sang asisten. Wajahnya terlihat sangat kecut dan tidak enak dipandang. Sedangkan kedua wanita berbeda usia itu duduk di bangku belakang. Terlihat jelas raut bahagia di wajah Ibu Naya. Dan Zahra? Dia masih tampak tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi saat ini.Setelah memutuskan untuk
"Tidak semudah itu Nyonya Naya yang terhormat," ucap Ibu Lita dan kini mulai menunjukkan taringnya.Setelah mengetahui maksud dan tujuan keluarga Kalingga datang ke rumahnya adalah untuk melamar Zahra, membuat wanita paruh baya itu seperti berada di atas angin. Ibu Naya menatap tajam ke arah Ibu Lita."Sudah aku duga," ucap Ibu dari Tama itu dalam hati."Perkara untuk menikahkan Zahra dengan Tuan Tama yang terhormat memang bukan sebuah masalah yang besar. Tapi setelah kami kehilangan Zahra karena ikut dengan suaminya, itu artinya kami akan kehilangan satu-satunya anak kami yang menjadi sumber dari penghasilan kami," jelas Ibu Lita. Ibu Naya dan juga Tama mengernyit heran."Maksud saya, Zahra adalah tulang punggung bagi keluarga kami. Dia yang selama ini bekerja untuk membiayai kehidupan kami. Karena seperti yang anda semua tahu, ayah Zahra, suamiku, Daksa, sampai sekarang tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Jadi hanya Zahra lah yang bisa kami andalkan. Lalu apa jaminannya jika sampai
Malam itu setelah pulang dari menemui ayah dan juga ibunya, Zahra tidak bisa tidur. Jam di dinding kamar sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam akan tetapi gadis ini masih berdiri di dekat jendela menatap langit malam yang tampak semakin gelap saja. Bayangan adegan terakhir sebelum mereka kembali, masih terus berputar di dalam kepalanya."Baiklah kami setuju. Lagipula jika kami sudah memiliki rumah besar beserta isinya, apalagi ditambah dengan sebuah mobil, kami tidak membutuhkan Zahra lagi."Ucapan tegas nan angkuh dari Ibu Lita membuat gadis ini mengerti sejauh mana pentingnya dirinya di dalam keluarga itu. Selama bertahun-tahun dia bekerja membantu perekonomian keluarga hanya karena sang ayah yang tidak memiliki pekerjaan dan akhirnya lebih senang mempertaruhkan apa yang dia punya di atas meja judi. Bahkan dia juga rela tinggal bersama seorang laki-laki yang sangat kejam hanya untuk membantu melunasi hutang ayah dan juga ibunya.Gadis itu berpikir jika semua pengorbanannya tersebu
Tama duduk menyandarkan tubuhnya di atas sofa. Sebuah laptop masih menyala di atas meja. Begitu juga ponselnya yang selalu setia teronggok di samping layar persegi empat tersebut. Malam itu Tama tidak bisa tidur. Sejak tadi dia masih memeriksa berkas-berkas perusahaan yang masuk ke emailnya dan menurutnya ada beberapa yang terasa ganjil.Laki-laki itu keluar dari dalam kamarnya saat tenggorokannya terasa kering. Karena air minum di dalam teko sudah habis, dirinya terpaksa pergi ke dapur. Setelah selesai dengan segala urusannya dan hendak kembali ke dalam kamarnya, saat itulah dia melihat sang Ibu yang masuk ke dalam kamar Zahra. Siapa sangka hal itu berhasil membuat dirinya penasaran dan akhirnya mengintip kedua wanita itu. Sungguh suatu hal yang tak pernah dia lakukan.Kini Tama tak bersemangat untuk melanjutkan pekerjaannya. Setelah mendengar dan juga melihat interaksi di antara Zahra dan juga Ibu Naya, membuat pikiran laki-laki itu menjadi terganggu."Zahra, permainan apa yang seda
Tama berdiri di depan sebuah cermin besar di dalam salon tersebut. Rambutnya kini sudah sangat rapi dan juga pendek. Jambang dan kumis yang asalnya tebal, kini berubah menjadi tipis. Tak sadar, laki-laki itu pun tersenyum melihat penampilan barunya tersebut.“Bagaimana? Jadi terlihat segar kan?” tanya Zahra berjalan mendekati sang suami.“Hmm,” jawab laki-laki itu dengan jari tangan yang menyisir tipis rambut barunya.Zahra tersenyum. Dia lalu merangkul lengan sang suami dan menyandarkan kepalanya di sana.“Sekarang kamu tidak malu lagi jalan denganku, kan? Sekarang aku terlihat lebih muda,” ucap Tama memandang wajah sang istri dari balik cermin.Zahra mengangkat kepalanya untuk bisa mendongak melihat laki-laki itu. “Mas, sudah aku katakan, bukan? Aku tidak pernah malu untuk bersama denganmu. Aku tidak peduli dengan anggapan orang lain tentang kita. Karena sedih atau bahagia nya hubungan kita, kita sendiri yang tentukan dan kita sendiri yang rasakan. Bukan mereka.” Nada bicara Zahra
Sebuah restaurant seafood yang sangat terkenal di kota itu menjadi tujuan pertama mereka. Sebuah restaurant yang memiliki tiga lantai itu berukuran sangat luas. Zahra bahkan sampai menganga sesaat ketika dirinya menginjakkan kakinya di tempat tersebut. Berbagai gambar menu yang disajikan menjadi penghias dinding berwarna emas itu. Semuanya benar-benar tampak sangat menarik dan tentu saja menggugah selera.“Ini restaurant, kan?” tanya Zahra dengan mata yang terperanjat. Tama tersenyum lalu menarik tubuh sang istri agar lebih menempel dari sebelumnya.“Iya sayang. Ini restaurant seafood nomor satu di kota ini,” jelas laki-laki itu.“Hmm wajar saja. Penampakkannya sangat mewah layaknya sebuah istana seperti ini. Mungkin hanya masyarakat kalangan atas saja yang bisa datang kemari,” jawab Zahra. Kedua matanya masih menyapu semua ornamen yang melekat di dalam ruangan tersebut.Tama memajukan bibirnya lalu berbisik, “Kamu belum melihat spot paling mahal di restauran ini.”Zahra mengalihkan
“Bagaimana dokter?” tanya Tama. Laki-laki itu membantu sang istri duduk di kursi di sampingnya.Pagi itu Tama membawa Zahra untuk memeriksa kondisinya pasca pemukulan yang dilakukan oleh Nufa beberapa minggu yang lalu. Setelah melakukan proses pengecekan panjang, hari ini adalah hari terakhir mereka datang. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Tama memang sedikit berlebihan. Dia bahkan sampai memaksa sang dokter untuk memeriksa seluruh tubuh bagian dalam sang istri dengan berbagai alat.Awalnya dokter keluarga itu merasa bingung karena sesuai dengan apa yang dia ketahui, kecelakaan yang menimpa Zahra tidaklah separah itu. Akan tetapi mau bagaimana lagi. Dia tahu jika yang memintanya itu adalah CEO Kalingga’s Group. Seseorang yang paling tidak suka jika keinginannya dibantah. Apalagi ini menyangkut seseorang yang sangat laki-laki itu cintai.“Semua jenis pemeriksaan yang anda inginkan sudah kami lakukan, Tuan Tama. Dan hasilnya tetaplah sama. Nyonya Zahra baik-baik saja. Bahkan hasil dar
Di dalam sebuah kamar yang memiliki ukuran cukup besar. Sinar matahari sudah mulai merambat masuk melewati kaca jendela yang memang sengaja dibuka. Walaupun demikian, wangi aroma terapi yang dipasang di dalam ruangan tersebut tidak memudar. Udara pagi yang sejuk mulai terasa menusuk di pori-pori kulit seseorang yang ada di dalam sana.Seorang gadis yang sejak semalam terbaring di atas kasur, matanya mulai mengerjap. Kelopak mata yang masih tertutup itu mulai menunjukkan sebuah pergerakan halus. Dan beberapa saat kemudian, Zahra membuka matanya dengan sempurna. Penglihatan yang awalnya kabur, perlahan berubah menjadi jelas. Namun demikian, kondisi tubuhnya yang masih sangat lemas, membuat wanita itu tidak bisa bergerak dengan bebas.“Di-dimana ini?” ucap wanita itu lirih. Mencoba untuk berpikir, membuat luka di bagian belakang kepalanya kembali terasa sakit. Membuat Zahra meringis kesakitan.Mendengar ada suara di dalam kamar sang majikan, pelayan yang ditugaskan untuk menjaga istri da
Pengacara Aldi masih diam menunduk. Dia bahkan tidak berani memandang Rey maupun Nufa yang selama ini menjadi atasannya. Sudut matanya hanya bisa melirik Tama yang duduk dengan tegak di sampingnya. Kedua tangannya dilipat di depan dada dengan sorot mata tajam yang langsung menembus jantung sang pengacara.Laki-laki itu menelan salivanya dengan kuat. Dia sadar jika dirinya kini sedang berada di tengah harimau dan singa. Entah mana yang harus dia pilih, yang jelas keduanya benar-benar sangat berbahaya baginya.“Pengacara Aldi,” panggil Rey kembali. Kali ini dengan nada suara yang sedikit naik.“I-iya tuan,” jawab pengacara Aldi terbata. Keringat dingin semakin terlihat jelas berseluncur di dahinya.“Ayo, keluarkan surat-surat itu! Surat yang menyatakan jika seluruh aset dan juga kekayaan Kalingga sudah jatuh ke tanganku,” titah Rey.“Benar pengacara. Ayo cepat tunjukkan pada laki-laki sok berkuasa ini. Cepat katakan jika sekarang dia sudah berubah menjadi tikus got yang tak memiliki apa
“Silahkan dokter?” ucap Tama. Dia langsung membawa Zahra pulang ke mansion dan meminta dokter keluarga untuk memeriksanya.Sang dokter melakukan pemeriksaan secara detail dan juga teliti. Dia tidak mau melakukan sebuah kesalahan apalagi ini menyangkut istri dari seorang CEO besar. Di sampingnya, Tama masih setia berdiri, memperhatikan sang istri yang masih terkulai tak berdaya. Pakaian yang semula berlumuran darah, sudah dia ganti. Tama melakukannya sendiri karena sejak kejadian Nufa, rasa kepercayaannya kepada para pelayan di mansion menjadi berkurang. Dia takut jika masih ada orang suruhan Rey yang tinggal disana. “Bagaimana, dokter?” tanya laki-laki itu saat melihat sang dokter sudah selesai memeriksa. Dokter tampan itu pun tersenyum.“Tidak apa-apa, Tuan Tama. Kondisi istri anda yang belum sadar, bukan karena ada kesalahan tapi memang itu akibat obat yang diberikan oleh dokter yang memeriksa sebelumnya,” jelas sang dokter keluarga. Tama menghela nafas lega.“Jadi, kira-kira kapan
“Jika kamu berani menembak Rey, maka aku juga berani untuk menghabisi istri tercintamu ini,” ancam Nufa setengah berteriak.Rey dan juga Tama sontak menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Nufa yang sedang menggenggam sebuah gunting dan bersiap untuk menancapkannya di dada Zahra yang belum juga sadarkan diri. “Coba saja kalau berani, Tama!” ucap Nufa lagi. Tama menatap tajam kedua mata tua sang kepala pelayan. “Dari sejak dulu, aku tidak pernah takut padamu ataupun juga pada Yudha - ayahmu.”Tama sadar jika ancaman Nufa bukan hanya gertakan saja. Dia tahu jika wanita paruh baya itu bisa saja berbuat nekad. Mereka sudah pernah menghabisi sang Ibu secara bersih. Sehingga semua bukti menjelaskan bahwa Naya meninggal karena sakit. Tama tahu jika pasangan bibi dan keponakan ini tidak bisa dianggap remeh.Perlahan laki-laki itu menurunkan senjatanya. Melihat Tama yang sepertinya menyerah, dengan cepat Rey berdiri dan mencuri senjata milik sang CEO. Kini suami istri itu berada di bawah
Senja sudah berakhir. Langit terang telah berubah menjadi gelap. Akan tetapi sampai detik ini Tama masih belum juga menemukan kabar keberadaan sang istri. Laki-laki itu mengemudikan kendaraannya dalam keadaan yang frustasi. Sesekali dia memukul kemudi mobil dengan keras dan sesekali dia juga menjambak rambutnya sendiri.Setelah mendapatkan pengakuan dari penjaga mansion, Tama langsung melajukan kendaraannya keluar dari rumah besar tersebut. Beberapa staf kantor pun sempat dia hubungi untuk mencari tahu tentang Rey akan tetapi mereka semua tidak tahu. Yang mereka katakan hanya satu yaitu Rey keluar dari kantor dengan cepat dan terburu-buru.“Aku berjanji padamu Rey, aku berjanji demi mendiang ayah dan juga ibuku, jika sampai kamu menyentuh Zahra sedikit saja, aku akan membunuhmu,” gumam Tama dengan sorot mata yang tajam.Fokus laki-laki itu membuyar saat dia mendengar ponselnya yang berdering. Dengan cepat dia mengangkat panggilan tersebut.“Bagaimana, Alex?” tanya Tama pada orang diba
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat mobil yang dikendarai oleh Tama sampai di halaman parkir mansion. Setelah bertemu dengan Kiran dan menyelesaikan masalahnya dengan pengacara Aldi, laki-laki itu memilih untuk langsung pulang ke rumah saja, tanpa menyempatkan diri ke kantor. Dia sudah tahu apa yang sedang terjadi disana dan Tama akan membiarkan Rey bersenang-senang sesaat sebelum besok dia akan membalikkan keadaan.Seperti biasa para pelayan berjajar di depan pintu untuk menyambut sang CEO. Namun ada yang aneh disana. Di dalam barisan para wanita itu, Tama tidak melihat sosok Nufa dan juga sang istri - Zahra. Kedua mata laki-laki itu seketika melirik ke atas. Menatap pintu kamarnya yang masih tertutup.“Hmm, mungkin dia ketiduran lagi karena lelah,” ucap laki-laki itu dalam hati.Sebuah senyum terukir manis di bibir Tama saat dia membayangkan tubuh mungil sang istri yang sedang terbaring di atas kasur. Entah kenapa tapi semenjak hubungan diantara mereka membaik, membuat Tama