“Dia…" gumam Tama. Laki-laki itu kembali menghadapkan wajahnya kepada sang sekretaris.
"Dia anak dari Daksa?" tanya Tama."Iya betul Tuan. Saya sudah menyelidikinya semalam setelah mereka memberikan foto ini. Gadis ini memang anak kandung dari Tuan Daksa. Namanya Zahra Aina Sabila. Usianya 20 tahun dan dia bekerja di salah satu kedai kecil di pinggir kota," jelas Rey."Zahra, ternyata benar dia," ucap Tama di dalam hatinya.Tama mengambil foto tersebut dan menatapnya dengan lekat. Melihat apa yang dilakukan oleh sang atasan, Rey pun merasa penasaran. Dan akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya."Ada apa Tuan?" tanya Rey membuyarkan lamunan Tama."Oh tidak. Tidak ada apa-apa. Tolong jadwalkan pertemuanku ke rumah Daksa hari ini juga," titah Tama."Sebenarnya semalam, Nyonya Daksa meminta izin untuk mengundang anda sore nanti ke rumahnya.""Hmm, baiklah. Kita akan datang kesana sore nanti.""Anda akan menerima tawaran mereka, Tuan?" tanya Rey tidak mengerti."Iya," jawab Tama singkat. Dia menyimpan foto itu di atas meja dan kembali berkutat dengan berkas-berkas filenya dalam diam.***“Akhir-akhir ini aku lihat kamu sepertinya terlalu sering melamun, Ra. Apa masih memikirkan tentang rumah yang sudah dijadikan barang taruhan oleh Ayahmu itu?” tanya Leo.Siang itu setelah jam makan siang berakhir, kondisi kedai tidak begitu ramai. Leo yang sejak pagi melihat sang rekan kerja berubah menjadi sosok yang pendiam, merasa penasaran. Walaupun sebenarnya laki-laki ini sudah tahu akar dari permasalahannya akan tetapi tetap saja, dia masih merasa khawatir dengan gadis itu. Zahra yang saat itu sedang mencuci piring dan gelas hanya bisa menoleh ke arah Leo lalu tersenyum. Sebuah senyum yang terlihat jelas sangat dipaksakan. “Ra, aku tahu kalau kamu sekarang sedang banyak pikiran. Aku tidak akan memaksa kamu untuk mau berbagi denganku atau tidak. Hanya saja, aku hanya ingin memberimu saran, percayalah jika semua ujian yang terjadi pada diri kita pasti akan ada jalan keluarnya. Jangan pernah berputus asa apalagi kehilangan semangat diri. Karena jika hal itu sampai terjadi maka sejelas apapun jalan keluar ada di depan matamu tapi kamu tidak akan pernah bisa melihatnya,” ucap Leo. Zahra mengelap tangannya yang baru saja selesai mencuci.“Lalu bagaimana jika jalan keluar yang bisa kita lihat adalah jalan keluar yang tidak kita suka atau bahkan kita benci. Apa masih harus kita ambil jalan tersebut walaupun tidak dengan sepenuh hati atau mungkin bisa saja sampai menyakiti diri sendiri?” tanya Zahra. Dia duduk di kursi yang ada di dapur diikuti oleh Leo."Kita tidak akan pernah tahu apakah jalan itu adalah jalan yang terbaik bagi kita ataukah jalan yang buruk. Tidak selamanya jalan yang menurut kita baik adalah jalan yang selalu mulus. Bisa jadi jalan yang awalnya berliku malah jalan itulah yang sebenarnya memiliki akhir yang manis bagi kita," ungkap Leo. Zahra menggelengkan kepalanya."Aku tidak yakin akan hal itu, Kak," gumam gadis itu pelan."Bagaimana bisa dijual oleh orang tua sendiri untuk melunasi hutang mereka menjadi jalan yang terbaik?" Zahra membatin.Leo menggenggam tangan gadis di depannya. Membuat lamunan Zahra membuyar. "Dengarkan aku. Apapun yang terjadi kamu jangan pernah takut. Masih ada aku yang akan selalu menjagamu dan tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri," ungkap Leo. Zahra menatap wajah laki-laki itu dalam diam. Wajah tampan yang selama ini selalu bisa membuatnya teduh. Wajah dimana senyum hangat selalu terukir di sana. Dia ingat ketika pertama kali dirinya diterima bekerja di kedai tersebut, Leo lah yang langsung menyapanya. Laki-laki ini juga menjelaskan semua yang harus Zahra kerjakan di kedai tersebut dengan sabar. Dan yang paling penting adalah, Leo lah yang selalu membantunya ketika Zahra sedang mengalami kesulitan.Leo Pramastya, laki-laki tampan berusia 23 tahun. Tiga tahun lebih tua dari Zahra atau bisa juga dikatakan satu usia dengan Satria. Dia adalah senior di kedai tersebut akan tetapi Leo tidak pernah sombong. Dia selalu ramah kepada siapa saja bahkan kepada Zahra yang waktu itu adalah pegawai baru. Kepada Leo, Zahra tidak pernah merasa canggung. Kedekatan diantara mereka membuat Zahra merasa nyaman untuk selalu berbagi apapun kepada laki-laki itu. Susah, senang, sedih, bahagia, semua selalu gadis itu bagi kepadanya. Bagi Zahra, Leo sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Apalagi gadis itu memang merupakan anak tunggal. Lain halnya dengan Zahra, Leo ternyata memiliki perasaan yang lain. Sejak mereka bertemu untuk pertama kali, laki-laki itu sudah mulai merasa tertarik kepada Zahra. Senyumnya, bawelnya, cerianya Zahra telah mencuri tempat di hati Leo. Sayangnya, langkahnya kalah cepat dengan Satria. Belum juga dirinya menyatakan cinta kepada Zahra, gadis itu sudah berpacaran dengan Satria. Leo kecewa, dia terluka. Akan tetapi rasa sayangnya kepada Zahra membuat dirinya ikhlas untuk melepaskan wanita itu. Baginya kebahagiaan Zahra adalah yang utama. Jika gadis itu bahagia maka dia juga pasti akan ikut bahagia. Dan sampai saat ini, Zahra masih belum mengetahui perasaan Leo yang sebenarnya."Terima kasih Kak, karena Kakak selalu ada disampingku disaat aku sedang dalam masalah, disaat aku sedang butuh teman, dan disaat aku merasa sangat kesepian dan juga terpuruk," ucap Zahra lirih. Leo semakin erat menggenggam tangan gadis itu."Sampai kapanpun Zahra, sampai kapanpun. Aku memang akan selalu ada untukmu, disampingmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu walaupun kamu memintaku sekalipun. Aku berjanji," ucap Leo dalam hati.***Sore itu langit tampak sangat cerah. Jam pulang kerja sudah lewat dari satu jam yang lalu akan tetapi Zahra masih belum juga sampai di rumah. Gadis itu tidak bersemangat untuk pulang. Dia malah pergi ke taman, hanya untuk duduk-duduk saja. Zahra tahu jika di rumah, kedua orang tuanya pasti sedang menunggunya. Dan jangan lupakan juga pemilik bar itu. Dilihat dari jam yang melingkar di tangannya, Zahra yakin kalau laki-laki itu juga pasti sudah ada di rumahnya.Gadis ini sedikit bergidik ngeri saat membayangkan bagaimana rupa dari sang pemilik bar itu. Wajah kakek tua, dengan banyak kerutan di wajahnya, juga senyum yang menjijikan. "Hiii dasar laki-laki hidung belang, mata keranjang. Sudah mau mati tapi masih saja mau menerima anak gadis orang untuk dijadikan alat bersenang-senang. Dasar tidak tahu malu" gumam Zahra lirih.Setengah jam berlalu. Walaupun hati kecilnya masih menolak untuk pulang akan tetapi mau bagaimana lagi.Hari sudah semakin gelap saja saat dia melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan rumahnya."Mobil siapa itu? Kenapa sepertinya aku pernah melihat mobil itu? Tapi dimana? Dan kapan?"***Setelah melewati perjalanan yang penuh dengan rasa malas akhirnya Zahra pun telah sampai di halaman rumah. Dia sedikit bingung saat melihat ada sebuah mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya. Dia berjalan sedikit mendekat ke arah mobil tersebut."Ini mobil siapa? Sepertinya aku pernah melihatnya. Dimana ya?" gumam Zahra terus memperhatikan mobil tersebut. "Ah sudahlah, yang punya mobil seperti ini kan banyak. Bukan hanya satu orang saja," batinnya.Zahra akhirnya mengabaikan walaupun sesaat sebelumnya dia merasa pernah melihat mobil tersebut. Akan tetapi dia lupa dimana. Gadis itu pun melangkahkan kakinya lagi masuk ke dalam rumah."Aku pulang," ucap Zahra lirih. Dia bisa melihat di ruang tamu rumah mereka ada empat orang sedang duduk. Ayah dan juga ibunya yang menghadap kepadanya, seorang laki-laki yang tidak dia kenal duduk di kursi samping tapi dia bisa melihat wajahnya. Dan satu orang lagi yang duduk dengan posisi membelakanginya. Akan tetapi dari pakaiannya, Zahra bisa tau
Sebuah mobil berwarna hitam melaju membelah jalanan malam itu. Sebuah mobil dimana ada dua orang pria beda usia di dalamnya. Siapa lagi jika bukan Tama sang CEO dan juga Rey sang asisten yang kini sedang serius duduk di belakang kemudi. Sejak keluar dari rumah Daksa, Rey melihat jika atasannya tampak lebih diam dari biasanya. Sepertinya laki-laki itu sedang memikirkan sesuatu. Hanya saja Rey tak ingin bertanya ataupun mencari tahu.“Rey,” panggil Tama membuyarkan lamunan laki-laki itu.“Iya Tuan,” ucap sang asisten.“Sejauh mana kamu mencari tahu tentang Zahra?” tanya Tama. Rey menatap wajah sang atasan dari balik kaca spion.“Untuk sementara saya hanya mencari tahu sebatas status dia saja, Tuan. Saya pikir langkah awal yang harus saya ambil hanya sebatas apa benar jika nona Zahra adalah anak kandung dari Tuan Daksa. Dan ternyata hal itu memang benar. Hanya saja…” Rey terdiam sejenak karena Tama tiba-tiba saja memotong ucapannya.“Hanya saja kenapa?” tanya Tama cukup antusias.“Hanya
“Zahra tunggu!” ucap wanita paruh baya pemilik kedai bernama Mirna. Gadis itu menoleh lalu tersenyum.“Iya Bu?” tanya Zahra setelah posisi mereka berdekatan. Leo yang melihat hal itu sebenarnya sedikit penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh sang atasan. Akan tetapi tatapan tajam dari Ibu Mirna membuat Leo mengerti dan mengangguk lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam dapur untuk melakukan pekerjaannya disana. Walaupun sesekali dia tetap saja mengintip interaksi dua wanita berbeda jabatan itu."Kedai kita kedatangan tamu kehormatan. Dia baru saja datang beberapa menit yang lalu. Dan dia ingin kamu yang melayaninya secara khusus," ucap Ibu Mirna. Zahra mengerutkan keningnya bingung."Aku? Tapi kenapa Bu? Memangnya siapa dia?" tanya Zahra tidak mengerti. Menurutnya dia adalah pegawai paling junior di kedai tersebut. Masih banyak para pelayan lain yang lebih berpengalaman akan tetapi kenapa tamu itu menginginkan dia."Kamu datangi saja langsung. Tidak ada waktu lagi untuk menj
Zahra terus menyibukkan dirinya dengan fokus menyiapkan cappucino pesanan dari Tama. Dia tampak sangat hati-hati dalam meracik semua bahannya. Gadis itu tidak mau jika sampai satu gelas cappucino saja bisa membuat hidupnya berada dalam bahaya. Sekelebat bayangan senyum menyeringai dari Tama terus mengganggu konsentrasi gadis itu. Berulang kali dia menggelengkan kepalanya untuk mengusir gambaran tersebut. Leo yang sejak dari tadi memperhatikan gadis di depannya yang bertingkah sangat aneh, mengerutkan keningnya bingung.“Ra, apa yang terjadi? Katakanlah sesuatu agar aku bisa membantumu!” ucap Leo. Akan tetapi lagi dan lagi Zahra tidak memperdulikannya. Dirinya seolah tuli dan juga bisu.“Sudah selesai,” gumam Zahra pada akhirnya. Melihat hal itu, Leo semakin bingung. Hanya untuk membuat satu gelas cappucino saja kenapa gadis di depannya itu sampai berkeringat dingin seperti telah selesai berperang?"Ra…." Leo yang hendak berbicara lagi, langsung dipotong oleh Zahra."Sebentar ya Kak.
"Hmm, baiklah kalau begitu. Ada yang ingin kami tanyakan tentang Tuan Satria,” tanya inspektur polisi itu.Mendengar nama Satria, keringat dingin mulai muncul di tubuh Zahra. Apalagi di depannya kini ada sosok Tama yang menjadi dalang dari kematian Satria. Gadis itu mengalihkan pandangannya menatap laki-laki yang masih tenang menyeruput segelas cappucino itu. Dia tampak sama sekali tidak terganggu dengan apa yang diucapkan oleh polisi baru saja.“Sepertinya orang ini memang psikopat,” batin Zahra.“I.. iya.. ada apa ya Pak?” tanya Zahra dengan sedikit gugup. Dia kembali menatap para polisi itu lagi.“Begini nona Zahra, kami mendapat laporan dari kedua orang tua Tuan Satria bahwa Tuan Satria belum juga kembali ke rumah sampai sekarang. Mereka kehilangan jejak sama sekali. Dan dari informasi yang kami dapat jika Tuan Satria terlihat terakhir kali adalah bersama dengan anda. Apakah itu benar?” tanya inspektur polisi. Zahra terdiam sejenak. Pandangannya bolak-balik antara Tama dan juga
"Apa kamu yakin bisa pulang sendiri? Jika kamu mau aku bisa mengantarkanmu sampai depan rumah," ajak Leo. Laki-laki itu sangat khawatir karena dia melihat sejak kedatangan polisi dan juga CEO perusahaan Kalingga's Group tadi, Zahra menjadi lebih pendiam dari biasanya."Tidak usah Kak. Aku bisa pulang sendiri kok. Ini kan masih sore, masih terang," jawab Zahra sambil tersenyum."Apa kamu baik-baik saja, Ra? Aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Sejak dari pagi tadi, tingkahmu berubah. Sangat berbeda dari biasanya," tanya Leo lagi. Lagi-lagi Zahra tersenyum menanggapi rasa cemas sang teman."Aku beneran gak apa-apa Kak. Serius. Ya sudah, aku pulang dulu ya," pamit Zahra pada akhirnya. Leo hanya bisa melihat gadis itu yang berjalan semakin menjauh."Ayolah Leo, mau sampai kapan kamu akan jadi pengecut seperti ini? Cepat katakan cintamu pada Zahra! Tapi bagaimana dengan Satria? Ah, beberapa hari ini laki-laki itu tidak pernah datang kemari kan? Jadi apa salahnya jika aku tikung dia dari bela
Seperti yang sudah direncanakan tadi malam, hari ini sepulang kerja Zahra pergi bersama dengan Leo. Sejujurnya berjalan sore hari berdua dengan seorang laki-laki membuat dirinya sedikit paranoid. Bayangan kejadian dulu bersama dengan Satria adalah sebuah memori yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Itu sebabnya, kali ini dia menggunakan pakaian yang lebih tebal dari biasanya. Zahra sengaja menggunakan dua buah jaket untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Bukan dirinya tidak percaya kepada Leo akan tetapi dia hanya takut kejadian buruk sebelumnya akan terulang. Bukankah sebelumnya dia juga sangat percaya kepada Satria?“Sudah siap?” tanya Leo kepada Zahra yang baru saja keluar dari kamar mandi kedai untuk berganti pakaian.Gadis itu mengangguk. Melihat pakaian yang dikenakan oleh Zahra, membuat Leo sedikit mengernyitkan dahinya.“Apa kamu sakit?” tanya Leo kemudian.“Tidak,” jawab Zahra singkat sambil menggelengkan kepalanya.“Lalu kenapa menggunakan jaket berlapis seperti itu? Sore in
“Zahra, aku ingin bicara suatu hal yang penting,” ucap Leo. Gadis itu masih menatap laki-laki di depannya dalam diam.“Zahra, aku tidak tahu apa ini adalah waktu yang tepat atau tidak, tapi sejujurnya jika aku tidak melakukannya hari ini, aku takut jika aku tidak akan mendapatkan waktu lagi.""Ada apa Kak? Kenapa jadi serius seperti ini sih?" ucap Zahra yang mulai tidak sabar dengan kata-kata pembuka Leo.Laki-laki itu memejamkan matanya lalu menarik nafas dalam. Kedua tangannya masih menggenggam kedua tangan Zahra."Zahra, aku mencintai kamu. Maukah kamu menjadi kekasihku?" ucap Leo pada akhirnya. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang seolah dirinya sedang melakukan perang saja.Zahra terdiam. Dia tidak menyangka sedikitpun jika Leo akan menyatakan cinta kepadanya. Sejujurnya bagi Zahra sendiri, Leo itu sudah seperti kakak kandung sendiri. Dan sekarang ketika laki-laki itu menyatakan cintanya, sungguh membuat gadis ini bingung."Aku tahu kalau kamu baru saja putus dari Satria. Ak
Tama berdiri di depan sebuah cermin besar di dalam salon tersebut. Rambutnya kini sudah sangat rapi dan juga pendek. Jambang dan kumis yang asalnya tebal, kini berubah menjadi tipis. Tak sadar, laki-laki itu pun tersenyum melihat penampilan barunya tersebut.“Bagaimana? Jadi terlihat segar kan?” tanya Zahra berjalan mendekati sang suami.“Hmm,” jawab laki-laki itu dengan jari tangan yang menyisir tipis rambut barunya.Zahra tersenyum. Dia lalu merangkul lengan sang suami dan menyandarkan kepalanya di sana.“Sekarang kamu tidak malu lagi jalan denganku, kan? Sekarang aku terlihat lebih muda,” ucap Tama memandang wajah sang istri dari balik cermin.Zahra mengangkat kepalanya untuk bisa mendongak melihat laki-laki itu. “Mas, sudah aku katakan, bukan? Aku tidak pernah malu untuk bersama denganmu. Aku tidak peduli dengan anggapan orang lain tentang kita. Karena sedih atau bahagia nya hubungan kita, kita sendiri yang tentukan dan kita sendiri yang rasakan. Bukan mereka.” Nada bicara Zahra
Sebuah restaurant seafood yang sangat terkenal di kota itu menjadi tujuan pertama mereka. Sebuah restaurant yang memiliki tiga lantai itu berukuran sangat luas. Zahra bahkan sampai menganga sesaat ketika dirinya menginjakkan kakinya di tempat tersebut. Berbagai gambar menu yang disajikan menjadi penghias dinding berwarna emas itu. Semuanya benar-benar tampak sangat menarik dan tentu saja menggugah selera.“Ini restaurant, kan?” tanya Zahra dengan mata yang terperanjat. Tama tersenyum lalu menarik tubuh sang istri agar lebih menempel dari sebelumnya.“Iya sayang. Ini restaurant seafood nomor satu di kota ini,” jelas laki-laki itu.“Hmm wajar saja. Penampakkannya sangat mewah layaknya sebuah istana seperti ini. Mungkin hanya masyarakat kalangan atas saja yang bisa datang kemari,” jawab Zahra. Kedua matanya masih menyapu semua ornamen yang melekat di dalam ruangan tersebut.Tama memajukan bibirnya lalu berbisik, “Kamu belum melihat spot paling mahal di restauran ini.”Zahra mengalihkan
“Bagaimana dokter?” tanya Tama. Laki-laki itu membantu sang istri duduk di kursi di sampingnya.Pagi itu Tama membawa Zahra untuk memeriksa kondisinya pasca pemukulan yang dilakukan oleh Nufa beberapa minggu yang lalu. Setelah melakukan proses pengecekan panjang, hari ini adalah hari terakhir mereka datang. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Tama memang sedikit berlebihan. Dia bahkan sampai memaksa sang dokter untuk memeriksa seluruh tubuh bagian dalam sang istri dengan berbagai alat.Awalnya dokter keluarga itu merasa bingung karena sesuai dengan apa yang dia ketahui, kecelakaan yang menimpa Zahra tidaklah separah itu. Akan tetapi mau bagaimana lagi. Dia tahu jika yang memintanya itu adalah CEO Kalingga’s Group. Seseorang yang paling tidak suka jika keinginannya dibantah. Apalagi ini menyangkut seseorang yang sangat laki-laki itu cintai.“Semua jenis pemeriksaan yang anda inginkan sudah kami lakukan, Tuan Tama. Dan hasilnya tetaplah sama. Nyonya Zahra baik-baik saja. Bahkan hasil dar
Di dalam sebuah kamar yang memiliki ukuran cukup besar. Sinar matahari sudah mulai merambat masuk melewati kaca jendela yang memang sengaja dibuka. Walaupun demikian, wangi aroma terapi yang dipasang di dalam ruangan tersebut tidak memudar. Udara pagi yang sejuk mulai terasa menusuk di pori-pori kulit seseorang yang ada di dalam sana.Seorang gadis yang sejak semalam terbaring di atas kasur, matanya mulai mengerjap. Kelopak mata yang masih tertutup itu mulai menunjukkan sebuah pergerakan halus. Dan beberapa saat kemudian, Zahra membuka matanya dengan sempurna. Penglihatan yang awalnya kabur, perlahan berubah menjadi jelas. Namun demikian, kondisi tubuhnya yang masih sangat lemas, membuat wanita itu tidak bisa bergerak dengan bebas.“Di-dimana ini?” ucap wanita itu lirih. Mencoba untuk berpikir, membuat luka di bagian belakang kepalanya kembali terasa sakit. Membuat Zahra meringis kesakitan.Mendengar ada suara di dalam kamar sang majikan, pelayan yang ditugaskan untuk menjaga istri da
Pengacara Aldi masih diam menunduk. Dia bahkan tidak berani memandang Rey maupun Nufa yang selama ini menjadi atasannya. Sudut matanya hanya bisa melirik Tama yang duduk dengan tegak di sampingnya. Kedua tangannya dilipat di depan dada dengan sorot mata tajam yang langsung menembus jantung sang pengacara.Laki-laki itu menelan salivanya dengan kuat. Dia sadar jika dirinya kini sedang berada di tengah harimau dan singa. Entah mana yang harus dia pilih, yang jelas keduanya benar-benar sangat berbahaya baginya.“Pengacara Aldi,” panggil Rey kembali. Kali ini dengan nada suara yang sedikit naik.“I-iya tuan,” jawab pengacara Aldi terbata. Keringat dingin semakin terlihat jelas berseluncur di dahinya.“Ayo, keluarkan surat-surat itu! Surat yang menyatakan jika seluruh aset dan juga kekayaan Kalingga sudah jatuh ke tanganku,” titah Rey.“Benar pengacara. Ayo cepat tunjukkan pada laki-laki sok berkuasa ini. Cepat katakan jika sekarang dia sudah berubah menjadi tikus got yang tak memiliki apa
“Silahkan dokter?” ucap Tama. Dia langsung membawa Zahra pulang ke mansion dan meminta dokter keluarga untuk memeriksanya.Sang dokter melakukan pemeriksaan secara detail dan juga teliti. Dia tidak mau melakukan sebuah kesalahan apalagi ini menyangkut istri dari seorang CEO besar. Di sampingnya, Tama masih setia berdiri, memperhatikan sang istri yang masih terkulai tak berdaya. Pakaian yang semula berlumuran darah, sudah dia ganti. Tama melakukannya sendiri karena sejak kejadian Nufa, rasa kepercayaannya kepada para pelayan di mansion menjadi berkurang. Dia takut jika masih ada orang suruhan Rey yang tinggal disana. “Bagaimana, dokter?” tanya laki-laki itu saat melihat sang dokter sudah selesai memeriksa. Dokter tampan itu pun tersenyum.“Tidak apa-apa, Tuan Tama. Kondisi istri anda yang belum sadar, bukan karena ada kesalahan tapi memang itu akibat obat yang diberikan oleh dokter yang memeriksa sebelumnya,” jelas sang dokter keluarga. Tama menghela nafas lega.“Jadi, kira-kira kapan
“Jika kamu berani menembak Rey, maka aku juga berani untuk menghabisi istri tercintamu ini,” ancam Nufa setengah berteriak.Rey dan juga Tama sontak menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Nufa yang sedang menggenggam sebuah gunting dan bersiap untuk menancapkannya di dada Zahra yang belum juga sadarkan diri. “Coba saja kalau berani, Tama!” ucap Nufa lagi. Tama menatap tajam kedua mata tua sang kepala pelayan. “Dari sejak dulu, aku tidak pernah takut padamu ataupun juga pada Yudha - ayahmu.”Tama sadar jika ancaman Nufa bukan hanya gertakan saja. Dia tahu jika wanita paruh baya itu bisa saja berbuat nekad. Mereka sudah pernah menghabisi sang Ibu secara bersih. Sehingga semua bukti menjelaskan bahwa Naya meninggal karena sakit. Tama tahu jika pasangan bibi dan keponakan ini tidak bisa dianggap remeh.Perlahan laki-laki itu menurunkan senjatanya. Melihat Tama yang sepertinya menyerah, dengan cepat Rey berdiri dan mencuri senjata milik sang CEO. Kini suami istri itu berada di bawah
Senja sudah berakhir. Langit terang telah berubah menjadi gelap. Akan tetapi sampai detik ini Tama masih belum juga menemukan kabar keberadaan sang istri. Laki-laki itu mengemudikan kendaraannya dalam keadaan yang frustasi. Sesekali dia memukul kemudi mobil dengan keras dan sesekali dia juga menjambak rambutnya sendiri.Setelah mendapatkan pengakuan dari penjaga mansion, Tama langsung melajukan kendaraannya keluar dari rumah besar tersebut. Beberapa staf kantor pun sempat dia hubungi untuk mencari tahu tentang Rey akan tetapi mereka semua tidak tahu. Yang mereka katakan hanya satu yaitu Rey keluar dari kantor dengan cepat dan terburu-buru.“Aku berjanji padamu Rey, aku berjanji demi mendiang ayah dan juga ibuku, jika sampai kamu menyentuh Zahra sedikit saja, aku akan membunuhmu,” gumam Tama dengan sorot mata yang tajam.Fokus laki-laki itu membuyar saat dia mendengar ponselnya yang berdering. Dengan cepat dia mengangkat panggilan tersebut.“Bagaimana, Alex?” tanya Tama pada orang diba
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat mobil yang dikendarai oleh Tama sampai di halaman parkir mansion. Setelah bertemu dengan Kiran dan menyelesaikan masalahnya dengan pengacara Aldi, laki-laki itu memilih untuk langsung pulang ke rumah saja, tanpa menyempatkan diri ke kantor. Dia sudah tahu apa yang sedang terjadi disana dan Tama akan membiarkan Rey bersenang-senang sesaat sebelum besok dia akan membalikkan keadaan.Seperti biasa para pelayan berjajar di depan pintu untuk menyambut sang CEO. Namun ada yang aneh disana. Di dalam barisan para wanita itu, Tama tidak melihat sosok Nufa dan juga sang istri - Zahra. Kedua mata laki-laki itu seketika melirik ke atas. Menatap pintu kamarnya yang masih tertutup.“Hmm, mungkin dia ketiduran lagi karena lelah,” ucap laki-laki itu dalam hati.Sebuah senyum terukir manis di bibir Tama saat dia membayangkan tubuh mungil sang istri yang sedang terbaring di atas kasur. Entah kenapa tapi semenjak hubungan diantara mereka membaik, membuat Tama