Dari kejauhan, jantung Andreas berdebar sedikit lebih cepat. Sedari tadi, dirinya tidak fokus karena mengamati gerak-gerik Andini. Suara orang-orang yang sedang berbicara dengannya kini terdengar seperti angin lalu.Di pikirannya hanya ada Andini. Dia begitu bersemangat sekaligus gugup ketika bertemu dengan wanita itu lagi.Andreas akhirnya menjauh dari orang-orang itu. Dia melangkah pelan mengikuti pergerakan punggung Andini.Sampai akhirnya wanita itu berdiri di tepat di depan lukisannya, Andreas memberanikan diri mendekat.Butuh beberapa detik baginya untuk mengumpulkan keberanian, menyusun rangkaian kata-kata yang hendak dia lontarkan dari mulut ini.“Kamu menyukainya?” ucap Andreas pada akhirnya.Tubuh Andini berputar. Andreas bisa menangkap raut wajah Andini yang terperangah kaget. Pupil matanya melebar dengan mulut yang menganga.“Aku bukan hantu, jadi jangan kaget begitu,” canda Andreas.“A-Andreas?” Andini terbata. Kini matanya mengerjap-ngerjap tidak percaya.“Hai,” dengan c
Ciuman mereka bergulir liar. Punggung Andini perlahan menyentuh permukaan ranjang. Dari atas, Andreas menghimpit tubuhnya yang hanya dibalut pakaian dalam.Andini mendesah di tengah lumatan bibir Andreas. Tubuhnya menggeliat, merasakan darahnya yang mengalir deras. Dadanya berdentum-dentum hebat begitu tangan Andreas menggerayangi setiap lekukan tubuhnya.Andreas menjauhkan bibirnya saat mereka mulai kehabisan napas. Dia menyangga tubuhnya yang atletis itu dengan kedua lengan agar tidak menindih tubuh Andini.Tatapan mereka saling beradu penuh gairah. Deru napas kedua insan itu saling menyapu wajah masing-masing.“Astaga, aku begitu merindukanmu…kamu enggak tahu rasanya aku seperti orang gila, memikirkanmu setiap hari,” ibu jari Andreas menyapu pipi Andini yang hangat dan merona.“Kenapa kamu baru muncul sekarang?” Andini berujar, menatap bola mata abu yang hangat itu.“Aku mencari waktu yang tepat, Sayang…” desis Andreas. Lantas ujung hidung pria itu menempel di pipi Andini, menyesap
Tiga bulan sudah Andini menjalin kedekatan kembali dengan Andreas.Wanita itu bahkan sudah mengenalkan Andreas ke orangtuanya, walaupun reaksi awal orangtuanya agak tidak setuju dengan hubungan mereka.“Dia sepuluh tahun lebih muda darimu, Ndin,” ungkap ibunya Andini waktu itu. “Apa dia bisa setia denganmu?”“Seorang seniman? Pekerjaan macam apa itu, Ndin?” Bapaknya menambahkan.Banyak tudingan negatif yang diarahkan pada hubungan mereka dan semua itu berasal dari keluarga dekatnya. Namun, Andini sebenarnya tidak terlalu peduli dengan semua itu.Hanya satu hal yang penting bagi Andini, yaitu persetujuan dari kedua putranya. Dan Andini masih belum memberi tahu kedua putranya bahwa Andreas akan menjadi Papa tiri mereka.“Gol!!” Andreas berteriak senang begitu Rico berhasil menendang bola itu ke arah gawang imajiner yang mereka buat–meletakkan dua buah batu dengan jarak berjauhan.Rico berlari keliling lapangan hijau di tengah-tengah taman kota sambil berjingkrak kegirangan. Sementara Ev
Andreas melajukan mobilnya dengan perasaan yang sangat gundah.Di saat Andini memberi tahu dirinya bahwa Evan tidak menyetujui hubungan mereka, pertanyaan mengapa terus berputar-putar di kepala Andreas.Selama beberapa bulan ini, mereka bahkan sudah akrab. Apa kesalahan yang sudah dia perbuat sehingga Evan membencinya? Andreas menghela napas sebentar begitu dia berhenti di depan sekolahnya Evan. Seketika dia menjadi gugup. Aneh, padahal dia hendak menghadapi seorang anak kecil.Andini sudah menjemput Rico terlebih dahulu, sehingga Evan bisa pulang berdua saja dengan Andreas. Andini berharap Andreas bisa meyakinkan Evan agar mau menyetujui hubungan mereka.“Karena kalau tidak, aku enggak akan bisa menikah dengan Andini,” gumam Andreas, menyugar rambutnya yang berantakan. Dan dari balik kaca mobilnya, Andreas menangkap keberadaan bocah itu keluar dari pintu sekolah. Sambil menarik napas, Andreas segera turun. Andini sudah memberi tahu pihak sekolah kalau Evan akan dijemput Andreas. Ja
Langit siang bersinar terik. Aroma pantai berembus mengisi udara yang panas. Di kolam renang, Evan dan Rico asyik menenggelamkan diri mereka dengan pelampung, sementara Eva tertidur pulas di kamar yang ber-AC.“Kamu suka kan dengan villa ini?” Tanya Andreas sambil merangkul pinggul Andini, memperhatikan keadaan sekitar.“Iya, ruangannya luas. Ada dapurnya pula. Jadi, aku bisa masak.”Andini menoleh ke arah Andreas. Ingin sekali dia mencium bibir tebal pria itu, namun Andini harus mengurungkan niatnya di depan anak-anaknya.Andreas mempererat dekapannya, melabuhkan pipinya di atas kepala Andini. “Melihat kebersamaan kita di villa ini, aku jadi enggak sabar untuk segera menikahimu.”“Hei, ingat. Aku belum bertemu dengan keluargamu,” Andini mengingatkan.“Yah, mereka pasti senang dengan kehadiranmu, Ndin. Jadi, kamu tenang saja.”Tidak. Andini tidak bisa tenang begitu saja. Sepanjang perjalanan ke Bali, Andini terus merasa gugup. Ini adalah liburan yang paling menegangkan baginya.Pikira
Prang!Guci itu jatuh dan terpecah belah di lantai. Suaranya tentu saja mengagetkan Brenda dan Roy yang ada di teras belakang.Karena syok, Andini mematung sesaat, bukannya melarikan diri. Tapi dia memang tidak mau melarikan diri. Dia ingin kedua orangtuanya Andreas tahu bahwa dirinya ada di sini dan mencuri dengar perbincangan mereka tadi.“Astaga…” Brenda terperangah, mendapati calon menantunya di selasar ruang tengah. Andini tidak yakin apakan Brenda kaget karena gucinya pecah atau karena keberadaan dirinya.“Apa yang terjadi, Andini? Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kalian sudah pulang?” Tanya Roy heran.Andini menegakkan punggungnya. Tidak, dia tidak boleh kelihatan merasa bersalah. “Tasku ketinggalan. Dan saat menyusuri selasar ini, aku enggak sengaja menyenggol guci kesayangan kalian. Biar aku bereskan.”“Oh, enggak usah,” sergah Brenda. “Kakimu enggak terluka kan?”“Aku baik-baik saja. Sebaiknya aku yang membereskannya, Tante, karena akulah biang masalahnya,” Andini berujar s
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa