Andini otomatis membungkukkan tubuhnya ke depan, demi melindungi perutnya.Untungnya ayunan kaki Pras berhenti tepat di punggung Andini.‘Tidak. Bukan ini rencanaku!’ Batin Pras seketika. Dia tidak mau mengotori tangannya demi membunuh anak itu.Punggung Andini berguncang hebat, pertanda wanita itu sedang menangis dari balik wajahnya yang terbenam.“Aaa!” Andini meringis begitu Pras menarik rambutnya.“Jangan membohongi diriku lagi, Ndin,” Pras mendesis tajam. Bola matanya melotot seakan hampir keluar dari rongganya. “Aku juga tahu kalau kamu mengelabui usia kandunganmu. Jangan anggap aku sebagai pria bodoh.”“Sa-Sakit, Mas…” Andini merintih.“Kamu tahu, aku menamakan anak sialan itu dengan Deava yang artinya roh iblis, sama seperti kelakuanmu!” Tarikan tangan Pras semakin kencang. Andini merasa kulit kepalanya hampir copot. “Ba-Baiklah…dia…dia memang bukan anakmu, Mas.” Andini menyerah. Sepintar apapun dia menyembunyikan bangkai, toh akhirnya akan ketahuan juga.Pras mendengus, melo
Pras mendesah panjang sambil menyugar rambutnya.Dihadapannya, Andini terkulai tidak sadarkan diri. Helaian rambut istrinya itu menjuntai ke depan, menutupi sebagian wajah Andini.‘Dia mirip seperti mayat hidup,’ pikir Pras. Sontak Pras menempelkan telunjuknya di bawah hidung Andini. Pras menghela lega. Istrinya masih bernapas. Sekarang yang harus dia lakukan adalah menggotong istrinya ke mobil dan membawanya ke dukun beranak.Namun, di luar sepertinya terjadi badai. Angin bertiup kencang dengan suara derai hujan yang menghantam atap kayu dengan keras. Kilatan petir juga menyambar setiap menitnya.Tapi Pras tidak punya pilihan lain. Andini harus dibawa ke dukun beranak itu malam ini juga. Mereka tidak bisa berlama-lama tinggal di villa ini. Besok mereka harus kembali ke rumah.“Hap!” Dengan sekali gerakan, Pras memapah tubuh Andini, menyeretnya ke mobil.Terpaan hujan langsung membasahi tubuh mereka berdua. Pras sudah tidak peduli dengan tubuhnya yang basah kuyup.Setelah Andini aman
Semilir angin berembus, menyapu pipi Andini. Kelopak matanya membuka pelan. Sinar matahari yang hangat dari atas sana membuat matanya menyipit.Perempuan itu pun bangkit, mendapati dirinya yang berada di sebuah padang rumput yang luas dan hijau.Dada Andini mengembang, menghirup udara yang segar. Rok panjangnya yang berumbai, bergerak-gerak tertiup angin.Tapi di mana dirinya? Dia bahkan tidak ingat kenapa dia bisa berakhir di sini.Tanpa Andini sadari, dari belakang punggungnya, ada bayangan hitam yang mendekat. Tepukan pelan di pundak Andini membuat wanita itu menoleh.Pandangan mereka lantas beradu.Mulut Andini menganga lebar. “A-Adrian???”Dia masih ingat betul wajah pria itu. Kedua matanya yang indah, hidungnya yang mancung serta rambutnya yang ikal.Adrian tidak menua. Senyumnya membingkai lebar sehingga lesung pipinya nampak.“Lama tidak bertemu,” ucap Adrian.Dada Andini sesak karena serangan rindu yang mendadak. Dia bahkan sudah lupa dengan suara Adrian. Tapi kini suara itu
Dada Andini naik-turun dengan cepat. Dia mencengkram tangan ibunya seiring dengan pelipisnya yang tiba-tiba berkeringat.‘Di-Dia masih hidup!’ Andini memekik kaget. Padahal dia berharap Pras tewas dalam kecelakaan itu.Kursi roda itu mendekat ke pinggir ranjang. Wajah Pras nampak pucat dengan bekas luka yang terlihat samar. Pras mengenakan gaun rumah sakit yang sama dengan dirinya.“Andini…” Pras berujar lirih. “Aku bersyukur kamu akhirnya sadar, Sayang.”Andini melayangkan tatapan tajam ke suaminya. Bibirnya gemetar karena amarah sampai-sampai Andini sulit untuk bicara.Dia ingin mencakar pria brengsek itu!“Ini sebuah keajaiban,” sergah ibunya Andini, memandangi Pras dan putrinya bergantian. “Kalian berdua selamat dari kecelakaan nahas itu. Pras sempat tidak sadarkan diri dan koma selama sehari.”Tangan Pras menjulur, menggapai telapak tangan Andini yang dingin.Saat kulit mereka bersentuhan, Andini bisa merasakan kebencian yang mengalir ke sekujur tubuhnya. Dia benci suaminya!“Ba-
“Permisi, Bu, Pak…” Iyem keluar dari kamar mereka setelah membawa tas-tas besar yang berisi baju-baju Pras juga Andini selama dirawat di RS.Dua minggu lebih mereka menjalani perawatan, dan sekarang pasangan suami-istri itu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Sayangnya, bayi mungil Andini masih harus menginap di ruang intensif. Keadaannya masih terlalu lemah untuk dibawa pulang.Wajah Andini terlihat murung. Berat badannya pun turun drastis sehingga dia tak ubahnya seperti tengkorak hidup.Dokter menyarankan Andini untuk banyak makan dan istirahat agar ASI-nya keluar.“Aku ingin mengubah nama anak kita,” Andini berujar parau di pinggir ranjang.Pras, yang sedang melepas polo shirt, langsung berdecak. “Anak kita? Dia itu anakmu dengan selingkuhanmu itu.”“Tapi kamu berjanji akan menganggapnya sebagai anakmu,” balas Andini dingin.“Memang, tapi bukan berarti aku harus berpura-pura menganggap dia anakku di saat kita sedang berdua seperti ini. Sebaiknya ralat kata-katamu tadi. Dia itu
Blam!Malinka membanting pintu kamar keras-keras. Dari balik pintu, dia mengutuk dirinya berkali-kali karena sudah melakukan hal tolol.‘Duh, gimana ini?!’ Malinka memukuli kepalanya. Rasanya dia ingin tenggelam di lautan!Tok, tok.Pria itu terpaksa mengetuk pintu kamar Malinka. ‘Sial! Sial! Seharusnya aku sadar kalau itu bukan Andreas. Dasar Malinka bodoh!’ Rutuknya lagi.“Maaf,” ucap pria itu dari ruang tengah. “Aku hanya ingin bertemu kembaranku.”Malinka menarik napasnya dalam-dalam sambil memejamkan mata.“Ini benar apartemennya Andreas kan? Aku berusaha menghubunginya tapi dia belum menjawab,” tukas pria itu lagi.Malinka mengembuskan napasnya keras-keras. Dia bahkan begitu malu untuk menjawab pertanyaan pria itu.Tapi dia tidak bisa mengurung diri di sini selamanya. Maka, dengan langkah berat Malinka kembali berpakaian.Pipinya terasa sangat panas saat dia memaksakan diri keluar dari kamar.“Maafkan aku,” suara berat pria itu semakin menambah rasa malu Malinka. “Seharusnya ak
“Hmpf…” Napas Malinka tersengal saat dia sedang memuaskan dirinya sendiri di atas sofa.Sedari pagi, Andreas sudah sibuk di studio lukisnya, yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Sehingga Malinka sendirian di rumah yang besar ini. Dia merasa bosan. Pagi-pagi sekali dia sudah berjalan menyusuri pantai, kelas surfing-nya pun masih dua jam lagi.Gairah Andreas yang menurun drastis membuat, perempuan itu jadi sering bermain sendiri.Tubuh Malinka, yang hanya mengenakan tanktop dan celana pendek, menggeliat di atas sofa. Lehernya menukik di pinggiran sofa sehingga ujung-ujung rambutnya itu menyentuh lantai.Malinka membayang wajah Andreas, membayangkan stamina pria itu kembali seperti dulu.Perempuan itu terus mengerang tanpa menyadari ada seseorang yang berdiri di balik pintu depan.Langkah Allan tertahan begitu dia mendengar desahan dari dalam rumah. ‘Apa mereka sedang bercinta?’ Pikir Allan.Namun, saat Allan mengintip dari jendela teras, dia mendapati Malinka seorang diri di atas s
Allan menutup pintu kamarnya. Seharian menghabiskan waktu dengan Malinka membuat jantungnya tidak aman.Entah kenapa, dia selalu merasa deg-degkan saat bersama dengan perempuan itu. Allan menghela napas berat sambil menanggalkan kaosnya.‘Ayolah, Allan. Lupakan Malinka. Dia itu tunangan kembaranmu!’ Titahnya pada diri sendiri. Namun rasanya begitu sulit, karena wajah Malinka terus berseliweran di benaknya.Allan menyalakan AC kamar. Dia mengintip sejenak ke luar, mendapati Malinka yang sedang sibuk di dapur.‘Aman,’ pikirnya.Lantas pria itu berbaring setelah menanggalkan celananya. Dia benar-benar tidak tahan lagi. Sambil memejamkan mata, tangan kekar Allan mulai bergerak di bawah sana.Dia tidak ingin membayangkan Malinka, tapi wajah cantik dan tubuh sensual perempuan itu terus merasuki pikirannya.“Haah…” Napas Allan mulai menderu. Dada bidangnya naik turun seiring dengan tangannya yang bergerak cepat.Saking fokusnya, Allan sampai tidak menyadari ada suara langkah kaki yang berger
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa