Aku tertunduk lesu. Satu tanganku terus menggenggam tangan mungil Rico, yang kini terbaring di ranjang IGD. Pergelangan kakinya membiru, sementara pelipisnya terluka. Tadi aku sudah bertemu dengan dokter. Dia bilang benturan di kepala Rico tidak sampai menyebabkan gegar otak. Kakinya memang terkilir tapi tidak sampai patah tulang.Namun tetap saja, melihat anakku seperti ini membuat hatiku tersayat perih.‘Dasar Andini, bodoh! Bodoh!’ Aku terus merutuki diri dalam hati.Evan mengaku padaku. Dia tidak sengaja mendorong adiknya di tangga karena Rico merebut mainannya. Rico lalu tergelincir ke bawah. Mendengar tangisan Rico, Iyem panik dan mencariku.Berkali-kali Iyem menghubungi ponselku, tapi memang dasarnya aku bodoh, aku meninggalkan ponselku di ruang tengah dalam keadaan senyap.Iyem akhirnya meminta bantuan tetangga sebelah agar membawa Rico ke RS. Setelah itu, Iyem baru menghubungi suamiku lalu menenangkan Evan yang merasa bersalah sambil menunggu kepulanganku.Aku menghela napas
Sebulan berlalu sejak hubunganku dengan Andreas kandas. Kupikir aku bakal baik-baik saja, tapi kenyataannya tidak.Setiap aku mendengar pagar rumah depan yang berderik membuka, aku cepat-cepat mengintip–entah dari jendela kamar, ruang tamu atau bahkan dapur. Aku hanya ingin melihat wajah pria itu walaupun hanya sekelebat saja.Namun sudah seminggu belakangan ini, aku tidak pernah melihat Andreas keluar dari rumahnya. Apa diam-diam dia pergi berlibur? Mengurung diri? Entahlah, yang pasti setelah putus mood-ku jadi berantakan.Aku sering marah-marah pada Pras, kedua anakku serta Iyem.Hah, kurasa aku butuh udara segar. Maka, aku menyempatkan datang ke acara gender reveal salah satu teman arisanku di kelas baking. Ternyata anaknya perempuan dan di saat itu aku teringat kalau hari ini adalah hari pertama aku datang bulan.Sepertinya aku harus cepat-cepat buat janji dengan obgyn untuk melepas IUD.*Iyem mendorong pagar rumah setelah kepulanganku dari obgyn di hari itu. Namun ada pemandang
Rambutku–yang kali ini lagi-lagi kubuat ikal–bergerak-gerak pelan seiring dengan langkahku yang memasuki sebuah kelab ternama di ibukota.Begitu sampai, aku langsung disambut dentuman musik yang keras. Kelab nampak lebih ramai dari biasanya mungkin karena akhir pekan.Jihan langsung menarik lenganku ke meja yang sudah dipesannya.Akhir-akhir ini, aku benar-benar bosan. Apalagi kedua anakku memilih untuk menginap di rumah ibu mertuaku di akhir pekan karena mereka bilang aku sering marah-marah akhir-akhir ini. Di rumah juga sudah ada Iyem.Jadi, aku butuh pelarian dan akhirnya menemani Jihan bersenang-senang malam ini.Satu botol minuman beralkohol tersaji di hadapan kami. Dengan semangat, Jihan menuangkan minuman itu ke gelasku.“Bersulang!” Pekiknya dengan riang.Aku pun mengangkat gelas tinggi-tinggi dan langsung menegaknya. Rasa panas dan pahit langsung menyerbak di tenggorokanku. Aku mengernyit dalam. Sudah lama aku tidak minum minuman beralkohol.Tak berapa lama, Jihan kembali men
“Ah…Brian, hentikan. Tolong…” pintaku dengan lirih.Kelopak mataku terasa berat untuk membuka lebar. Kepalaku mulai berdenyut-denyut pusing. Mungkin ini efek minuman alkohol yang sudah kutenggak satu setengah botol itu.Brian mengindahkan permintaanku. Dia malah semakin intens menciumi leherku sambil kedua tangannya bermain di dadaku. “Baby, kamu sendiri yang menggodaku. Itu salahmu sudah membuatku terangsang,” bisiknya dengan nakal.Kami mendekam di salah satu bilik toilet. Brian mengunci tubuhku dengan menyandarkan punggungku ke dinding yang dingin.Dia kini mencium bibirku semakin liar. Aku langsung mendorongnya.“Aku sudah menikah,” ucapku dengan napas terengah. “Aku bahkan sudah punya dua anak.”“Well, siapa yang peduli? Kamu malah semakin menarik di mataku, Baby. Bercinta dengan wanita yang bersuami? Berbahaya sekali.” Dia mencengkram daguku dan kembali melahap bibirku.“Ah…Brian,” aku merapatkan kedua kakiku begitu Brian mulai mengusap-usap bagian di bawah sana.Brian menurunk
‘A-apa yang harus kulakukan?’ batinku panik. Jantungku bertalu kencang begitu mendengar suara langkah yang mendekat.Seketika pupil mataku melebar, sewaktu mendapati pria yang kini berdiri di ujung ranjang. Dia bersedekap dengan wajah yang muram.“A-Andreas?” Aku terbata tidak percaya.Andreas melayangkan sorot mata penuh amarah–lebih ke kecewa menurutku. “Ke-kenapa kamu bisa ada di sini?” tanyaku lagi.“Kamu sudah gila, Andini,” dia berujar sinis.“Gila? Apa maksudmu?” Keningku mengernyit. Jangan-jangan, benar aku sudah bercinta dengan Brian!Andreas bergerak mendekatiku. Aku baru sadar kalau dia masih memakai kemeja yang semalam.“Ternyata kamu seliar itu, bisa bercumbu dengan siapa saja. Bahkan dengan orang yang baru kamu kenal,” ungkap Andreas.Ujung daguku naik ke atas, menatapnya. “Apa urusanmu? Jangan bilang kamu cemburu.”“Ini bukan masalah cemburu. Untuk apa aku cemburu? Toh kita sudah enggak ada hubungan apa-apa lagi. Masalahnya, Brian itu cowok brengsek. Dia sering tidur d
Di sepanjang perjalanan pulang, kesunyian menyeruak.Andini maupun Andreas sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Embusan AC mobil yang dingin membuat suasana semakin canggung.Dalam hati, Andini tidak ingin perjalanan ini berakhir. Dia ingin selamanya berada di sisi Andreas, walaupun hal itu agaknya mustahil.“Apa alasan yang bakal kamu utarakan pada suamimu?” Andreas akhirnya membuka percakapan saat mobilnya memasuki komplek perumahan mereka.“Pras lagi di luar negeri, sementara kedua anakku sedang menginap di rumah mertuaku,” balas Andini dengan parau.Dan, perjalanan itu usai. Mobil Andreas berhenti tepat di depan rumah Andini.“Sekali lagi, makasih ya, Andreas,” wanita itu jelas-jelas berusaha menyunggingkan senyumannya, yang akhirnya malah terlihat getir. “Ah…”Seketika tubuh Andini oleng saat turun dari mobil. Pandangannya mendadak berkunang-kunang.‘Mungkini darah rendah,’ pikir Andini sambil berpegangan di sisi pintu. Sementara itu, Andreas langsung bergegas keluar
“Happy birthday to you…Tiup lilinnya, Sayang,” titah Ratih pada putri kecilnya yang kini genap berusia empat tahun.Ratih dan Pras kembali tepuk tangan saat lilin yang ditiup Novia padam.Di sebuah restoran yang menyerupai kastil di dongeng-dongeng Disney, Pras merayakan ulang tahun Novia–anak hasil hubungan gelapnya dengan Ratih.“Makasih ya, Pa. Novia seneng banget!” Anak itu tersenyum manis sambil memamerkan dua gigi kelincinya.“Makasih Mas Pras,” Ratih menoleh senang. “Aku enggak nyangka kamu bakal mengajak kami liburan ke Hongkong, sekalian merayakan ultahnya Novia di Disneyland. Kupikir kamu bakal mengajak keluargamu…”“Yah, hitung-hitung ini sebagai penebusan rasa bersalahku karena jarang bertemu dengan Novia,” Pras melempar senyum pada Novia yang sedang melahap kue ulang tahunnya dengan riang. “Ah, tapi besok aku harus kembali ke hotelku. Kalian enggak masalah kan liburan di sini tanpa aku?”Rambut panjang Ratih bergerak pelan. “Enggak apa-apa, Mas. Aku tahu kamu sibuk.”Sete
Kedua alis Jihan bertautan. “Kamu kenapa? Apa yang kamu lakukan untuk terakhir kalinya?”Jihan terlihat bingung, tidak bisa menangkap gumaman Andini tadi.Andini menggeleng. “Enggak bukan apa-apa kok,” sahutnya cepat. “Aku memang kelewatan semalam, tapi aku enggak sampai tidur dengan brondong itu.”“Hah, syukurlah. Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, aku yang merasa bersalah, Ndin,” Jihan mengurut dadanya lega.“Tapi…kamu bisa rahasiakan semua ini kan? Maksudku, waktu aku berciuman dengan brondong itu,” bisik Andini.“Tentu saja. Kamu enggak usah khawatir. Aku enggak akan memberi tahu Pras atau siapapun itu soal kejadian semalam,” Jihan berujar yakin. Namun Jihan masih menangkap raut wajah sahabatnya yang ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu. “Ada masalah apa lagi, Ndin?”Andini menghela napas berat. Kedua matanya tertuju ke motif karpet rumahnya yang abstrak. “Sebenarnya, aku menyimpan satu rahasia kelam, Jihan. Bertahun-tahun aku memendamnya tapi sepertinya sekarang aku enggak t
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa