“Aaa!”
Aku melompat sambil memekik kencang. Sementara itu, Pras mengernyitkan dahinya dalam-dalam. “Andini? Kamu kenapa sih?!”
Napasku menderu cepat seperti seperti ikan yang kekurangan oksigen. Di kepala, aku terus memikirkan alasan apa yang harus kulontarkan pada suamiku.
“Aku cariin kamu lho dari tadi. Di kamar enggak ada, di kamar mandi juga enggak ada. Kupikir kamu ada di kamar anak-anak. Ternyata ada di sini toh. Habis ngapain sih?”
Pras mengedarkan pandangannya ke arah dapur kotor sembari aku menutup pintunya cepat-cepat.
“Ini…aku habis mengecek persediaan deterjen dan lain-lain. Sepertinya, besok aku mau belanja bulanan di supermarket.”
Ranjang kami–maksudku ranjangku dengan Pras–berderik-derik begitu Andreas dan aku bergumul dengan panas di atasnya.Leherku menukik ke belakang tatkala Andreas mempercepat gerakannya. Otot-otot tangan brondong itu terlihat jelas, begitu pula urat-urat di sekitar tangannya, saat dia menahan tubuhnya agar tidak menindihku yang terbaring tanpa sehelai benang pun.Aku bisa merasakan embusan napas Andreas yang terengah-engah, aku pun juga begitu. Kali ini dia bermain begitu kasar dan liar. Tapi aku menyukainya.Berkali-kali Andreas mengerang sambil memejamkan matanya. Sesekali mulutnya itu melontarkan namaku.Aku pun tidak kuasa untuk mendesah. Suaraku mulai terbata-bata begitu aku hendak mencapai puncak kenikmatan. Saraf-saraf di sekujur tubuhku terangsang, menya
Ting.Lonceng mungil yang menggantung di atas pintu itu berdenting saat Pras melangkah masuk.Aroma bunga-bunga yang segar menyambut kedatangan pria itu. Pras melongok ke sebuah ruangan yang ada di pojokan toko bunga ini.Dia melihat perempuan itu sedang mengajari beberapa peserta untuk merangkai bunga. Sambil menunggu kelas selesai, Pras memandangi bunga-bunga yang tersusun rapi di rak-rak kayu.Matanya lalu tertuju ke tumpukan tangkai mawar merah yang masih berduri. Entah kenapa, warna kelopak mawarnya terlihat begitu merah, seperti darah. Duri-durinya pun nampak sangat tajam.“Mas?” Suara perempuan itu membuat Pras menoleh. Ratih tersenyum manis menyambut Pras setelah semua peserta kelas merangkai b
Satu per satu peserta kelas melukis meninggalkan ruang kelas sehingga kini hanya menyisakan aku dan Andreas. Kami pun saling bertukar senyum.Setelah dirasa aman, Andreas menggandeng tanganku, menuntunku ke ruangannya. Saat pintu ruangannya tertutup, dengan cepat Andreas merengkuh daguku dan melesatkan ciuman yang penuh gairah.Di luar hujan mengguyur lebat. Butiran-butiran air yang terbawa angin menghantam jendela sehingga menimbulkan suara yang berisik. Udara jadi dingin tapi tubuh kami saling berhimpitan, menciptakan suasana yang hangat.“Hmpf…” Aku mendesah dalam ciuman Andreas, sambil pria itu membawaku ke pinggiran meja kerjanya. Lantas, dengan mudah dia menaikkan diriku ke permukaan meja yang sedikit kasar dan tangannya mulai menggerayangi tubuhku.
Empat belas tahun laluAdrian Wicaksono, pria yang selalu kukagumi sepanjang hidupku. Sahabat sekaligus pacar pertamaku kini sedang berlutut di depanku.“Adri, kamu ngapain sih?!” Desisku malu. Orang-orang di sekitar kami berbisik-bisik melihat aksi Adrian.Tangan Adrian lalu menjulur ke atas dan menyodorkan sebuah kotak beludru hitam. Bola mataku melebar begitu kotak itu terbuka. Cincin emas putih yang cantik nampak berkilau.“A-Adri…” Aku tergagap. Semua ini benar-benar di luar dugaanku. Kupikir Adrian cuma mengajakku kencan di taman, setelah lama kami LDR.“Andini, menikahlah denganku,” ucap Adrian. Beberapa orang yang lalu-lalang berhenti sejenak, menangkap momen Adrian melamarku. “Apa kamu bersedia?”Aku mengangguk pelan sambil menahan air mata di ujung ekor mataku. Aku mendengar tepuk tangan dan sorakan di sekitarku. Pipiku memanas namun aku begitu bahagia.Adrian bangkit, memasangkan cincin itu di jari manisku. Tatapan kami lantas beradu. Bola matanya yang berwarna abu menyorot
Deru motor itu membawa Andini, wanita impiannya, pergi menjauh. Dadanya bergemuruh penuh emosi saat dia melihat Andini merangkul Adrian dari belakang.‘Siapa namanya tadi? Adrian…’ batin Pras dalam hati. ‘Aku enggak akan melepas Andini ke pelukan pria sialan itu!’Malamnya, Pras benar-benar tidak bisa tidur. Pikirannya terus diganggu oleh rencana pernikahan Andini yang tiba-tiba. Apalagi Andini bakal pergi jauh, hidup bahagia dengan pria sialan itu, bukan dengan dirinya.“Argh!” Pras bangkit dari kasurnya, mencengkram kepalanya erat. Tiga bulan lalu, dirinya benar-benar terpikat dengan sosok Andini. Perempuan itu berdiri di depan pintu rumah orangtuanya, tersenyum manis sambil membawakan apple pie buatannya, sebagai tanda perkenalan.Saat mereka berpapasan di jalan, Andini selalu menyapanya, menyapa pria cupu yang seumur hidupnya belum pernah berpacaran. Pras bahkan berpikir dia akan melajang sampai mati karena interaksinya dengan wanita hanya terjadi pada ibu dan saudara perempuanny
“Andini, tunggu! Dengarkan penjelasanku dulu!” Adrian berteriak lantang seiring dengan motor yang dibawa Pras melaju cepat. Rambut Panjang Andini berkibar menjauh. “Andini!”Lambat laun, teriakan Adrian tidak terdengar lagi. Angin sore yang sejuk berembus menyapu pipi Andini yang basah.Dari depan, Pras bisa mendengar Andini yang dari tadi sesegukan. “Ternyata dia pria yang brengsek. Tindakanmu itu sudah tepat, Ndin,” ucap Pras.“Ta-tapi, mungkin saja dia dijebak,” Andini masih terbata.“Enggak mungkinlah. Itu pasti hanya akal-akalan dia saja. Percaya padaku.”“Lalu, siapa yang mengirimkan foto-foto itu? Apa jangan-jangan ada orang yang sengaja mau merusak hubungan kami?”TIN!Pras menekan klaksonnya saat mobil di depannya berhenti secara tiba-tiba. Dalam hati, Pras mendengus kesal. “Kurasa pengirim foto itu salah satu kenalan kalian. Dia tahu kalau selama ini pacarmu itu selingkuh, tapi dia enggak mau merusak hubungannya dengan salah satu di antara kalian. Selama ini kamu dan Adria
Adrian berjalan seorang diri menyusuri trotoar. Motornya sudah dijual karena toh pada akhirnya dia akan pindah ke Qatar dalam waktu yang lama. Sekalian, dia juga ingin menghirup udara malam yang segar untuk menjernihkan pikirannya.Adrian tertunduk. Berkali-kali dia menghela napas berat. Seharusnya semua berjalan lancar, tapi rencana indah itu malah luluh lantah.Suara klakson kereta komuter terdengar. Dengan cepat, kereta itu melintas, menerbangkan debu-debu kasar.‘Hah, kenapa semua ini harus terjadi? Apa ini yang dinamakan cobaan sebelum pernikahan?’ Adrian menendang kerikil-kerikil kecil.Kaki pria itu pun melangkah semakin jauh, meninggalkan keriuhan di belakangnya.‘Pras…’ dia membatin, coba mengingat perawakan tetangganya Andini itu. Pria itu bertubuh besar dan gempal dengan wajah bulat. Mirip dengan pria misterius yang terlihat di CCTV kelab.‘Tapi sepertinya enggak mungkin dia Pras. Untuk apa dia menjebakku? Ah, atau jangan-jangan dia selama ini menyukai Andini?!’ tebak Adria
Brak!Kedua tubuh itu berguling cepat ke pinggiran rel, membentur kerikil-kerikil yang menusuk kulit mereka.Tepat di samping mereka, kereta komuter melaju cepat. Tubuh Adrian membeku. Maut hampir saja menjemputnya. Untung saja dia bergerak cepat, mendekap tubuh Pras lalu berguling ke samping.“T-trims…” Pras terbata sambil tergeletak. “ Ka-kamu sudah menyelamatkanku.”Adrian menghela napas panjang. Seraya menyugar rambut ikalnya, pandangan Adrian mengarah ke langit yang gelap. Bulan sabit bersinar di atas sana. Mendadak keadaan di sekitar jadi senyap.“Tentu, aku enggak akan membiarkanmu mati begitu saja. Kamu masih harus bertanggung jawab untuk menjelaskan semua pada Andini.”“Baiklah. Aku mengakui kalau aku memang menjebakmu.”‘Ha, tepat dugaanku! Dasar orang sinting!’ Adrian terheran dalam hati.“Kamu tenang saja. Aku akan menebus kesalahanku. Aaargh…” Pras kembali meringis saat hendak bangkit.Adrian mengulurkan tangannya, membantu pria itu berdiri.Dengan susah payah, akhirnya m
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa