Ren benar-benar terlihat marah saat aku tak mengatakan yang sebenarnya tentang kedatangan Bara dan juga ibunya Daryan. Dia tetap meradang, meski sudah kujelaskan bahwa aku tak ambil pusing dengan urusan keluarga mereka.Aku kembali bertanya, mungkin apa yang dia ucapkan malam itu ada hubungannya dengan semua ini. Tapi lagi-lagi dia membantah. Dia hanya membalikkan fakta, bahwa Daryan yang lebih dulu melakukan ancaman. Hingga mau tak mau dia juga menggunakan cara yang sama.Hanya saja, Daryan lebih merasa ketakutan, tak seperti Ren yang selalu tampak bersikap tenang mengatasi semua masalah yang dihadapi. Seolah preman seperti dia kebal dan tak akan tersentuh oleh hukum."Jangan berhubungan dengan dia ataupun keluarganya lagi. Sudah ada aku yang selalu bersamamu, kau tahu?" ucapnya seperti takut kehilangan."Kau tidak perlu khawatir, Ren. Aku sudah memilihmu. Kau tak percaya padaku?"Suara panggilan whatsapp kembali berdering dari nomor yang sama, tuk yang ke sekian kalinya. Ren membua
Aku benar-benar frustasi saat Bara meminta hal yang bukan-bukan. Seenaknya saja memberi perintah dengan dalih akan mengganti seluruh penjualanku hari ini agar bisa ikut dengannya.Andai dulu hutangku masih banyak, aku pasti akan melompat untuk ikut tanpa perlu berpikir panjang. Sayang sekali, aku bukan lagi gadis murahan yang rela melakukan apa saja demi uang."Aku tidak mau!" jawabku tegas."Jangan sok jual mahal. Aku bukan Daryan yang punya banyak waktu untuk membujukmu," balasnya tak mau kalah."Lalu kau pikir aku akan termakan dengan bujukan suami orang?" "Kau...." Dia berdecih."Pergilah! Daryan tak akan pulang hanya karena aku bertemu dengan kalian."Kulihat dia menoleh ke arah kiri dan kanan. Seperti sedang mengamati siuasi sekitar. Beberapa pengguna jalan dan pengunjung apotik di ruko yang aku sewa halamannya, tampak berlalu lalang.Lalu senyum itu menyeringai."Bagaimana jika aku menyeret tubuh kurusmu itu secara paksa, ha?" Alisnya terangkat seperti menggoda."Kau itu bica
Ren masih menatap dengan ekspresi datarnya. Sementara Bara tampak kalut, menunggu jawaban.Tanganku masih setia merangkul lengan Ren. Andai rantang dari calon mertuaku ini tak berada di salah satu tanganku, aku pasti akan mendekap tubuhnya erat agar tak bisa bergerak.Meja dan kursi belum lagi ada untuk meletakkan benda berharga ibunya Ren. Bahkan booth container belum sempat terbuka. Lalu kemana harus kuletakkan makan siangku ini agar bisa bergerak lebih leluasa?Lagi-lagi aku belum sepenuhnya percaya pada janji Ren. Tangan besar itu bisa saja langsung menarik kerah kemeja Bara dengan kasar. Atau kaki jenjangnya langsung mendarat di perut pria yang tadi katanya sibuk, tapi sampai sekarang masih berada bersama kami.Pria barbar di sampingku ini tak henti-hentinya membuatku jantungan. Menyelidiki keluarga Daryan dengan begitu detil, hanya karena ingin menunjukkan bahwa keluarga itu tak baik untukku."Kau tidak perlu tahu siapa aku," ucap Ren datar. "Menjauh dari kehidupan gadis-ku, ma
"Kau benar-benar marah?" tanyaku lagi. "Aku jadi takut makan masakan ibumu. Padahal aku sangat lapar." Aku membujuk dengan suara semanja mungkin.Kudengar suara decih dari mulutnya, diikuti dengan tawa kecil. Lalu berbalik ke arahku dengan mata menyipit."Kau semakin handal dalam merayu," sindirnya."Tapi aku benar-benar lapar," rengekku. Dia kembali tertawa."Baiklah, lupakan masalah tadi. Ayo makan!"Aku langsung tersenyum senang. Merasa kalau Ren memang tak bisa berlama-lama marah dan mengabaikanku. Dia membantuku menyusun meja dan kursi untuk memulai jualan, memasang standing banner hingga membantu melayani saat para pelanggan datang membeli.Petanyaan demi pertanyaan tak penting, dia lontarkan demi meluapkan kekesalan perihal masalah tadi. Kenapa aku sampai terlambat dan baru buka jam segini. Belum lagi sarapan yang terlewat karena aku kembali tidur saat dia menelepon tadi pagi.Aku hanya mengucapkan kata maaf, dan maaf saja. Tak mau lagi dia merasa terbantah dan membuatnya kece
Aku menelan ludah saat melihat pria yang tadi membawaku sampai ke sini. Penampilannya begitu berbeda dari biasanya. Terlihat lebih kacau, meski masih tergolong normal.Rambutnya kini dibiarkan terurai, sedikit lebih memanjang. Tak seperti bagaimana penampilannya yang biasa, selalu terlihat rapi dan sempurna."Apa yang kau lakukan di sini, Daryan?" tanyaku membuka percakapan."Kau tak merindukanku?" Sorot matanya bagai hampa."Semua orang mencarimu. Kenapa selalu membuat khawatir semua orang?""Kau mengkhawatirkanku? Kupikir kau tak peduli lagi," ucapnya sinis.Aku hanya berdecak. Tak mau dia salah paham dan berpikir aku menantikannya selama ini."Selama ini kau ke mana saja? Kenapa masih bersikap seperti anak-anak. Dewasalah sedikit. Kau menempatkanku dalam posisi sulit."Matanya memicing. Mencari tahu apa maksud dari ucapanku.Aku tak segan-segan menceritakan tentang kedatangan ibu dan juga kakaknya yang kerap kali menyalahkanku. Menuduhku dalang dibalik kepergiannya."Apa ibuku masi
Kami sampai di kompleks perumahan elite. Aku mengikuti Daryan turun, dengan ponsel yang masih belum dia izinkan untuk kusentuh. Membiarkannya tetap berada di sana, dimana Daryan melemparnya tadi."Ini rumah siapa?" Lagi-lagi aku bertanya.Mengikuti langkahnya untuk menaiki teras. Rumah mewah bergaya modern dengan dua lantai yang membuatku takjub. Dengan hanya menekan beberapa digit angka, Daryan berhasil menekan handel dan membuka pintunya."Masuklah!" Daryan mempersilakan, kemudian mengikuti langkahku setelah merapatkan pintu."Selama ini kau tinggal di sini?" Dia mengagguk. "Sendirian?"Dia tertawa kecil, lalu melangkah melewatiku menuju ruang tamu."Duduklah!" Dia mengempaskan bobot tubuhnya ke atas sofa mewah berwarna cream.Mataku berkeliling menyisir setiap area ruangan. Memikirkan kenapa dia bisa tinggal di rumah mewah ini sendirian tanpa diketahui oleh keluarganya. Rasanya tidak mungkin mereka tidak mengetahui kalau salah satu aset mereka dipakai oleh Daryan.Tidak mungkin jug
Aku kembali menelan ludah mendengar ucapan Daryan. Sedikit merasa bersalah karena apa yang dia tuturkan memang benar adanya. Aku telah berpaling hati pada Ren, bahkan sejak saat aku masih menjadi kekasihnya.Namun apa yang bisa aku lakukan. Ren lebih banyak hadir dalam kesusahanku. Selalu datang di saat yang tepat saat aku membutuhkan. Tak kenal takut untuk membela, meski keselamatannya sendiri dia pertaruhkan."Maafkan aku, Daryan." Aku memberanikan diri berucap. "Maaf kalau hubungan kita harus berakhir seperti ini.""Berakhir?" Dia mengulangi ucapanku. "Kau benar-benar memilih orang itu ketimbang aku?"Dia seolah tak percaya."Kau lihat rumah ini? Ini terasa lebih nyaman ketimbang ruko kecil itu. Aku akan membawamu tinggal di sini. Aku bersedia mengorbankan ibuku demi bisa hidup bersamamu." Dia berucap penuh keyakinan."Apa maksudmu?" Dahiku mengernyit. "Ada apa dengan ibumu?""Kau tak tahu?" Matanya sayu memandangku. "Pria itu, orang yang kau sukai, memiliki rekaman CCTV saat ibuku
"Kenapa? Kau tak lagi menginginkan aku?" bisiknya."Lepaskan aku, Daryan. Kau jangan jadi seperti ini. Kita sudah putus." Aku memekik keras, sambil memukul dadanya. Masih berusaha melepaskan diri."Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Siang malam aku berharap masih bisa memelukmu seperti ini." Dia masih berusaha memaksa.Aku menangis, tahu tak akan bisa lepas jika hanya melawan. Aku memohon agar dia mengurungkan niatnya."Bukankah biasanya kau menikmati setiap sentuhanku, May? Seberapa banyak pria itu melakukan hal yang sama padamu. Aku akan menghapusnya agar kau bisa melupakan semua itu." Dia menyeretku kembali menuju sofa. Melemparku hingga terpental dan hampir terlentang. Lalu menjatuhkan diri ke atasku."Jangan, Daryan!" pekikku, memohon.Wajah itu terus menghujaniku dengan ciuman. Aku meronta hingga bibir itu kini memasuki dan membenam di ceruk leherku. Aku berteriak kuat, hingga gerakannya terhenti saat memandangi sesuatu yang baru saja ditemukannya."Luka apa ini?" Dia men
Satu minggu sebelum pernikahan, Daryan muncul di ruko yang kini sudah menjelma menjadi kafe. Dimana orang-orang Ren yang bekerja, kini berpakaian rapi hingga menutupi tato-tato yang ada di tubuh mereka.Tak ada pegawai wanita di sini. Ren tak ingin aku tiba-tiba merajuk dan mendiamkannya karena tak sengaja melihatnya berbicara dengan mereka, meski hanya untuk urusan pekerjaan.Aku mengulum senyum mendengar keputusannya."Aku bukan pesuruhmu! Tanpa kau minta pun aku sudah menjaganya sejak dulu." Ren berucap lantang, saat Daryan bilang mengikhlaskan, dan memintanya menjagaku.Aku yang duduk di samping Ren hanya terdiam. Setidaknya Daryan tak lagi membahas tentang apa yang dia lakukan di rumahnya waktu itu. Dan Ren juga menepati janji untuk duduk dan berbicara baik-baik, tanpa ada lagi perkelahian.Dia tak perlu melakukan itu. Karena apa pun yang terjadi, Daryan tak akan mungkin bisa merebutku lagi.Daryan menghabiskan "strawberry boba" racikan
Aku kembali memasuki kamar usai mandi. Melepas handuk yang masih melilit di kepala. Matahari mulai meninggi. Kulihat tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Tertidur pulas setelah terjaga semalaman.Matanya memicing, saat titik-titik air dari rambutku yang basah memercik ke wajahnya. Membuat wajah garang itu terlihat begitu lucu."Kau nakal sekali." Suara serak khas bangun tidur itu tersenyum memandangku."Kau juga sering melakukan ini padaku." Aku membela diri. "Cepatlah bangun, nanti kau terlambat.""Kenapa kau mandi duluan? Apa tidak lelah jika harus melakukannya berulang-ulang?""Apa maksudmu?""Maksudku?" Dia mengulangi ucapanku. "Maksudku, kau harus kembali membersihkan diri saat kita melakukannya sekali lagi."Dia langsung menarik tubuhku. Memasukkanku ke dalam selimut yang masih membalut tubuh polosnya."Eh, apa yang kau lakukan, Ren? Aku sudah mandi. Dan kau bau!" Aku meronta minta dilepaskan."Kita bis
Ayah mengangkat wajah. Menatapku dengan pandangan sayu. Mungkin tak percaya aku bisa berbicara selembut ini.Menit kemudian dia menggeleng. Menolak ajakanku."Ayah di sini saja. Kontrak kerja ayah masih panjang. Kau lihat? Satu tahun ke depan gedung ini belum tentu siap. Ayah bisa hasilkan uang untuk biaya kuliah Adit dan juga mengganti semua uang yang kau berikan untuk membayar hutang-hutang ayah."Aku menggeleng kuat. Semakin terisak dengan ucapannya."Lagi pula, jika ayah masih tinggal di rumah, kau tak akan leluasa pulang ke sana. Kau pasti begitu membenci ayah, kan?"Tangisku semakin pecah. Tak menyangka ayah akan berpikiran seperti itu.Ucapan ayah sebenarnya tidak salah. Selama ini aku memang selalu berusaha menghindarinya. Tak ingin sering-sering terlibat perdebatan yang akhirnya membuatku kesal dan menangis.Ayah memundurkan kursi, lalu bangkit menuju sebuah dipan. Sepertinya mereka membuat itu sebagai tempat tidur. Kul
Minggu pagi.Laman berita kembali memuat berita tentang kasus Jo. Satu persatu bukti dan saksi mulai terkuak. Akhirnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya tertangkap saat hendak melarikan diri ke luar kota.Mataku membesar, lalu segera keluar dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua."Ren!"Dua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahku. Ren memutar bola mata ke atas, sudah terbiasa dengan kelancanganku yang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Dia menggeleng pasrah, lalu meminta agar pria paruh baya yang duduk di seberang mejanya segera keluar."Kau sudah lihat beritanya? Pembunuhnya sudah tertangkap. Ayahku tidak bersalah. Ayahku bukan pembunuh, Ren." Aku melompat dan memeluk tubuhnya, kemudian melepaskan dan tersenyum.Ren mambalas senyumanku, lalu menganguk."Ayahmu juga sudah kembali. Dia di barak konstruksi sekarang. Kau ingin menemuinya?"Aku terdiam.
"Kau jangan panik. Aku sudah menyuruh orang untuk mencari ayahmu. Setelah bertemu dia akan aman bersama mereka. Kau tak perlu cemas lagi.""Ren!" Aku membenamkan diri di dada bidangnya. Memeluk erat tubuh berotot itu.Begitu merasa bersalah dan jahat karena telah mencurigainya. Jadi apa yang dia katakan di kantor tadi adalah semata-mata hanya ingin melindungi ayahku saja."Harusnya kau tidak perlu tahu masalah ini. Lihatlah, kau semakin kacau saja." Ren mengangkat dan membawaku kembali dalam gendongan. Lalu berjalan menuju ranjang.Meletakkanku di sana, lalu duduk di sisiku."Maafkan aku, Ren. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," sesalku, menatap wajah yang tadi sempat membuatku merasa takut."Ya. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan semua ini. Memangnya kapan kau pernah berpikiran baik tentangku, ha? Kau terlihat sayang padaku hanya saat aku sedang sakit saja. Selebihnya kau lebih sering mengumpat dan memukuliku," rajuknya."Ren!" Aku langsung menerkam tubuhnya. "Kapan aku seperti
Aku memandang Ren penuh tanya. Dia tak mengelak sedikit pun dengan tuduhanku. Apa dia akan mengakui semuanya?Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, lalu berbalik memunggunginya. Menangis ketakutan. Lalu sebentar saja kurasakan tubuh itu merapat dan memelukku dari belakang."Maaf, kalau aku tak jujur sejak awal," bisiknya penuh sesal.Sontak hatiku semakin teriris mendengarnya. Dan selama itu pula aku telah menuduh Daryan yang melakukannya."Aku hanya tak ingin membuatmu cemas. Itu saja." Ren kembali merapatkan bibirnya di telingaku. Membuat sekujur tubuhku merinding dengan sikapnya."Aku akan membereskan semuanya. Kau tidak perlu takut. Orang-orang ayahku punya akses di kepolisian, bahkan pemerintahan. Kau tidak perlu cemas." Dia kembali meyakinkan."Aku akan menutupi semuanya. Tak akan ada yang masuk penjara. Terlepas dari itu, bukankah Jo memang pantas mati?" Suara itu seperti membenarkan perbuatannya.Membuat suasana hatiku semakin mencekam."Kau tenang saja. Ayahmu akan sel
Mendadak aku teringat pembicaraan di kamar kos hari itu. Ren memang nampak meyakinkan, bahwa Jo tidak akan mungkin lagi menggangguku sampai kapan pun. Apa ini yang dia maksud?Mendadak pikiranku kembali bimbang. Sikap aneh Ren tiap kali aku mengungkit soal pelaku membuatnya merasa gugup dan juga cemas. Tak jarang dia juga mengalihkan pembicaraan agar aku tak lagi membahas masalah itu.Dengan tungkai kaki yang kembali gemetar, aku memaksakan diri melangkah. Kembali menapaki anak tangga menuju kamar.Aku terduduk lemas di sisi ranjang, dengan dada yang kian sesak. Firasat buruk apa lagi ini?Apakah benar Ren yang ikut terlibat dalam pembunuhan sadis itu?Lalu Daryan?Aku tersentak saat mendengar dering ponsel dari saku celana. Kulihat panggilan seluler tanpa nama, hingga aku tak bisa melihat foto profilnya.Aku berjalan menuju ke arah jendela. Membukanya dengan lebar untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Lalu dengan ragu mengangkat panggilan itu."Maya?" Suara itu sangat tidak asing bu
Ingin sekali rasanya menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Berharap aku salah, dan bukan Daryan yang melakukannya. Aku pernah mengenal dia. Baginya, lebih baik pergi dan menghindar ketimbang marah dan berbuat kasar pada orang lain.Tapi seperti itulah. Sejak dia mulai bekerja, sikapnya kian berubah. Cenderung emosional, dan juga kasar. Belum lagi sikap memaksanya waktu itu. Sangat berbeda dengan Daryan yang pertama kali aku kenal.Aku benar-benar berharap bukan dia pelakunya. Aku pun tak mau dia mengalami masalah besar karena aku. Namun rasa takut di hati tak dapat kubohongi. Sulit bagiku untuk memberi tahukannya pada Ren. Dia pasti tidak akan terima kalau Daryan masih berusaha menemuiku. Mengetahui sifat dan perangainya, malah semakin membuatku takut. Ren tidak akan mungkin tinggal diam. Bagaimanapun caranya, dia pasti akan mencari Daryan sampai dapat.Sebagai orang yang menyayanginya, aku tidak mau hal itu terjadi. Andai memang Daryan yang membunuh Jo, mendatangi Daryan adalah hal berb
Motor melaju membelah jalanan. Angin bertiup, menyapa wajahku yang kini bersandar di punggung Ren, dengan tangan yang begitu erat melingkari pinggang berototnya.Sesekali dia menyentuh dan menggenggam tanganku saat berhenti di lampu merah. Lalu sekejap menariknya ke atas untuk dia kecup. Senyumku terukir, merasakan sikapnya yang begitu manis memperlakukanku. Hanya saja, dada ini masih tetap bergemuruh, merasakan ketakutan tentang rasa curiga ini."Masuklah!" Ren mengantarku hingga ke depan pintu. "Atau kau ingin aku bermalam bersamamu?" Ren menggoda dengan mengangkat kedua alisnya.Aku tersenyum malu, menatap wajah tampan itu, yang selalu setia mendampingiku."Ren?""Hem?""Masuklah.""Kau mulai memancingku lagi, ha?" Dia melakukannya lagi, meremas rahangku dan menggoyang-goyangkannya karena gemas."Tunggu aku berkemas. Aku ingin tinggal di tempatmu sementara waktu. Boleh?"Ren terdiam. Merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam ucapanku."Ada apa? Kau masih merasa takut?" Ren menatap