Mataku mengerjab melihat Daryan. Tak menyangka kalau dia masih akan datang setelah kejadian waktu itu. Apalagi jelas-jelas aku sudah mengakhiri hubungan kami. Dan dia pun menerimanya, meski berujung penghinaan bernada emosi.Jujur, aku tak pernah membencinya. Hanya saja merasa kesal dengan kejadian yang menimpaku saat itu, hingga membuat rasa yang dulu pernah ada, perlahan memudar.Kemudian menghilang.Kulirik Ren menatapnya dengan pandangan sinis. Membuatku bergidik ngeri, mengingat perangainya yang selalu menyelesaikan segala urusan dengan tindak kekerasan. Aku bangkit, berdiri untuk menyapa pria yang sekarang berstatus hanya sebagai mantan."Ada apa ke sini?" tanyaku heran."Mencarimu," ucapnya sinis. Namun mata itu tertuju pada pria yang kini sedang duduk di sampingku."Ada perlu apa?"Dia menoleh, menyipit memandangku."Sedang apa dia di sini? Kau masih berhutang padanya?" Daryan menunjuk Ren dengan dagunya.Ren yang merasa terpanggil, meremas batang nikotin yang belum sempat h
"Iya... itu... aku...." Aku berucap ragu."Kau mendapatkannya dari dia?" Ren akhirnya tahu, dan aku tak pernah berniat menyembunyikannya. Aku mengangguk.Ren berjongkok, mensejajarkan tubuh pada Daryan, lalu menarik kembali kerah kemejanya."Berikan nomor rekeningmu, sialan! Aku tak sudi menerima uang dari bajingan sepertimu."Daryan tertawa mengejek, tentu saja dengan suara rintihan dan batuk akibat ulah kekasihku itu."Untuk apa kau melakukan itu? Kau ingin mengambil simpati Maya? Ha!" Daryan tetap menantang, tak merasa takut meski berulang kali tersakiti."Kau kecewa?" Ren tak mau kalah.Daryan kembali tertawa. Membuatku merasa semakin miris. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Meski dia tak tahu bahwa aku dan Ren berpacaran, setidaknya dia harus menyadari kalau dia bukan siapa-siapaku lagi."Sudah kuduga. Kau menyukai Maya, kan?" Daryan terus mengoceh. "Sayang sekali, karena kenyataannya Maya begitu membencimu.""Tutup mulutmu, sialan!" Ren kembali menarik kerahnya, mengay
"Kita harus segera pindah dari rumah ini!" ucap ayah tanpa rasa bersalah.Aku baru saja sampai, saat Adit panik dan memintaku segera pulang."Ini rumah ibu. Kenapa ayah tega menjualnya?" ucapku berang."Ayah juga tidak bermaksud menjualnya. Nanti kalau ayah punya uang banyak, ayah belikan rumah yang lebih bagus dari ini."Omong kosong!Ayah masih saja berkhayal menjadi orang kaya dengan situs-situs judi online itu. Membuatnya mengorbankan segala yang ada di rumah ini. Termasuk sepeda motornya sendiri yang sekarang sudah menghilang entah kemana.Tentu saja aku tak bisa tinggal diam. Adikku yang lemah, tampak memucat. Memikirkan bagaimana nasib kami ke depannya tanpa rumah ini. Satu-satunya harta berharga yang harus kami lindungi."Katakan padanya kalau aku akan mencicil kembali hutang ayah. Dan ini untuk terakhir kalinya!" Aku berteriak dengan kesal."Sudahlah, jangan buang-buang uang. Kau tak akan sanggup membayarnya. Jumlahnya bisa sepuluh kali lipat dari hutang ayah yang lalu. Pak
Aku bersikap seperti ini saja dia masih merendahkanku. Bagaimana jika aku merendahkan diri dan memelas di hadapannya. Dia pasti akan semakin menginjak-injak harga diriku."Kau jangan sepele padaku, ya. Aku punya usaha untuk bisa membayarmu setiap bulan." Aku berusaha tidak terlihat lemah."Setiap bulan?" Suara tawanya terdengar merendahkan. "Kau pikir aku punya waktu menunggui uang recehmu selama sebulan?"Ah, shit!Sombong sekali rentenir yang satu ini. Dia memajukan sedikit wajahnya ke hadapanku, dengan kedua siku bertumpu pada meja, memegang dagu."Aku akan menagih setiap hari," ujarnya."Mana bisa begitu. Itu membunuh namanya.""Kalau begitu negosiasi batal. Angkat kaki dari rumahku!""Jangan!" sanggahku dengan cepat.Aku mulai merasa cemas. Dia bilang itu rumahnya? Mengesalkan!"Dua minggu sekali aku akan datang mengantar uang padamu." Aku kembali menawar. "Jangan mendatangiku."Dia berdecih! Mungkin muak dengan sikapku yang tak tahu diri. Tentu saja aku tak ingin dia datang.
Aku menyunggingkan senyum, melihat dia yang kini berdiri menungguku usai menutup kedai. Berjalan bersama, sambil bergandengan tangan layaknya pasangan pada umumnya. Sesekali saling menoleh sambil tersenyum malu. Ren menemaniku pulang."Tanganmu sangat kecil. Tapi kalau memukul, sakit sekali," keluhnya, lalu mengapit genggaman tanganku ke dadanya.Aku tertawa kecil, sambil mendorong bahunya dengan bahuku. Kami mengobrol sepanjang jalan, tentang apa saja yang terkadang membuatku merengut mendengarnya. Dia hanya tertawa, seolah wajah cemberut dan marahku jadi hiburan tersendiri dalam hidupnya."Andai sejak awal kau jujur, kejadian di karaoke tak akan mungkin terjadi," sesalku, sambil berdecak. Kembali merasa rendah diri."Tak perlu malu. Apa pun yang terjadi saat itu, aku masih akan terus menyukaimu."Aku mengulum senyum, dengan mata yang menghangat pastinya. Selain umpatan dan kata-kata kasar, ternyata dia juga bisa mengeluarkan kata-kata manis yang membuatku hampir menangis.Kami sam
"Apa maksudmu?" Aku mengernyit.Daryan kembali menatap Ren dengan nyalang. Seolah tak sabar ingin segera mencabik-cabiknya untuk membalas rasa sakit yang dirasakannya."Aku akan membuat laporan tindakan penganiayaan. Dua kali kau menyerangku. Dan aku sudah punya bukti foto dan juga visum," ucapnya penuh percaya diri. "Lepaskan Maya, atau kau akan berurusan dengan hukum!"Deg!Jantungku hampir berhenti seketika. Membuat tungkai kakiku kini gemetaran. Aku sedikit mendongak memandang wajah Ren. Membayangkan kalau kekasihku ini akan meninggalkanku, karena tak ingin masuk penjara."Jangan lakukan itu, Yan. Kau tahu Ren hanya ingin membelaku. Kau jangan berlebihan!" Aku berucap penuh penekanan."Kenapa kau terkejut? Preman seperti dia pasti sudah sering keluar masuk penjara." Daryan tampak penuh percaya diri. Merasa menang.Ren masih diam terpaku. Tak bereaksi. Membuatku semakin frustasi. Apa kini dia merasa terpojok? Atau takut? "Ren, minta maaflah!" perintahku. "Katakan kalau kau hanya
Percuma saja aku menghujani Ren dengan ciuman liar malam itu, nyatanya dia tetap bungkam tentang apa yang dia ucapkan pada Daryan. "Itu urusan lelaki," bisiknya di sela-sela napas yang memburu."Tahu begitu, kubiarkan saja kau pulang lebih cepat." Aku kembali merengut."Sudah terlambat. Terima saja hukumanmu."*Hampir seminggu sudah sejak kejadian itu. Daryan memang tak berani lagi untuk datang menemuiku. Atau mungkin memang sudah menyerah, dan melupakanku.Aku tersenyum getir. Tak menyangka hubungan kami yang singkat, harus berakhir dengan cara seperti ini. Entah aku harus menyalahkan diri sendiri, atau mungkin memang takdir yang berkehendak. Ditambah lagi status sosial yang mau tak mau akan memisahkan kami seperti yang selalu diucapkan oleh ibunya.Namun tak bisa dipungkiri, banyak hal baik dan menyenangkan yang selalu kuingat saat bersamanya. Dia pun pernah membuatku bahagia dan begitu menggilainya. Tapi lagi-lagi ini yang terbaik. Aku dan dia tak lagi saling berhubungan. Yang
Hari beranjak sore. Aku kembali duduk di singgasana kebesaranku. Meski hanya sebuah kursi plastik tempatku bersandar. Tak ingin larut dalam pikiran tentang Daryan. Dia baik-baik saja bersama keluarga ayahnya. Mungkin pun merasa sangat bahagia, hingga lupa pada ibunya, dan juga aku dulu saat masih menjadi kekasihnya.Dalam kesendirian, kulihat seseorang berpakaian rapi dengan setelan jas datang menghampiri. Berdiri sambil memperhatikan standing bannerku. Wajah itu tampak tak asing. Hanya saja aku lupa pernah melihatnya dimana."Pesan apa?" Aku menjulurkan daftar menu padanya.Dia melirik benda itu, lalu mengalihkan pandangan padaku."Kau yang bernama Maya?" Aku terkejut mendengar pertanyaannya. "Kau siapa?" "Aku Bara. Kakaknya Daryan."Bara? Aku langsung berjalan keluar, menghampirinya.Benar sekali. Pantas saja wajah itu seperti pernah kulihat. Aku menandai sesosok itu saat dia menjadi pengantin di pesta mewah itu. Mau apa dia kemari?"Mana Daryan? Apa sekarang kalian tinggal ber
Satu minggu sebelum pernikahan, Daryan muncul di ruko yang kini sudah menjelma menjadi kafe. Dimana orang-orang Ren yang bekerja, kini berpakaian rapi hingga menutupi tato-tato yang ada di tubuh mereka.Tak ada pegawai wanita di sini. Ren tak ingin aku tiba-tiba merajuk dan mendiamkannya karena tak sengaja melihatnya berbicara dengan mereka, meski hanya untuk urusan pekerjaan.Aku mengulum senyum mendengar keputusannya."Aku bukan pesuruhmu! Tanpa kau minta pun aku sudah menjaganya sejak dulu." Ren berucap lantang, saat Daryan bilang mengikhlaskan, dan memintanya menjagaku.Aku yang duduk di samping Ren hanya terdiam. Setidaknya Daryan tak lagi membahas tentang apa yang dia lakukan di rumahnya waktu itu. Dan Ren juga menepati janji untuk duduk dan berbicara baik-baik, tanpa ada lagi perkelahian.Dia tak perlu melakukan itu. Karena apa pun yang terjadi, Daryan tak akan mungkin bisa merebutku lagi.Daryan menghabiskan "strawberry boba" racikan
Aku kembali memasuki kamar usai mandi. Melepas handuk yang masih melilit di kepala. Matahari mulai meninggi. Kulihat tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Tertidur pulas setelah terjaga semalaman.Matanya memicing, saat titik-titik air dari rambutku yang basah memercik ke wajahnya. Membuat wajah garang itu terlihat begitu lucu."Kau nakal sekali." Suara serak khas bangun tidur itu tersenyum memandangku."Kau juga sering melakukan ini padaku." Aku membela diri. "Cepatlah bangun, nanti kau terlambat.""Kenapa kau mandi duluan? Apa tidak lelah jika harus melakukannya berulang-ulang?""Apa maksudmu?""Maksudku?" Dia mengulangi ucapanku. "Maksudku, kau harus kembali membersihkan diri saat kita melakukannya sekali lagi."Dia langsung menarik tubuhku. Memasukkanku ke dalam selimut yang masih membalut tubuh polosnya."Eh, apa yang kau lakukan, Ren? Aku sudah mandi. Dan kau bau!" Aku meronta minta dilepaskan."Kita bis
Ayah mengangkat wajah. Menatapku dengan pandangan sayu. Mungkin tak percaya aku bisa berbicara selembut ini.Menit kemudian dia menggeleng. Menolak ajakanku."Ayah di sini saja. Kontrak kerja ayah masih panjang. Kau lihat? Satu tahun ke depan gedung ini belum tentu siap. Ayah bisa hasilkan uang untuk biaya kuliah Adit dan juga mengganti semua uang yang kau berikan untuk membayar hutang-hutang ayah."Aku menggeleng kuat. Semakin terisak dengan ucapannya."Lagi pula, jika ayah masih tinggal di rumah, kau tak akan leluasa pulang ke sana. Kau pasti begitu membenci ayah, kan?"Tangisku semakin pecah. Tak menyangka ayah akan berpikiran seperti itu.Ucapan ayah sebenarnya tidak salah. Selama ini aku memang selalu berusaha menghindarinya. Tak ingin sering-sering terlibat perdebatan yang akhirnya membuatku kesal dan menangis.Ayah memundurkan kursi, lalu bangkit menuju sebuah dipan. Sepertinya mereka membuat itu sebagai tempat tidur. Kul
Minggu pagi.Laman berita kembali memuat berita tentang kasus Jo. Satu persatu bukti dan saksi mulai terkuak. Akhirnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya tertangkap saat hendak melarikan diri ke luar kota.Mataku membesar, lalu segera keluar dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua."Ren!"Dua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahku. Ren memutar bola mata ke atas, sudah terbiasa dengan kelancanganku yang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Dia menggeleng pasrah, lalu meminta agar pria paruh baya yang duduk di seberang mejanya segera keluar."Kau sudah lihat beritanya? Pembunuhnya sudah tertangkap. Ayahku tidak bersalah. Ayahku bukan pembunuh, Ren." Aku melompat dan memeluk tubuhnya, kemudian melepaskan dan tersenyum.Ren mambalas senyumanku, lalu menganguk."Ayahmu juga sudah kembali. Dia di barak konstruksi sekarang. Kau ingin menemuinya?"Aku terdiam.
"Kau jangan panik. Aku sudah menyuruh orang untuk mencari ayahmu. Setelah bertemu dia akan aman bersama mereka. Kau tak perlu cemas lagi.""Ren!" Aku membenamkan diri di dada bidangnya. Memeluk erat tubuh berotot itu.Begitu merasa bersalah dan jahat karena telah mencurigainya. Jadi apa yang dia katakan di kantor tadi adalah semata-mata hanya ingin melindungi ayahku saja."Harusnya kau tidak perlu tahu masalah ini. Lihatlah, kau semakin kacau saja." Ren mengangkat dan membawaku kembali dalam gendongan. Lalu berjalan menuju ranjang.Meletakkanku di sana, lalu duduk di sisiku."Maafkan aku, Ren. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," sesalku, menatap wajah yang tadi sempat membuatku merasa takut."Ya. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan semua ini. Memangnya kapan kau pernah berpikiran baik tentangku, ha? Kau terlihat sayang padaku hanya saat aku sedang sakit saja. Selebihnya kau lebih sering mengumpat dan memukuliku," rajuknya."Ren!" Aku langsung menerkam tubuhnya. "Kapan aku seperti
Aku memandang Ren penuh tanya. Dia tak mengelak sedikit pun dengan tuduhanku. Apa dia akan mengakui semuanya?Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, lalu berbalik memunggunginya. Menangis ketakutan. Lalu sebentar saja kurasakan tubuh itu merapat dan memelukku dari belakang."Maaf, kalau aku tak jujur sejak awal," bisiknya penuh sesal.Sontak hatiku semakin teriris mendengarnya. Dan selama itu pula aku telah menuduh Daryan yang melakukannya."Aku hanya tak ingin membuatmu cemas. Itu saja." Ren kembali merapatkan bibirnya di telingaku. Membuat sekujur tubuhku merinding dengan sikapnya."Aku akan membereskan semuanya. Kau tidak perlu takut. Orang-orang ayahku punya akses di kepolisian, bahkan pemerintahan. Kau tidak perlu cemas." Dia kembali meyakinkan."Aku akan menutupi semuanya. Tak akan ada yang masuk penjara. Terlepas dari itu, bukankah Jo memang pantas mati?" Suara itu seperti membenarkan perbuatannya.Membuat suasana hatiku semakin mencekam."Kau tenang saja. Ayahmu akan sel
Mendadak aku teringat pembicaraan di kamar kos hari itu. Ren memang nampak meyakinkan, bahwa Jo tidak akan mungkin lagi menggangguku sampai kapan pun. Apa ini yang dia maksud?Mendadak pikiranku kembali bimbang. Sikap aneh Ren tiap kali aku mengungkit soal pelaku membuatnya merasa gugup dan juga cemas. Tak jarang dia juga mengalihkan pembicaraan agar aku tak lagi membahas masalah itu.Dengan tungkai kaki yang kembali gemetar, aku memaksakan diri melangkah. Kembali menapaki anak tangga menuju kamar.Aku terduduk lemas di sisi ranjang, dengan dada yang kian sesak. Firasat buruk apa lagi ini?Apakah benar Ren yang ikut terlibat dalam pembunuhan sadis itu?Lalu Daryan?Aku tersentak saat mendengar dering ponsel dari saku celana. Kulihat panggilan seluler tanpa nama, hingga aku tak bisa melihat foto profilnya.Aku berjalan menuju ke arah jendela. Membukanya dengan lebar untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Lalu dengan ragu mengangkat panggilan itu."Maya?" Suara itu sangat tidak asing bu
Ingin sekali rasanya menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Berharap aku salah, dan bukan Daryan yang melakukannya. Aku pernah mengenal dia. Baginya, lebih baik pergi dan menghindar ketimbang marah dan berbuat kasar pada orang lain.Tapi seperti itulah. Sejak dia mulai bekerja, sikapnya kian berubah. Cenderung emosional, dan juga kasar. Belum lagi sikap memaksanya waktu itu. Sangat berbeda dengan Daryan yang pertama kali aku kenal.Aku benar-benar berharap bukan dia pelakunya. Aku pun tak mau dia mengalami masalah besar karena aku. Namun rasa takut di hati tak dapat kubohongi. Sulit bagiku untuk memberi tahukannya pada Ren. Dia pasti tidak akan terima kalau Daryan masih berusaha menemuiku. Mengetahui sifat dan perangainya, malah semakin membuatku takut. Ren tidak akan mungkin tinggal diam. Bagaimanapun caranya, dia pasti akan mencari Daryan sampai dapat.Sebagai orang yang menyayanginya, aku tidak mau hal itu terjadi. Andai memang Daryan yang membunuh Jo, mendatangi Daryan adalah hal berb
Motor melaju membelah jalanan. Angin bertiup, menyapa wajahku yang kini bersandar di punggung Ren, dengan tangan yang begitu erat melingkari pinggang berototnya.Sesekali dia menyentuh dan menggenggam tanganku saat berhenti di lampu merah. Lalu sekejap menariknya ke atas untuk dia kecup. Senyumku terukir, merasakan sikapnya yang begitu manis memperlakukanku. Hanya saja, dada ini masih tetap bergemuruh, merasakan ketakutan tentang rasa curiga ini."Masuklah!" Ren mengantarku hingga ke depan pintu. "Atau kau ingin aku bermalam bersamamu?" Ren menggoda dengan mengangkat kedua alisnya.Aku tersenyum malu, menatap wajah tampan itu, yang selalu setia mendampingiku."Ren?""Hem?""Masuklah.""Kau mulai memancingku lagi, ha?" Dia melakukannya lagi, meremas rahangku dan menggoyang-goyangkannya karena gemas."Tunggu aku berkemas. Aku ingin tinggal di tempatmu sementara waktu. Boleh?"Ren terdiam. Merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam ucapanku."Ada apa? Kau masih merasa takut?" Ren menatap