"Maaf aku merepotkanmu, Arsen." Arsen berdecak, memakaikan jaket Shine yang duduk di tepi ranjang rumah sakit. "Aku tidak tahu bagaimana nasibku kalau tadi malam kamu tidak menemukanku yang pingsan dan membawaku ke rumah sakit." Arsen menghela napas, duduk di samping Shine, mengambil telapak tangannya dan mengusapkan tangannya sendiri di sana. "Sudah berapa kali harus aku katakan kalau aku tidak masalah membantumu sebisaku selama aku berada di sini. Aku tidak akan membiarkan sahabatku merasa sendirian." Shine tersenyum, menarik tangannya dan memeluk Arsen erat. "I know. Aku senang kamu kembali lagi ke sini di saat aku sangat membutuhkan bantuan juga dukungan." Arsen memeluk leher Shine, mengecup puncak kepalanya dan membenamkan wajahnya di rambut Shine. "Aku berjanji pada diriku sendiri, selama Abigail tidak ada maka aku dan Sasha yang akan menemanimu jadi kamu jangan merasa sendirian." Shine tersenyum dan mengangguk. Arsen memang penyelamatnya sejak dulu hingga membuatnya memili
"Om—"Setelah keheningan yang melanda meja makan, Arsen yang duduk berhadapan dengan Omnya akhirnya buka suara. Martin meletakkan cangkir kopinya lalu memusatkan perhatiannya."Kenapa? Kamu ada masalah?""Minggu depan, aku akan kembali ke Inggris.""Memang sudah seharusnya begitu kan? Untuk apa kamu mengatakannya?""Aku berencana membawa Shine Aurora."Martin menaikkan sebelah alisnya, agak kaget dengan keputusan yang diambil Arsen . "Membawa Shine ke Inggris?" Arsen mengangguk. "Kenapa?""Aku tidak bisa meninggalkannya di sini karena itu hanya akan membuat perasaanku tidak tenang. Aku merasa memiliki tanggung jawab sebagai seorang sahabat untuk menjaganya sementara Abigail tidak ada. Aku harap Om mau mengerti."Martin sepenuhnya diliputi rasa ingin tahu. Tidak biasanya Arsen bersikap berlebihan seperti ini."Kelakuanmu ini seperti seorang suami yang tidak mau jauh-jauh dari istri saja," decaknya membuat Arsen tersenyum miring tidak membantah. "Kenapa Om merasa itu solusi terakhir yan
Nomor yang anda hubungi sedang sibuk. Silahkan tinggalkan... "Kemana sih Putra kok gak bisa dihubungi?!" Sudah puluhan kali Shine mencoba menghubungi Putra sejak pertemuan terakhir mereka malam itu tapi tidak juga membuahkan hasil. Laki-laki itu sepertinya masih enggan untuk berbicara dengannya padahal Shine sudah menjelaskan semuanya. "Apa dia masih marah?" "Kalian sudah membicarakannya baik-baik?" Tanya Sasha, sibuk membuat spaghetti di dapur rumahnya. Shine menyandarkan kepala di sofa dan menatap langit-langit seraya mengelus Minnie yang tidur dipangkuannya. "Sudah. Aku bahkan menjadi pengangguran saat ini supaya dia melihat kalau aku benar-benar serius tapi kenapa dia masih saja tidak mau mengangkat telepon dariku?" "Mungkin dia butuh waktu." Sasha membawa sepiring spaghetti dan duduk di sampingnya. "Aku agak kesal dengannya karena meninggalkanmu begitu saja di sana malam-malam. Untung saja ada Arsen yang menolong." "Ini semua juga salahku karena membiarkan Zafier bertindak
"Apa kau siap menantang bahaya?" Zaf menghentikan gerak tangannya dan melirik sekilas Aldrick di layar. "Wah, sepertinya serius sekali. Jawabannya tergantung bahaya itu untuk siapa." "Shine Aurora." Pikiran Zafier sepenuhnya teralihkan. Diletakkannya bulpoint mahal miliknya mengabaikan berkas penting yang tadi menyita perhatiannya dan duduk menyandar di kursi di bawah senyuman kemenangan Aldrick. "Respon yang sangat cepat sekali padahal tadi kau terlihat tidak peduli." "Kenapa dia dalam bahaya?" "Bukan dia. Kalau kau mau memastikan wanita simpanannya Lucca Alonzo itu kembarannya Shine tentu kita harus ke sana dan itu penuh resiko." Zaf menaikkan alisnya. "Kau mau menemaniku?" Aldrick menghela napas. "Aku memikirkannya sejak menerima teleponmu hari itu. Sudah lama aku tidak bertegur sapa dengannya sejak kesalahpahaman kami terjadi. Kebetulan besok malam akan ada perayaan tahunan di wilayahnya dan itu waktu yang tepat untuk berkunjung." Aldrick melipat lengannya di dada. "Tanpa
"Lebih baik kita lihat ke area yang lebih private di dalam sana," teriak Shine yang diangguki oleh Arsen yang membawanya ke area party. Shine menyimpitkan mata, mencoba menemukan wajah familiar yang dicarinya beberapa hari ini di antara banyaknya pasangan yang sedang asyik berangkulan, minum-minum, merokok dan sebagainya yang sebagian besar anak-anak mudanya kota metropolitan. "Tidak ada," ucap Arsen yang ikut membantu mencari. "Coba kita lihat ke lantai dansa." Shine mengangguk dan berjalan agak ke depan memperhatikan dance floor yang ramai saat matanya menangkap sosok Putra diantaranya sedang memeluk wanita berambut coklat yang hanya mengenakan rok mini dan tank top. Gerakan dansa mereka cukup intim dan wanita itu tidak segan mengalungkan lengannya di leher Putra lalu mengecup pipi dan semakin berani ke bibirnya sementara Putra yang nampak sempoyongan terlihat tidak peduli. "Arhh sialan!!" Shine melepaskan diri dari Arsen dan menerobos para pedansa,menarik lengan wanita penggoda
Flashback On "Di manapun sama saja asalkan aku dibayar." Zafier tersenyum smirk, melingkarkan lengannya di pinggang Joana, menariknya merapat membuatnya memekik genit seraya mengigit bibir bawahnya dan menekan telapak tangan di dadanya. Zaf mendekatkan wajahnya dengan tatapan menggoda, menelengkan kepala ke samping mengarahkan bibirnya ke telinga dan berbisik sensual. Joana sama seperti wanita-wanita bayaran pada umumnya yang mudah diperdaya hanya dengan sentuhan juga uang. "Begitulah wanita murahan bekerja." Zaf melepaskannya secepat dia menggodanya tadi membuat Joana harus menyeimbangkan tubuhnya yang tadi bersandar padanya dengan wajah menahan kesal dan tangan terlipat di dada. Zaf duduk di sofa kantornya membiarkan Joana berdiri di tempatnya. "Jadi, Putra sering datang ke club malammu?" Joana menghentakkan heelsnya saat berjalan mendekati Zaf dan duduk di sisi sofa lainnya. "Begitulah." "Minum dan menggoda wanita?" "Tidak. Sesekali hanya minum." "Kau pernah menggodanya?"
Penanda bunyi di ponselnya menggema lagi. Dari balik kacamata hitam yang dikenakannya, Zaf melambatkan mobil sportnya masih di area perkantoran dan memindai area sekitar. Bunyi ban berdecit terdengar saat Zaf melihat di kejauhan Shine Aurora berdiri di samping mobil Audy dalam pelukan Arsen tidak jauh dari lobbi perusahaan Putra. Wajahnya menampakkan kesedihan yang nyata. Zaf berusaha keras menahan diri untuk tidak menendang pintu mobilnya, berlari mendekati mereka dan menarik Shine dalam pelukannya lalu membawanya pergi jauh dan mengatakan kalau semuanya baik-baik saja supaya Shine menghilangkan raut wajah sedihnya itu. Terbiasa melihat ekspresi Shine yang galak, ketus, jutek, nyolot dan marah membuatnya tidak suka saat Shine menampilkan ekspresi kesedihan yang nyata. Zaf benar-benar harus menekan dorongan hatinya untuk melakukan itu, sebagai gantinya mencengkram erat kemudi mobil yang dia anggap pegangan agar tidak kehilangan kendali. Zaf punya firasat aneh tentang Putra meski
"Apa masalahmu, gadis bar-bar?!" Bukan lelaki tampan yang tadi ditonjoknya yang nyolot tapi wanita cantik seperti barbie yang mendelikkan mata ke arahnya seraya mengelus wajah lelaki yang berdiri menjulang memegangi rahangnya dengan kening berkerut menatapnya. "Ini—" Shine mengedarkan pandangan. "Apartemennya Zafier kan?" "Kamu punya masalah sama dia sampai harus main tonjok seperti tadi?" Laki-laki itu buka suara. "Sudahlah Kellan sayang. Zaf kan memang bermasalah dengan banyak wanita. Palingan juga dia ini salah satu wanita penggoda Zaf." Shine melotot garang. "Walaupun yah, agak diluar tipenya yang biasa." "Hei—" "Tidak ada wanita penggoda yang tahu apartemen Zaf yang ini Jenna." Shine mengatupkan bibirnya tidak jadi bersuara saat mereka mengobrol sambil menatapnya. "Biasanya Zaf membawanya ke tempat biasa." "Iya juga sih." Sama-sama memandanginya dengan seksama secara keseluruhan membuat Shine jelas kesal. "Mana Zafier gila itu?!" Shine mengedarkan pandangan tapi tidak namp