Shine tersentak bangun dari tidurnya setelah mendapatkan mimpi yang selalu terulang. Keringat membanjiri wajahnya dan napasnya naik turun tidak beraturan. Shine duduk dan menyisir rambutnya ke belakang. Tahu kalau itu bukanlah mimpi tapi kenangan di masa lalu yang tidak ingin diingatnya. Shine menoleh ke samping, melihat Sasha tertidur nyenyak lalu melihat jam menunjukkan pukul dua belas malam. Dia memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan mengambil jaketnya lalu senter juga beberapa lembar uang ke dalam sakunya. Shine menyelinap keluar dan berjalan sendirian di jalan sepi perumahannya menuju ke minimarket depan sekedar untuk mencari angin. Kebiasaannya yang menyebalkan karena dia butuh sesuatu untuk menenangkan perasaannya yang kacau. "Rokoknya satu bungkus," ucapnya ke Amar, penjaga mini market malam ini. Amar menatapnya sejenak kemudian menggelengkan kepala. "Tidak." "Oh come on, Amar Dzon. Aku membutuhkannya saat ini. Hanya untuk malam ini saja." "Shine, aku tidak mau ka
"Bagaimana persiapan produk yang akan kita ikutkan dalam Event RITECH EXPO di Pekan Baru?" Zaf membalik beberapa berkas yang dibacanya sembari menunggu laporan Williem melalui line telpon tentang keikutsertaan perusahaannya dalam pameran teknologi terbesar yang diadakan Pemerintah untuk merayakan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional di Riau. "Aman. Semuanya sudah siap dan beberapa karyawan pemasaran kita sudah berada di sana." "Bagaimana dengan Alvi? Dia sudah stand By?" "Dia sudah berangkat setelah rapat menghebohkan kemarin," sindir Williem membuat Zaf menahan senyum. "Kau mendapatkan kehormatan untuk menjadi tamu undangan dalam bincang-bincang Teknologi yang akan diliput stasiun televisi. Freya sudah mengatakannya bukan?" Zaf membubuhkan tanda tangan di berkas yang sejak tadi di bacanya, mengangkat kepala nampak berpikir setelah melihat tanggal juga layar ponselnya yang menampilkan pesan seseorang. "Aku sudah mendapatkan undangan resminya. Kau saja yang wakilkan. Aku ada urusan
"Pak, saya tunggu di luar saja ya. Siapa tahu Bu Freya butuh teman."Shine nyengir saat Williem yang berdiri di sebelahnya di dalam lift menoleh dan mendengus. "Lebih baik kamu tunggu di ruangan saja dari pada di luar seperti ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah."Shite tersenyum. "Kalau begitu saya kembali ke ruangan ya,Pak?"Willem menatap Shine tajam. "Tidak!!"Shine manyun, memeluk berkas yang harus diperlihatkan ke bos Setan di dadanya."Rasanya aneh sekali," gumam Williem yang menatap ke depan membuat Shine heran. "Biasanya, kalau saya ajak asisten saya untuk menemui bos playboy itu, mereka akan langsung melesat ke toilet pada detik pertama keluar dari ruangan, sibuk sendiri membenarkan penampilan di dalam lift membuat saya jengah bukan main tapi kenapa sekarang keadaannya malah aneh." Williem menoleh. "Kamu malah anti bertemu dengannya. Kenapa?""Demi menghindari adegan kekerasan yang mungkin bisa terjadi Pak." Shine memperagakan gerakan menggaruk di depan Wiiliem yang mem
Shine keluar dari lobbi dengan helaan napas panjang. Rasanya hari ini berlalu dengan lambat sekali. Digenggamnya tali tas tangannya yang berisi beberapa berkas juga amplop akomodasi untuk berangkat besok pagi ke Riau bersama Pak Williem. Bersyukur kalau bos setannya itu tidak akan ikut dan dia bisa menikmati pameran dengan hati senang. Shine memutuskan berjalan ke arah halte bus yang berada di persimpangan jalan agak jauh dari area perusahaannya dengan berjalan kaki. Mencoba memikirkan bagaimana caranya dia bisa mendapatkan pisau kesayangannya kembali saat tiba-tiba dia berhenti karena teringat sesuatu. "Astaga, Shine idiot!" ujarnya seraya menepuk dahi "Kenapa bisa lupa sama kalung matahari itu." Shine melanjutkan langkah kakinya di sepanjang trotoar dengan gelengan kepala. Dia yakin kalung itu pasti punya Bos setannya yang bisa dia gunakan untuk barter nantinya. Kalung itu pasti berharga. Kalau dia tetap tidak mau mengembalikannya maka Shine akan langsung datang ke toko perhiasan
"Aku sanggup menghabiskan tiga bungkus nasi goreng ini sendirian," desah Shine dengan senyuman binar sambil mengunyah makanannya. Reflek, Arsen langsung menjauhkan nasi goreng di tangannya membuat Shine tertawa membahana. "Tenang-tenang, aku masih tahu diri." Arsen yang gemas langsung mengacak rambutnya sampai berantakan. "Baguslah. Aku sudah membelikanmu dua bungkus sendiri." Arsen menggelengkan kepala. "Melihat dari napsu makanmu yang gila-gilaan malam ini, aku yakin kamu sedang kesal." "Dua bungkus belum masuk dalam kategori gila," decaknya. "Aku memang sedang kesal. Pokoknya hari ini menyebalkan. Ah ralat—" Shine menoleh ke Arsen setelah merapikan rambutnya. "Setiap hari ketika melihat bos setan itu akan menjadi hari yang menyebalkan." Arsen mengunyah nasi goreng miliknya dalam diam lalu mengalihkan tatapannya ke langit. Setelah membeli tiga bungkus nasi goreng, keripik pedas di pedagang pingir jalan juga minuman dingin, Arsen melajukan mobilnya ke salah satu bangunan parkir ge
Shine bengong di dalam cabin pesawat yang membawanya ke Pekan baru sesaat setelah salah satu pramugari yang tadi melihat boarding pass miliknya membawanya ke kelas bisnis lalu menyuruhnya duduk di salah satu kursi nyaman yang ada di sana."Apa ini tidak salah?" tanya Shine dengan wajah bingung."Ada apa Bu?" Sang pramugari bertanya sopan."Seharusnya saya berada di penerbangan kelas ekonomi. Coba tolong di cek lagi siapa tahu ada kesalahan."Pramugari itu melihat lagi ke boarding pass miliknya. "Shine Aurora Friza?"Shine mengangguk. "Tiketnya memang sudah di upgrade dari kelas ekonomi ke kelas bisnis. Jadi tidak ada kesalahan dan ini tempat duduk Ibu Shine.""Hah?!" Shine ternganga. Apa mungkin Pak Williem yang menggantinya karena memang meskipun berada dalam satu pesawat yang sama tapi mereka berbeda kelas.Shine berdecak, dari pada pusing memikirkannya dan dia juga tidak dirugikan karena tidak harus mengeluarkan uang sepeserpun maka Shine pun mengiyakan dan duduk di sana."Mungkin
"Bagaimana di pesawat? Aku harap kamu mendapatkan bogeman Shine," sindir Wlliem saat mereka duduk berdampingan di barisan depan saat sore harinya harus menghadiri pembukaan pameran teknologi sambil berbisik-bisik ketika Menteri Teknologi Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak. memberikan kata sambutan. "Hanya satu tamparan." Williem menoleh. "Hanya?" Zaf mengidikkan bahunya. "Sudah untung dia tidak melemparku keluar karena semua ocehanku." "Untung kamu bilang?" Williem benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikir Zafier. "Memangnya tidak jera dengan semua perlakuan kasar Shine yang memang sih brutal banget tapi kamu juga pemicunya." Zaf tersenyum miring. "Tidak. Kau perhatikan tidak sih kalau Shine lagi marah itu menggemaskan." Williem ternganga memandangi Zaf yang kemudian berdiri saat dipersilahkan maju ke depan memberikan sambutan selaku owner Gaster Teknologi "Wah, dia benaran sudah gila!!" Williem berdecak. Zaf tentu saja membuat semua yang melihatnya terkesima dengan pemba
"Bagaimana kabarnya, Om?"Shine duduk di salah satu meja di area luar gedung pameran bersama dengan Om Martin. Salah satu lelaki yang dikagumi Shine karena kepintarannya tapi juga dibenci Shine karena kelakuannya yang suka bermain wanita sama seperti bos setannya."Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Om Martin di sini. Kebanyakan pemilik perusahaan akan diwakilkan yang lain.""Oh ya, tapi aku lihat pemilik Gaster Technologi ada di sana tadi."Oh kalau bosnya selain sinting juga labil, kemarin bilangnya ada urusan eh tahu-tahu ngongol seperti setan."Oh, biasalah Om. Pencitraan—" Alias tebar pesona. Martin tersenyum memandangi sahabat keponakannya seraya mengusap bibirnya dengan jari. "Bagaimana rasanya bekerja di perusahaan sekelas Gaster Technologi, pasti betah kan?"Bawaannya makan ati aja, Om. "Dibetah-betahin aja sih, Om. Namanya juga untuk menyambung hidup supaya tetap bisa makan."Martin terkekeh. "Kalau begitu lebih baik cepat menikah saja supaya ada yang biayain."Shine t
Setelah hari itu, hidup Lize sepenuhnya berubah. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan suatu saat nanti, dia akan merindukan sinar matahari yang menyengat seperti panasnya Florida. Yang bisa dia lakukan saat ini ketika melihat sinar matahari hanyalah tersenyum tanpa ekspresi, berdiri di balik kaca transparan kamarnya yang tidak bisa ditembus matahari dan mencoba menerima keadaannya dengan lapang dada. Hari itu, saat mereka pergi liburan ke Florida yang seharusnya dua minggu menjadi dua hari, Lize divonis menderita penyakit langka Polymorphous light eruption (PMLE) yang menyebabkan kulit seperti terbakar jika terkena sinar matahari. Intinya, hidupnya terancam bahaya jika dia berada di bawah sinar matahari terlalu lama. Bahkan sekarang, sedikit saja bersentuhan langsung dengan sinar matahari, kulitnya akan mulai melepuh seperti terbakar. Sungguh ironis hidupnya saat ini. Terkurung dalam dinding kaca saat siang dan melakukan semua kegiatan di luar rumah saat malam. Selama setahun d
Florida, Amerika SerikatLize mengangkat pandangannya ke atas, satu tangannya memegangi topi pantai yang menghalau pandangannya dari teriknya matahari yang menyengat meski angin pantai di sekitarnya mengibarkan rambut hitam panjangnya.“Lize—”Lize berbalik saat mendengar panggilan itu, menemukan Papinya yang sudah siap membaur bersama laut yang membentang luas tidak jauh di depannya.“Ya Pap?”“Apa yang kau pandangin sayang?”Lize menunjuk ke ujung cakrawala, ke arah matahari yang bersinar teriķ.“Terlalu panas.”Papinya tersenyum, “Sebaiknya kau bersenang-senang sementara kita berada di sini.”Lize menggelengkan kepala, “Meskipun ingin tapi aku tidak tertarik. Mana Mami?”“Berjemur.”Lize menoleh ke belakang, melihat Maminya yang sedang hamil adik kembarnya memasuki usia kandungan tujuh bulan menikmati teriknya matahari yang langsung menyengat kulitnya. Di sampingnya, Omanya melakukan hal yang sama sembari bermain pasir dengan Lucia.“Pap—”Entah kenapa, Lize merasa tubuhnya tidak e
Semenjak memiliki keluarga, Shine mendedikasikan seluruh perhatiannya untuk merawat kedua putrinya meski sesekali dia menerima tawaran iklan juga model. Meskipun Zafier dengan gaya angkuhnya berulang kali mengatakan kalau uangnya tidak akan habis sekalipun dia membelanjakannya terus menerus tapi Shine ingin tetap bisa melakukan sesuatu yang disukainya. Meski berat namun Zaf menyetujuinya dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati. Suaminya itu bahkan membelikannya pesawat pribadi yang bisa dia gunakan sesuka hati. Meski terlihat agak berlebihan namun Shine mengalah dan menerimanya dari pada Zaf melarangnya menjadi model lagi. Lelah selama perjalanan panjang dari Indonesia akan menghilang saat dia sampai di rumah seperti saat ini. Alih-alih menggunakan mobil untuk menjemputnya, Zaf malah mengirim helikopter yang saat ini mendarat sempurna di belakang mansion keluarga Gaster tidak jauh dari tamannya yang asri. Melintasi kebun mawar merah, Shine berjalan mengarah ke gazebo yang
“Kenapa kalian tidak bisa akur?”“Kenapa kami harus akur?” Zaf bertanya balik.Shine mendengkus, melipat lengan di dada sembari rebahan di tempat tidur saat Zaf bergabung dengannya.“Kalian sudah sama-sama tua dan seharusnya bisa berdamai.”“Kau terlalu berlebihan mengkhawatirkannya.”Shine menghela napas, memiringkan tubuhnya ke arah Zaf dan menatapnya serius. “Dia seharusnya sudah memiliki kehidupan yang lebih baik. Memiliki istri dan anak lalu hidup bahagia bukannya malah menjadi orang tua tunggal karena kesalahan satu malam seperti ini. Aku benar-benar sedih Zaf.” “Seperti yang kau katakan, dia sudah tua dan pastinya tahu bagaimana harus bersikap. Aku yakin dia sedang menata hidupnya lagi jadi kau harus mempercayainya.”“Semoga saja.”Shine membiarkan saja Zaf menariknya dalam pelukan dan membisikkan sesuatu.“Aku juga berharap dia bisa bahagia.” Shine tersenyum. “Agar berhenti mengangguku seperti ini.”Shine melotot membuat Zaf sontak tertawa. Sikap menyebalkan suaminya memang s
“Kau sengaja melakukannya ya,” desis Zaf saat menemukan Arsen sedang menjaga Lize yang asyik dengan es krimnya sementara Lucia tidur di kereta dorongnya di salah satu restoran yang ada di Seattle. Duduk di samping Lize yang langsung tersenyum menyambutnya dan mendaratkan kecupan di pipi. “Tetap tidak berubah,” jawab Arsen entang, mengelus rambut Lize yang tertiup angin. “Tidak bisa membiarkan kami sedikit saja menghabiskan waktu bersama.” “Tidak akan!” ujar Zaf datar, mengalihkan tatapan ke Lize dengan ekspresi berbeda, tersenyum lembut. “Lize, mau Papi suapin makan es krimnya?” Lize sontak menggelengkan kepala membuat Arsen menahan senyumannya di sudut bibir. “Sama uncle Arsen aja.” “Good girl,” ujar Arsen, menyuapi sesendok besar es krim strawberry ke Lize di bawah tatapan kesal Zaf yang melipat lengannya di dada, kalah telak. “Shine bilang kau sedang meeting dan tidak bisa diganggu.” “Karena itu kau sengaja melakukan hal ini kan?” “Tidak. Aku hanya ingin kau tahu kalau ak
“Berapa lama kau akan meeting?”Zaf berjalan ke ruang rapat bersama Nick, sekretarisnya dan beberapa orang penting di perusahaannya yang mengikuti di belakang sembari mengangkat panggilan telepon dari Shine.“Mungkin tiga jam. Ada banyak hal yang harus dibicarakan.”“Oke baiklah. Kami sedang berbelanja saat ini jadi mungkin setelah selesai kau bisa menemui kami untuk makan siang bersama. Lize bilang dia ingin es krim pisang.”Zaf menghentikan langkah kakinya dan semua bawahannya ikut berhenti.“Bagaimana kalau aku tunda rapatnya dan menemani kalian?”Nick ingin menyahut namun terhenti saat Zaf melotot membuatnya langsung mengatupkan bibir.“Tidak perlu!” tolak Shine. “Kau tidak boleh mempermainkan bawahanmu seenaknya.”“Mereka tidak akan protes.” Zaf menoleh ke belakang, menatap satu persatu bawahannya yang hanya diam saja. “Begitulah enaknya jadi bos.”“Dasar bos setan memang!” umpat Shine. “Kau selesaikan saja pekerjaanmu lalu susul kami. Jangan membuatku marah!”Zaf mendesah, kemba
Zaf bangkit membuat Alva langsung kaget, berjalan menghampiri putrinya yang menunggu anak lelaki itu membukakan permen bentuk bunga matahari itu dengan sabar. Zaf menyimpitkan mata, mencoba mengabaikan tatapan Shine yang sesaat tadi beradu dengannya dan menaikkan alis penuh curiga. Zaf mengabaikannya karena yang terpenting saat ini menyelamatkan putrinya dari penggoda yang hanya bermodalkan permen itu. Zaf berdiri di belakang Lize dengan tatapan tajam membuat anak lelaki itu reflek menatapnya dan tertegun. Zaf menarik senyum ke sudut bibirnya menakuti membuatnya langsung mengerjapkan mata. Saat Lize berbalik, Zaf sontak tersenyum. “Papi—“ Ucap Lize dengan senyuman lebar. “Hai sayang, kau sedang apa?” “Mau makan permen,” ujarnya seraya menunjuk permen bunga di tangan anak lelaki itu. “Ah begitu.” Zaf mendekat, melipat satu kakinya agar sejajar dengan Lize sembari tangannya mengambil permen lain di meja dan membukanya. “Rasa strawberry lebih enak. Ini Papi bukakan.” Mengabaikan an
Seattle, Amerika Gaster Coorporation semakin berkembang pesat. Setelah berhasil memperjuangkan cintanya, memperistri Shine dan mendapatkan malaikat secantik Lize juga Lucia yang kedatangannya benar-benar tidak terduga, Zaf memboyong anggota keluarganya menetap permanen di Seattle dan menjalankan bisnisnya yang tersebar di berbagai belahan dunia dari sana. Sebagai kepala keluarga, pebisnis dan suami yang saat ini tengah bahagia menjalankan perannya, Zaf benar-benar merasa sedang berada di momen terbaik hidupnya. Pada akhirnya dia menemukan tempat untuk pulang bukan lagi persinggahan, diberi kesempatan menjadi hot Daddy untuk kedua putrinya. Suatu keberkahan yang diberikan Tuhan padanya. “Bukankah mereka terlalu cepat besar,” gumam Zaf di samping sepupunya, Alva Alexander memperhatikan gadis mereka masing-masing yang sedang asyik bermain bersama teman-teman sepantaran mereka dalam acara ulang tahun Angela, putri Alva yang berumur tujuh tahun di taman kediaman keluarga Alexander di Ne
Teriakan itu membuat Zaf reflek menoleh ke atas tebing dan ternganga saat melihat Shine sudah berdiri di atas sana sembari berkacak pinggang. Bagaimana bisa dia sudah ada di atas sana? “Ngapain kau di situ?” “Hmm, entahlah. Enaknya ngapain ya.” Zaf mengeryit, “Kalau begitu ayo turun.” Meski tebingnya tidak terlalu tinggi dan kalaupun Shine jatuh ke bawah dia akan masuk ke dalam air tetap saja Zaf tidak mau istrinya itu kenapa-napa. “Look at me Zaf.” Zaf yang tadinya sudah berniat menyusul Shine langsung terhenti. Dilihatnya Shine tersenyum menatapnya membuatnya terpaku. Istrinyalah yang tercantik di dunia selain Maminya dan Lize, tentu saja. “Terima kasih banyak untuk semua yang kau lakukan.” Disela suara air, Zaf tidak mengerti kenapa Shine tiba-tiba bersikap sok terharu. “Seharusnya sejak awal kau mengatakannya agar aku senang.” “Dasar menyebalkan!!” dengus Shine. “Sekarang waktunya pertunjukan.” Zaf mengeryit tidak mengerti. Tercengang saat Shine dengan tatapan nakal mul