"Kamu yakin tidak salah memilih suami atau mungkin sedang menyesalinya saat ini dan memikirkan cara terbaik untuk lepas darinya."Alih-alih menjawab kegusaran lelaki di belakangnya, Shine memilih mengabaikan. Menarik sedikit sudut bibirnya ke samping, mengeratkan kedua lengan yang melingkari pinggangnya dengan dagu terangkat. "Apa kau tidak kasihan padaku sedikit saja," desahnya. "Cintaku yang tak sampai karena kau lebih memilih lelaki playboy itu dan sekarang malah menjadikanku tumbal," decaknya kesal meski wajahnya tetaplah semaskulin biasanya. "Perfect!" geramnya."Mungkin aku bisa menggunakanmu sebagai alasan yang bagus untuk melepaskan diri," ujar Shine."Setelahnya berita tentang kematianku akan gempar di luar sana," desisnya."Aku hanya memberi usul." Tubuh mereka makin merapat. "Apa kamu tahu, ekspresi Zafier Gaster yang paling aku favoritkan?" Shine mengubah posisi, berbalik menghadap Andrew."Percayalah kalau aku sama sekali tidak ingin tahu dan tidak peduli."Shine mengab
"Freya melarikan diri Pak." Zaf berhenti melangkah,berdiri di balik pintu kamar mandi mengenakan jubah tidurnya. "Bagaimana bisa?" Tanyanya tidak percaya. Saat ini, Martin dan Freya sedang dalam penahanan selagi pihak polisi melakukan penyelidikan dan berita yang diberikan Rey jelas membuatnya kaget. "Aku pikir ada yang membantunya kabur. Dia tidak mungkin melakukannya sendiri." "Seharusnya bukan Freya yang dibantu kabur jika memang seperti itu yang terjadi melainkan Martin. Aku merasa ada yang aneh." Zaf mengelus rahangnya seperti sedang berpikir. "Bagaimana dengan Martin?" "Dia menyewa pengacara paling handal untuk menangani kasusnya melawan keponakannya sendiri." Zafier memijat pelipisnya, mencoba menerka apa yang sedang terjadi. "Apa kau tidak bisa melacak Freya?" "Sama sekali tidak Pak. Terakhir kali dia terlihat di stasiun kereta api tapi tidak ada informasi lebih lanjut kemana tujuannya. Sama sekali tidak ada transaksi atas namanya yang bisa membantu kita melacaknya."
Shine menoleh ke arah nakas saat mendengar ponselnya berbunyi. Perlahan dia bangun, membiarkan Minnie tidur dengan nyenyak dan bergegas mengambil ponselnya. Mengeryit melihat nomor tidak dikenal yang muncul di sana."Halo?" Tidak ada yang bersuara membuat Shine heran. "Halo?""Shine Aurora."Shine terdiam saat mengenali suara itu namun dia tidak percaya. "Freya?""Sebelum aku pergi jauh, ada yang ingin aku beritahu padamu tentang Zafier.""Bukankah seharusnya kau dipenjara?"Freya tertawa, "Aku berhasil kabur. Zafier dan anak buahnya sedang mencariku saat ini tapi yah, aku akan pergi. Aku hanya ingin mengatakan hal ini padamu. Tentang suami yang coba untuk kau percayai. Apakah kau merasa sudah mengenal Zafier lebih dari yang seharusnya?""Apa maksudmu?!" Shine melihat sekilas ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. "Tentang sesuatu yang dia sembunyikan dan tersimpan rapi di laci meja kerjanya. Kau akan mengerti jika melihatnya.""Zaf pasti akan menangkapmu!!" Desis Shine."Sampai ju
"Zaf—" "Hmm." "Berhenti dulu. Kau ada meeting kan?" Shine menjambak rambut Zaf yang sejak tadi menciumi lehernya, duduk di atas meja kerjanya dengan kaki melingkar di pinggang Zafier. "Aku tidak harus datang," ucapnya singkat, sibuk lagi dengan kegiatannya sendiri. "No!" tolak Shine, menangkup wajah Zaf dan memaksa untuk menatapnya. "Kau punya tanggungjawab." Mereka bertatapan untuk beberapa saat sampai Zaf menghela napas dan melonggarkan dekapannya. "Oke baiklah Nyonya Gaster. Aku akan berkerja dengan giat supaya semakin tua kita semakin bahagia dengan limpahan uang." Shine memutar bola mata seraya merapikan lagi blousenya yang terturun ke bawah akibat ulah Zaf. "Padahal aku tadi sudah berharap kita bisa bermain di atas meja kerjaku ini." Shine mendelik, Zaf terkekeh melihatnya. "Ngomong-ngomong, kenapa aku belum mendapatkan tagihan shopping layaknya laki-laki di luar sana yang memiliki istri seorang model juga sosialita kelas atas?" Shine menelengkan kepala, menepis telapak t
Zafier berdiri menyandar di samping mobilnya, tidak jauh dari taman sepi saat siang hari yang terik. Memutuskan berhenti sebentar untuk melakukan sesuatu saat dia dalam perjalanan ke persidangan untuk hadir dalam sidang perdana kasus Martin. Zaf memandangi amplop yang ada di tangannya untuk beberapa saat. Sejak keluar dari kantornya, Zaf memikirkan ulang, apakah dia harus memberitahu Shine atau diam saja seperti tidak ada apa-apa. Dia tidak tahu bagaimana reaksi Shine jika mengetahui hal ini. Mungkin menertawakannya dan mengatainya gila karena penasaran dengan wanita yang hanya dia temui sekejap tiga tahun yang lalu. Zaf membuka amplop itu, melihat foto-foto yang ada di dalam dan beberapa informasi yang berhasil di dapatkannya. Sepertinya, dia tidak akan mengembalikan foto yang di ambilnya dari Shine. "Selamat tinggal wanita bertopeng," ucap Zaf. "Aku akan melupakanmu mulai saat ini." Zaf memandangi sesaat, memasukkanya lagi ke dalam amplop lalu mengeluarkan pematik dari saku cela
"Rasanya aneh menggugat Omku sendiri." Zaf melipat lengan di dada menanggapi perkataan Arsen, berdiri berhadapan di luar pintu setelah sidang perdana selesai dilaksanakan. Martin jelas menolak untuk kalah begitu saja dan menyewa pengacara handal untuk menyelamatkannya dari kemungkinan penjara seumur hidup. "Kalau bukan Shine yang jadi korbannya, aku yakin kau tidak akan terlalu peduli dengan kegiatan kotornya." Arsen mengangguk, "Omku sudah kelewatan. Melakukan tindakan yang membahayakan nyawa orang lain terlebih lagi ada satu nyawa melayang akibat dari ulahnya. Kali ini aku tidak akan mengabaikannya begitu saja." "Aku yakin dia tidak akan jera begitu saja." "Melihat tatapan kebenciannya padamu tadi,aku yakin begitu." Arsen menghela napas. "Dendam lebih berbahaya dari pemicu kebencian mereka sendiri. Aku harap kau selalu berhati-hati mulai saat ini. Kita tidak tahu apa yang direncanakannya terlebih lagi wanita itu berhasil kabur." "Aku akan terus mencarinya." Zaf akan mengusah
"Apa yang kita lakukan di sini?" tanya Shine dengan wajah heran saat Zaf membawanya ke landasan pesawat pribadinya setelah matahari terbenam. "Seingatku, kita tidak ada agenda pergi jauh.""Kita akan menyambut seseorang," ucap Zaf seraya mematikan mesin mobil sportnya."Siapa?""Aldrick." Shine ternganga, Zaf tersenyum seraya mengetuk kemudi mobilnya dengan santai. "Dia minta disambut sebagai tamu.""Kalian berdua sinting!" desis Shine kesal. "Kau mau saja melakukan hal yang membuang-buang waktu seperti ini. Aku masih ada pekerjaan!""Dia mengancam," Zaf membela diri. "Aku tidak kuasa menolak.""Apanya yang tidak kuasa," desisnya kesal. "Sebelum ini siapa yang peduli dia datang sesuka hatinya ke sini.""Dia yang minta di sambut. Aku mana bisa menolak permintaan calon pimpinan Mafia seperti dia. Apa kau mau dia mengirim anak buahnya untuk menghajarku?"Shine memijat pelipisnya, "Aku harus jauh-jauh dari Aldrick yang berbahaya.""Percayalah, meskipun nantinya dia bakalan memiliki gelar
"Aku sudah tahu kau pasti akan menangis," ucap Aldrick seraya turun dan berhenti di samping tangga pesawat, ikut melihat ke atas. Ke arah wanita berambut hitam yang juga sedang dilanda emosi hebat sampai dia harus berpegangan pada pintu juga dengan linangan air mata."Abigail kembali pulang, Shine," bisik Zaf."Abigail—" Shine bergerak cepat, takut kalau Abigail hanya serupa asap yang ada dalam bayangan kepalanya. Dia begitu rindu dengan kembarannya itu. Seperti magnet, Abigail juga bergerak mendekat hingga mereka bertemu di pertengahan. Saling menatap wajah masing-masing dengah sorot mata rindu."Adikku, Shine."Shinte tertawa masih sambil menangis begitu juga Abigail dan mereka saling berpelukan erat menumpahkan rindu."Aku merindukanmu, Kak," isak Shine, memeluk tubuh kakaknya dengan erat sekaan tidak ingin lagi berpisah. "Aku sangat sangat merindukanmu.""Aku juga." Abigail mengelus rambut Shine, seperti kebiasaannya dulu jika Shine menangis dalam pelukannya. Kebalikan dari Shin