Desember, 2017
Emirates Indonesia, Jakarta - London
"Excusme Sir, do you need something else?"
Zafier menurunkan kaca mata hitam yang dikenakannya saat pramugari cantik berambut coklat yang sejak awal dia masuk ke dalam pesawat komersil yang akan membawanya ke London melancarkan kode minta di belai sampai akhirnya wanita itu nekat mendekat.
"Your phone number, please?" Jawab Zafier to the point seraya melepas kacamata agar bebas mengagumi kecantikan wanita itu tanpa terhalang oleh lensa diiringi senyuman menawan hingga membuatnya blushing seketika. Matanya mengerling ke arah name tag yang tersemat di dadanya. "You have a beautifull name, Cantika, like your face. Your phone number and i will contact you later. "
"Thanks sir for your praise. Please, wait a second for your request. I'll come back."
"Sure honey. I'm here for you."
Wanita itu kembali ke cabin crew sembari tersenyum. Semudah itu Zafier mendapatkan wanita yang rela melemparkan dirinya sendiri meski tahu kalau Zaf dengan sikapnya terlihat bukan lelaki yang baik dalam relationship bahkan cenderung mengarah ke playboy brengsek.
Zafier mencoba duduk nyaman. Kalau saja pesawat pribadinya sedang tidak mengalami gangguan mesin mendadak maka dia tidak perlu serepot ini membaur dengan puluhan penumpang dalam satu pesawat dan harus pasrah menerima nasib duduk di Economy Class karena pemesanan mendadak di saat musim liburan Natal tiba.
"Belum juga terbang jauh meninggalkan Indonesia, aku sudah rindu dengan apa yang aku tinggalkan." Suara resah itu membuatnya menoleh ke sisi samping, di mana ada dua wanita teman seperjalanannya sedang berbincang. Rambut hitam bergelombangnya menghalangi rasa ingin tahu Zaf akan wajahnya. "Aku benci harus jauh dari rumah.”
"Jangan menggerutu terus!" Teman yang dia ajak bicara terdengar kesal, seakan-akan wanita itu sudah mengatakannya ratusan kali dalam beberapa menit.
Saat Zaf masih berusaha melihat wajahnya, wanita itu tiba-tiba menoleh dan bertatapan mata dengannya.
"What's wrong?!" Tanyanya dengan nada ketus.
"What?!" tanya Zaf balik.
Wanita itu tidak menjawab, hanya memutar bola mata dan memalingkan wajah kembali berbicara dengan temannya. Zaf melongo, mencoba mengingat, kapan sekiranya seorang wanita tidak tertarik padanya saat pertemuan pertama. Jawabannya hanya satu, sama sekali tidak pernah ada fenomena langka seperti itu.
"Gantengnya maksimal tapi kelakuannya setan banget," bisiknya, mengabaikan kenyataan Zaf bisa mendengarnya.
"Hei, dia masih memandangimu dan bisa mendengar omonganmu tadi!" tegur temannya, sekilas meliriknya."Nanti dia tersinggung."
"Apa kamu tidak melihat tingkahnya yang bajingan itu?" bisiknya lagi.
Zaf mengalihkan tatapannya ke depan dengan senyuman miring sembari mengagumi keberanian wanita itu mencibir tingkah laku seseorang tepat di depan wajahnya saat Cantika kembali mendatanginya.
Cantika menyerahkan sesuatu di telapak tangannya seraya mengedip lalu mengucapkan kalimat 'call me later' dengan bahasa bibir.
"Sure," balas Zaf seraya memasukkan kartu nama itu ke dalam saku coatnya dan pramugari itu berlalu pergi.
“Taruhan lagi kalau nanti mereka pasti akan bertemu di bandara, di dalam toilet dan melakukan entah apa—Euuhhh,” Wanita itu kembali berbicara dengan nada jijik.
"Tutup mulutmu rapat-rapat dan tidur saja! Perjalanan kita masih panjang dan banyak yang harus kita lakukan sesampainya di London. Aku tidak mau lama-lama menemanimu di sana."
"Sama. Aku harap kita bisa segera menemukannya dan pulang," desahnya.
Pulang?
Bagi Zaf, kalimat itu tidak memiliki efek berlebih karena memang dia belum menemukan rumah untuk tempatnya kembali setelah semua perjalanannya yang menguras emosi.
Untuk sebagian orang, pasti memiliki tempat yang menjadi persinggahan terakhir. Tempat ternyaman yang dipenuhi dengan orang-orang terkasih yang menunggu dengan senyuman sejauh apapun jarak tempuhnya dan lamanya waktu untuk sampai di sana.Tapi untuk sebagian yang lain, mereka belum seberuntung itu. Makna pulang yang mereka miliki berbeda karena belum benar-benar menemukan rumah sebagai persinggahan terakhir. Mereka diharuskan berjuang lebih dulu untuk sampai di titik di mana mereka bahagia berada di satu tempat.
Atau,
Bahagia bersama seseorang yang menjadi tujuan untuk apa sebenarnya kehidupan menciptakannya.
Selama tiga puluh tahun Zafier hidup, dia tidak pernah merasa seemosional ini saat berada di pesawat. Padahal separuh hidupnya dia habiskan untuk terbang ke sana ke mari. Meski memiliki semua hal yang diimpikan laki-laki di dunia tapi hal itu tidak membuat Zaf mendapatkan hidup yang sempurna karena sungguh, tidak memiliki wanita yang bisa melihatnya apa adanya bukan tentang apa yang diperlihatkannya membuatnya belum memiliki persinggahan yang tepat.
Suara dengkuran halus terdengar membuat Zaf reflek menoleh dan melihat wanita di sampingnya yang sejak tadi mengoceh ternyata sudah tertidur dengan posisi tidak enak. Kepalanya tertunduk-tunduk ke depan sedangkan temannya yang lain sibuk menatap ke luar jendela. Tanpa sengaja saat lengannya menyenggol lengan wanita itu, badannya terjatuh ke samping dan kepalanya bersandar di bahunya.
"Ah, sorry sir."
Wanita itu langsung menarik temannya menjauh tapi dia malah menggeliat, melepas cekalannya dan kembali lagi ke posisinya, bersandar di bahu Zaf.
"Tidak apa-apa. Biarkan saja dia tidur seperti ini—" Wanita itu melongo, Zaf buru-buru menambahkan. "Tenang saja, aku tidak akan macam-macam. Temanmu ini jelas tahu di mana tempat yang nyaman untuk tidur. Di bahu lelaki yang dikatainya setan."
Wanita itu ternganga sesaat dengan sindirannya, “Ah, maafkan semua perkataan temanku tadi—”
“Tidak apa-apa. Apa yang dikatakannya memang benar. Aku sama sekali tidak tersinggung,” Sela Zaf.
“Terima kasih atas pengertianmu.”
Zaf memperhatikan wanita yang tidur di sampingnya mengerang tertahan, memeluk sebelah lengannya dan memiringkan duduknya lalu membenamkan wajahnya dilekukan lehernya. Holly shit!!
"Abi—" Samar-samar gumaman juga dengkurannya kembali terdengar hingga tanpa terasa berlangsung selama satu jam sampai kehebohan itu terjadi.
"Aaaaaakkhhhh!!"
Zaf tersentak kaget saat suara memekakkan telinga itu menggema di dekatnya seraya memandangi wanita di sampingnya yang sedang melotot seperti melihat setan.
"What!!!" Desis Zaf.
"Dasar b*jingan G*la!!" Pekiknya penuh kekesalan. "Curi-curi kesempatan!”
Plak!!
Tamparannya tepat mengenai pipi Zaf yang terkesiap kaget, berusaha keras menahan tawanya lolos dari mulut, memilih berdiri dari kursinya, menatap sekilas wanita cantik yang memiliki manik mata hitam itu yang memalingkan wajah ke luar jendela dan berjalan ke toilet mengabaikan banyaknya pasang mata yang memperhatikan.
Wanita yang sangat menarik.
Aldrick Axton Mansion, LondonSelain wanita, Zafier tidak bisa dipisahkan dari yang namanya pesta. Dia akan hadir dengan pesona yang menyilaukan, memilih wanita di antara semua yang hadir dan membawanya pergi untuk di ajak kencan di atas ranjang. Sudah banyak wanita yang datang padanya untuk mengajaknya berhubungan jangka panjang tapi batas maksimal dia berhubungan hanya tiga bulan."Kenapa pesta topeng auranya suram begini?"Ketiga lelaki yang berdiri di masing-masing sisinya serempak menoleh ke satu-satunya wanita yang berdiri bersama mereka di lantai dua mansion, memandangi keramaian di bawah sana yang dipenuhi dengan lelaki juga wanita cantik bergaun mahalan lengkap dengan topengnya yang sedang berdansa diiringi musik dansa."Karena kita sedang merayakan hari patah hati untuk Aldrick, Jenna sayang," jawab Zafier di sisi paling ujung."Pesta yang membosankan, Papa Aldrick!"Kellan dan Zaf tertawa sementara Aldrick mencubit pipi Jenna lalu mengalihkan tatapannya ke bawah seraya meli
Satu tahun kemudian,Gaster Techn. CorporationJakarta, IndonesiaMemasuki usia 31 tahun, pencapaian Zafier Gaster bisa dikatakan sukses. Entrepreneur muda yang memiliki perusahaan berbasis teknologi yang tersebar di banyak Negara dan dinobatkan menjadi pengusaha muda dengan ketampanan menyilaukan hingga menjadi sorotan dunia.Sekitar dua tahunan ini, Zafier menetap di Jakarta sibuk melebarkan sayap bisnisnya di Negara Asia dengan mendirikan Gaster Tech. Corporation bersaing dengan banyak perusahaan sejenis di bidang teknologi yang sudah lebih dulu ada.Zafier optimis jika semua rintangan itu hanya bertujuan satu hal yaitu kesuksesaan. Jadi, ketika pegawai inti perusahaannya sedang gempar karena kalahnya mereka dalam Tender besar membangun ulang jaringan dan sistem keamanan untuk perusahaan minyak dunia yang berprofit Triliunan Dollar itu, Zafier malah asyik berkirim pesan dengan wanita yang sebulan ini menemaninya bergelut di atas ranjang."Pak Zaf—"Zafier tersenyum saat membalas
"Saya dipecat Bu."Wanita cantik berambut coklat itu tidak bisa menyembunyikan kekagetannya saat kekejaman dunia kerja yang bisa sangat brutal membuatnya di depak dari perusahaan periklanan yang sudah lima tahun menjadi tempatnya menggantungkan harapan untuk bertahan hidup."Apa salah saya?" Dia jelas tidak terima."Kamu masih tidak sadar kesalahan yang sudah kamu lakukan?!" Ucap Ibu Siksa selaku Manager HRD. "Kamu telah melanggar aturan dengan diam-diam memberikan service gelap ke pihak pelanggan untuk mendapatkan kontrak dan itu sangat tidak bisa dibenarkan.”"Tapi Bu—""Saya tidak mau mendengar penjelasan apapun lagi. Kamu kemasi barang-barangmu dan mulai besok cari pekerjaan di tempat lain. Di sini kami tidak bermain dengan cara kotor. MENGERTI!!" teriaknya membuat wanita itu berjengit kaget."Bukan saya Bu—""KELUAR!!!" bentakan itu akhirnya menyadarkannya kalau dia sudah tidak memiliki hak untuk berbicara dan menjelaskan semuanya. Dengan langkah gontai, dia keluar di bawah bisi
Flashback OnZafier Gaster tidak mempedulikan wanita-wanita di sekitarnya yang mencoba menarik perhatian karena tatapannya hanya tertuju pada wanita seksi bergaun merah yang duduk di salah satu sofa tidak jauh darinya dengan gaya congkak, sadar kalau hampir semua lelaki menatapnya lapar. Tonjolan belahan dadanya yang padat berisi begitu menggairahkan bahkan saat dilihat dari jauh sekalipun begitu juga kaki jenjangnya yang terekspos jelas. Sangat cantik dan sexy.Zafier turun dari duduknya di meja bar, melangkah mantap menghampiri bersamaan dengan seorang lelaki yang juga berjalan ke arah yang sama. Sampai akhirnya mereka berdua berdiri bersisian di depan wanita itu yang nampak kaget dengan kedatangan mereka."Siapa kau?" Lelaki itu nampak tidak senang dengan keberadaannya.Zafier dengan gaya santai, memasukkan kedua telapak tangan ke saku celana bahkan sempat mengedip genit ke wanita seksi itu yang langsung tersipu sebelum menjawab."Apa itu penting bagimu?"Lelaki itu mendengkus, "Ti
"Errghh, sayang."Erangan itu membuat Zafier yang sejak tadi duduk memandangi lampu-lampu gedung kota Jakarta menoleh ke samping, di mana Helena tergeletak tanpa sehelai benangpun setelah pergulatan mereka tadi."Tidurlah," ucap Zaf seraya menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara."Aku maunya meluk kau," ucapnya manja.Bukannya menuruti kemauan wanita itu, Zaf malah turun dari tempat tidur membuat Helena jelas bingung."Why, zaf?" Tanyanya heran."Aku mau cari udara segar dulu. Kau lanjutkan saja tidurnya. Kalau aku tidak kembali itu berarti sedang ada yang aku kerjakan di tempat lain.""Tapi aku mau kau tidur di sini dan temanin aku sampai pagi."Zaf tidak mempedulikan protesan Helena, berjalan mengarah ke kamar mandi untuk membasuh diri dan keluar setengah jam kemudian dengan setelan santai. Dilihatnya Helena duduk di tepi ranjang sedang menghisap rokoknya. Zaf menghampiri, menarik rokok itu dari tangannya dan mematikannya."Hei—" ucapnya kesal."Jangan merokok.
Bagi Shine, menjadi wanita lemah tidak ada dalam kamusnya.Setidaknya seorang wanita tidak harus selalu bergantung pada lelaki. Kalau bisa dilakukan sendiri kenapa harus meminta bantuan mereka yang kebanyakan merasa sombong karena dilahirkan lebih kuat. Terserah dia mau dicap sebagai perempuan bar-bar, tidak elegan dan lebih banyak membuat kaum lelaki yang tertarik dengan wajah imut juga cantiknya ielfeel setelah melihat kelakuannya yang kadang seperti lelaki hingga membuatnya tetap melajang diusianya yang ke dua puluh lima tahun.Untuk membekali dirinya dalam menghadapi apapun hal yang bisa saja terjadi pada wanita yang hidup sendiri, Shine belajar ilmu bela diri secara otodidak. Kepalan tangannya sudah sekuat lelaki, tendangannya memberikan efek yang pasti akan menjatuhkan dan dia belajar untuk selalu waspada.Awalnya Shine tidak terlalu peduli dengan lelaki berhoodie yang duduk di salah satu meja minimarket langganannya tapi saat menyadari kalau lelaki itu menguntitnya masuk ke da
Shine ternganga, memegangi kepalanya dengan tangannya yang lain merasakan pusing. "Oh pemuas wanita?" Shine kembali fokus. "Oke, itu sangat membantu untuk menentukan langkah selanjutnya yang harus aku ambil." "Oh senang sekali bisa membantumu. Apa kau akan merobek leherku sekarang juga?" "Tidak. Tidak sekarang karena pelajaran berharga untuk lelaki sepertimu itu—" Shine tersenyum smirk. "Yang seperti ini." BUUK!! Shine mengayunkan kakinya tepat mengenai kebanggaan lelaki itu dengan kerasnya dan berlanjut memukul wajahnya mengenai tulang hidung dan pipi. "Arrgghh, Shit!!!" umpat lelaki itu seraya mundur dan merunduk memegangi itu-nya dengan kedua tangan terlihat kesakitan. "Sialan!! Apa wanita selalu mengarahkan kemarahan mereka ke bagian terpenting laki-laki yang bisa memuaskan kalian tanpa ampun!!" "Yeah, supaya itu-mu punya tata krama!!" Umpat Shine seraya tersenyum penuh kemenangan. "Kau mau melawanku, huh? Tanggung akibatnya nanti!!"desisnya. "Oh, siapa takut." Shine men
Shine mengerang saat tangan lelaki itu menelusup di balik bajunya, membelai kulit punggungnya tanpa perantara dengan sensual masih sambil mencium bibirnya dengan napsu dan Shine melotot saat lelaki itu melepas kaitan branya. Shine mencoba melawan tapi percuma. Dia tidak bisa melakukan banyak hal. Seharusnya dari awal, dia sudah menghajarnya tanpa harus mengobrol dulu seperti teman lama. Yeah, Shine yang idiot. "Sial, aromamu sangat menggoda. Memabukkan," bisiknya setelah melepaskan pagutan bibirnya dan turun ke leher jenjangnya, mengigit-gigit kecil sampai kancing bajunya terbuka memperlihatkan belahan dadanya dan dengan kurang ajarnya bibir lelaki itu turun menghisapnya di sana. "BRENGSEK!! Aku akan membunuhmu—Ssshhh." Shine mengatupkan bibirnya karena takut mengeluarkan desahan. Tangan lelaki itu asik mengelusi punggungnya dari atas ke bawah, untung tidak sampai menjalar ke depan. Napasnya naik turun tidak beraturan mendapat perlakukan tidak senonoh dari lelaki gila di depannya
Setelah hari itu, hidup Lize sepenuhnya berubah. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan suatu saat nanti, dia akan merindukan sinar matahari yang menyengat seperti panasnya Florida. Yang bisa dia lakukan saat ini ketika melihat sinar matahari hanyalah tersenyum tanpa ekspresi, berdiri di balik kaca transparan kamarnya yang tidak bisa ditembus matahari dan mencoba menerima keadaannya dengan lapang dada. Hari itu, saat mereka pergi liburan ke Florida yang seharusnya dua minggu menjadi dua hari, Lize divonis menderita penyakit langka Polymorphous light eruption (PMLE) yang menyebabkan kulit seperti terbakar jika terkena sinar matahari. Intinya, hidupnya terancam bahaya jika dia berada di bawah sinar matahari terlalu lama. Bahkan sekarang, sedikit saja bersentuhan langsung dengan sinar matahari, kulitnya akan mulai melepuh seperti terbakar. Sungguh ironis hidupnya saat ini. Terkurung dalam dinding kaca saat siang dan melakukan semua kegiatan di luar rumah saat malam. Selama setahun d
Florida, Amerika SerikatLize mengangkat pandangannya ke atas, satu tangannya memegangi topi pantai yang menghalau pandangannya dari teriknya matahari yang menyengat meski angin pantai di sekitarnya mengibarkan rambut hitam panjangnya.“Lize—”Lize berbalik saat mendengar panggilan itu, menemukan Papinya yang sudah siap membaur bersama laut yang membentang luas tidak jauh di depannya.“Ya Pap?”“Apa yang kau pandangin sayang?”Lize menunjuk ke ujung cakrawala, ke arah matahari yang bersinar teriķ.“Terlalu panas.”Papinya tersenyum, “Sebaiknya kau bersenang-senang sementara kita berada di sini.”Lize menggelengkan kepala, “Meskipun ingin tapi aku tidak tertarik. Mana Mami?”“Berjemur.”Lize menoleh ke belakang, melihat Maminya yang sedang hamil adik kembarnya memasuki usia kandungan tujuh bulan menikmati teriknya matahari yang langsung menyengat kulitnya. Di sampingnya, Omanya melakukan hal yang sama sembari bermain pasir dengan Lucia.“Pap—”Entah kenapa, Lize merasa tubuhnya tidak e
Semenjak memiliki keluarga, Shine mendedikasikan seluruh perhatiannya untuk merawat kedua putrinya meski sesekali dia menerima tawaran iklan juga model. Meskipun Zafier dengan gaya angkuhnya berulang kali mengatakan kalau uangnya tidak akan habis sekalipun dia membelanjakannya terus menerus tapi Shine ingin tetap bisa melakukan sesuatu yang disukainya. Meski berat namun Zaf menyetujuinya dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati. Suaminya itu bahkan membelikannya pesawat pribadi yang bisa dia gunakan sesuka hati. Meski terlihat agak berlebihan namun Shine mengalah dan menerimanya dari pada Zaf melarangnya menjadi model lagi. Lelah selama perjalanan panjang dari Indonesia akan menghilang saat dia sampai di rumah seperti saat ini. Alih-alih menggunakan mobil untuk menjemputnya, Zaf malah mengirim helikopter yang saat ini mendarat sempurna di belakang mansion keluarga Gaster tidak jauh dari tamannya yang asri. Melintasi kebun mawar merah, Shine berjalan mengarah ke gazebo yang
“Kenapa kalian tidak bisa akur?”“Kenapa kami harus akur?” Zaf bertanya balik.Shine mendengkus, melipat lengan di dada sembari rebahan di tempat tidur saat Zaf bergabung dengannya.“Kalian sudah sama-sama tua dan seharusnya bisa berdamai.”“Kau terlalu berlebihan mengkhawatirkannya.”Shine menghela napas, memiringkan tubuhnya ke arah Zaf dan menatapnya serius. “Dia seharusnya sudah memiliki kehidupan yang lebih baik. Memiliki istri dan anak lalu hidup bahagia bukannya malah menjadi orang tua tunggal karena kesalahan satu malam seperti ini. Aku benar-benar sedih Zaf.” “Seperti yang kau katakan, dia sudah tua dan pastinya tahu bagaimana harus bersikap. Aku yakin dia sedang menata hidupnya lagi jadi kau harus mempercayainya.”“Semoga saja.”Shine membiarkan saja Zaf menariknya dalam pelukan dan membisikkan sesuatu.“Aku juga berharap dia bisa bahagia.” Shine tersenyum. “Agar berhenti mengangguku seperti ini.”Shine melotot membuat Zaf sontak tertawa. Sikap menyebalkan suaminya memang s
“Kau sengaja melakukannya ya,” desis Zaf saat menemukan Arsen sedang menjaga Lize yang asyik dengan es krimnya sementara Lucia tidur di kereta dorongnya di salah satu restoran yang ada di Seattle. Duduk di samping Lize yang langsung tersenyum menyambutnya dan mendaratkan kecupan di pipi. “Tetap tidak berubah,” jawab Arsen entang, mengelus rambut Lize yang tertiup angin. “Tidak bisa membiarkan kami sedikit saja menghabiskan waktu bersama.” “Tidak akan!” ujar Zaf datar, mengalihkan tatapan ke Lize dengan ekspresi berbeda, tersenyum lembut. “Lize, mau Papi suapin makan es krimnya?” Lize sontak menggelengkan kepala membuat Arsen menahan senyumannya di sudut bibir. “Sama uncle Arsen aja.” “Good girl,” ujar Arsen, menyuapi sesendok besar es krim strawberry ke Lize di bawah tatapan kesal Zaf yang melipat lengannya di dada, kalah telak. “Shine bilang kau sedang meeting dan tidak bisa diganggu.” “Karena itu kau sengaja melakukan hal ini kan?” “Tidak. Aku hanya ingin kau tahu kalau ak
“Berapa lama kau akan meeting?”Zaf berjalan ke ruang rapat bersama Nick, sekretarisnya dan beberapa orang penting di perusahaannya yang mengikuti di belakang sembari mengangkat panggilan telepon dari Shine.“Mungkin tiga jam. Ada banyak hal yang harus dibicarakan.”“Oke baiklah. Kami sedang berbelanja saat ini jadi mungkin setelah selesai kau bisa menemui kami untuk makan siang bersama. Lize bilang dia ingin es krim pisang.”Zaf menghentikan langkah kakinya dan semua bawahannya ikut berhenti.“Bagaimana kalau aku tunda rapatnya dan menemani kalian?”Nick ingin menyahut namun terhenti saat Zaf melotot membuatnya langsung mengatupkan bibir.“Tidak perlu!” tolak Shine. “Kau tidak boleh mempermainkan bawahanmu seenaknya.”“Mereka tidak akan protes.” Zaf menoleh ke belakang, menatap satu persatu bawahannya yang hanya diam saja. “Begitulah enaknya jadi bos.”“Dasar bos setan memang!” umpat Shine. “Kau selesaikan saja pekerjaanmu lalu susul kami. Jangan membuatku marah!”Zaf mendesah, kemba
Zaf bangkit membuat Alva langsung kaget, berjalan menghampiri putrinya yang menunggu anak lelaki itu membukakan permen bentuk bunga matahari itu dengan sabar. Zaf menyimpitkan mata, mencoba mengabaikan tatapan Shine yang sesaat tadi beradu dengannya dan menaikkan alis penuh curiga. Zaf mengabaikannya karena yang terpenting saat ini menyelamatkan putrinya dari penggoda yang hanya bermodalkan permen itu. Zaf berdiri di belakang Lize dengan tatapan tajam membuat anak lelaki itu reflek menatapnya dan tertegun. Zaf menarik senyum ke sudut bibirnya menakuti membuatnya langsung mengerjapkan mata. Saat Lize berbalik, Zaf sontak tersenyum. “Papi—“ Ucap Lize dengan senyuman lebar. “Hai sayang, kau sedang apa?” “Mau makan permen,” ujarnya seraya menunjuk permen bunga di tangan anak lelaki itu. “Ah begitu.” Zaf mendekat, melipat satu kakinya agar sejajar dengan Lize sembari tangannya mengambil permen lain di meja dan membukanya. “Rasa strawberry lebih enak. Ini Papi bukakan.” Mengabaikan an
Seattle, Amerika Gaster Coorporation semakin berkembang pesat. Setelah berhasil memperjuangkan cintanya, memperistri Shine dan mendapatkan malaikat secantik Lize juga Lucia yang kedatangannya benar-benar tidak terduga, Zaf memboyong anggota keluarganya menetap permanen di Seattle dan menjalankan bisnisnya yang tersebar di berbagai belahan dunia dari sana. Sebagai kepala keluarga, pebisnis dan suami yang saat ini tengah bahagia menjalankan perannya, Zaf benar-benar merasa sedang berada di momen terbaik hidupnya. Pada akhirnya dia menemukan tempat untuk pulang bukan lagi persinggahan, diberi kesempatan menjadi hot Daddy untuk kedua putrinya. Suatu keberkahan yang diberikan Tuhan padanya. “Bukankah mereka terlalu cepat besar,” gumam Zaf di samping sepupunya, Alva Alexander memperhatikan gadis mereka masing-masing yang sedang asyik bermain bersama teman-teman sepantaran mereka dalam acara ulang tahun Angela, putri Alva yang berumur tujuh tahun di taman kediaman keluarga Alexander di Ne
Teriakan itu membuat Zaf reflek menoleh ke atas tebing dan ternganga saat melihat Shine sudah berdiri di atas sana sembari berkacak pinggang. Bagaimana bisa dia sudah ada di atas sana? “Ngapain kau di situ?” “Hmm, entahlah. Enaknya ngapain ya.” Zaf mengeryit, “Kalau begitu ayo turun.” Meski tebingnya tidak terlalu tinggi dan kalaupun Shine jatuh ke bawah dia akan masuk ke dalam air tetap saja Zaf tidak mau istrinya itu kenapa-napa. “Look at me Zaf.” Zaf yang tadinya sudah berniat menyusul Shine langsung terhenti. Dilihatnya Shine tersenyum menatapnya membuatnya terpaku. Istrinyalah yang tercantik di dunia selain Maminya dan Lize, tentu saja. “Terima kasih banyak untuk semua yang kau lakukan.” Disela suara air, Zaf tidak mengerti kenapa Shine tiba-tiba bersikap sok terharu. “Seharusnya sejak awal kau mengatakannya agar aku senang.” “Dasar menyebalkan!!” dengus Shine. “Sekarang waktunya pertunjukan.” Zaf mengeryit tidak mengerti. Tercengang saat Shine dengan tatapan nakal mul