Malam harinya, kuceritakan semuanya pada Mas Pras. Biar bagaimanapun, aku harus tetap meminta izin darinya."Berarti, Papa bisa kurangin uang belanja, dong, Ma? Kan waktu ada Ibu dan Bapak, pengeluaran Papa nambah dua kali lipat!" katanya mulai perhitungan.Tiba-tiba saja dadaku terasa panas. Kesal mendengar tanggapannya barusan. Ingin marah lagi, tapi tidak bisa. Hanya air mata yang tiba-tiba saja keluar dari pelupuk mata tanpa bisa kucegah.Melihatku menangis, Mas Pras terlihat kaget. Tidak biasanya aku begini tanpa marah-marah dulu. Aku lelah Mas, lelah!"Papa salah lagi ya?" tanyanya berlagak polos.Makin ke sini, aku semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran suamiku. Kenapa pelit dan perhitungannya semakin menjadi-jadi?Padahal, sebelum menikah, aku mengenal Mas Pras cukup lama. Dulu, dia tidak se-pelit ini. Kalau kata Anjeli sih, itu hanya tak-tik supaya bisa mendapatkan hatiku. Apapun akan dia bawakan untuk Ibu jika kami berkunjung ke kampung. Begitu juga dengan pesanan Anje
"Dasar semprul!" gerutuku sambil menutup pintu dengan keras. Saking kerasnya, Nindy mencengkeram tanganku karena ketakutan.Ish, mau ditaro di mana muka ini? Malunya masih aja kebayang-bayang.Kuusap-usap wajah, jika kejadian tadi kembali berseliweran di kepala. Daripada tambah malu, lebih baik mengurung diri saja di rumah.Tapi hari ini, hari ulang tahunku bukan?Aa Hadi sendiri yang mengingatkan, padahal tadinya, aku benar-benar lupa.Jadi, bagaimana kalau hari ini aku pergi menyenangkan diri?Sudah lama sekali rasanya kaki ini tidak menginjak lantai mall. Lagipula, bukankah Ibu sudah memberiku uang untuk menyenangkan diri? Ah Ibu, terima kasih. Karena Ibu, Jani bisa menghirup kembali suasana segar di pusat perbelanjaan.Tapi bagaimana dengan kedua anakku?"Assalamualaikum ...!" suara Ranti membuyarkan lamunanku."Wa'alaikumusalam!""Tan, ini Hamdi udah bosan kayaknya!" Ranti menyerahkan Hamdi yang terlihat mulai gelisah. Lalu terlintas di pikiranku, bagaimana kalau mengajak Ranti
"Berapa Papa kirim uang untuk Prita setiap bulannya?" Aku terus mengulangi pertanyaan yang sama karena Mas Pras tidak kunjung menjawab.Wajahnya terlihat sangat terkejut dan pucat mendengar pertanyaanku."Berapa?" sentakku lagi. Ini sudah lewat tengah malam, tapi aku tidak peduli kalau suaraku akan terdengar oleh tetangga."Itu ... itu biaya kuliah Prita Ma, adik kandungku!" jelasnya. Dengan penegasan 'adik kandungku', aku yakin dia tidak punya rasa bersalah.Kuusap wajah dan mencoba menghentikan air mata yang mengalir begitu saja tanpa bisa kuhentikan. Hatiku benar-benar hancur saat ini. Bukan karena aku hitung-hitungan terhadap adik Mas Pras. Tapi aku merasa tertipu selama ini.Uang yang sejatinya dia bilang akan ditabung untuk membeli rumah setiap bulannya, nyatanya dia pakai untuk biaya kuliah dan biaya hidup adiknya selama tinggal di tempat kost.Mungkin ceritanya akan lain, kalau saja dia mengatakan semuanya dan tidak dzalim pada keluarganya sendiri. Tapi yang kulihat, kehidupa
Dasar mantan semprul!Bukankah itu mobil Aa Hadi?Kenapa malah dia yang menyusulku ke sini?Kulihat Ibu tergopoh-gopoh menyambutnya.Untung saja Bapak belum pulang, karena jam segini masih di kebun. Kalau tidak bisa tambah riweuh, ada dia di sini.Sedangkan aku, aku tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduk. Dua belas tahun berlalu, ternyata dia masih hapal saja jalan menuju ke rumah ini.Dulu, beberapa kali aku sempat mengajaknya ke sini. Karena itulah, Bapak, Ibu dan Anjeli sangat dekat dengannya.***Setelah bicara sebentar dan membuatkan teh manis, Ibu meninggalkan kami berdua. Dan aku masih saja diam seribu bahasa. Bau khas parfum yang sejak dulu dia pakai, cukup mengganggu perasaan dan hidung minimalis milikku. Terlebih, Aa Hadi, malah mengambil tempat, tepat di sampingku.Aku bergeming, meski jantungku terasa jedag-jedug tidak keruan."Kamu bertengkar sama suami, ya?" tebaknya sambil menatapku.Bagaimana dia bisa tahu kalau aku bertengkar dengan Mas Pras? Apa suaraku terla
"Kenapa Papa enggak marah sama Mama soal Pak Hadi?" tanyaku penuh selidik. Sejak tadi, pertanyaan itu terus menggangguku."Papa sadar kok Ma, selama ini belum bisa jadi suami yang baik. Karena itu, Papa malah malu, saat mengingat mantan Mama lebih perhatian sama Mama ...," jelasnya lirih.Sepertinya, dia memang benar-benar telah berubah. Karena aku tidak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya. Akhirnya, kuturuti juga permintaan Mas Pras untuk pulang ke rumah, hari itu juga. Sebagai gantinya, aku mewanti-wanti dia supaya diam dan Teh Lina tidak perlu tahu masa laluku dengan Aa Hadi.Dia setuju dan mengerti hubunganku yang sudah terjalin baik dengan Teh Lina.Heummm, rasanya Mas Pras jadi terlihat lebih ganteng dua kali lipat kalau menuruti keinginan Jani. Uhuk!Sesampainya di rumah, mataku dibuat terbelalak oleh pemandangan yang ada. Sedangkan Mas Pras hanya senyum-senyum saja melihatku yang mulai kembali emosi.Baju kotor, piring kotor dan rumah yang berantakan. Semakin menambah le
"Assalamualaikum Tante ...!" Suara Ranti dari luar, cukup mengagetkan dan membuat kami saling bepandangan.Mas Pras lalu berjalan membukakan pintu."Waalaikumusalam, masuk, Ran!" perintahku tanpa beranjak. Maklum, masih lemas."Nindy sama Hamdi mana Tan? Kangen juga aku sama dua bocah itu, udah lama enggak gendong!" kata Ranti sembari masuk menghampiriku .Ranti ini kebiasaan. Kalau manggil Tante suka nggak selesai. Setengah-setengah begitu, kan jadi enggak enak didengernya!"Tidur di kamar tuh, habis makan," sahutku."Ehm, muka Tante pucat banget, sakit ya, Tan?" tanyanya terlihat khawatir."Iya Ran, sepertinya Tante kecapek-an di jalan waktu pulang kampung itu," kataku menerka.Mas Pras yang ada di hadapanku, memandang dengan khawatir."Belum enakan ya, Ma?" "Belum, Pa!""Ranti, Bagaimana kalau Om titip Nindy sama Hamdi? Om mau bawa Tante Jani ke dokter ...."Hah? Apa enggak salah denger ini? Tumben peka! Biasanya kalau belum berhari-hari, nggak bakal dibawa ke dokter."Iya Om, sa
Jakarta, dua belas tahun yang lalu."Assalamualaikum, Chika?" tanyaku pada seseorang di sambungan telepon. Tak sabar rasanya ingin berbicara dengan sahabat SD-ku itu. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa mendapatkan nomor telepon Chika dari Ina, teman sekelas kami juga."Waalaikumusalam, ini siapa?" sahut suara di ujung telepon.Tapi ... kenapa suaranya laki-laki?"Ini benar nomor telepon Chika?" tanyaku dengan sedikit ragu."Maaf salah sambung." Lelaki di ujung telepon memutuskan sambungan telepon.""Hih kenapa juga salah sambung? Ina gimana sih kasih nomor?" dengkusku kesal sambil melempar handphone pertama yang kumiliki itu. Harapanku untuk bisa berbicara dan melepas rindu dengan Chika pupus sudah.Kembali kuraih handphone Nokia 3310 itu dan mengamati nomor yang tertera di layar, dengan nomor di kertas pemberian dari Ina. Setelah kuperhatikan dengan teliti, tak ada yang salah dengan nomor yang diberikannya. Tapi kenapa bisa salah sambung?[Maaf ya, tadi saya lagi kerja. Boleh kena
Ya Allah, bagaimana ini???Ingin rasanya aku kabur ke planet Mars kalau begini. Bukan hanya bibirku yang tiba-tiba kelu. Kakiku lemas, nafas tercekat, seluruh sendi terasa lepas. Ya Allah, inikah akhir hidup Anjani???Ingin aku melirik bagaimana respon Teh Lina, atau Aa Hadi. Tapi aku tidak sanggup, aku hanya menunduk dan menunggu dengan pasrah, apapun yang akan terjadi selanjutnya."Sarah, maksud kamu apa?" tanya Teh Lina yang masih kebingungan.Kupejamkan mata dan berharap Sarah tiba-tiba bisu. Ya ampun jahat banget kamu Janiiii!!!"Mamaaaaaaaaaa ...! " Suara tangisan Hamdi, yang sering membuatku kesal, kini terdengar bagai pembawa alunan kesejukan."Hamdi?" seruku.Wussshhh!!!Kuambil jurus seribu langkah mengatasnamakan kekhawatiranku pada Hamdi.Terima kasih Nak, terima kasih! ucapku penuh haru.Dengan gemetar, aku menyusui Hamdi yang tangisnya langsung berhenti begitu aku datang.Menyusulah sepuasnya Nak, hari ini kamu pahlawan Mama! Ucapku dalam hati, sambil mengecup keningnya.
Kata orang, menikah dengan lelaki yang tepat akan menjadikan seorang wanita seperti Ratu dan terus merasa bahagia. Aku tahu, meskipun pernikahan pertamaku dengan Mas Pras telah gagal, banyak hikmah yang bisa kuambil untuk dijadikan pelajaran.Begitu juga dengan masa lalu Aa Hadi. Tapi kenapa sekarang ini, aku malah terus dihantui rasa takut? Selain pernah dikhianati Mas Pras, awal perkenalanku dengan Aa Hadi diwarnai kebohongan. Selingkuh dari wanita sebaik Teh Lina, dengan dalih korban perjodohan orangtua.Menikah dengan Aa Hadi pun, pernah menjadi impianku belasan tahun yang lalu. Namun, semuanya sirna, setelah dua tahun lebih kami menjalin hubungan. Pacar dengan usia yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu ternyata sudah memiliki keluarga. Aku lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.Namun, takdir berkata lain. Sebelas tahun kemudian, kami kembali dipertemukan sebagai tetangga.Setelah menjalani lika-liku jadi tetangga mantan, Allah mentakdirkan kami berjodoh.Sosok Aa
Seperti dejavu, aku pernah merasakan ini dulu. Bedanya kali ini beneran, bukan kaki Nindy lagi seperti waktu itu."Cicing(diam) atuh A, ada anak-anak! Kalau mereka tiba-tiba masuk gimana?" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggang. Tapi pelukannya malah semakin erat."Cuma peluk doang, sisanya nanti malam," bisiknya. Ucapan itu justru lebih terdengar seperti ancaman di telinga. Membuatku semakin ketakutan mendengarnya.Selepas makan malam dan anak-anak sudah kembali ke kamarnya, sengaja kusibukkan diri di dapur demi mengulur waktu. Kali aja habis nyuci piring, dia keburu ngantuk dan lupa akan ancamannya siang tadi."Ngapain?" tanyanya sambil berdiri menatapku."Cuci motor.""Ngelucu? Besok 'kan ada Mbak Imah Jan, ayo istirahat!"Ish, istirahat katanya? Aku yakin, kalau sudah masuk perangkapnya, mana bisa istirahat?"Tanggung A, bentar lagi!"Aku sengaja mengulur waktu dan terus menerus membilas piring berkali-kali sampai benar-benar kesat. Dia yang memerhatikan aku sejak tadi, m
Sah!!!" Suara riuh menggema di dalam rumah kedua orangtuaku di kampung, saat penghulu mengesahkan pernikahanku dengan Aa Hadi siang ini, meski hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga yang hadir. Rona bahagia, terpancar jelas di wajah Ibu dan Bapak saat aku melirik ke arah mereka. Sayangnya, kedua orangtua Aa Hadi telah meninggal dunia. Hanya beberapa keluarga inti yang menemaninya sejak pagi tadi.Dengan bergantian, Ranti, Rasyid dan Dini memelukku dengan erat."Terima kasih ya, Mama Jani sudah mau terima Papi," kata Ranti dengan senyum manis dan lesung pipi khas miliknya.Setelah kami semua bersalaman, acara dilanjutkan dengan makan bersama keluarga dan para tetangga. Tidak ada resepsi, karena itu adalah salah satu permintaanku. Semua aku lakukan, karena tidak ingin nantinya Bapak merasa lelah dan terbebani jika harus duduk di kursi roda, di atas pelaminan, dalam waktu yang cukup lama.Bapak memang belum sembuh total. Sehari-harinya, dia bergantung pada kursi roda untuk b
Selain menyaksikan pernikahan Mas Pras dengan Mia, aku sangat mengharapkan kedatangan Aa Hadi dan juga anak-anaknya hari ini.Karena, sejak hari di mana Rasyid tertangkap, aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.Entah karena Aa Hadi sudah lelah menunggu kepastian dariku, atau karena perasaan bersalahnya pada Rasyid, dia tidak mau menemuiku lagi. Berkirim kabar pun juga tidak pernah. Karena itu, dia tidak tahu kalau Bapak sekarang sedang sakit."Mas Pras udah dua kali nikah, Teteh masih sendiri aja. Ngenes atuh, Teh!" goda Anjeli yang sedang mengaduk aduk es krim di tangannya."Ish, ngenes mana sama kamu?" Aku balik menyindirnya.Anjeli lantas memonyongkan bibirnya. Cemberut namun menggemaskan."Anjeli jomlo 'kan karena standar tinggi, Teh!" katanya beralasan."Ya udah, sana cari pasangan kamu dulu! Nanti kalau kamu yang dapet duluan, baru boleh ngeledek Teteh!"Kucubit hidung Anjeli yang menggemaskan. Minimalis, sama sepertiku. Aku tahu, dia sudah memiliki pasangan, tapi d
Benar juga, ke mana Aa Hadi???Segera ku ambil ponsel dan menghubunginya, namun tidak aktif. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia masih ada keperluan lain, tapi setelah menunggu lama, Aa Hadi tak kunjung datang. Karena penasaran dan perasaanku juga mulai tidak enak, aku mencoba menelepon Ranti. Siapa tahu, papinya menghubungi dia.Benar saja, dari Ranti, aku tahu kalau mereka sekarang dalam perjalanan ke Subang. Mereka mendapat kabar, kalau Rasyid ditangkap polisi karena mengkonsumsi barang haram.Ranti juga menyampaikan maaf dari papinya yang langsung pergi tanpa mengabariku lebih dulu. Katanya, dia panik dan tidak bisa berpikir, bahkan untuk sekedar menghubungiku.Tubuhku lemas seketika mendengar penjelasan Ranti. Belum habis rasa bersalahku terhadap Nindy, kini muncul masalah baru yang membuatku menyesal.Apalagi Rasyid adalah anak yang sangat baik dan pendiam.Aku jadi penasaran, masalah apa yang dialami Rasyid, sampai akhirnya anak sebaik dia bisa melewati batas?Apa kar
Tapi ucapan Bapak memang benar, siapa lagi yang bisa aku andalkan saat ini?Aa Hadi adalah satu-satunya orang yang bisa menerima aku dan keluargaku, lalu kurang apalagi?Terus bertahan hidup sendiri karena gengsi, sebagai seorang janda, apa aku bisa?Karena selama ini saja aku masih terus bergantung padanya."Bapak nggak mau maksa Teteh, tapi coba dipikirin lagi ya, Teh. Jangan keras kepala, apalagi gengsi."Bapak menyelesaikan percakapan kami dan berlalu meninggalkan aku yang larut dalam pelukan Ibu."Bener kata Bapak Teh, coba dipikirin lagi!" kata Ibu menambahkan.Setelah menyeka airmata, aku keluar dari kamar Ibu dan masuk ke dalam kamarku untuk menemui Hamdi. Tapi saat pintu kamar dibuka, aku disuguhkan pemandangan yang mengharukan. Di sana, Ranti, Dini, Hamdi dan Anjeli sedang berkumpul. Bahkan mereka sampai menambah kasur di bawah supaya muat tidur berbarengan.Pemandangan seperti ini kembali membuatku bimbang. Keluargaku, juga anak-anak Aa Hadi, seakan tidak ada tembok pemisa
"Nindy sakit Teh, badannya panas nggak turun-turun, jadi Ibu bawa ke rumah sakit!" terang Ibu yang panik di ujung telepon.Baru saja tubuhku hendak diistirahatkan sejenak, kabar dari Ibu memaksaku melupakan segalanya. Pikiranku sekarang tertuju pada Nindy. Apalagi saat terakhir kali video call, dia menangis.Ibu mengatakan, kalau hasil lab, Nindy dinyatakan terkena DBD.Jam di ponsel sudah menunjukan pukul sembilan malam. Bagaimana aku bisa pulang ke kampung di jam segini?Kucoba menghubungi Mas Pras, siapa tahu dia belum terlalu jauh. Sayangnya, Mas Pras tidak menjawab panggilanku. Mungkin karena dia sedang mengendarai sepeda motor.Meski awalnya ragu, mau 'tak mau, lagi-lagi aku harus meminta bantuan Aa Hadi. Karena saat ini, memang hanya dia yang bisa ku andalkan.Tidak butuh waktu lama. Setelah aku menyampaikan padanya, Aa Hadi siap mengantarku ke kampung bersama Ranti dan Dini ikut serta.Perjalanan Jakarta - Sukabumi memakan waktu sekitar tiga jam. Walau kantuk mendera, aku tida
Karena kasihan sama bubur, akhirnya kuceritakan tentang Rini yang sempat salah paham, sampai mengirimkan pesan yang menyakitkan hati."Kenapa nggak cerita? Kebiasaan kamu itu, nyimpen masalah sendiri!" kesal Aa Hadi."Waktu itu mau cerita, tapi 'kan Mia keburu dateng!""Tahu begitu mah, nggak usah dikasih uang!""Ish, kalau ngasih yang ikhlas atuh, A!""Tapi 'kan, dia udah bikin hati kamu sakit?""Kalau mikirnya begitu mah, Aa juga pernah 'kan nyakitin Jani?"Mendengar ucapanku, raut wajah Aa Hadi berubah."Iya deh, Aa nyerah. Jangan bahas masa lalu lagi!"Hmm ... Tuh kan, kalau disentil aja nggak mau!Belum sempat kami menghabiskan bubur, ponsel Aa Hadi berdering."Ada apa, Ran?" "....""Iya, Papi sama Tante Jani pulang.""Kenapa?" tanyaku penasaran, saat Aa Hadi sudah memutuskan sambungan telepon."Ada mantan suami kamu di kontrakan," jelasnya dengan nada ketus.Mas Pras?Mau apa dia ke kontrakan?***"Mana Papanya Hamdi?" tanyaku pada Ranti, begitu sampai di gerbang kontrakan."Ny
Aku bergegas menuju ke dalam pabrik. Di sana, sebagian karyawan sedang berkumpul dan tengah berbisik-bisik. Aku pun mencoba bertanya pada Sita yang baru saja keluar dari kerumunan.Kabar yang kudengar darinya, membuatku terkejut bukan main. Bang Danu dipecat karena ketahuan mencuri tas yang diselundupkan melalui gudang ekspor.Banyak yang menduga, Bang Danu hanya disuruh oleh orang dalam. Karena itu, dia hanya diberhentikan dan kasusnya tidak sampai dilaporkan ke pihak yang berwajib.Mendengar hal itu, aku langsung kepikiran sama Rini. Bagaimana perasaan Rini saat ini? Apalagi, Rini baru saja melahirkan.Selain itu, usia Bang Danu tidak lagi muda. Jika dia diberhentikan sebagai seorang pencuri, sudah pasti tidak akan mendapat uang pesangon. Itu artinya, pengabdiannya selama ini sia-sia akibat kekhilafan semata.Mencari kerja di pabrik serupa, sudah pasti sulit diterima. Selain umurnya tidak lagi muda, Bang Danu pasti sudah masuk daftar hitam. Aku pun berencana menemui Rini sepulang k