Jakarta, dua belas tahun yang lalu."Assalamualaikum, Chika?" tanyaku pada seseorang di sambungan telepon. Tak sabar rasanya ingin berbicara dengan sahabat SD-ku itu. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa mendapatkan nomor telepon Chika dari Ina, teman sekelas kami juga."Waalaikumusalam, ini siapa?" sahut suara di ujung telepon.Tapi ... kenapa suaranya laki-laki?"Ini benar nomor telepon Chika?" tanyaku dengan sedikit ragu."Maaf salah sambung." Lelaki di ujung telepon memutuskan sambungan telepon.""Hih kenapa juga salah sambung? Ina gimana sih kasih nomor?" dengkusku kesal sambil melempar handphone pertama yang kumiliki itu. Harapanku untuk bisa berbicara dan melepas rindu dengan Chika pupus sudah.Kembali kuraih handphone Nokia 3310 itu dan mengamati nomor yang tertera di layar, dengan nomor di kertas pemberian dari Ina. Setelah kuperhatikan dengan teliti, tak ada yang salah dengan nomor yang diberikannya. Tapi kenapa bisa salah sambung?[Maaf ya, tadi saya lagi kerja. Boleh kena
Ya Allah, bagaimana ini???Ingin rasanya aku kabur ke planet Mars kalau begini. Bukan hanya bibirku yang tiba-tiba kelu. Kakiku lemas, nafas tercekat, seluruh sendi terasa lepas. Ya Allah, inikah akhir hidup Anjani???Ingin aku melirik bagaimana respon Teh Lina, atau Aa Hadi. Tapi aku tidak sanggup, aku hanya menunduk dan menunggu dengan pasrah, apapun yang akan terjadi selanjutnya."Sarah, maksud kamu apa?" tanya Teh Lina yang masih kebingungan.Kupejamkan mata dan berharap Sarah tiba-tiba bisu. Ya ampun jahat banget kamu Janiiii!!!"Mamaaaaaaaaaa ...! " Suara tangisan Hamdi, yang sering membuatku kesal, kini terdengar bagai pembawa alunan kesejukan."Hamdi?" seruku.Wussshhh!!!Kuambil jurus seribu langkah mengatasnamakan kekhawatiranku pada Hamdi.Terima kasih Nak, terima kasih! ucapku penuh haru.Dengan gemetar, aku menyusui Hamdi yang tangisnya langsung berhenti begitu aku datang.Menyusulah sepuasnya Nak, hari ini kamu pahlawan Mama! Ucapku dalam hati, sambil mengecup keningnya.
Teteh marah atau enggak sih, sama Jani?Hiks, mending Teteh bu**h Jani sekalian deh!Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi untuk menyapu halaman, agar bisa bertemu dengan Teh Lina. Karena biasanya, dia akan membeli sayuran di ujung gang setiap pagi.Selain ucapan terima kasih atas oleh-oleh yang dia berikan, aku juga ingin memastikan sikap Teh Lina setelah mengetahui semuanya dari Sarah.Lama kusapu jalanan, hingga debu pun ikut menghilang, tapi Teh Lina tidak kunjung keluar. Ya Allah, apa Teh Lina tahu, kalau Jani nungguin Teteh?Rasanya kenapa lebih sakit daripada saat tahu telah dibohongi Aa Hadi ataupun Mas Pras?"Bersih amat sih, Ma!" tegur Mas Pras yang sedang bersiap berangkat kerja dan memanaskan motornya.Aku hanya mendelik tak menyahut. Sesaat kemudian, aku teringat sesuatu dan langsung menghampiri Mas Pras.Hari ini, kan hari gajian Mas Pras. Dan untuk pertama kali, aku tak ingin melewatkannya, meski hanya sekedar mengambil uang di ATM."Mana kartu ATM-nya Pa? Katanya Ma
Aku meringis saat rasa sakit di sekitar perut bagian bawah mulai menjalar.Perlahan, berusaha kembali mengingat kejadian tadi siang. Meski samar, aku masih ingat dan cukup sadar, saat dokter dan para perawat menanganiku yang mengalami pendarahan dan menyebabkan keguguran.Air mataku mengalir begitu mengingat, bayi di dalam kandunganku tidak bisa bertahan. Ya Allah ... apakah ini dosa Jani karena sempat mengeluhkan kehamilan ini?Samar-samar, kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan mendapati seorang wanita sedang duduk sambil memainkan ponselnya.Tapi ... bukankah itu Teh Lina?Ya Allah ... apa karena Jani rindu sama Teh Lina, terus jadi terbayang-bayang? Mana mungkin Teh Lina ada di sini?"Ehm ...!" Aku berdehem, bukan saja karena tenggorokanku kering, tapi sengaja agar menarik perhatian wanita berkerudung ungu yang sedang menunduk itu.Mendengarku berdehem, dia memasukan ponselnya ke dalam tas dan beranjak menghampiriku. Kini memang jelas, kalau dia benar-benar Teh Lina. MasyaaAl
Mas Pras diam membisu. Sengaja kukeraskan volume suara, hingga keluarganya sangat terkejut. Mungkin dia malu. Bukannya sungkem sama orangtuanya yang datang jauh dari kampung, Mas Pras malah melengos dan langsung pergi. Teh Lina terus menggenggam tanganku sejak tadi. Aku tahu, mungkin saat ini, aku terlihat seperti orang yang paling dikasihani.Sedangkan keluarga suamiku, mereka diam saja. Mungkin malu dengan kelakuan anaknya."Maaf ya Pak, Bu ...," ucapku sebisanya."Untuk apa, Nduk? Pras yang salah. Ibu sampai kehilangan muka begini!"Aku menghela nafas. Asal jangan suruh Jani cari ya Bu, Jani enggak tau hilang di mana, beneran deh ...!"Baiknya, kalian istirahat di kontrakan aja. Jani enggak tega. Kalian pasti capek seharian ini."Kasihan juga aku melihat mereka yang dipenuhi rasa bersalah. Terlebih, mereka belum istirahat sejak tiba siang tadi.Setelah memberi wejangan panjang lebar sampai aku mengantuk, keluarga Mas Pras menuruti saranku untuk kembali ke kontrakan."Sebentar lag
Assalamualaikum Teh ...Ketika membaca pesan ini, Jani berharap Teteh dalam keadaan bahagia.Terima kasih karena telah mengizinkan Jani memiliki seorang kakak seperti Teteh.Hanya ini yang bisa Jani berikan, semoga Teteh suka. Jani tau, Teteh bisa membeli apapun yang Teteh inginkan. Kalau bisa, apapun juga akan Jani berikan untuk Teteh, sebagai rasa terima kasih yang tulus dari seorang adik.Jangan melow ya Teh, nanti make-up nya luntur!_____________________________________________Pesan yang kutulis untuk Teh Lina dan kuselipkan bersama dengan tas kecil berwarna ungu, kembali terlintas di ingatanku.Aku sama sekali tidak menyangka, apa yang kutulis dadakan itu, bisa meredam kekesalan Teh Lina saat mengetahui masa laluku dengan Aa Hadi. Padahal, saat itu aku benar-benar tulus menuliskannya, karena rasa sayangku padanya sebagai seorang adik.***Hari ini, aku akan kembali ke kampung dan memulai lembaran baru di sana bersama anak-anakku.Mas Pras, bahkan tidak menahan sama sekali keti
Perasaan ku tiba-tiba jadi enggak enak karena Teh Lina berkata begitu. Kulihat Aa Hadi yang tampak asyik ngobrol dengan Mang Nakim. Dulu itu, mereka sering mancing bersama Bapak."Jangan ngomong begitu ah, Teh ... Kalau mengungkit masa lalu, Jani nggak enak sama Teteh!" ungkapku pada Teh Lina "Teteh mah santuy Neng! Malah kepikiran buat jadiin kamu istri keduanya Papi!"GlekkYa ampun Teh, ceplas-ceplos sih nggak apa-apa, tapi nggak langsung ke point begitu juga kali!"Ish Teteh, ngomong apa, sih? Jani masih punya pikiran kali Teh! Nggak mungkin Jani berpikir sampai ke sana!" sungutku kesal.Menikah dengan Aa Hadi? Jadi istri kedua? Mau sih mau Teh, tapi kalau istri pertamanya Teteh, Jani nggak sanggup!Teteh itu terlalu baik di mata Jani."Tapi Teteh udah mikir ke sana lho, Neng! Lagipula, Teteh lihat si Aa masih perhatian kan, sama kamu?""Teteh jangan ngomongin itu ah. Jani aja belum resmi bercerai dari Mas Pras. Lagi pula, nggak mungkin Jani nyakitin hati Teteh!""Kalau Teteh yan
Apa dia benar-benar Sarah keponakan Teh Lina? Tapi ... untuk apa dia datang ke sini?Aku sangat yakin dia adalah Sarah, keponakan Teh Lina yang pernah memergoki aku dengan Aa Hadi, juga yang telah menceritakan semuanya pada Teh Lina.Setelah membuka pintu, kupersilahkan dia untuk masuk dan duduk. "Maaf, pasti Teh Jani kaget ya ...." Sarah bicara dengan lembut dan sopan. Beda sekali waktu dia memergoki aku dengan Aa Hadi. Sangar kayak singa. Wajar juga sih, kan Bibinya dikhianatin sama mamangnya!"Iya, memang kaget. Tunggu sebentar ya, Teteh bikin minum dulu!"Tanpa meminta persetujuannya, aku ke dapur untuk membuatkan Sarah minum.Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku. Ada apa Sarah sampai jauh-jauh datang ke sini?Setelah membuatkan segelas Teh hangat, dia memintaku untuk bicara dengan serius.Padahal dari tadi kurang serius apa ini coba?"Apa Bibi sudah bilang sama Teh Jani, kalau dia minta Teteh nikah sama Mamang Hadi?" tanya Sarah sambil meneguk teh manis hangat buatanku. "Uhu
Kata orang, menikah dengan lelaki yang tepat akan menjadikan seorang wanita seperti Ratu dan terus merasa bahagia. Aku tahu, meskipun pernikahan pertamaku dengan Mas Pras telah gagal, banyak hikmah yang bisa kuambil untuk dijadikan pelajaran.Begitu juga dengan masa lalu Aa Hadi. Tapi kenapa sekarang ini, aku malah terus dihantui rasa takut? Selain pernah dikhianati Mas Pras, awal perkenalanku dengan Aa Hadi diwarnai kebohongan. Selingkuh dari wanita sebaik Teh Lina, dengan dalih korban perjodohan orangtua.Menikah dengan Aa Hadi pun, pernah menjadi impianku belasan tahun yang lalu. Namun, semuanya sirna, setelah dua tahun lebih kami menjalin hubungan. Pacar dengan usia yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu ternyata sudah memiliki keluarga. Aku lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.Namun, takdir berkata lain. Sebelas tahun kemudian, kami kembali dipertemukan sebagai tetangga.Setelah menjalani lika-liku jadi tetangga mantan, Allah mentakdirkan kami berjodoh.Sosok Aa
Seperti dejavu, aku pernah merasakan ini dulu. Bedanya kali ini beneran, bukan kaki Nindy lagi seperti waktu itu."Cicing(diam) atuh A, ada anak-anak! Kalau mereka tiba-tiba masuk gimana?" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggang. Tapi pelukannya malah semakin erat."Cuma peluk doang, sisanya nanti malam," bisiknya. Ucapan itu justru lebih terdengar seperti ancaman di telinga. Membuatku semakin ketakutan mendengarnya.Selepas makan malam dan anak-anak sudah kembali ke kamarnya, sengaja kusibukkan diri di dapur demi mengulur waktu. Kali aja habis nyuci piring, dia keburu ngantuk dan lupa akan ancamannya siang tadi."Ngapain?" tanyanya sambil berdiri menatapku."Cuci motor.""Ngelucu? Besok 'kan ada Mbak Imah Jan, ayo istirahat!"Ish, istirahat katanya? Aku yakin, kalau sudah masuk perangkapnya, mana bisa istirahat?"Tanggung A, bentar lagi!"Aku sengaja mengulur waktu dan terus menerus membilas piring berkali-kali sampai benar-benar kesat. Dia yang memerhatikan aku sejak tadi, m
Sah!!!" Suara riuh menggema di dalam rumah kedua orangtuaku di kampung, saat penghulu mengesahkan pernikahanku dengan Aa Hadi siang ini, meski hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga yang hadir. Rona bahagia, terpancar jelas di wajah Ibu dan Bapak saat aku melirik ke arah mereka. Sayangnya, kedua orangtua Aa Hadi telah meninggal dunia. Hanya beberapa keluarga inti yang menemaninya sejak pagi tadi.Dengan bergantian, Ranti, Rasyid dan Dini memelukku dengan erat."Terima kasih ya, Mama Jani sudah mau terima Papi," kata Ranti dengan senyum manis dan lesung pipi khas miliknya.Setelah kami semua bersalaman, acara dilanjutkan dengan makan bersama keluarga dan para tetangga. Tidak ada resepsi, karena itu adalah salah satu permintaanku. Semua aku lakukan, karena tidak ingin nantinya Bapak merasa lelah dan terbebani jika harus duduk di kursi roda, di atas pelaminan, dalam waktu yang cukup lama.Bapak memang belum sembuh total. Sehari-harinya, dia bergantung pada kursi roda untuk b
Selain menyaksikan pernikahan Mas Pras dengan Mia, aku sangat mengharapkan kedatangan Aa Hadi dan juga anak-anaknya hari ini.Karena, sejak hari di mana Rasyid tertangkap, aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.Entah karena Aa Hadi sudah lelah menunggu kepastian dariku, atau karena perasaan bersalahnya pada Rasyid, dia tidak mau menemuiku lagi. Berkirim kabar pun juga tidak pernah. Karena itu, dia tidak tahu kalau Bapak sekarang sedang sakit."Mas Pras udah dua kali nikah, Teteh masih sendiri aja. Ngenes atuh, Teh!" goda Anjeli yang sedang mengaduk aduk es krim di tangannya."Ish, ngenes mana sama kamu?" Aku balik menyindirnya.Anjeli lantas memonyongkan bibirnya. Cemberut namun menggemaskan."Anjeli jomlo 'kan karena standar tinggi, Teh!" katanya beralasan."Ya udah, sana cari pasangan kamu dulu! Nanti kalau kamu yang dapet duluan, baru boleh ngeledek Teteh!"Kucubit hidung Anjeli yang menggemaskan. Minimalis, sama sepertiku. Aku tahu, dia sudah memiliki pasangan, tapi d
Benar juga, ke mana Aa Hadi???Segera ku ambil ponsel dan menghubunginya, namun tidak aktif. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia masih ada keperluan lain, tapi setelah menunggu lama, Aa Hadi tak kunjung datang. Karena penasaran dan perasaanku juga mulai tidak enak, aku mencoba menelepon Ranti. Siapa tahu, papinya menghubungi dia.Benar saja, dari Ranti, aku tahu kalau mereka sekarang dalam perjalanan ke Subang. Mereka mendapat kabar, kalau Rasyid ditangkap polisi karena mengkonsumsi barang haram.Ranti juga menyampaikan maaf dari papinya yang langsung pergi tanpa mengabariku lebih dulu. Katanya, dia panik dan tidak bisa berpikir, bahkan untuk sekedar menghubungiku.Tubuhku lemas seketika mendengar penjelasan Ranti. Belum habis rasa bersalahku terhadap Nindy, kini muncul masalah baru yang membuatku menyesal.Apalagi Rasyid adalah anak yang sangat baik dan pendiam.Aku jadi penasaran, masalah apa yang dialami Rasyid, sampai akhirnya anak sebaik dia bisa melewati batas?Apa kar
Tapi ucapan Bapak memang benar, siapa lagi yang bisa aku andalkan saat ini?Aa Hadi adalah satu-satunya orang yang bisa menerima aku dan keluargaku, lalu kurang apalagi?Terus bertahan hidup sendiri karena gengsi, sebagai seorang janda, apa aku bisa?Karena selama ini saja aku masih terus bergantung padanya."Bapak nggak mau maksa Teteh, tapi coba dipikirin lagi ya, Teh. Jangan keras kepala, apalagi gengsi."Bapak menyelesaikan percakapan kami dan berlalu meninggalkan aku yang larut dalam pelukan Ibu."Bener kata Bapak Teh, coba dipikirin lagi!" kata Ibu menambahkan.Setelah menyeka airmata, aku keluar dari kamar Ibu dan masuk ke dalam kamarku untuk menemui Hamdi. Tapi saat pintu kamar dibuka, aku disuguhkan pemandangan yang mengharukan. Di sana, Ranti, Dini, Hamdi dan Anjeli sedang berkumpul. Bahkan mereka sampai menambah kasur di bawah supaya muat tidur berbarengan.Pemandangan seperti ini kembali membuatku bimbang. Keluargaku, juga anak-anak Aa Hadi, seakan tidak ada tembok pemisa
"Nindy sakit Teh, badannya panas nggak turun-turun, jadi Ibu bawa ke rumah sakit!" terang Ibu yang panik di ujung telepon.Baru saja tubuhku hendak diistirahatkan sejenak, kabar dari Ibu memaksaku melupakan segalanya. Pikiranku sekarang tertuju pada Nindy. Apalagi saat terakhir kali video call, dia menangis.Ibu mengatakan, kalau hasil lab, Nindy dinyatakan terkena DBD.Jam di ponsel sudah menunjukan pukul sembilan malam. Bagaimana aku bisa pulang ke kampung di jam segini?Kucoba menghubungi Mas Pras, siapa tahu dia belum terlalu jauh. Sayangnya, Mas Pras tidak menjawab panggilanku. Mungkin karena dia sedang mengendarai sepeda motor.Meski awalnya ragu, mau 'tak mau, lagi-lagi aku harus meminta bantuan Aa Hadi. Karena saat ini, memang hanya dia yang bisa ku andalkan.Tidak butuh waktu lama. Setelah aku menyampaikan padanya, Aa Hadi siap mengantarku ke kampung bersama Ranti dan Dini ikut serta.Perjalanan Jakarta - Sukabumi memakan waktu sekitar tiga jam. Walau kantuk mendera, aku tida
Karena kasihan sama bubur, akhirnya kuceritakan tentang Rini yang sempat salah paham, sampai mengirimkan pesan yang menyakitkan hati."Kenapa nggak cerita? Kebiasaan kamu itu, nyimpen masalah sendiri!" kesal Aa Hadi."Waktu itu mau cerita, tapi 'kan Mia keburu dateng!""Tahu begitu mah, nggak usah dikasih uang!""Ish, kalau ngasih yang ikhlas atuh, A!""Tapi 'kan, dia udah bikin hati kamu sakit?""Kalau mikirnya begitu mah, Aa juga pernah 'kan nyakitin Jani?"Mendengar ucapanku, raut wajah Aa Hadi berubah."Iya deh, Aa nyerah. Jangan bahas masa lalu lagi!"Hmm ... Tuh kan, kalau disentil aja nggak mau!Belum sempat kami menghabiskan bubur, ponsel Aa Hadi berdering."Ada apa, Ran?" "....""Iya, Papi sama Tante Jani pulang.""Kenapa?" tanyaku penasaran, saat Aa Hadi sudah memutuskan sambungan telepon."Ada mantan suami kamu di kontrakan," jelasnya dengan nada ketus.Mas Pras?Mau apa dia ke kontrakan?***"Mana Papanya Hamdi?" tanyaku pada Ranti, begitu sampai di gerbang kontrakan."Ny
Aku bergegas menuju ke dalam pabrik. Di sana, sebagian karyawan sedang berkumpul dan tengah berbisik-bisik. Aku pun mencoba bertanya pada Sita yang baru saja keluar dari kerumunan.Kabar yang kudengar darinya, membuatku terkejut bukan main. Bang Danu dipecat karena ketahuan mencuri tas yang diselundupkan melalui gudang ekspor.Banyak yang menduga, Bang Danu hanya disuruh oleh orang dalam. Karena itu, dia hanya diberhentikan dan kasusnya tidak sampai dilaporkan ke pihak yang berwajib.Mendengar hal itu, aku langsung kepikiran sama Rini. Bagaimana perasaan Rini saat ini? Apalagi, Rini baru saja melahirkan.Selain itu, usia Bang Danu tidak lagi muda. Jika dia diberhentikan sebagai seorang pencuri, sudah pasti tidak akan mendapat uang pesangon. Itu artinya, pengabdiannya selama ini sia-sia akibat kekhilafan semata.Mencari kerja di pabrik serupa, sudah pasti sulit diterima. Selain umurnya tidak lagi muda, Bang Danu pasti sudah masuk daftar hitam. Aku pun berencana menemui Rini sepulang k