Apa dia benar-benar Sarah keponakan Teh Lina? Tapi ... untuk apa dia datang ke sini?Aku sangat yakin dia adalah Sarah, keponakan Teh Lina yang pernah memergoki aku dengan Aa Hadi, juga yang telah menceritakan semuanya pada Teh Lina.Setelah membuka pintu, kupersilahkan dia untuk masuk dan duduk. "Maaf, pasti Teh Jani kaget ya ...." Sarah bicara dengan lembut dan sopan. Beda sekali waktu dia memergoki aku dengan Aa Hadi. Sangar kayak singa. Wajar juga sih, kan Bibinya dikhianatin sama mamangnya!"Iya, memang kaget. Tunggu sebentar ya, Teteh bikin minum dulu!"Tanpa meminta persetujuannya, aku ke dapur untuk membuatkan Sarah minum.Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku. Ada apa Sarah sampai jauh-jauh datang ke sini?Setelah membuatkan segelas Teh hangat, dia memintaku untuk bicara dengan serius.Padahal dari tadi kurang serius apa ini coba?"Apa Bibi sudah bilang sama Teh Jani, kalau dia minta Teteh nikah sama Mamang Hadi?" tanya Sarah sambil meneguk teh manis hangat buatanku. "Uhu
"Bu, bagaimana ini? Apa kita harus menginap atau bagaimana?" Samar-samar kudengar suara Bapak saat aku mulai sadar. Kenapa aku harus pingsan lagi? Padahal aku ingin mengantarkan Teh Lina sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku yakin saat ini dia sudah dikebumikan. "Nanti tanya Anjani dulu Pak, kasihan dia pingsan berkali-kali ...," jawab Ibu. "Bu ...," panggilku pada Ibu. "Teteh udah sadar? Sebentar Ibu bikinin Teh manis, biar kuat ...." Ibu berlari ke dapur meninggalkan aku dan Bapak di sini. "Anak-anak di mana Pak?" "Diajak main sama Dini dan Anjeli. Tadi ... Dini nggak berhenti nangis, tapi setelah main dengan anak kamu, dia bisa melupakan sejenak kesedihannya." Ya, Dini pasti sangat terpukul dengan kepergian maminya. Selain bungsu, selama ini dia sangat bergantung pada Teh Lina. "Bagaimana Teh, kita pulang kapan? Jujur aja, Ibu nggak enak karena banyak saudara mereka di sini. Dari tadi nanya sama Ibu. Ibu 'kan jadi bingung, Teh, mau bilang mantan pacar apa manta
Lalu, ke mana Bapak?Apa Ibu sengaja berbohong agar aku menemui Aa Hadi di sini?Baru saja aku hendak berbalik, Aa Hadi memanggilku."Jani!""Heumm ...."Aku berhenti dan diam sejenak."Aa mau ngomong.""Ngomong aja atuh, A, itu juga lagi ngomong kan?" sahutku ketus."Duduk dulu!" pintanya.Kuturuti permintaan dia untuk duduk dan bersiap mendengarkannya"Kenapa?" Aku penasaran juga."Nikah, yuk!" jawabnya santai."Ish, ngajakin nikah kaya ngajakin main. Nikah itu 'kan bukan buat mainan!" seruku kesal."Terus maunya gimana, yang romantis? Aa kan nanya dulu, takut ditolak!""Belum usaha udah takut duluan, gimana sih?"Mendengar ucapanku, Aa Hadi diam. Mungkin dia kesal mendengarnya."Aa nggak usah usaha macem-macem, Jani cuma bercanda kok!" Aku mencoba meredam suasana. Kasihan mukanya melas begitu gara-gara kesal."Jadi Aa diterima?"Ish, kenapa matanya jadi membulat dan tampak bersinar-sinar begitu?"Nggak!" Mataku spontan meliriknya dan wajahnya kembali melas, mungkin dia bingung.
"Kenapa sih, Teteh enggak terima saja lamaran si Aa? Kan, Teteh nggak perlu capek-capek kerja dan ninggalin anak-anak?"Duh Ibu, kenapa juga harus membahas ini lagi?"Jani belum bisa Bu ... Ibu mengerti kan?" Ibu mengangguk mengerti. Sementara Bapak yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan kami, malah meledekku dengan menyanyikan sebaris lagu."Pikir-pikir daripada, kumelamar kerja, lebih baik aku dilamar lagi!" Bapak sampai terkekeh menyanyikan lagu yang liriknya telah diubah itu.Besoknya, pagi-pagi sekali aku sudah sampai di Jakarta dan langsung menuju pabrik.Setelah interview selesai, aku pun dinyatakan diterima. Dan katanya, aku sudah bisa berkerja mulai besok.Karena sudah dipastikan diterima, aku langsung mencari kontrakan yang bisa di tempati.Tadinya sih, maunya dekat sama Rini. Tapi menurutnya, di kontrakan tempat dia tinggal sudah penuh semua. Setelah itu, aku mencoba menelepon Ina. Dia pun menyarankan, agar aku pergi mencari kontrakan milik Babe Hans, tidak jauh d
Aa Hadi???Ngapain dia nongol dan ikutan tinggal di sini juga?Ya Allah ... Jani mimpi atau nggak sih?Di dalam hati aku mengomel tak hentinya. Menatap kesal Aa Hadi yang berdiri dengan senyum penuh kemenangan, di belakang Babe Hans."Ini Neng Jani A, dia juga baru pindah di sini kemarin. Neng, ini Aa Hadi, udah sendiri juga kaya Neng Jani. Akur-akur ya, kali aja jodoh!" kata Babe Hans memperkenalkan.Duh Beh, ini mah nggak usah dikenalin, Jani udah hapal betul sama kelakuannya!Tapi apa kata Babe tadi? Jodoh? Ini mah maksa namanya atuh! Udah pergi jauh-jauh malah disamperin!Aku memilih diam dan tidak menjawab ucapan Babe Hans. Rasa sakit yang tadi menjalar di kaki, langsung pindah ke otak. Mumet rasanya!Kenapa bisa sih, dia ikut pindah ke sini?Maksa banget gitu, sampai jauh-jauh ke Jakarta.Terus kerjanya dia gimana?Anak-anaknya juga, apa mereka ditinggal tanpa pengawasan?Ish, dasar semprul, sudah tua masih juga egois. Bisanya cuma mikirin diri sendiri!Lagi pula, kenapa juga di
Ini adalah pertanyaan yang paling menggangguku sejak tadi. Rasanya egois aja gitu, kalau dia sampai tinggalin anak-anaknya."Anak-anak milih tinggal sama neneknya di kampung. Kasihan kalau sama Aa nggak ada yang ngerawat. Tapi kalau Jani mau jadi Ibunya, mereka pasti balik lagi kok!"Ish, mulai lagi! Tapi kok aku malah sedih ya dengernya? Terbayang wajah Ranti, Rasyid dan Dini. Apalagi si bungsu Dini yang masih suka manja sama maminya dulu."Terus Aa ngapain pindah ke sini, emang nggak kerja?""Kerjalah ... kan Aa bisa berangkat lebih pagi dari sini.""Duh A, Jakarta Bogor itu lumayan jauh loh! Lagipula, Jani itu bukan anak kecil. Jani itu—"TutTutTutPanggilan telepon terputus. Mungkin dia kesal mendengar ocehanku. Ish, kebiasaan! baru di ceramahin sebentar aja udah nyerah! Gimana kalau udah jadi suami???[Aa tidur dulu ya, ngantuk. Kalau masih kangen, besok aja lanjutin!]Dih, kegeeran! Siapa juga yang kangen mantan semprul begitu?***Gara-gara semalaman nggak bisa tidur nahan ka
"Mama!""Mama!"Teriakan Nindy dan Hamdi bergantian memanggilku. Tapi wajah si bungsu langsung berubah murung, lalu menangis setelah menyadari wajahku yang ada di layar ponsel Anjeli.Maafkan Mama Nak! Tidak tega rasanya melihat mereka."Hamdi nggak boleh nangis, hari Sabtu Mama pulang ya sayang!" bujukku. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Aku menyesal karena sudah menghubungi mereka dan malah membuat keduanya menangis melihatku."Enggak usah VC Bu, Jani nggak kuat!"Aku melambaikan tangan. Rasanya lebih dari uji nyali ini mah!Kumatikan panggilan video dan menggantinya dengan panggilan suara."Ibu kenapa kasih tau Aa Hadi, kalau Jani pindah ke sini?" tanyaku pada Ibu, masih dengan suara terisak. Kudengar, suara Hamdi juga masih menangis memangggilku."Maaf Teh, dia ke sini waktu Teteh lagi ngelamar kerja. Ibu nggak bisa bohong," jelas Ibu."Apa Ibu tau kalau Aa Hadi ikut pindah ke sini?""Ah, masa si Teh?"Dari suaranya, aku yakin, Ibu pura-pura tidak tahu."Bener Bu, Jani aja—""Ya u
Mia???Ngapain juga dia sampai nyusul ke sini? Baru juga mau bilang, kalau aku mau ketawa gara-gara melihat sikap Mia pada Aa Hadi, eh orangnya malah nongol duluan!Sinyalnya kuat kayaknya, tau aja mau digibahin!Ish ... Mia nggak tau apa, kalau aku sangat merindukan saat-saat berdua sama Aa Hadi seperti ini?Bisa bicara dari hati ke hati sambil mengenang masa lalu.Aku tau aku salah. Membohongi diri hanya karena gengsi. Alih-alih merasa tidak ingin mengkhianati persahabatan dengan Teh Lina, kenyataannya aku malah merasa semakin nyaman berada di dekat Aa Hadi lagi.Tapi si ulet keket ini malah menggagalkan semuanya. Hiks!"Mi, ada apa?" tanya Aa Hadi dengan lembut.Malah aku yang gemas melihat janda kembang yang cantik itu, sampai rela menyusul kami ke sini, demi ingin berdekatan dengan Aa Hadi.Mia tidak menjawab dan seperti tidak peduli apapun. Dia malah nyempil, duduk di tengah-tengah kami, dan membuatku harus bergeser sedikit.Hidung minimalis-ku sontak mencium aroma minyak wangi
Kata orang, menikah dengan lelaki yang tepat akan menjadikan seorang wanita seperti Ratu dan terus merasa bahagia. Aku tahu, meskipun pernikahan pertamaku dengan Mas Pras telah gagal, banyak hikmah yang bisa kuambil untuk dijadikan pelajaran.Begitu juga dengan masa lalu Aa Hadi. Tapi kenapa sekarang ini, aku malah terus dihantui rasa takut? Selain pernah dikhianati Mas Pras, awal perkenalanku dengan Aa Hadi diwarnai kebohongan. Selingkuh dari wanita sebaik Teh Lina, dengan dalih korban perjodohan orangtua.Menikah dengan Aa Hadi pun, pernah menjadi impianku belasan tahun yang lalu. Namun, semuanya sirna, setelah dua tahun lebih kami menjalin hubungan. Pacar dengan usia yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu ternyata sudah memiliki keluarga. Aku lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.Namun, takdir berkata lain. Sebelas tahun kemudian, kami kembali dipertemukan sebagai tetangga.Setelah menjalani lika-liku jadi tetangga mantan, Allah mentakdirkan kami berjodoh.Sosok Aa
Seperti dejavu, aku pernah merasakan ini dulu. Bedanya kali ini beneran, bukan kaki Nindy lagi seperti waktu itu."Cicing(diam) atuh A, ada anak-anak! Kalau mereka tiba-tiba masuk gimana?" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggang. Tapi pelukannya malah semakin erat."Cuma peluk doang, sisanya nanti malam," bisiknya. Ucapan itu justru lebih terdengar seperti ancaman di telinga. Membuatku semakin ketakutan mendengarnya.Selepas makan malam dan anak-anak sudah kembali ke kamarnya, sengaja kusibukkan diri di dapur demi mengulur waktu. Kali aja habis nyuci piring, dia keburu ngantuk dan lupa akan ancamannya siang tadi."Ngapain?" tanyanya sambil berdiri menatapku."Cuci motor.""Ngelucu? Besok 'kan ada Mbak Imah Jan, ayo istirahat!"Ish, istirahat katanya? Aku yakin, kalau sudah masuk perangkapnya, mana bisa istirahat?"Tanggung A, bentar lagi!"Aku sengaja mengulur waktu dan terus menerus membilas piring berkali-kali sampai benar-benar kesat. Dia yang memerhatikan aku sejak tadi, m
Sah!!!" Suara riuh menggema di dalam rumah kedua orangtuaku di kampung, saat penghulu mengesahkan pernikahanku dengan Aa Hadi siang ini, meski hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga yang hadir. Rona bahagia, terpancar jelas di wajah Ibu dan Bapak saat aku melirik ke arah mereka. Sayangnya, kedua orangtua Aa Hadi telah meninggal dunia. Hanya beberapa keluarga inti yang menemaninya sejak pagi tadi.Dengan bergantian, Ranti, Rasyid dan Dini memelukku dengan erat."Terima kasih ya, Mama Jani sudah mau terima Papi," kata Ranti dengan senyum manis dan lesung pipi khas miliknya.Setelah kami semua bersalaman, acara dilanjutkan dengan makan bersama keluarga dan para tetangga. Tidak ada resepsi, karena itu adalah salah satu permintaanku. Semua aku lakukan, karena tidak ingin nantinya Bapak merasa lelah dan terbebani jika harus duduk di kursi roda, di atas pelaminan, dalam waktu yang cukup lama.Bapak memang belum sembuh total. Sehari-harinya, dia bergantung pada kursi roda untuk b
Selain menyaksikan pernikahan Mas Pras dengan Mia, aku sangat mengharapkan kedatangan Aa Hadi dan juga anak-anaknya hari ini.Karena, sejak hari di mana Rasyid tertangkap, aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.Entah karena Aa Hadi sudah lelah menunggu kepastian dariku, atau karena perasaan bersalahnya pada Rasyid, dia tidak mau menemuiku lagi. Berkirim kabar pun juga tidak pernah. Karena itu, dia tidak tahu kalau Bapak sekarang sedang sakit."Mas Pras udah dua kali nikah, Teteh masih sendiri aja. Ngenes atuh, Teh!" goda Anjeli yang sedang mengaduk aduk es krim di tangannya."Ish, ngenes mana sama kamu?" Aku balik menyindirnya.Anjeli lantas memonyongkan bibirnya. Cemberut namun menggemaskan."Anjeli jomlo 'kan karena standar tinggi, Teh!" katanya beralasan."Ya udah, sana cari pasangan kamu dulu! Nanti kalau kamu yang dapet duluan, baru boleh ngeledek Teteh!"Kucubit hidung Anjeli yang menggemaskan. Minimalis, sama sepertiku. Aku tahu, dia sudah memiliki pasangan, tapi d
Benar juga, ke mana Aa Hadi???Segera ku ambil ponsel dan menghubunginya, namun tidak aktif. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia masih ada keperluan lain, tapi setelah menunggu lama, Aa Hadi tak kunjung datang. Karena penasaran dan perasaanku juga mulai tidak enak, aku mencoba menelepon Ranti. Siapa tahu, papinya menghubungi dia.Benar saja, dari Ranti, aku tahu kalau mereka sekarang dalam perjalanan ke Subang. Mereka mendapat kabar, kalau Rasyid ditangkap polisi karena mengkonsumsi barang haram.Ranti juga menyampaikan maaf dari papinya yang langsung pergi tanpa mengabariku lebih dulu. Katanya, dia panik dan tidak bisa berpikir, bahkan untuk sekedar menghubungiku.Tubuhku lemas seketika mendengar penjelasan Ranti. Belum habis rasa bersalahku terhadap Nindy, kini muncul masalah baru yang membuatku menyesal.Apalagi Rasyid adalah anak yang sangat baik dan pendiam.Aku jadi penasaran, masalah apa yang dialami Rasyid, sampai akhirnya anak sebaik dia bisa melewati batas?Apa kar
Tapi ucapan Bapak memang benar, siapa lagi yang bisa aku andalkan saat ini?Aa Hadi adalah satu-satunya orang yang bisa menerima aku dan keluargaku, lalu kurang apalagi?Terus bertahan hidup sendiri karena gengsi, sebagai seorang janda, apa aku bisa?Karena selama ini saja aku masih terus bergantung padanya."Bapak nggak mau maksa Teteh, tapi coba dipikirin lagi ya, Teh. Jangan keras kepala, apalagi gengsi."Bapak menyelesaikan percakapan kami dan berlalu meninggalkan aku yang larut dalam pelukan Ibu."Bener kata Bapak Teh, coba dipikirin lagi!" kata Ibu menambahkan.Setelah menyeka airmata, aku keluar dari kamar Ibu dan masuk ke dalam kamarku untuk menemui Hamdi. Tapi saat pintu kamar dibuka, aku disuguhkan pemandangan yang mengharukan. Di sana, Ranti, Dini, Hamdi dan Anjeli sedang berkumpul. Bahkan mereka sampai menambah kasur di bawah supaya muat tidur berbarengan.Pemandangan seperti ini kembali membuatku bimbang. Keluargaku, juga anak-anak Aa Hadi, seakan tidak ada tembok pemisa
"Nindy sakit Teh, badannya panas nggak turun-turun, jadi Ibu bawa ke rumah sakit!" terang Ibu yang panik di ujung telepon.Baru saja tubuhku hendak diistirahatkan sejenak, kabar dari Ibu memaksaku melupakan segalanya. Pikiranku sekarang tertuju pada Nindy. Apalagi saat terakhir kali video call, dia menangis.Ibu mengatakan, kalau hasil lab, Nindy dinyatakan terkena DBD.Jam di ponsel sudah menunjukan pukul sembilan malam. Bagaimana aku bisa pulang ke kampung di jam segini?Kucoba menghubungi Mas Pras, siapa tahu dia belum terlalu jauh. Sayangnya, Mas Pras tidak menjawab panggilanku. Mungkin karena dia sedang mengendarai sepeda motor.Meski awalnya ragu, mau 'tak mau, lagi-lagi aku harus meminta bantuan Aa Hadi. Karena saat ini, memang hanya dia yang bisa ku andalkan.Tidak butuh waktu lama. Setelah aku menyampaikan padanya, Aa Hadi siap mengantarku ke kampung bersama Ranti dan Dini ikut serta.Perjalanan Jakarta - Sukabumi memakan waktu sekitar tiga jam. Walau kantuk mendera, aku tida
Karena kasihan sama bubur, akhirnya kuceritakan tentang Rini yang sempat salah paham, sampai mengirimkan pesan yang menyakitkan hati."Kenapa nggak cerita? Kebiasaan kamu itu, nyimpen masalah sendiri!" kesal Aa Hadi."Waktu itu mau cerita, tapi 'kan Mia keburu dateng!""Tahu begitu mah, nggak usah dikasih uang!""Ish, kalau ngasih yang ikhlas atuh, A!""Tapi 'kan, dia udah bikin hati kamu sakit?""Kalau mikirnya begitu mah, Aa juga pernah 'kan nyakitin Jani?"Mendengar ucapanku, raut wajah Aa Hadi berubah."Iya deh, Aa nyerah. Jangan bahas masa lalu lagi!"Hmm ... Tuh kan, kalau disentil aja nggak mau!Belum sempat kami menghabiskan bubur, ponsel Aa Hadi berdering."Ada apa, Ran?" "....""Iya, Papi sama Tante Jani pulang.""Kenapa?" tanyaku penasaran, saat Aa Hadi sudah memutuskan sambungan telepon."Ada mantan suami kamu di kontrakan," jelasnya dengan nada ketus.Mas Pras?Mau apa dia ke kontrakan?***"Mana Papanya Hamdi?" tanyaku pada Ranti, begitu sampai di gerbang kontrakan."Ny
Aku bergegas menuju ke dalam pabrik. Di sana, sebagian karyawan sedang berkumpul dan tengah berbisik-bisik. Aku pun mencoba bertanya pada Sita yang baru saja keluar dari kerumunan.Kabar yang kudengar darinya, membuatku terkejut bukan main. Bang Danu dipecat karena ketahuan mencuri tas yang diselundupkan melalui gudang ekspor.Banyak yang menduga, Bang Danu hanya disuruh oleh orang dalam. Karena itu, dia hanya diberhentikan dan kasusnya tidak sampai dilaporkan ke pihak yang berwajib.Mendengar hal itu, aku langsung kepikiran sama Rini. Bagaimana perasaan Rini saat ini? Apalagi, Rini baru saja melahirkan.Selain itu, usia Bang Danu tidak lagi muda. Jika dia diberhentikan sebagai seorang pencuri, sudah pasti tidak akan mendapat uang pesangon. Itu artinya, pengabdiannya selama ini sia-sia akibat kekhilafan semata.Mencari kerja di pabrik serupa, sudah pasti sulit diterima. Selain umurnya tidak lagi muda, Bang Danu pasti sudah masuk daftar hitam. Aku pun berencana menemui Rini sepulang k