Gegas aku beranjak dan membuka pintu. Aku sengaja tidak menyahut lebih dulu agar Hamdi tidak terbangun.
"Wa'alaikumusalam, ada apa Teh?" tanyaku pada Teh Lina yang datang dengan kantong plastik berwarna putih di tangannya.
"Ini, Papinya anak-anak bawa anggur hijau banyak, Teteh bagi dua sama kamu. Kamu doyan nggak?"
Mataku berbinar-binar mendengarnya. Setelah kresek itu berpindah tangan, kuperkirakan ada sekitar dua kilogram anggur di dalamnya. Sudah lama sekali tidak makan buah kesukaanku itu. Selain mahal, tidak ada yang suka selain aku di rumah.
"Ya ampun Teh, Jani doyan banget. Ternyata A—"
"Apa, Neng?" Teh Lina memicing.
Duh, hampir aja keceplosan!
"Anu Teh, kok bisa banyak begini? Kan harganya mahal?" Aku mencoba mengalihkan.
"Katanya sih, temennya lagi panen anggur. Makanya Papi dikasih banyak, bukan beli!" jelasnya.
"Alhamdulillah ya Teh, Jani kebagian rezekynya Teteh!" kataku dengan mata berbinar.
Ah, aku jadi merasa bersalah sama Teh Lina. Ini pasti ulah Aa Hadi yang sengaja beli anggur banyak buat kasih ke aku. Dulu kan, dia tahu betul kalau aku suka banget makan anggur hijau.
Atau hanya aku yang kegeeran?Setelah mengucap terima kasih, Teh Lina langsung pulang. Tak lupa juga, sempat-sempatnya dia mengomentari dasterku yang sudah robek ini sebelum pergi.
Meski sedikit kesal, sekarang aku mulai mengenal setiap maksud ucapan Teh Lina.
Setelah satu minggu tinggal di sini, aku mulai memahami karakter Teh Lina. Dia itu sebenarnya sangat perhatian sama orang lain. Hanya saja cara dia bicara suka enggak disaring dulu. Ceplas-ceplos begitu.
Misal saja saat dia bilang aku bau belum mandi, dia akan bawa anak-anakku main di rumahnya supaya aku bisa melanjutkan tugas dan cepat mandi.
Atau dia yang selalu pamer masakan enaknya, padahal niatnya dia itu mau kasih sayur supaya aku enggak usah masak.
Ah, Teh ... seandainya kamu tahu yang sebenarnya, apakah kamu akan tetap bersikap baik padaku?
"Siapa Ma?" tanya Mas Pras yang melihatku datang dengan kantong plastik berisi anggur. Segera kukeluarkan buah kecil yang kulitnya tampak berkilau dan menggodaku untuk segera memakannya itu.
"Teh Lina nganterin ini, katanya suaminya bawa banyak, Pa!"
"Duh bahagia banget kayaknya. Udah lama Papa enggak beliin anggur ya, Ma!"
Mas Pras malah basa-basi.
"Iya udah lama banget. Terakhir pas hamil Nindy, itupun karena Papa takut anak pertama kita ileran. Hamil Hamdi aja Papa udah nggak mau beliin!" dengusku kesal.
"Ekh kok jadi nge-gas? Kita kan, harus nabung Ma, biar punya rumah sendiri. Jadi kalau Papa tugasnya dipindahin lagi ke tempat lain, kalian nggak usah ikut Papa."
"Iya, iya ...." Aku manut saja. Urusan keuangan memang Mas Pras yang pegang. Aku hanya pegang untuk belanja sehari-hari. Karena itu aku enggak bisa beli peralatan pribadi sesuka hatiku seperti Teh Lina. Dan Mas Pras itu, termasuk orang yang pintar menyimpan uang. Bagaimana ya? Maksudnya sih, aku mau bilang pelit gitu!
Dia itu terlalu terobsesi memiliki rumah tanpa mau ambil KPR. Makanya, dia rajin sekali menabung hampir lima puluh persen dari gajinya.
Mas Pras yang tahu aku boros dan suka jajan, dia tidak mau memercayakan lagi gajinya padaku. Dulu waktu awal menikah, aku sempat pegang seluruh gajinya, tapi belum pertengahan bulan, malah sudah habis.
Sekarang, Mas Pras kasih jatah harian. Kalau ada sisa, baru bisa kutabung untuk skin care atau beli daster. Tapi lebih sering, uang yang kukumpulkan itu, jatuhnya untuk kebutuhan anak-anak.
Seperti saat uang sudah terkumpul. Eh, pas mau beli skin care malah minyak telon dan diapers anakku habis. Ya sudahlah kutunda dulu beli skin care dan lebih memilih minyak telon.Atau saat ada uang untuk beli piyama kekinian, Nindy nangis kelojotan karena temannya beli mainan baru. Ya sudah, daripada nangis enggak berhenti, uang untuk beli piyama kualihkan untuk mainan Nindy.
"Enak ya?" tanya Mas Pras yang memperhatikan aku makan anggur dan nggak berhenti sejak tadi.
Dia menatap wajahku tanpa berpaling. Kupikir, mungkin dia merasa tidak enak hati, karena istrinya bisa sampai seperti orang kelaparan saat mendapatkan anggur hijau.
"Enak, kan aku emang suka!" jawabku santai.
"Kok bisa pas banget ya, Pak Hadi bawanya anggur hijau?"
"Uhuk!"
Glekk
"Makannya pelan-pelan, Ma! Tuh, jadi keselek kan? Udah ah, Papa mau tidur, ngantuk!" kata Mas Pras sambil beranjak pergi meninggalkanku yang masih keselek biji anggur.
Duh, Mas kenapa enggak ambilin minum dulu, gitu?
***
Besoknya saat aku tengah sibuk di dapur, terdengar suara dari luar.
"Permisi pakeeeetttt!!!"Segera kuintip dari jendela, kalau-kalau dia bukan kesini, melainkan ke rumah Teh Lina. Tapi abang kurir memang berdiri di depan pagar kontrakan.
Segera kuambil mukena supaya cepat, sambil terus berpikir.
Paket? Paket apa? Siapa yang pesan paket? Aplikasinya saja sudah kuhapus karena membuat RAM ponselku yang penuh itu lemot.
Mas Pras? Rasanya tidak mungkin. Mas Pras pemegang teguh tidak mau belanja online. Selain takut khilaf, lebih baik beli langsung. Walau harga beda sedikit, kalau tidak puas bisa ditukar lagi katanya.
"Ya Pak?" tanyaku enggak yakin.
"Ibu Anjani?"
"Iya?" Kuterima paket sebesar kardus mie instan itu. Besar sekali, apa isinya?
"Sudah dibayar, Pak?"
"Sudah Bu!"
"Terima kasih ya, Pak!"
Segera kututup pintu, karena khawatir si abang kurir berubah pikiran dan mengambil paketku lagi.
Seumur-umur, ini kali ketiga ku dapat paket. Makanya, takkan ku biarkan barang ini berpindah tangan lagi.Mataku lalu tertuju pada nama si pengirim.
"Elvy Sukaesih?"
"Elvy Sukaesih?" bisikku.Sukaesih itu nama ibuku di kampung. Tapi yang suka menambahkan nama Elvy di depannya ....?Aa Hadi???Mataku sampai melotot, saat ingat kalau dialah yang sering menambahkan nama belakang ibu. Jadi, apa benar paket kiriman paket ini dari Aa Hadi?Segera kubuka paket itu karena penasaran sekali dengan isinya. Setelah dibuka, isinya adalah daster model kekinian. Ada sekitar delapan stel daster terusan dengan bau khas pakaian baru dari plastik pembungkusnya."Daster? Banyak banget?" gumamku sambil terus melihat isi di dalamnya.Kucari lagi data pengirim pada plastik pembungkus paket. Di sana tertera nomor handphone-nya.Aku mulai curiga lagi. Kalau benar ibuku yang mengirim, mana ada dia punya handphone? Karena dia tetap tidak bisa menggunakannya meski telah diajari adikku, Anjeli berkali-kali. Segera kuambil ponsel dan menghubungi nomor itu."Halo?" tanyaku sedikit ragu."Halo, ini pasti Anjani. Sudah terima paket dari Aa?" sahut suara di ujung telepon.GlekkB
Siang itu setelah selesai cuci piring dan masak, akhirnya seluruh pekerjaanku kelar juga. Kulanjut mandi sebelum menjemput Nindy dan Hamdi dari rumah Teh Lina, rumah mantan pacarku. Kalau aku kesana sebelum mandi, bisa-bisa Teh Lina ngomel-ngomel lagi nanti.Semenjak tinggal berdekatan dengan Teh Lina, pekerjaanku lebih cepat selesai. Dia akan dengan senang hati menawarkan diri mengajak kedua anakku bermain di rumahnya.Selain suka anak kecil, Teh Lina juga tidak mengerjakan apa-apa lagi. Karena dia memiliki ART yang pulang pergi untuk membantu tugas berat seperti mencuci dan yang lainnya.Pejerjaan Teh Lina hanya masak di pagi dan sore hari.Selesai mandi, segera aku bergegas ke rumahnya untuk menjemput anakku. Tapi baru sampai teras, dia keluar sendiri dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya."Hamdi sama Nindy tidur Neng, sini masuk dulu ...!" ajak Teh Lina.Aku mau masuk tapi ragu. Meski sudah akrab dan Teh Lina sering bolak-balik, tapi belum sekalipun aku masuk ke dalam rumah
"Ma, ini pakaian siapa banyak banget. Mama jualan?" tanya Mas Pras saat mendapati dua tumpuk daster di keranjang baju. Padahal sudah kusembunyikan, tapi dia tetap tahu."Punya aku Pa, sebagian dikasih Teh Lina. Sebagian dikirim dari Ibu ....""Alhamdulillah, berarti tahun ini nggak usah beli daster ya, Ma? Bisa dialihkan ke yang lain kan?" celotehnya kegirangan, tanpa rasa bersalah sedikitpun."Ya ampun Pa, udah beli baju sama daster setahun sekali, masa mau dihapus juga. Berarti lebaran ini, ya aku beli gamis dua dong, Pa!" gerutuku sebal.Kesal sekali dengan sifatnya yang terlalu hitung-hitungan itu. Andai saja dia tahu, siapa yang memberi daster baru itu, apa dia akan sadar, kalau aku lebih berharga di mata lelaki lain?Kutinggalkan Mas Pras ke dalam kamar. Dia tahu, marahku adalah diam. Jika diganggu akan semakin lama aku mendiaminya. Makanya, dia takkan berani bicara lagi.Kenapa akhir-akhir ini aku selalu kesal dengan sikap suamiku?Padahal, dulu aku tak pernah masalah, selama d
"Jadi daster itu bukan Ibu yang kirim?" Pertanyaan Mas Pras semakin membuatku gugup."Bukan, Pras!""Coba atuh Neng, dilihat lagi nama pengirimnya!" titah Teh Lina."Bagaimana ya Teh, mana plastiknya sudah Jani buang?" kataku beralasan. "Kalau paket nyasar, bisa bahaya Ma! Bagaimana kalau diminta ganti rugi karena sudah buka paket?"Lagi-lagi Mas Pras bikin aku kesal. Udah tau aku lagi marah, tetap saja pelitnya keluar!"Mama kan, nggak tahu, Pa!""Makanya Ma, jangan asal buka. Aplikasinya aja nggak punya!"Ck, lihat aja, setelah Ibu pulang nanti. Akan ku tambah diamku selama sebulan, biar tau rasa! dengkusku kesal.Gara-gara paket dari Aa Hadi, malam harinya, aku sampai tidak bisa tidur. Selain Mas Pras terlihat curiga, aku juga kepikiran karena belum bisa bicara mengenai Aa Hadi pada Ibu.Dan Mas Pras, lelaki disampingku itu terus mewanti-wanti agar aku tidak menggunakan daster itu dulu, selama satu bulan.Huh! Takut banget kena denda dan disuruh bayar sepertinya!Kulirik jam di di
"Jani udah hubungi Mas Pras, tunggu dulu ya Bu!" kataku pada Ibu agar dia merasa tenang. Padahal, Mas Pras belum membaca pesanku sama sekali, masih centang satu. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia sulit sekali dihubungi."Deuh Teh, hese (susah) ya, enggak punya tetangga mah. Sekalinya punya, ada bonus masa lalunya!" sindir Ibu penuh kemenangan.Aku diam saja mendengar celoteh Ibu, sambil terus menepuk punggung Hamdi yang kegerahan karena kipas angin yang mati.Kulihat juga Nindy mulai tak nyaman, mungkin gerah juga. Ibu dengan sigap membuka pintu dan jendela yang tadi kututup rapat agar ada udara segar yang masuk."Assalamualaikum ...." Teh Lina pagi ini datang sambil menyodorkan sepiring makanan yang dibuatnya. Kali ini, dia buat kue lupis ketan ."Waalaikumusalam ...," jawabku sambil mengambil piring dari tangan Teh Lina. Karena seringnya dia mengantar makanan, aku jadi tidak basa-basi lagi dan langsung menampi (menerima) pemberiannya."Belum mandi Neng?" tanyanya, lengkap dengan lir
Dua jam sudah Ibu pergi dengan Aa Hadi dan belum juga kembali. Selesai mandi, aku hanya bermain dengan Nindy dan Hamdi.Kata Teh Lina, aku enggak perlu masak. Dia sengaja bikin makan siang yang banyak biar kami bisa ikut mencicipinya.Ah, Teh Lina ... aku hanya bisa berdoa semoga kamu selalu sehat dan bahagia. Dan rahasia ini, tetaplah menjadi rahasia kami, agar Teteh tidak merasakan sakit hati lagi, batinku.Tak lama, suara derum mobil Aa Hadi terdengar jelas. Beberapa saat kemudian, Ibu datang membawa beberapa paper bag. Gegas kukunci pintu untuk sementara waktu, karena aku kelewat penasaran dengan apa yang terjadi pada mereka selama perjalanan.Setelah itu, kami masuk ke dalam kamar belakang, lalu Ibu pun mulai bercerita.Kata Ibu, Aa Hadi tak hentinya meminta maaf padanya. Seperti yang dia ceritakan, kalau dia dulu tidak mencintai istrinya.Berarti sekarang udah cinta atuh? Duh A, Jani patah hati boleh enggak?Selain itu, Ibu juga bercerita panjang lebar mengenai apa saja yang ter
"Mana Ibu tahu? Ibu cuma tahunya kamu teriak aja," kata Ibu.Syukurlah, pikirku. Ibu tak perlu tahu apa yang terjadi dalam rumah tanggaku. Segera kuturuti permintaan Ibu, agar dia tetap nyaman berada disini.***Dengan berat hati, kuturuti permintaan Ibu agar aku bisa menyelesaikan masalah dengan Mas Pras malam ini juga.Tentu saja, dia cukup terkejut melihatku kembali. Karena selama ini, kalau aku marah bisa lama dan mendiami-nya sampai berhari-hari."Maafkan Papa ya Ma ... Papa kan cuma mau—""Udah enggak usah ngomong yang bikin aku tambah kesal. Lain kali saja bahasnya. Aku mau tidur, jangan lupa besok uang dilebihin!"Sengaja kusela ucapan suamiku. Biasanya dia hanya minta maaf dan tetap tidak mau menerima kalau dia memang salah. Karena itulah, lebih baik kusela pembicaraannya daripada aku tambah kesal.Menjelang siang, kuantarkan beberapa bungkus pepes ikan mas ke rumah Teh Lina sebagai ucapan terima kasih atas bantuan dia dan suaminya.Menurut Teh Lina, suaminya pasti senang sek
Kesal rasanya ketika permintaanku ditolak. Padahal kan, aku hanya mencoba menghindar dari godaan mantan. Rasanya gemas melihat sikap suamiku ini. Nanti kalau aku benar-benar tergoda, awas saja menyesal, gerutuku dalam hati. Aku lalu beranjak ke tempat tidur dan berbaring di samping anak-anakku. Percuma saja kalau pembicaraan ini masih dilanjutkan, yang ada malah kami akan bertengkar lagi. Sedangkan, ada hati yang harus aku pikirkan di sini, ada Ibu.***Keesokan harinya, Bapak dan Anjeli adikku datang untuk menghadiri hajatan saudara, sekaligus menjemput Ibu. Mas Pras sengaja berangkat lebih siang, agar bisa menyambut mereka.Jauh hari, sudah kukirimkan pesan pada Anjeli mengenai Aa Hadi, agar dia ikut mewanti-wanti Bapak. Tapi sepertinya, Bapak juga rindu dengan Aa Hadi. Kulihat beberapa kali dia berpura-pura membuang abu rokok ke depan meski telah disediakan asbak."Bolak-balik terus Pak? Anjel pusing nih, mana lagi ngerjain tugas!" sungut adikku yang sibuk dengan laptopnya."Bapak
Kata orang, menikah dengan lelaki yang tepat akan menjadikan seorang wanita seperti Ratu dan terus merasa bahagia. Aku tahu, meskipun pernikahan pertamaku dengan Mas Pras telah gagal, banyak hikmah yang bisa kuambil untuk dijadikan pelajaran.Begitu juga dengan masa lalu Aa Hadi. Tapi kenapa sekarang ini, aku malah terus dihantui rasa takut? Selain pernah dikhianati Mas Pras, awal perkenalanku dengan Aa Hadi diwarnai kebohongan. Selingkuh dari wanita sebaik Teh Lina, dengan dalih korban perjodohan orangtua.Menikah dengan Aa Hadi pun, pernah menjadi impianku belasan tahun yang lalu. Namun, semuanya sirna, setelah dua tahun lebih kami menjalin hubungan. Pacar dengan usia yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu ternyata sudah memiliki keluarga. Aku lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.Namun, takdir berkata lain. Sebelas tahun kemudian, kami kembali dipertemukan sebagai tetangga.Setelah menjalani lika-liku jadi tetangga mantan, Allah mentakdirkan kami berjodoh.Sosok Aa
Seperti dejavu, aku pernah merasakan ini dulu. Bedanya kali ini beneran, bukan kaki Nindy lagi seperti waktu itu."Cicing(diam) atuh A, ada anak-anak! Kalau mereka tiba-tiba masuk gimana?" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggang. Tapi pelukannya malah semakin erat."Cuma peluk doang, sisanya nanti malam," bisiknya. Ucapan itu justru lebih terdengar seperti ancaman di telinga. Membuatku semakin ketakutan mendengarnya.Selepas makan malam dan anak-anak sudah kembali ke kamarnya, sengaja kusibukkan diri di dapur demi mengulur waktu. Kali aja habis nyuci piring, dia keburu ngantuk dan lupa akan ancamannya siang tadi."Ngapain?" tanyanya sambil berdiri menatapku."Cuci motor.""Ngelucu? Besok 'kan ada Mbak Imah Jan, ayo istirahat!"Ish, istirahat katanya? Aku yakin, kalau sudah masuk perangkapnya, mana bisa istirahat?"Tanggung A, bentar lagi!"Aku sengaja mengulur waktu dan terus menerus membilas piring berkali-kali sampai benar-benar kesat. Dia yang memerhatikan aku sejak tadi, m
Sah!!!" Suara riuh menggema di dalam rumah kedua orangtuaku di kampung, saat penghulu mengesahkan pernikahanku dengan Aa Hadi siang ini, meski hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga yang hadir. Rona bahagia, terpancar jelas di wajah Ibu dan Bapak saat aku melirik ke arah mereka. Sayangnya, kedua orangtua Aa Hadi telah meninggal dunia. Hanya beberapa keluarga inti yang menemaninya sejak pagi tadi.Dengan bergantian, Ranti, Rasyid dan Dini memelukku dengan erat."Terima kasih ya, Mama Jani sudah mau terima Papi," kata Ranti dengan senyum manis dan lesung pipi khas miliknya.Setelah kami semua bersalaman, acara dilanjutkan dengan makan bersama keluarga dan para tetangga. Tidak ada resepsi, karena itu adalah salah satu permintaanku. Semua aku lakukan, karena tidak ingin nantinya Bapak merasa lelah dan terbebani jika harus duduk di kursi roda, di atas pelaminan, dalam waktu yang cukup lama.Bapak memang belum sembuh total. Sehari-harinya, dia bergantung pada kursi roda untuk b
Selain menyaksikan pernikahan Mas Pras dengan Mia, aku sangat mengharapkan kedatangan Aa Hadi dan juga anak-anaknya hari ini.Karena, sejak hari di mana Rasyid tertangkap, aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.Entah karena Aa Hadi sudah lelah menunggu kepastian dariku, atau karena perasaan bersalahnya pada Rasyid, dia tidak mau menemuiku lagi. Berkirim kabar pun juga tidak pernah. Karena itu, dia tidak tahu kalau Bapak sekarang sedang sakit."Mas Pras udah dua kali nikah, Teteh masih sendiri aja. Ngenes atuh, Teh!" goda Anjeli yang sedang mengaduk aduk es krim di tangannya."Ish, ngenes mana sama kamu?" Aku balik menyindirnya.Anjeli lantas memonyongkan bibirnya. Cemberut namun menggemaskan."Anjeli jomlo 'kan karena standar tinggi, Teh!" katanya beralasan."Ya udah, sana cari pasangan kamu dulu! Nanti kalau kamu yang dapet duluan, baru boleh ngeledek Teteh!"Kucubit hidung Anjeli yang menggemaskan. Minimalis, sama sepertiku. Aku tahu, dia sudah memiliki pasangan, tapi d
Benar juga, ke mana Aa Hadi???Segera ku ambil ponsel dan menghubunginya, namun tidak aktif. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia masih ada keperluan lain, tapi setelah menunggu lama, Aa Hadi tak kunjung datang. Karena penasaran dan perasaanku juga mulai tidak enak, aku mencoba menelepon Ranti. Siapa tahu, papinya menghubungi dia.Benar saja, dari Ranti, aku tahu kalau mereka sekarang dalam perjalanan ke Subang. Mereka mendapat kabar, kalau Rasyid ditangkap polisi karena mengkonsumsi barang haram.Ranti juga menyampaikan maaf dari papinya yang langsung pergi tanpa mengabariku lebih dulu. Katanya, dia panik dan tidak bisa berpikir, bahkan untuk sekedar menghubungiku.Tubuhku lemas seketika mendengar penjelasan Ranti. Belum habis rasa bersalahku terhadap Nindy, kini muncul masalah baru yang membuatku menyesal.Apalagi Rasyid adalah anak yang sangat baik dan pendiam.Aku jadi penasaran, masalah apa yang dialami Rasyid, sampai akhirnya anak sebaik dia bisa melewati batas?Apa kar
Tapi ucapan Bapak memang benar, siapa lagi yang bisa aku andalkan saat ini?Aa Hadi adalah satu-satunya orang yang bisa menerima aku dan keluargaku, lalu kurang apalagi?Terus bertahan hidup sendiri karena gengsi, sebagai seorang janda, apa aku bisa?Karena selama ini saja aku masih terus bergantung padanya."Bapak nggak mau maksa Teteh, tapi coba dipikirin lagi ya, Teh. Jangan keras kepala, apalagi gengsi."Bapak menyelesaikan percakapan kami dan berlalu meninggalkan aku yang larut dalam pelukan Ibu."Bener kata Bapak Teh, coba dipikirin lagi!" kata Ibu menambahkan.Setelah menyeka airmata, aku keluar dari kamar Ibu dan masuk ke dalam kamarku untuk menemui Hamdi. Tapi saat pintu kamar dibuka, aku disuguhkan pemandangan yang mengharukan. Di sana, Ranti, Dini, Hamdi dan Anjeli sedang berkumpul. Bahkan mereka sampai menambah kasur di bawah supaya muat tidur berbarengan.Pemandangan seperti ini kembali membuatku bimbang. Keluargaku, juga anak-anak Aa Hadi, seakan tidak ada tembok pemisa
"Nindy sakit Teh, badannya panas nggak turun-turun, jadi Ibu bawa ke rumah sakit!" terang Ibu yang panik di ujung telepon.Baru saja tubuhku hendak diistirahatkan sejenak, kabar dari Ibu memaksaku melupakan segalanya. Pikiranku sekarang tertuju pada Nindy. Apalagi saat terakhir kali video call, dia menangis.Ibu mengatakan, kalau hasil lab, Nindy dinyatakan terkena DBD.Jam di ponsel sudah menunjukan pukul sembilan malam. Bagaimana aku bisa pulang ke kampung di jam segini?Kucoba menghubungi Mas Pras, siapa tahu dia belum terlalu jauh. Sayangnya, Mas Pras tidak menjawab panggilanku. Mungkin karena dia sedang mengendarai sepeda motor.Meski awalnya ragu, mau 'tak mau, lagi-lagi aku harus meminta bantuan Aa Hadi. Karena saat ini, memang hanya dia yang bisa ku andalkan.Tidak butuh waktu lama. Setelah aku menyampaikan padanya, Aa Hadi siap mengantarku ke kampung bersama Ranti dan Dini ikut serta.Perjalanan Jakarta - Sukabumi memakan waktu sekitar tiga jam. Walau kantuk mendera, aku tida
Karena kasihan sama bubur, akhirnya kuceritakan tentang Rini yang sempat salah paham, sampai mengirimkan pesan yang menyakitkan hati."Kenapa nggak cerita? Kebiasaan kamu itu, nyimpen masalah sendiri!" kesal Aa Hadi."Waktu itu mau cerita, tapi 'kan Mia keburu dateng!""Tahu begitu mah, nggak usah dikasih uang!""Ish, kalau ngasih yang ikhlas atuh, A!""Tapi 'kan, dia udah bikin hati kamu sakit?""Kalau mikirnya begitu mah, Aa juga pernah 'kan nyakitin Jani?"Mendengar ucapanku, raut wajah Aa Hadi berubah."Iya deh, Aa nyerah. Jangan bahas masa lalu lagi!"Hmm ... Tuh kan, kalau disentil aja nggak mau!Belum sempat kami menghabiskan bubur, ponsel Aa Hadi berdering."Ada apa, Ran?" "....""Iya, Papi sama Tante Jani pulang.""Kenapa?" tanyaku penasaran, saat Aa Hadi sudah memutuskan sambungan telepon."Ada mantan suami kamu di kontrakan," jelasnya dengan nada ketus.Mas Pras?Mau apa dia ke kontrakan?***"Mana Papanya Hamdi?" tanyaku pada Ranti, begitu sampai di gerbang kontrakan."Ny
Aku bergegas menuju ke dalam pabrik. Di sana, sebagian karyawan sedang berkumpul dan tengah berbisik-bisik. Aku pun mencoba bertanya pada Sita yang baru saja keluar dari kerumunan.Kabar yang kudengar darinya, membuatku terkejut bukan main. Bang Danu dipecat karena ketahuan mencuri tas yang diselundupkan melalui gudang ekspor.Banyak yang menduga, Bang Danu hanya disuruh oleh orang dalam. Karena itu, dia hanya diberhentikan dan kasusnya tidak sampai dilaporkan ke pihak yang berwajib.Mendengar hal itu, aku langsung kepikiran sama Rini. Bagaimana perasaan Rini saat ini? Apalagi, Rini baru saja melahirkan.Selain itu, usia Bang Danu tidak lagi muda. Jika dia diberhentikan sebagai seorang pencuri, sudah pasti tidak akan mendapat uang pesangon. Itu artinya, pengabdiannya selama ini sia-sia akibat kekhilafan semata.Mencari kerja di pabrik serupa, sudah pasti sulit diterima. Selain umurnya tidak lagi muda, Bang Danu pasti sudah masuk daftar hitam. Aku pun berencana menemui Rini sepulang k