Lukman berjalan menuju ke ruang ganti di kamarnya yang luas itu. Dia masih mengenakan bathrobe setelah membersihkan diri. Kini, dia tampak kebingungan untuk memilih baju untuk dirinya sendiri. Paling tidak dia harus memberikan kesan yang lebih baik di depan Tuan dan Nyonya Anggari.
Dia menghela napas setelah mengambil satu pasang tuksedo yang sedari tadi sebenarnya sudah menyita perhatiannya. Tuksedo biru tua pemberian Juwita saat ulang tahunnya ke dua puluh tujuh. Tidak terasa, sudah tiga tahun yang lalu. Semoga saja masih muat.
Lukman sangat ingat bagaimana ambisi Juwita saat mau menghadiahkan tuksedo ini kepadanya. Wanita itu sampai membayar pembantunya di rumah untuk mendapatkan ukuran badannya karena, tentu saja penjahit baju formalnya sangat menjaga privasi para kliennya dengan baik. Dia tertawa sendiri kalau meng
"Kak Lukman!" sapa seorang wanita yang menggunakan gaun biru berlian. Dia melambaikan tangan dan mendatangi pria yang disebut namanya tadi. Dia memeluk pria itu dengan erat. "Kapan datang? Ya ampun lama banget enggak ketemu."Itu Hellen. Dia tadi sempat bertemu dengan Juwita dan keluarga temannya tersebut saat pertama kali datang. Dia baru bertemu dengan Lukman.Lukman membalas pelukan itu dengan hangat. "Hallo adik kecil. Kamu udah besar aja, kayak si Tata." Dia melepas pelukannya. "Jangan-jangan kamu juga udah nikah."Jamal dan Jevano mengerutkan dahi mereka. Bentar, apa tadi yang Lukman bilang? Tata? Panggilan untuk wanita yang mereka sayangi ini Tata? Panggilan sayang gitu? Panggilan masa kecil? Astaga, mereka jadi bete lagi.
Ini sudah tiga kalinya Jevano CS bolak balik ke meja hidangan satu ke meja yang lain. Mereka berniat untuk mencoba semua hidangan yang tersedia di sana. Tidak peduli enak atau tidak. Tentu saja semuanya enak, tapi mungkin saja beberapa tidak cocok untuk lidah mereka. Mereka sengaja mengambil makanan yang belum mereka kenal dengan porsi sedikit. Apalagi masakan nusantara yang penuh dengan rempah. Mereka akan mengambil sedikit, mencicipi bersama, dan kalau mereka suka, mereka akan kembali lagi untuk mengambil lebih banyak."Wah, sumpah. Enggak bakalan kenyang aku kalau gini." Syahid menyandarkan punggungnya ke kursi. Di sampingnya ada Rani yang sedang menikmati ikan asam manis. Rani suka paprikanya. Tangan Syahid menyentuh punggung gadis itu.Rani menoleh. "Apa?" Mulutnya penuh dengan suapan.
Jevano membanting pintu kamarnya dengan keras. Dia tahu kalau itu sebenarnya tak sopan. Lebih lagi dia sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. Tapi, rasa kesal yang memenuhi hatinya menghilangkan kesadaran itu.Terdengar ketukan dari luar beberapa kali."Jevano, tolong dengerin Bunda sama Ayah dulu, sayang. Ayo bicara baik-baik." Juwita berusaha membuka pintu kamar anaknya itu tapi tak bisa. Jevano menguncinya."Enggak mau! Aku enggak mau denger apa-apa dari Bunda atau Ayah. Aku mau tidur!" Jevano membuka kancing jasnya. Dia membuang pakaian itu ke sembarang arah. Dia melonggarkan dasi dan langsung menelungkupkan badannya di kasur. Dia capek karena harus menghadiri acara ayahnya. Lalu sekarang dia kesal karena Bunda dan Ayah akan ke Singapura bersama selama dua mingg
Jevano memukul pundak ayahnya saat pria itu hendak memeluk dan mengajaknya berjalan bersama. Jamal tertawa melihat kelakuan anaknya ini. Dia tetap menempel Jevano dan merangkul pundak anaknya itu. Dia mencium pipi Jevano lalu puncak kepala pemuda tersebut."Makasih," ucap Jamal dengan senyum lebarnya.Jevano melirik ayahnya. Dia menghentikan langkah dan bersendekap. Tatapannya serius. "Lain kali jangan kayak gitu. Kalau aku juga mau gimana?"Jamal menjitak kepala anaknya. "Nikah!"Jevano mengaduh. Kepalanya dielus oleh sang ayah yang tertawa terbahak."Jangan aneh-aneh." Jamal mengecup kepala anaknya lagi.
Sesuai dengan apa yang sudah direncanakan oleh Jamal, dia dan Juwita mengantarkan Jevano ke rumah utama Keluarga Anggari untuk menitipkan anaknya tersebut setelah selesai packing di hari yang sama. Arjuna memberinya kabar bahwa keberangkatan menuju Singapura dimajukan jam sembilan malam. Jadi, dia dan Juwita mengantar Jevano jam tujuh malam ke rumah utama. Dengan sukacita, Tuan dan Nyonya Anggari menyambut cucu mereka. Apalagi Tuan Anggari, dia sampai meninggalkan burung murai kesayangannya demi menemui sang cucu yang baru datang."Hai, Jevano!" Tuan Anggari seperti sedang menyapa anak kecil. Dia melebarkan kedua tangannya dan mendekati sang cucu dengan wajah yang amat sangat semringah. Kakek satu ini memang agak lain."Hai, Kakek." Jevano menyapa denganriang tapi tetap kalem. Dia mendekati kakeknya dan membalas pelukan
Saat tiba di Singapura, Jamal dan Juwita tidak bisa berbagi kamar hotel yang sama. Mereka sudah dipesankan kamar hotel oleh klien mereka masing-masing, Jamal oleh calon koleganya dan Juwita oleh agensi model yang mengundangnya. Jarak antara hotel mereka pun jauh. Dunia memang mengharuskan mereka untuk bekerja giat terlebih dahulu sebelum bersenang-senang.Arjuna tertawa bahagia saat mendorong koper miliknya dan milik Jamal. Dia sungguh puas menertawakan wajah kecewa Jamal dan Juwita yang tadi dia lihat saat mereka harus berpisah. "Makanya, kerja, ya, kerja. Bulan madunya jangan dicampur dengan yang lain. Entar manisnya enggak kerasa." Dia menempelkan kartu pass kamar dan membuka pintu.Jamal mendorong pintu dengan kaki setengah menendang. Dia meraih leher Arjuna dari belakang dan menyeret pria itu untuk masuk. "Puas, hah? Pua
Jevano pulang dijemput oleh sopir pribadi yang disiapkan oleh neneknya. Dia memasuki rumah utama keluarga Anggari dengan santai. Rasanya dia ingin segera merebahkan diri di kasur saja sebelum nanti belajar dan ... tentu saja main game. Dia harus menghilangkan penat setelah ditanyai banyak hal oleh guru pembimbingnya, Bu Felecia. Dulu, dia mengira dengan ada guru pembimbing (tak hanya guru BK) akan sangat membantu. Tapi, sekarang pemikirannya berubah, menurutnya itu sangat merepotkan."Cucu Kakek udah pulang? Enggak jadi ke hypermarket?" Suara Tuan Anggari membuat Jevano menghentikan langkahnya di ruang tengah. "Wajah kamu kenapa lesu kayak gitu?"Jevano mengerucutkan bibirnya dan berjalan menuju sang kakek. Dia duduk di sebelah sang kakek yang sedang bersantai dengan buku bacaannya. "Capek, Kek. Ditanya terus sama guru pembim
Jevano, Syahid, dan Haikal membawa dua troli penuh ke kasir. Ini juga sudah lewat diskusi panjang dan kesepakatan bersama. Rasanya malu juga bawa barang belanjaan segini banyak. Mana isinya cuma makanan ringan dan minuman kemasan lagi. Mereka kayak sedang memperlihatkan bagaimana remaja yang suka ngemil. Untung mereka tidak gemuk dan cukup berotot. Paling cuma Haikal yang punya kepala bunda dan pipi chubby."Lo beneran bawa debit, kan, ya? Masa iya kita mau kredit kek gini." Haikal tidak mau malunya bertambah."Tenang. Gue bawa dompet, kok. Udah gue cek semua. Kalau enggak bawa pun gue bawa hp. Bisa langsung bayar online." Jevano memeriksa kantongnya dan aman."Atau kalau enggak, ya, minjem kamu dulu, Kal." Syahid memberikan solusi yang membuat senyuman Jevano terulas le