Tak ada yang berani bicara di kelas itu. Tatapan kedua lelaki yang pamornya membahana seantero sekolah meskipun masih kelas sepuluh itu tak ada yang berani memutus. Bahkan seorang anggota OSIS yang disuruh oleh ketua OSIS dan guru BK untuk menemani Alvaro meminta maaf kepada Jevano pun kicep.
"Gue ke sini mau minta maaf atas kejadian kemarin." Alvaro berucap dengan jelas dan tanpa gengsi sama sekali.
Jevano hanya diam dan mengangguk.
Alvaro menoleh ke belakang, ke anggota OSIS yang datang ke kelas ini bersamanya. "Udah, kan? Lo udah lihat gue minta maaf ke dia." Lelaki itu pun kembali menatap Jevano dengan tajam. "Bahkan gue enggak tahu kenapa gue harus meminta maaf atas kejadian seminggu kemarin. Like ... lo sendiri juga tahu kalau itu salah lo yang kesandung dan, apa s
Jamal memarkir mobilnya di tempat khusus, di basement. Tak ada sambutan dari siapa pun jika dia melewati jalur ini. Berbeda lagi kalau dia diantar Arjuna atau dijemput oleh orang kantor dan turun di lobi. Para body guard pasti akan siap menjaga dan para manager, staf, dan karyawan lainnya juga akan menyambutnya dengan sambutan yang menurutnya ... agak berlebihan.Ayolah, dia baru menyelesaikan satu misi dan baru menunjukkan satu gebrakan di perusahaan mertuanya tapi sudah terlalu banyak sanjungan dan reward yang dia dapatkan. Dia merasa belum bekerja dengan sungguh-sungguh tapi yang dia genggam sekarang semakin besar saja."Kak!" sapa Arjuna yang juga baru keluar dari mobilnya. Dia menlambaikan tangannya.Jamal menoleh dan tersenyum kepada pria itu. Dia sengaja berhenti
"Tadi siapa, Jev?" tanya Jamal saat berjalan bersama anaknya ke mobil."Temen." Jevano membuka pintu mobilnya dan masuk duluan. Dia agak tidak minat membahas yang tadi."Temen? Namanya?" Jamal duduk di jok kemudi dan memakai sabuk pengamannya."Tumben Ayah kepo."Jamal menoleh ke arah anaknya. Dia meneliti wajah bocah tersebut dan mengangguk. Sepertinya pemuda yang dia lihat tadi bukan murni teman Jevano. Wajah anaknya itu masam. Tidak seperti biasanya kalau ditanya tentang temannya yang lain."Ya, mau tahu aja. Nanti kalau Ayah enggak tanya tentang sekolah, ngambek. Bilang Ayah enggak ada waktu buat ngurus kamu. Bilang Ayah makin sibuk dan enggak memperhatikan
Jevano dan Rani baru bisa pulang setelah mengantarkan buku tugas ke ruang guru, membantu ketua kelasnya. Ada dua buku pelajaran yang harus dikumpulkan. Pasti sangat berat sekali kalau hanya satu orang yang membawanya."Kalian dari mana?" tanya Arina saat mendengar pintu ruangan khusus mereka terbuka dan menampakkan dua sosok teman yang baru saja datang.Rani mengembangkan senyumannya, memperlihatkan gigi-giginya yang rapi itu. "Ke ruang guru. Aku sama Jevano habis cari muka.""Itu kamu aja, ya, Ran. Aku ikhlas bantu." Jevano menyenggol gadis itu."Mulai lagi enggak asyiknya." Haikal berkomentar. Dia rebahan di atas sofa. "Ar, lo pulang bareng gue atau?"Arina m
"Loh, Jevano? Masih di sini?""Arina?" Juwita berucap kaget."Kalian saling kenal?" Lukman juga ikutan kaget."Hai, Tante Juwi." Arina melambaikan tangannya dan mendekati wanita itu. Dia memeluknya."Sehat, sayang?" Juwita mengecup kening Arina. "Yang lainnya juga sudah dijemput?"Arina mengangguk. "Tinggal aku duluan. Tadi abis ketemu kakaknya Haikal.""Tunggu. Tunggu. Kamu teman Jevano, Rin?" tanya Lukman masih tak percaya.Arina mengangguk polos dan beralih ke sebelah omnya. Dia memeluk omnya dan dipeluk balik. "Om Lukman kapan dateng? Kenapa engga
Lukman berjalan menuju ke ruang ganti di kamarnya yang luas itu. Dia masih mengenakan bathrobe setelah membersihkan diri. Kini, dia tampak kebingungan untuk memilih baju untuk dirinya sendiri. Paling tidak dia harus memberikan kesan yang lebih baik di depan Tuan dan Nyonya Anggari.Dia menghela napas setelah mengambil satu pasang tuksedo yang sedari tadi sebenarnya sudah menyita perhatiannya. Tuksedo biru tua pemberian Juwita saat ulang tahunnya ke dua puluh tujuh. Tidak terasa, sudah tiga tahun yang lalu. Semoga saja masih muat.Lukman sangat ingat bagaimana ambisi Juwita saat mau menghadiahkan tuksedo ini kepadanya. Wanita itu sampai membayar pembantunya di rumah untuk mendapatkan ukuran badannya karena, tentu saja penjahit baju formalnya sangat menjaga privasi para kliennya dengan baik. Dia tertawa sendiri kalau meng
"Kak Lukman!" sapa seorang wanita yang menggunakan gaun biru berlian. Dia melambaikan tangan dan mendatangi pria yang disebut namanya tadi. Dia memeluk pria itu dengan erat. "Kapan datang? Ya ampun lama banget enggak ketemu."Itu Hellen. Dia tadi sempat bertemu dengan Juwita dan keluarga temannya tersebut saat pertama kali datang. Dia baru bertemu dengan Lukman.Lukman membalas pelukan itu dengan hangat. "Hallo adik kecil. Kamu udah besar aja, kayak si Tata." Dia melepas pelukannya. "Jangan-jangan kamu juga udah nikah."Jamal dan Jevano mengerutkan dahi mereka. Bentar, apa tadi yang Lukman bilang? Tata? Panggilan untuk wanita yang mereka sayangi ini Tata? Panggilan sayang gitu? Panggilan masa kecil? Astaga, mereka jadi bete lagi.
Ini sudah tiga kalinya Jevano CS bolak balik ke meja hidangan satu ke meja yang lain. Mereka berniat untuk mencoba semua hidangan yang tersedia di sana. Tidak peduli enak atau tidak. Tentu saja semuanya enak, tapi mungkin saja beberapa tidak cocok untuk lidah mereka. Mereka sengaja mengambil makanan yang belum mereka kenal dengan porsi sedikit. Apalagi masakan nusantara yang penuh dengan rempah. Mereka akan mengambil sedikit, mencicipi bersama, dan kalau mereka suka, mereka akan kembali lagi untuk mengambil lebih banyak."Wah, sumpah. Enggak bakalan kenyang aku kalau gini." Syahid menyandarkan punggungnya ke kursi. Di sampingnya ada Rani yang sedang menikmati ikan asam manis. Rani suka paprikanya. Tangan Syahid menyentuh punggung gadis itu.Rani menoleh. "Apa?" Mulutnya penuh dengan suapan.
Jevano membanting pintu kamarnya dengan keras. Dia tahu kalau itu sebenarnya tak sopan. Lebih lagi dia sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. Tapi, rasa kesal yang memenuhi hatinya menghilangkan kesadaran itu.Terdengar ketukan dari luar beberapa kali."Jevano, tolong dengerin Bunda sama Ayah dulu, sayang. Ayo bicara baik-baik." Juwita berusaha membuka pintu kamar anaknya itu tapi tak bisa. Jevano menguncinya."Enggak mau! Aku enggak mau denger apa-apa dari Bunda atau Ayah. Aku mau tidur!" Jevano membuka kancing jasnya. Dia membuang pakaian itu ke sembarang arah. Dia melonggarkan dasi dan langsung menelungkupkan badannya di kasur. Dia capek karena harus menghadiri acara ayahnya. Lalu sekarang dia kesal karena Bunda dan Ayah akan ke Singapura bersama selama dua mingg
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.