"Apa maksudmu?" Aditya balik bertanya, seolah ia lupa dengan apa yang baru saja ia bisikkan pada Alleya.
Alleya mendengus kesal. Betapa bodoh dirinya, yang begitu mudah percaya dengan ucapan si Balok Es.
"Lupakan," jawab Alleya ketus. Kurang ajar, gerutunya dalam hati. Aku belum melakukan trik apa pun untuk membuat dirinya terjebak, justru aku lebih dulu termakan umpan si Balok Es.
"Hei..!" Seru Aditya berusaha menghentikan langkah Alleya yang sudah berjalan lebih dulu, dan kini mengacuhkannya. Tidak juga berhenti melangkah, Aditya melangkahkan kakinya lebih lebar agar bisa mengejar Alleya.
"Ada apa denganmu?" Aditya menarik tangan Alleya, menghentikan dengan paksa langkah gadis itu.
Badan Alleya berputar hingga kini dirinya berdiri saling berhadapan dengan Aditya. Aditya dapat menangkap kegugupan di wajah Alleya. Gadis ini mara
"Apakah kau keberatan?" Alleya mengulang pertanyaannya, tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Aditya. Kau mengajakku bermain-mainkan, maka terimalah akibatnya. I am a drama queen. Kau sudah sangat salah memilih korban. Alleya menggumam dalam hati dengan penuh rasa amarah. Lisa menatap Aditya, menanti jawaban apa yang diberikan oleh putranya itu. "Dit? Mama dan Alleya menunggu jawabanmu." Aditya menatap Lisa dengan seribu satu perasaan. Menimbang, kalimat yang tepat untuk menyelamatkan dirinya untuk saat ini. Jangan sampai dirinya jatuh dalam perangkap yang ia buat sendiri. "Aditya tidak keberatan, Ma." "Bagus!" Alleya langsung merespon jawaban Aditya, membuat pria itu terkejut. "Sepulang dari kerja nanti, Alleya akan langsung memberitahu papa tentang ini, Tante. Tante juga bisa memberitahu
Aditya menjatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan dengan kasar. Ia melepas dasi yang sejak pagi mengikat lehernya, dan membuang ke sembarang arah. Alleya, desisnya menahan geram. Ternyata, kamu juga sedang merencanakan sesuatu. Jika itu memang kemauanmu, maka aku tidak akan segan lagi. Mari kita lihat, siapa yang akan menyerah lebih dulu. Aditya mengambil ponselnya lalu mengirim pesan kepada gadis itu. Beberapa menit kemudian, ia menyeringai. Aku sungguh tidak sabar menunggu hari itu tiba, Alleya. Begitu kalimat yang ia kirim kepada Alleya. Aku benar-benar penasaran seperti apa wajah gadis itu sekarang, gumamnya bangkit dari pembaringan. Alleya yang saat itu sedang asyik membalas pesan Nia, langsung membuka pesan dari Aditya. Apa!!!. Dasar pria narsis! Sok tampan, sok menawan, sok laku. Alleya mendelik kesal, membaca berulang kali pesan yang dikirim Aditya. Tok.Tok.Tok. Kepala Abraham suda
Alleya berteriak panik. "Mau apa kau?" Tubuh Alleya gemetar. Tiba-tiba udara di sekitarnya terasa begitu aneh. Ia melihat ke wajah Aditya dengan gusar. Mau apa pria ini? Jarak antara mereka berdua semakin tipis. Perlahan namun pasti, Alleya mulai bisa merasakan hembusan nafas hangat Aditya, yang beraroma peppermint, di ujung hidungnya. "Jang-jangan mencoba berbuat asusila di sini!" Suara Alleya bergetar karena gugup, merasa nafasnya tersengal-sengal. Detak jantung yang berdegup cepat, membuatnya mulai berkeringat dingin. Oh, Tuhan. Tolong selamatkan hamba, rapal Alleya dalam hati. Aditya terkekeh dalam hati, melihat wajah gusar Alleya yang menatapnya dengan pandangan nano-nano. Si Buruk Rupa yang polos. Alleya berulang kali menggigit bibirnya, berharap rasa takutnya teralihkan. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Rasa cemasnya semakin menjadi ketika ia menda
Mobil Abraham perlahan merangkak masuk ke halaman rumah Rudy. Aditya akan datang sedikit terlambat, karena ia harus bertemu klien yang sudah membuat janji dengannya sejak beberapa hari yang lalu. Rudy dan Rita menyambut di teras dan mengajak pasangan calon besannya itu masuk ke dalam rumah. "Aditya nanti menyusul. Masih ada urusan dengan kliennya." Abraham memberi alasan mengapa Aditya tidak tampak bersama mereka malam ini. "Tante..." Alleya yang baru saja selesai menapaki anak tangga terakhir, langsung datang menyongsong calon mertuanya. Senyum Lisa mengembang sempurna, begitu melihat kedatangan Alleya yang saat itu begitu anggun. Dengan wajah seperti ini saja, menantunya sudah terlihat begitu berkelas dan anggun, bagaimana lagi jika wajah Alleya semulus dan seputih artis-artis sinetron, yang sering ia lihat di televisi setiap malam. "Tidak menanyakan Aditya?" tanya Abra
Aditya membawa mobilnya di pagi buta. Seorang klien menyewa jasanya sebagai pengacara untuk pengajuan cerai sang istri, sedangkan kliennya masih bersikukuh untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Otaknya menolak kasus ini, tapi entah mengapa sudut hatinya justru menuntunnya untuk menerima kasus itu. Dia benci jika dalam menangani kasus harus melibatkan perasaan, karena itu bisa membuatnya mengambil keputusan yang cenderung tidak obyektif. Ponsel yang ia letakkan di depannya berdering. Alleya. Aditya menyipitkan matanya. Mengulang membaca nama pemanggil. Benar Alleya. Ada apa gadis itu menelponnya sepagi ini? Ia menepikan mobilnya sebelum menjawab panggilan Alleya. "Halo, Sayang." Aditya mencoba menggoda Alleya. "Isssh, apaan sih?!" Terdengar nada protes di ujung sana, yang justru membuat Aditya tersenyum samar. "Ada apa?" tanyanya kembali ke sua
Aditya mengikuti mobil Alleya yang melaju di depannya, dengan kecepatan sedang. Ia sudah menghubungi sekretarisnya, untuk mengosongkan jadwalnya tiga hari ke depan. Ia harus bisa memastikan keamanan Alleya dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimanapun, Alleya adalah wanita dewasa, yang bisa saja khilaf atau membuat khilaf orang lain. Mobil Alleya perlahan memasuki halaman rumahnya, sedangkan Aditya memilih memarkirkan mobilnya di luar kediaman Rudy dan Rita. Ia melangkah melewati jalan setapak yang di kanannya terdapat kebun bunga kecil lengkap dengan sebuah kolam ikan koi di tengahnya, hingga akhirnya mereka bertemu di teras. "Bersiaplah. Aku akan menjemputmu dua jam dari sekarang. Bawalah barang-barang yang berfungsi dengan baik, jangan yang aneh-aneh. Jika sampai aku menemukan barang yang aneh-aneh, aku akan langsung membuangnya ke kotak sampah." Aditya membalikkan bad
Menjelang maghrib, mobil yang membawa Aditya dan Alleya mulai memasuki kota Bandung. Aditya memacu mesin mobilnya menuju resort yang sudah disewa panitia reuni SMA Alleya. Aditya sengaja mengerem mendadak, agar dirinya tidak perlu repot-repot mengguncang-guncang tubuh gadis di sampingnya, yang tidur seperti kerbau. "Aduh." Alleya terbangun karena merasakan dahinya terantuk dashboard mobil yang ditumpanginya. Sambil meringis, dielusnya dahinya yang sedikit memar dan memerah. Ia langsung melempar pandangan penuh dendam ke arah pria di sampingnya, yang sedang sibuk melepas sabuk pengaman, lalu membuka pintu dan ke luar dari mobil. "Dasar pria kejam!" desis Alleya melepas sabuk pengamannya. Ia segera membuka pintu dan berjalan ke belakang, untuk mengambil kopernya. "Oh iya, aku tadi belum sempat memeriksa kopermu. Nanti, jika kita sudah berada di kamar, aku akan mulai merazia apa saja yang ka
"Kak Adityaaaa!" teriak Alleya kencang, membuat Aditya terlonjak kaget. Dengan wajah linglung, Aditya menatap ke segala arah, dan langsung menghampiri Alleya, memegang kedua pipi gadis itu dan menelisik setiap jengkal bagian wajah Alleya. Wajahnya masih sama, tidak ada yang berubah, pikir Aditya. Sukmanya sebagian masih belum terkumpul sempurna. "Ada apa?" dengan suaranya yang serak, Aditya duduk di dekat Alleya yang masih terkesima karena kedua pipinya baru saja ditangkup oleh Aditya. "Anu, eh, itu... Issh, tadi mau ngomong apa sih?"Alleya gelagapan sendiri. Dia benar-benar terkejut melihat sikap spontan Aditya yang langsung mendekat ke arahnya dan memeriksa setiap jengkal wajahnya. Lama menunggu jawaban dari Alleya, Aditya kembali menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Alleya dan melanjutkan tidurnya. Alleya tercengung. Lah, kenapa justru tidur lagi. "Kak! Ay
"Apan sih? Pagi-pagi gini sudah membicarakan hal yang sangat membosankan! Cari topik lain kenapa?" Aditya menggerutu. Dirinya malas sekali jika sang istri mulai membicarakan hal yang sama setiap pagi. Sebenarnya Aditya sendiri sudah mulai memikirkan permintaan papanya itu. Melihat Abraham yang kian hari kian terlihat lelah, membuat Aditya mulai memikirkan permintaan sang papa. Akan tetapi, dirinya masih tetap diam, tidak mengatakan apa pun kepada Alleya maupun Abraham."Ya sudah, kalau tidak bersedia. Jika suatu hari papa marah besar padamu karena aku jatuh sakit akibat kelelahan, aku tidak akan lagi membantumu. Dan jika sampai mama juga ikut mengutukmu karena sudah membahayakan calon pewaris perusahaannya, aku juga tidak akan mencegahnya," ujar Alleya bangkit dari duduknya lalu meletakkan sesuatu di atas meja riasnya.Apa maksudnya? Aditya menatap kepergian Alleya. Ia mengikuti gerak-gerik Alleya, dan gerakan All
Pintu kamar VIP itu terbuka secara perlahan. Alleya menatap ke arah pintu kamar yang sudah terbuka setengah, menanti penampakan sosok yang masih berdiri di luar. Alleya menatap Aditya yang melangkah pelan memasuki kamar rawat inap Abraham. Kedua netra pria itu, menatap Alleya yang kala itu tampak begitu bingung."Ada apa?" Bisik Aditya begitu pria itu berdiri tepat di samping Alleya. Saat Alleya hendak menceritakan hal yang tengah terjadi, tiba-tiba suara sinis Abraham menyentil telinga Aditya."Hmm, kemana saja kamu? Sudah selesai mengurusi pacar modelmu itu? Rubah betina tak tahu diri!"Aditya memandang Alleya dengan ekspresi bingung. Alleya mengedikkan kedua bahunya, sama-sama tidak mengerti dengan semua yang sedang terjadi di ruangan itu."Selamat Pagi, Pa! Sudah lebih baik dari kemarin kan?" Aditya mengabaikan pertanyaan Abraham, berjalan ke sisi kanan pembaring
Aditya memutar badannya, menghadap ke arah asal suara yang menyerukan namanya barusan. Sosok cantik Alleya memaku tatapan Aditya. Gelayar aneh merambat halus namun pasti, memenuhi relung hatinya. Seulas senyum terbit di kedua ujung bibir Aditya. Sekali lagi, ia mengucap syukur dalam hati, karena memiliki istri yang begitu cantik seperti Alleya. Suara pantofel setinggi lima sentimeter yang membungkus apik kedua kaki Alleya, menggema di ruangan itu. "Bagaimana, Papa?" tanya Alleya sesaat setelah dirinya tiba di depan Aditya dan keningnya dikecup Aditya dengan penuh perasaan. Alleya berusaha menekan dan mengendalikan dirinya yang rasa-rasanya ingin melompat dan melayang saat itu juga, mendapatkan perlakuan manis dan romantis dari Aditya. Senyum manis mengembang sedikit kaku, menutupi kegugupannya. Aditya bergeming tanpa mengalihkan pandangannya dari Alleya. "Sudah berhasil melewati masa kritis
"Berapa peluang pasien hidup, Dok?" Aditya berusaha meredam emosinya. Pria muda itu belum siap jika saat ini ia harus kehilangan salah satu dari orang tuanya. Masih banyak yang perlu ia lakukan untuk memperbaiki hubungannya dengan sang papa. Dokter Irfan tidak langsung menjawab. Pria tinggi berkulit putih dengan kacamata tanpa frame yang bertengger sempurna di hidung mancungnya, menatap Abraham yang sedang tertidur begitu pulas. Aditya sungguh tidak sabar menunggu jawaban meluncur mulus dari bibir tipis sang dokter. Jantungnya tidak bisa diam, berdegup tak beraturan, membuat dirinya berada jauh dari kata nyaman. Dalam sekali tarikan nafas, dokter muda itu, yang usianya terpaut tidak begitu jauh dengan Aditya, menjawab singkat pertanyaan Aditya. "Sembilan puluh persen." Mata Aditya terbelalak. Tidak percaya dengan indera pendengarannya, Aditya kembali memastikan jawaban sang dokter. Ia
Aditya terbangun dari tidur lelapnya ketika suara teriakan Lisa yang memanggil namanya menggema dari lantai bawah. Ia segera bergegas turun dari pembaringannya, mengambil mantel tidur, mengenakannya sambil berjalan tergesa ke luar dari kamar. Berbagai bayangan buruk melintas dibenaknya, membuat langkahnya semakin ia percepat. Setengah berlari Aditya menuruni anak tangga, menuju ke kamar kedua orang tuanya. Diketuknya pintu kamar orang tuanya. "Ma! Mama! Ini Aditya, Ma! Buka pintunya, Ma!" Aditya setengah berteriak sambil terus mengetuk pintu kamar di depannya. "Masuk, Nak! Papa...." Suara Lisa terdengar masih terisak. Tanpa menunggu lama, Aditya langsung masuk ke dalam kamar itu, menatap sekeliling, mencari sosok yang baru saja disebut oleh mamanya. Tidak ada. Ke mana papa? "Papa di mana, Ma? Ada apa dengan Papa, Ma?"suara Aditya sed
Aditya terus menatap Alleya yang masih berusaha melepas pernak-pernik yang menempel pada kepalanya. Dirinya masih tidak percaya dengan yang kenyataan yang ia terima hari ini. Selama ini, Alleya telah membohonginya. Gadis itu telah menyembunyikan wajah cantiknya di balik sebuah topeng buruk rupa, dan hal itu, telah berhasil mengecohnya. Aditya melangkah mendekat ke tempat Alleya yang hendak membersihkan wajahnya dari make up yang masih menempel di wajahnya. Ia menghentikan langkah kakinya, ketika Alleya bangkit dari duduknya, berjalan menuju toiletries lalu mulai membasuh wajahnya dengan sabun muka. Lima menit kemudian, Alleya kembali duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan sisa make up yang masih tertinggal di wajahnya. Tatapan Aditya terus saja mengikuti kemana saja gadis itu bergerak. Ia mulai kembali melangkah mendekat ke arah Alleya. Kini, ia telah berdiri tepat di belakang gadi
"Khilaf?" Sekali lagi Lisa mengulangi pertanyaannya. "Apa maksudnya itu, Dit?" Lisa berjalan mendekat Aditya dengan langkah yang sedikit sempoyongan. Dirinya masih terkejut dengan pernyataan putra semata wayangnya itu. "Ah, Mama! Maksud Aditya bukan begitu. Aditya ingin memajukan tanggal pernikahannya. Tidak usah menunggu tanggal 9, tapi langsung dimajukan minggu depan saja, tanggal 2." Alleya semakin terkejut. "Ngomong apa sih?? Mana boleh seperti itu? Butuh persiapan dan rencana matang. Ini bukan hanya ngucap ijab aja terus selesai. Nggak seperti itu." Alleya mati-matian menolak ide Aditya yang menurutnya sangat gila itu. "Boleh!" Ucapan Rudy membuat Alleya tambah merana. Ia tidak mengira jika sang papa justru menyutujui ide Aditya, si Balok Es. "Papa! Kok Papa setuju sih? Kan nggak mungkin bisa..." sanggahan Alleya terputus dengan kalimat Rudy berikutnya
Nafas Alleya memburu. "Pengacara nggak ada akhlak! Main nyosor aja... Nggak punya sopan santun!" Teriakan Alleya terdengar Nara hingga wanita itu ke luar dari ruang keluarga, mendekat ke arah Aditya dan Alleya yang berdiri saling berhadapan, dengan jarak yang begitu dekat. Nara yang sejak tadi sudah sangat penasaran dengan penampilan Alleya yang namanya sempat disebut Aditya, terkejut ketika pandangannya jatuh di wajah Alleya. Apa?!! Gadis seperti ini yang akan menikah dengan Aditya? Wajah begitu buruk, sangat jauh dari wajahnya, mengapa bisa memenangkan hati Aditya dan kedua orang tuanya? Nara semakin terkejut, ketika ingatannya membawa dirinya ke pertemuan dengan Alleya beberapa waktu lalu di warung soto, ketika ia dan Aditya sedang sarapan pagi bersama. Saat itu Alleya juga tidak sendiri. Gadis itu datang bersama seorang pria yang tidak kalah tampan dengan Aditya. "Ka-Kauu, All-leya?" Nara benar-benar tid
Rudy memacu mobilnya dengan kecepatan yang lumayan. Semula hanya Rita yang merasa khawatir berlebih. Namun, ketika dirinya sendiri mencoba menghubungi sahabat masa kecilnya itu, dan tidak juga mendapat tanggapan, membuat dirinya mulai merasa cemas. Ryan memilih untuk pulang terlebih dulu, dan akan datang lagi setelah ada kepastian tanggal pernikahan adiknya. Sepanjang perjalanan, Rita terus mecoba menghubungi Lisa, meski respon yang ia terima tidak berubah. Berulang kali dirinya melirik Alleya, berharap putrinya itu berhasil menghubungi Aditya, tapi kenyataannya tetap sama. "Tenang, Ma. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah Abraham. Sebentar lagi, Papa akan menghujani pria itu dengan beratus pukulan, karena sudah berani membuat kita semua khawatir." Mobil Rudy akhirnya, berhenti tepat di depan gerbang bercat putih yang tinggi menjulang. Pintu gerbang itu terbuka, me