"Iya, Bu," jawab Dea malu-malu. Percuma saja dia berbohong karena sang ibu pasti tahu."Ibu lihat akhir-akhir ini kamu dekat lagi sama Abi." Rahayu—ibu Dea mencuci seikat kangkung yang sudah selesai dipetik sebelum ditumis."Dea cuma kebetulan ketemu sama mas Abi kok, Bu.""Di dunia ini tidak ada yang kebetulan, Dea. Buktinya Tuhan mempertemukan kamu dengan Abi setelah berpisah dengan Firman."Kening Dea berkerut dalam. "Maksud, Ibu?"Rahayu menghela napas panjang lantas menaruh kangkung yang sudah selesai dia cuci ke sebuah wadah yang memiliki lubang-lubang kecil agar airnya sedikit berkurang."Apa kamu tidak ingin kembali lagi dengan Abi?"Tubuh Dea menegang mendengar pertanyaan ibunya barusan. Andai boleh jujur, Dea sebenarnya ingin sekali kembali dengan Abi karena dia masih menyimpan perasaan pada lelaki itu hingga sekarang. Namun, mereka tidak mungkin bersama karena Abi sudah menikah dengan Jena."Dea dan mas Abi tidak mungkin bisa kembali seperti dulu, Bu." Dea mematikan kompor
"Makasih banyak ya, Mas. Udah bela-belain datang jauh-jauh dari Jakarta ke Semarang buat nemenin Kenzie kontrol. Maaf kalau aku ngrepotin.""Sama-sama, Dea. Jangan minta maaf karena aku tidak merasa direpotkan sama sekali." Beberapa jam yang lalu Dea menelepon, mengatakan kalau Kenzie tidak mau pergi ke dokter jika tidak ditemani Abi. Abi pun langsung meninggalkan pekerjaannya dan terbang ke Semarang untuk mengantar Kenzie memeriksakan kakinya ke dokter."Ayo, Sayang. Kita pulang." Dea ingin menggendong Kenzie, tapi putra semata wayangnya itu malah menolak."Kenzie mau digendong Papa Abi.""Kenzie!" sengit Dea dengan mata melotot agar Kenzie tidak memanggil Abi dengan sebutan papa. "Jangan panggil om Abi papa karena dia bukan papa kamu."Wajah Kenzie seketika berubah sendu. Anak itu merasa begitu sedih karena Dea melarangnya memanggil Abi dengan sebutan papa."Sudahlah, Dea. Jangan marah karena Kenzie masih kecil.""Tapi, Mas ....""Lagi pula aku tidak masalah dipanggil papa oleh, Ke
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Dea ketika sudah berhasil mengatur napas. Wajah Dea terlihat memerah, entah karena tersedak atau mungkin gugup sebab Abi tidak berhenti mengusap punggungnya."Aku sudah baik-baik saja, Mas."Mendengar ucapan Dea barusan sontak membuat Abi tersadar dengan apa yang baru saja dia lakukan. Entah setan apa yang sudah masuk ke dalam pikirannya hingga berani mengusap punggung Dea, apa lagi di depan Rahayu."Maaf," ucapnya."Aku ndak papa, Mas.""Jadi gimana, Bi? Kamu mau menginap di sini nggak? Kebetulan di sini masih ada kamar kosong.""Apa Abi tidak merepotkan Ibu dan Dea kalau menginap di sini?"Rahayu malah tertawa mendengar pertanyaan Abi barusan. "Tentu saja tidak, Bi. Bukankah kamu dulu sering menginap di sini ketika masih berpacaran dengan Dea?""Ibu ...," desah Dea menahan malu karena sang ibu mengungkit-ungkit kisah masa lalunya bersama Abi. Abi memang sering menginap di rumahnya saat mereka masih menjalin hubungan karena jalan menuju rumahnya dulu
Jena pikir, Abi ke Semarang hanya sehari. Namun, Abi ternyata pergi ke Semarang selama tiga hari. Selama itu pula Abi tidak pernah menelepon atau pun mengirim pesan pada dirinya. Apa mungkin Abi sibuk? Namun, Abi biasanya selalu menyempat diri untuk memberi kabar sesibuk apa pun itu.Rasanya Jena ingin sekali menelepon Vano untuk menanyakan Abi. Namun, dia tidak berani melakukannya karena takut mengganggu. Akhirnya yang bisa dia lakukan hanya merenung sendirian di dalam kamar sambil berharap Abi akan meneleponnya.Sebuah mobil suv berwarna hitam memasuki halaman. Abi cepat-cepat turun dari mobilnya begitu tiba di rumah sambil menenteng dua buah paper bag berisi lumpia khas Semarang. Raut bahagia terpancar jelas di wajah tampannya.Abi merasa sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama Dea. Mereka pergi ke tempat yang dulu sering mereka kunjungi ketika masih menjalin hubungan asmara. Mereka pergi ke kebun teh, klenteng Sam Po Kong, dan Vanaprastha Gedong Songo Park. Abi seolah-olah
"Ardilla tadi nggak sengaja ketemu sama kak Abi di mall."Jena tersentak, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar ucapan Ardilla barusan. Ternyata ketakutan yang selama ini dia rasakan terbukti benar adanya. Abi memang berkencan dengan wanita lain di belakangnya."A-apa mas Abi pergi bersama seorang perempuan?""Kenapa Kak Jena bertanya seperti itu? Apa Kak Jena pikir kak Abi selingkuh?""Em, maksud kakak bukan begitu. Kakak cuma—""Kak Jena jangan berpikir yang tidak-tidak. Kak Abi tidak mungkin selingkuh karena dia sangat mencintai Kak Jena," ucap Ardilla terdengar sangat menyakinkan karena dia tidak tahu bagaimana kelakuan kakak kandungnya itu yang sebenarnya."Ardilla tadi lihat kak Abi di toko perhiasan. Kayaknya kak Abi ingin membelikan sesuatu untuk kak Jena.""Benarkah?" Ada debaran halus yang menggelitik hati Jena. Dia tidak pernah menyangka jika Abi diam-diam menyiapkan kejutan manis untuknya.Seharusnya dia tidak berpikiran buruk tentang Abi
"Non."Jena menggeliat pelan karena seseorang menepuk lengannya pelan."Non Jena, bangun."Jena mengerjapkan kedua matanya perlahan. Awalnya penglihatannya samar, tapi lama-kelamaan berubah jelas saat cahaya putih menerobos masuk ke dalam indra penglihatannya."Kenapa Non Jena tidur di sini? Kalau Non Jena sakit gimana? Tuan dan nyonya Dewangga nanti pasti akan marah sama saya," desah seorang pelayan yang melihat Jena tidur di depan pintu kamar.Jena mengedarkan pandang ke sekitar. Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya ketika menyadari kalau dia semalam tertidur di depan pintu kamar karena Abi tidak mau membukakan pintu untuknya.Jena tidak pernah menyangka Abi tega membiarkannya tidur di luar sendirian hanya karena dia lancang memakai kalung yang akan Abi berikan pada klien. Andai saja dia tahu kalau Abi ingin memberikan kalung berliontin infinity itu pada klien, dia pasti tidak akan memakai kalung tersebut."Non Jena bisa masuk angin kalau duduk di lantai terus. Ayo, Non.
"Jena, bangun. Makan dulu, Sayang.""Erngh ...." Jena mengerang tertahan karena Anita mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Wajah gadis itu terlihat pucat, badannya pun agak sedikit demam."Kita ke dokter ya, Sayang?" tawar Anita untuk yang kesekian kalinya. Namun, Jena terus saja menolak."Wajahmu terlihat sangat pucat, Sayang. Badanmu juga agak demam. Ibu takut nanti terjadi sesuatu sama kamu dan calon cucu ibu. Kita ke dokter, ya?"Jena lagi-lagi menggeleng. "Tidak perlu, Bu. Jena cuma butuh istirahat.""Tapi, Sayang ....""Ibu jangan khawatir karena Jena baik-baik saja. Jena cuma merasa sedikit pusing."Anita menghela napas panjang. "Baiklah, ibu tidak akan memaksa kamu lagi. Tapi kamu makan dulu, ya?"Anita membantu Jena untuk bangun lantas menata beberapa buah bantal di ujung tempat tidur agar Jena bisa makan dengan nyaman. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu kemudian meraih semangkok bubur yang ada di atas meja."Kamu mau makan sendiri atau ibu suapi?""Jena mak
Kristal bening itu akhirnya jatuh membasahi pipi Jena. Padahal gadis itu sudah berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh di depan Abi."Jena hanya butuh penjelasan dari Mas Abi. Kenapa Mas Abi malah bersikap kayak gini sama Jena?" Air mata itu jatuh berderai-derai membasahi pipi Jena. Sedikit pun dia tidak pernah menyangka Abi akan bersikap seperti ini pada dirinya. Padahal di awal pernikahan Abi sangat sayang dan perhatian pada dirinya.Abi memperlakukannya dengan sangat baik seolah-olah dirinya hal terindah yang Tuhan ciptakan di dunia ini. Namun, semuanya berubah semenjak Abi pulang dari Semarang. Lelaki itu sekarang bersikap acuh tak acuh pada dirinya. Abi bahkan tidak pernah bertanya lagi tentang perkembangan calon buah hati mereka."Jena minta maaf kalau salah. Tolong maafin Jena, Mas." Jena seperti seorang pengemis yang mengharapkan belas kasihan dari Abi. Jena merasa sangat menyesal dan berharap Abi mau memaafkan kesalahannya.Namun, air mata dan penyesalannya tidak
Jena mencicipi nasi goreng buatannya yang sebentar lagi matang. Dia segera mematikan kompor setelah memastikan kalau rasa nasi goreng tersebut sudah pas dan siap untuk dihidangkan. Jena biasanya hanya membuat roti bakar atau pancake untuk sarapan. Namun, suami tercinta ingin sarapan nasi goreng Demi menuruti permintaan Elrangga, Jena pun membuat nasi goreng pagi ini. Tidak lupa dia membuat telur dadar untuk pelengkap. Setelah semua siap, Jena bergegas pergi ke lantai atas untuk membangunkan Elrangga. Setelah menikah, Jena dan Elrangga memutuskan untuk tinggal di rumah mereka sendiri. Anita dan Dewangga sebenarnya tidak ingin mereka pindah. Namun, Jena dan Elrangga sudah sepakat kalau mereka akan tinggal di rumah mereka sendiri setelah menikah. Dengan berat hati, Anita dan Dewangga pun menuruti permintaan Jena dan Elrangga dengan syarat mereka harus sering-sering berkunjung ke rumah. Jena menyibak tirai yang menutupi jendela kamarnya. Kamarnya yang semula gelap pun seketika beruba
Dengan tangan gemetar dan napas yang masih tersengal, Jena bergegas menuju ruangan VIP yang ada di rumah sakit Citra Medika. Semua orang yang berada di lorong rumah sakit menatap Jena aneh karena penampilannya mirip sekali dengan orang gila.Rambutnya acak-acakan, bahkan saking paniknya dia sampai lupa memakai sandal.Beberapa jam yang lalu Jena mendapat telepon dari Ardilla. Mantan adik iparnya itu memberi tahu kalau Elrangga mengalami kecelakaan dan kondisinya sekarang sedang kritis.Jantung Jena mencelus melihat Elrangga yang terbaring tidak sadarkan diri dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Dia langsung memeluk Elrangga dengan erat, sementara air mata jatuh semakin deras membasahi pipinya. Jena benar-benar takut Elrangga pergi meninggalkannya untuk selamanya."Mas El, sadarlah. Jangan tinggalin Jena dan Arjuna sendirian ...," gumam Jena dengan suara gemetar karena menahan sesak yang menghimpit di dalam dadanya. Dia benar-benar takut kehilangan Elrangga."Jena men
"Arjuna kangen sekali sama ayah. Kenapa ayah tidak pernah datang, Ibu?"Jena yang sedang menjahit baju milik Arjuna sontak berhenti ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut putra sulungnya itu. Akhir-akhir ini Arjuna memang sering menanyakan Elrangga karena sudah dua bulan lebih lelaki itu tidak datang menemui mereka. Memberi kabar pun tidak.Bukan tanpa alasan kenapa Elrangga tidak pernah datang karena Jena sendiri yang meminta. Jena ingin menjauh dari kehidupan Elrangga agar lelaki itu bisa membuka hatinya untuk Allecia."Ayahmu sedang sibuk bekerja, Arjuna. Makanya ayah tidak sempat mengunjungimu." Jena terpaksa berbohong untuk yang kesekian kalinya. Dia tidak mungkin memberi tahu Arjuna alasan sebenarnya yang membuat Elrangga tidak pernah datang mengunjungi mereka.Wajah Arjuna seketika berubah sendu. Padahal Elrangga selalu menyempatkan diri untuk datang mengunjunginya di sela-sela kesibukannya yang padat. Namun, Elrangga sekarang tidak pernah datang menemuinya. Arjuna
"Di kampung sekarang sedang musim buah apa, Jena?"Jena tidak mendengar pertanyaan Anita dengan jelas karena dia sibuk memperhatikan Elrangga dan Allecia yang sedang berbincang di ruang tamu sejak tiga puluh menit yang lalu. Entah hal apa yang sedang mereka bicarakan karena ekspresi Elrangga terlihat sangat serius.Rasanya Jena ingin sekali pergi ke ruang tamu agar bisa mengetahui apa yang sedang Elrangga dan Allecia bicarakan. Namun, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya."Kamu lihat apa, Jena?" Jena tergagap karena Anita menyentuh punggung tangannya pelan. "Bukan apa-apa, Bu," jawabnya terdengar gugup.Anita pun mengikuti arah pandang Jena. "Kamu sedang melihat Rangga dan Allecia?"Jena menelan ludah susah payah. Dia tidak pernah menyangka Anita tahu kalau dia sedang memperhatikan Elrangga dan Allecia sejak tadi. "Ti-tidak, Bu. Jena tadi sedang melihat jam di ruang tamu," dusta Jena. Semoga saja Anita percaya dengan ucapannya.Anita sebenarnya tidak percaya dengan apa
"Nenek!" Arjuna berlari kecil sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar menghampiri Anita.Anita tampak begitu senang karena Arjuna akhirnya datang ke rumahnya. Dia pun meraih tubuh mungil Arjuna ke dalam gendongan lalu menghujani wajah cucu kesayangannya itu dengan ciuman."Aduh, Nenek! Geli!" Arjuna terkikik geli karena Anita terus menciumi wajahnya."Nenek kangen sekali sama Arjuna. Apa Arjuna tidak kangen sama nenek?""Arjuna juga kangen sekali sama Nenek." Arjuna menenggelamkan wajahnya di leher Anita dengan manja. Anak itu pintar sekali mengambil hati neneknya."Apa Arjuna tidak kangen sama kakek?"Arjuna sontak mengangkat wajahnya dari leher Anita, melihat seorang lelaki paruh baya yang berdiri tepat di belakang neneknya."Kakek!" pekiknya sambil mengulurkan kedua tangan ke arah Dewangga, minta digendong.Dewangga pun mengambil alih Arjuna dari gendongan Anita lantas mencium pipi cucu pertama sekaligus pewaris perusahaan Dewangga itu dengan penuh sayang. Sepasang mata abu
"Ibu, ayo, cepat! Biar ayah nanti tidak menunggu kita terlalu lama.""Iya, Sayang. Awas, jangan lari-lari. Nanti kamu jatuh." "Arjuna udah hati-hati, Ibu. Jangan khawatir."Jena hanya bisa menghela napas melihat tingkah putranya. Siapa yang akan menyangka jika bayi prematur yang dia lahirkan lima tahun lalu itu sekarang tumbuh menjadi anak yang begitu aktif dan cerdas.Padahal kondisi Arjuna sempat menurun karena dia stres memikirkan proses perceraiannya dan Abi. Dia bahkan sudah pasrah jika Tuhan ingin mengambil Arjuna kapan pun darinya karena dia tidak tega melihat putra semata wayangnya itu terus tersiksa.Namun, keajaiban itu tiba-tiba datang. Kondisi Arjuna berangsur-angsur membaik hingga berhasil melewati masa kritis. Tiga bulan kemudian dokter akhirnya mengizinkan Arjuna pulang. Namun, anak laki-lakinya itu harus tetap diperhatikan secara ekstra karena daya tahan tubuhnya lemah.Jena merasa sangat bersyukur Arjuna akhirnya sembuh. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan ter
"Mas minta maaf, Jena. Mas sungguh-sungguh minta maaf ...." Abi menangis tersedu-sedu sambil besimpuh di kaki Jena. Penyesalan dan rasa bersalah tergambar jelas di wajahnya. Abi merasa sangat menyesal sudah menyakiti Jena."Percuma saja kau minta maaf. Dasar, Berengsek!" Elrangga ingin melayangkan pukulannya kembali ke wajah Abi. Sepertinya dia belum puas memberi Abi pelajaran padahal kondisi kakak kandungnya itu sudah babak belur."Rangga hentikan! Tahan emosimu!" Dewangga dengan sigap menahan Elrangga agar tidak memukuli Abi lagi meskipun dia sendiri juga merasa sangat kecewa dengan putra pertamanya itu.Wajah Elrangga tampak mengeras, dadanya pun naik turun. Amarah dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya ketika menatap Abi. Elrangga sangat marah sekaligus kecewa karena Abi tega menyakiti Jena berkali-kali."Jena, Mas mohon. Tolong maafin, Mas ...,"Jena hanya diam, tatapan kedua matanya pun terlihat kosong karena kenyataan ini membuatnya sangat terpukul. Padahal dia
Jena keluar dari rumah sakit sejak tiga hari yang lalu. Padahal dia ingin terus berada di dekat buah hatinya, tapi dokter malah menyuruhnya untuk pulang. Untung saja dokter mengizinkannya untuk melihat keadaan sang buah hati yang masih dirawat di NICU setiap hari.Abi sampai sekarang juga belum mengambil keputusan, memilih untuk kembali bersama Jena atau meninggalkan Dea. Lelaki itu sangat plin-plan dan tidak punya pendirian. Jena sendiri pun bingung menjelaskan hubungannya dengan Abi sekarang. Status mereka memang masih suami istri, tapi Abi tidak bisa bersikap selayaknya seorang suami.Jena harap Abi bisa berubah. Dia akan membuka pintu maafnya lebar-lebar dan memberi Abi kesempatan jika mau meninggalkan Dea dan memilih kembali bersama dirinya. Namun, Abi tidak kunjung mengambil keputusan padahal dia hanya memiliki waktu dua hari lagi.Bagaimana kalau Abi lebih memilih Dea dari pada dirinya? Apakah dia sanggup membesarkan buah hatinya seorang diri tanpa Abi?Jena menggigit bibir bag
Ada tujuh buah inkubator di dalam ruangan berukuran lumayan besar tersebut. Semua bayi yang ada di dalam kotak kaca itu sama-sama berjuang keras agar tetap hidup dengan bantuan alat medis yang berukuran lebih besar dari tubuh mereka.Abi menatap nanar seorang bayi laki-laki yang berada di dalam salah satu inkubator tersebut. Tubuh anaknya terlihat sangat kurus. Dia bahkan bisa melihat jantung anaknya yang sedang berdetak. Kondisi buah hatinya sangat memprihatinkan dan semua ini terjadi karena kesalahannya. Abi merasa sangat menyesal sudah berselingkuh dengan Dea hingga membuat Jena harus melahirkan buah hati mereka lebih cepat. Namun, sebesar apa pun penyesalan yang saat ini sedang dia rasakan, dia tidak mungkin bisa kembali ke masa lalu untuk menghapus semua kesalahannya.Padahal dia dan Jena sudah memiliki rencana untuk membesarkan buah hati mereka bersama-sama hingga maut memisahkan. Dia dan Jena bahkan sudah mempersiapkan nama dan pendidikan terbaik untuk buah hati mereka hingga