Prang!
Bruk!Mataku terbuka mendengar suara keras. Aku langsung terbangun membuat kepalaku jadi pusing. Aku tertidur setelah subuh karena mengantuk, semalam tidak bisa tidur lagi setelah menenangkan Reza. Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam. Reza masih ada di sebelahku, tidak terganggu sama sekali dengan bunyi keras barusan.Aku berdiri dan menuju sumber suara, dari dapur sepertinya. Istriku mencuci piring sambil mendengarkan lagu. Diapun bersenandung kecil mengikuti lirik lagu itu. "Ku menangis, membayangkan. La la la la la..." Mungkin dia tidak hafal liriknya."Suara apa tadi mah, kok keras banget, papah sampai kaget," kataku setelah sampai di dapur."Piring sama cobek jatuh pah." Jawabnya tanpa menghentikan aktivitasnya mencuci piring. Dari nada suaranya sepertinya dia marah."Mamah marah ya?""Nggak."Sudah ku tebak. Apalagi kalau bukan marah. Dia yang salah yang harusnya instrospeksi diri, akhirnya aku yang minta maaf juga. Pagi-pagi sudah bikin energiku terbuang untuk menghadapi Rina yang marah. Kubiarkan saja dia lalu kutinggal mandi. Aku mengajaknya bicara agar menemukan solusi, malah jadi nambah masalah.Baju kerjaku lagi-lagi belum disiapkan. Aku menyetrika pakaianku dan juga seragam sekolah Fikri. Setelah siap, kuajak Fikri ke meja makan. Reza sedang memakan buah apel yang sudah dipotong kecil-kecil di atas kursi makannya.Rina masih menata masakannya di meja makan. Aku menyiapkan piring dan gelas. Dia masih cemberut sambil mengambilkan nasi untuk Fikri. Dia mengambil nasi untuknya sendiri dan mengabaikan aku. Aku yang tidak mau ribut menyendok nasiku sendiri dan menaruh lauk di atasnya. Kami makan dalam diam diselingingi ocehan Reza yang senang setelah disuapi makanannya."Mungkin istriku memang butuh hiburan," batinku. Melihatnya makan sambil menyuapi anak kami rasanya kasihan juga. Dia juga pasti lapar tapi tetap memikirkan anak kami terlebih dulu.Setibanya di kantor aku melihat Yuni menaruh segelas kopi di mejaku."Eh, pak Andra sudah datang. Saya buatin kopi pak, tanda terima kasih kemarin sudah ditraktir."Waah makasih Yun, nggak perlu repot-repot sebenarnya. Nanti juga pak Roni biasa bikin kopi buat saya.""Nggak papa kan pak sekali-kali," katanya sambil tersenyum. Manis sekali."Astaga Andra, jangan sampai tergoda, ingat istri di rumah," aku bicara pada diriku sendiri di dalam hati."Ya sudah saya balik ke meja saya ya pak." Yuni berjalan menuju meja kerjanya. Penampilannya hari ini fresh sekali, rok hitam span selutut dan kemeja pink yang pas di badan, dia memang pintar memadupadankan pakaian. Cocok sekali untuknya. Lalu terbayang Rina dengan daster bolongnya dan rambut yang diikat asal-asalan sedang berbaring sambil melihat hpnya tanpa kedip.Padahal kalau keluar rumah dia bisa loh dandan, pakai pakaian yang bagus. Tapi kalau di rumah kenapa penampilannya sama sekali berkebalikan. Bahkan paket skincare yang dia minta jarang tersentuh, cuma kadang-kadang saja kalau mood baru dia mau pakai.Kugelengkan kepalaku untuk mengusir pikiranku tentang Rina. Aku harus fokus kerja. Aku meminum kopi bikinan Yuni, tanpa sengaja aku bertemu mata dengan dia. Aku pun tersenyum sambil mengangkat gelas kopiku. Pertanda aku menikmati kopi bikinannya. Setelah minum kopi, pikiranku lebih bisa diajak kerja sama. Mari mulai bekerja.***Setelah rapat tim untuk membahas strategi pemasaran, kami pergi untuk makan siang bersama di restoran dekat perusahaan yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Kami segera memesan makanan setelah duduk di kursi.Kebetulan aku duduk di sebelah Yuni, dapat kucium aroma parfumnya yang harum dan manis. Lagi-lagi aku kepikiran Rina yang mulai malas mandi. "Kenapa aku selalu membandingkan mereka sih," aku membatin."Pak Andra kok melamun sih," Sari bertanya padaku yang terlihat diam saja."Ah nggak papa Sar, udah laper. Lama ya makanannya datang," Jawabku mengalihkan pembicaraaan."Bukan karena mikirin seseorang pak," kata Sari sambil menutup mulutnya pura-pura tertawa."Mikirin siapa sih, kamu ada-ada aja Sar.""Ya siapa lagi kalau bukan yang di rumah. Masa mikirin Yuni." Sari masih saja mengompori."Apaan sih Sar, kok nyasar ke aku," kata Yuni sambil melirik ke arahku salah tingkah."Bercanda kali Yun. Ngarep ya lu."Mereka pun tertawa bersama begitupun aku.***Aku sudah bersiap-siap untuk pulang. Tapi kulihat hujan turun dan mulai deras. Beberapa rekan mengeluhkan hujan yang datang menjelang waktu pulang, membuat repot dan macet di jalan. Aku berjalan menuju tempat parkir, sampai kudengar Sari memanggil."Pak Andra." Aku berjalan ke arah Sari dan ternyata dia bersama Yuni."Ada apa Sari?""Yuni mau nebeng pulang boleh nggak pak? Rumah Yuni kan searah sama rumah bapak. Kalau naik ojol kasian nanti basah-basahan dia. Ya pak Andra yang baik dan tampan," katanya sambil tersenyum."Lalu kamu gimana?""Saya dijemput suami saya pak, masih di jalan. Cuma arah rumah saya kan berlawanan sama Yuni. Dari pada bolak-balik kan mending ikut bapak aja biar sekalian.""Ya sudah kalau begitu. Saya ambil mobil saya dulu ya Yun, kamu tunggu di lobi saja."Di perjalanan hujan semakin deras membuat jalanan menjadi macet. Agar tidak bosan aku pun menghidupkan radio, terdengar DJ yang membawakan acara dengan hangat. "Dan untuk pendengar yang sedang terkena macet di jalan karena hujan yang terus mengguyur semoga bisa enjoy habis dengerin lagu ini. Ini dia cinta kita dari Shiren dan Wisnu."Lagu itupun mengalun dengan merdu. Lagu tahun 2000an yang hits pada masanya. "Biar cinta kita, tumbuh harum mewangi." Kudengar lirih suara Yuni ikut bersenandung. Oh iya dia pasti tahu lagu itu. Memang sedang hits waktu dia remaja."Rumah kamu di sebelah mana Yun?""Perumahan sebelum Cita Swalayan pak, bapak tahu kan?""Oh oke, tahu kok, kan sering lewat tiap hari," aku menjawab sambil menoleh kearahnya. Diapun tersenyum melihat ke arahku."Maaf ya pak jadi merepotkan. Tadi sudah mau pesan ojol tapi malah Sari manggil bapak minta buat nganter saya sekalian.""Nggak papa Yun, searah ini, jadi nggak repot.""Istri bapak nggak bakal marah kan pak?""Kenapa marah? Emangnya saya ngapain, santai saja Yun, dia baik kok." Lagian kenapa harus marah wong cuma ngasih tebengan ke rekan kerja. Lagian kalau aku nggak ngomong juga dia nggak tahu.Aku membelokkan setir ke kanan memasuki perumahan tempat tinggal Yuni."Blok F ya pak nanti masuk, rumah nomer 15 paling ujung."Aku mengemudikan mobilku sesuai arah yang ditunjukkan Yuni dan sampailah di rumah bercat kuning yang terlihat bersih dan asri. Yuni sepertinya mengurus rumah dengan baik. Aku menepikan mobil."Makasih ya pak tumpangannya. Mau mampir dulu pak?""Mampir? Mau ngapain aku mampir ke rumah janda muda hujan-hujan begini?" pikirku."Pak Andra.""Eh iya Yun. Emm maksudku lain kali aja, sudah sore takutnya tambah macet jalannya.""Oh ya sudah, saya turun ya pak, makasih sekali lagi." Yuni menutup pintu dan berlari ke teras rumahnya. Dia masih berdiri di teras sambil menungguiku memutar arah mobilku, lalu melambaikan tangannya saat mobilku mulai berjalan."Wangi sekali parfum Yuni, orangnya sudah pergi, wanginya masih ada," kataku menghirup napas dalam-dalam. Andai saja Rina, ah lagi-lagi aku membandingkan mereka.BersambungLampu rumah masih gelap. Padahal hujan deras begini, mendung menggantung begitu pekat, "Kemana Rina?" Aku mengerutkan keningku saat membelokkan mobilku memasuki halaman rumahku.Setelah memasukkan mobil ke garasi, langsung aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kemana istri dan anakku, kenapa rumah sepi sekali. Benar juga tadi aku tidak melihat motor Rina di garasi, berati kemungkinan dia keluar. Apa jangan-jangan dia kabur gara-gara perkataanku kemarin. Kuambil hp di dalam tasku, lalu mulai mencari kontak Rina dan langsung menekan tombol telepon. Tuuut ... Tuuut ... Tuuut ...Tersambung tapi tidak diangkat. Apa dia pulang ke rumah orang tuanya. Tapi nekat sekali membawa kedua anakku naik motor. Kuacak rambutku karena cemas. Apa ku telepon saja mertuaku. Aku harus bilang apa pada mereka. Iya kalau mereka bertiga di sana kalau tidak bagaimana? Malah hanya membuat kedua orang tua itu khawatir saja. Aku masih berusaha menelepon Rina. Sekali, dua kali, tiga kali. Tetap tidak diangkat. Dia k
[Aku hanyalah manusia biasa yang tak pernah lepas dari-]Ringtone hp Andra berbunyi pagi-pagi sekali. Andra melihat hpnya, terlihat nama 'ibu tersayang' sedang memanggil. Andra menjawab panggilan ibunya dengan segera."Assalamualaikum bu.""Wa'alaikumussalam Ndra. Lagi ngapain?""Baru mau mandi ini bu. Tumben ibu telepon pagi-pagi bu. Ada apa?""Ibu kangen sama cucu ibu. Ibu pengen kesana ya nanti sore. Jemput ibu di stasiun.""Apa ibu nggak capek nanti kalau kesini? Nunggu weekend aja ya, nanti Andra sekeluarga kesana.""Nggak ah, ibu pengen nginap di rumah kamu, pengen main sama cucu. Kalau nunggu hari sabtu atau minggu nanti nggak puas. Nanti anak-anak malah kecapekan, Fikri kan udah mulai sekolah SD.""Ya sudah, nanti kabarin aja ya bu, Andra bakal jemput ibu di stasiun.""Nah gitu dong. Ya sudah salam buat Rina ya." "Iya bu."Andra mencari Rina untuk memberitahukan soal kedatangan ibunya nanti sore."Mah," Rina menoleh, "Barusan ibu telepon katanya nanti sore mau ke rumah.""Ibu
Hari-hari ku jalani seperti biasa. Kedatangan ibu membawa berkah pada perubahan Rina. Hampir-hampir aku tidak melihatnya menggenggam hp saat di rumah kecuali sebentar. Saat malam pun dia tidak tidur terlalu larut karena takut bangun kesiangan.Rina juga sepertinya lama-lama capek marah padaku. Mungkin karena ibu juga memberikan satu atau dua nasehat rumah tangga untuk kami, menceritakan rumah tangga beliau dulu dengan almarhum ayah yang bisa awet sampai empat puluh tahun. Lima hari sudah ibu menginap, siang nanti rencananya ibu akan pulang naik kereta. Aku menawarkan ingin mengantarnya pakai mobil tapi ibu menolak. Katanya naik kereta sekarang nyaman dan lebih cepat sampai, naik mobil harus macet-macetan apalagi hari weekend. Kami dari pagi sudah bersiap mau jalan-jalan dulu sebentar dan membawa ibu makan di luar sebelum mengantarnya ke stasiun. Setelah sarapan kami langsung berangkat ke sebuah tempat wisata baru di kota. Banyak permainan anak-anak dan spot foto yang menarik. Setela
Setelah terbangun dari tidur soreku, aku keluar kamar dan mendapati Rina sedang tiduran menonton drakor sambil menangis. Drama perselingkuhan suami dengan perempuan yang lebih muda apa iya begitu menyedihkan. Bukannya biasanya ibu-ibu geregetan kalau nonton film genre begitu.Aku menuju ke dapur untuk mengambil minum. Sudah sore begini Rina belum masak. "Nonton orang berantem kok nangis sih." Aku duduk di depan Rina dan berkomentar. Rina hanya melihatku sekilas dan lanjut nonton. "Mamah marah sama papah?" Tidak ada jawaban. "Dek Rina? Jangan begini terus dong. Kalau ada masalah dibicarakan, jangan aku didiamkan begini."Rina bangun dari tiduran dan duduk melihatku dengan sengit. "Yuni itu yang mas maksud rekan kerja cantik ya? Sampai nganterin ke rumahnya segala." Tepat. Itu yang bikin dia marah. "Kan tadi papah udah bilang waktu itu hujan deras. Papah cuma ngasih tebengan aja, kebetulan rumah Yuni searah sama rumah kita. Jadi kan sekalian jalan." "Terus kenapa nggak cerita sama aku
Aku kecewa dengan Rina yang semakin hari justru semakin menjadi. Aku pikir kemarin dia kelelahan, ternyata setelahnya dia justru semakin keterlaluan. Awalnya dia bilang capek karena selama beberapa hari ibu di rumah dia tidak bisa istirahat. Tapi ternyata kebiasaannya bermalas-malasan kembali lagi.Benar juga, bagaimana aku bisa berharap dia berubah hanya dalam semalam. “Padahal dia begitu takut aku berselingkuh hanya karena aku mengantarkan Yuni pulang.” Kuhela nafas panjang merebahkan diriku di samping Rina yang sedang meninabobokan Reza.Aku melihat ke langit-langit kamarku, teringat kejadian siang tadi. Aku mendengar Yuni dan Sari yang sedang mengobrol di pantry saat istirahat siang. Sari sedang menenangkan Yuni yang sepertinya sedang sedih, hanya sekilas aku mendengar karena tidak enak berdiri terlalu lama di dekat mereka.“Mas Arya keterlaluan Sar, hari minggu kemarin aku dan Kia bertemu dengannya di mall. Kia langsung berlari ke arahnya dan memanggilnya ayah, tapi bisa-bisanya
Setelah mendengar perkataan Andra soal ayahnya Kia langsung menangis. Andra merasa bersalah karena membuat anak kecil itu kembali mengingat kejadian kemarin. Dia pun mengelus kepala Kia dan memeluknya.“Iya, iya maafin om Andra ya.” Tangisan Kia menarik perhatian pengunjung. Beberapa orang seperti memandang tidak suka karena merasa terganggu, sebagian lain seperti penasaran kenapa Kia menangis keras.Andra meminta maaf lewat isyarat kepada pengunjung yang lain yang merasa terganggu. Kami berusaha mengalihkan perhatiannya agar dia merasa terhibur. Fikri yang melihat Kia menangis juga sepertinya merasa kasihan, dia berbagi video kartun kesayangannya yang ada di hpku. Setelahnya Kia lumayan tenang.Kia awalnya hanya melihat saja tapi sudah mulai terlihat senyumannya kembali saat melihat karakter kuning yang lucu. Mereka tertawa bersama, walaupun masih ada sisa air mata yang menggenang di mata Kia. Beberapa kali aku merasa Kia melihat ke arahku saat aku mengobrol dengan Yuni.Saat Kia mel
Tidak ada yang salah dengan sebuah keinginan. Asal keinginan itu tidak merugikan orang lain. Menginginkan kebahagiaan seperti yang orang lain miliki tentu saja boleh, tapi bukan dengan merebut sumber kebahagiaan orang itu.***Yuni tengah bersiap untuk berangkat ke kantor. Dia terlihat sedang mencoba beberapa kemeja. Setelah beberapa kali dia mencoba, kemeja putih dan celana panjang hitam dia pilih. Kemeja yang sangat pas di badannya. Dia sengaja membuka satu kancing bagian atasnya, membuat dadanya yang putih dan mulus terlihat.Dia juga berdandan lebih lama dari biasanya. Dia mencoba make-up korean look yang membuat wajahnya terlihat lebih muda. Sempurna. Dia puas dengan hasil pulasannya. Setelah beberapa kali belajar dari youtube akhirnya dia bisa mendapatkan hasil make-up yang dia inginkan. Rambut sepinggangnya yang lurus dia biarkan terurai.Yuni keluar kamar dan pergi ke ruang makan. Di sana ibunya sudah menyiapkan sarapan untuknya. Kia juga sudah duduk dengan segelas susu coklat
Mobil Andra berhenti di depan rumah Yuni. “Mau mampir dulu pak?” Yuni menawarkan. “Nggak usah Yun, saya langsung jalan pulang saja ya.” Yuni mengangguk dan tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih lalu turun. Dia berlari menuju teras rumahnya.“Om Andlaaa.” Kia sudah di teras dan memanggil Andra. Kia melambaikan tangannya pada Andra sambil tersenyum lebar.“Om Andla sini main.” Kia melambaikan tangan meminta Andra untuk masuk ke rumahnya. Andra hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Tapi Kia merengek pada Yuni, “Mah om Andla suluh masuk, Kia mau main sama om Andla.” Yuni berusaha menjelaskan kalau Andra harus segera pulang.Andra yang melihat Kia hampir menangis akhirnya tidak tega dan memutuskan memarkirkan mobilnya. Dia turun dan berlari masuk ke dalam teras rumah Yuni. “Yey, sini om, masuk ke lumah Kia. Mainan Kia banyak.” Kia menarik tangan Andra memintanya masuk.Yuni mengulas senyum melihatnya. Kia pintar sekali. Yuni mengikuti keduanya memasuki rumah. “Sini om Andla, lihat
Perasaan Rina semakin tidak enak karena suaminya belum kunjung datang. Padahal jarak kantor Andra ke rumah sakit tidak sampai setengah jam. "Mampir kemana sih Mas Andra." Rina melihat hpnya lagi. Reza tertidur di pangkuannya setelah lelah menangis. Dia diminta keluar untuk menenangkan putranya. Apalagi Reza masih kecil tidak seharusnya diijinkan masuk ke ruangan. Rina mengawang, menatap dinding dan plafon rumah sakit. "Rina!" Lamunan Rina buyar saat mendengar suara yang memanggil namanya. "Pah. Kamu kenapa?" tanya Rina. Dengan susah payah dia bangkit dari kursi sambil menggendong Reza. "Ada insiden di jalan. Aku nabrak." Andra tampak meringis sambil mengelus kepalanya. Andra datang dengan dahi memerah. Penampilannya juga acak-acakan, kemejanya sudah keluar dari celana dan lengan kemejanya sudah tergulung sampai ke siku. "Ya ampun kok bisa sih Pah." Rina ingin menyentuh luka di dahi Andra tapi ditepis oleh Andra. "Ibu gimana?" tanya Andra. "Barusan sudah di
'Permintaan pertemanan diterima'Sebuah notifikasi muncul di hp Rina. Baru saja Rina akan membukanya, suara Bu Aisyah terdengar memanggilnya. "Iya bu." Rina meletakkan hpnya, segera mendekat pada bu Aisyah. Ibu mertuanya terlihat kesakitan terduduk di lantai teras. "Ibu kenapa bu?" Rina buru-buru berlari mendekati Bu Aisyah. Bu Aisyah memegangi dadanya, keringat dingin mulai terlihat di dahinya, pertanda dia sedang menahan sakit. "Sa...kit Rin." Rina panik dan segera meminta tolong tetangga samping rumahnya. "Bu Vina, tolong bu. Mertua saya sakit, bisa tolong antar ke rumah sakit." Rina sudah tidak bisa tenang, dia kembali ke rumah setelah Bu Vina menyanggupinya."Ibu tahan ya, kita ke rumah sakit sekarang." Bu Aisyah yang duduk bersandar ke dinding hanya mengangguk lemah.Rina ke dalam rumah dan menggendong Reza yang sedang tidur dan bersiap ke rumah sakit. Dalam perjalanan, dia sudah mencoba menghubungi suaminya tetapi tidak juga diangkat. "Kemana aja sih nih orang, kenapa
Yuni tersenyum saat melihat status yang dia posting dilihat oleh Andra. Tidak biasanya atasannya itu melihat statusnya."Pak Andra pasti sadar kalau itu buat dia. Hihi." Yuni bicara sendiri."Mama ngapain sih?" Kia mendekatinya. "Cantik nggak mama sayang?" Yuni memperlihatkan foto yang dia posting. Kia mengangguk, "Cantik. Kalau Kia cantik nggak?" "Cantik dong, anak mama." Yuni mencium kening Kia. "Om Andla nggak ke sini ya ma? Kia kangen pengen main baleng.""Hari ini om Andra nggak bisa ke sini sayang, neneknya Fikri datang jadi om Andra nggak bisa main dulu sama Kia." "Oh ada nenek." Kia diam tidak berkata lagi."Kia kenapa?" "Nggak apa-apa ma, aku masih sebel sama temenku di sekolah. Dibilangin Kia punya ayah dia nggak pelcaya." "Biarin aja ya sayang, anak nakal nggak usah ditemenin. Kia main sama yang lain aja ya." Yuni sebenarnya kesal juga dengan anak-anak itu. Mungkin kapan-kapan dia harus datang ke acara sekolah anaknya dan menegur anak yang bicara tidak baik pada Kia.
“Pak Andra,” Yuni memanggil. Andra menoleh pada Yuni, “Ya?” Yuni terlihat salah tingkah, “Em, saya mau ngundang bapak makan malam di rumah saya nanti malam. Bapak bisa kan? Sebagai ucapan terima kasih saya sama bapak. Bapak udah baik banget sama anak saya, ucapan terima kasih saja saya pikir nggak cukup pak.” “Sepertinya nggak bisa Yun.” Jawaban Andra langsung melunturkan senyum Yuni. Padahal dia sudah berpesan pada ibunya untuk memasak makan malam spesial karena dia ingin mengundang Andra makan malam. Bahkan dia berdebat dengan ibunya karena itu. Bu Maryam tidak setuju dengan Yuni yang ingin merebut perhatian Andra. Setelah meyakinkan ibunya beberapa lama, barulah bu Maryam mau mengalah walau berat hati.Tapi Andra menolaknya langsung tanpa berpikir terlebih dulu. “Ibu saya mau datang Yun. Jadi saya nggak bisa, maaf ya.” Walaupun alasan Andra karena ibunya, tetap saja Yuni merasa kecewa. Dia pikir mereka sudah lumayan dekat, dan dia tidak mau membuang kesempatan lagi. Dia juga mu
“Ih kok nggak dibales sih sama pak Andra.” Yuni cemberut. Dia merebahkan dirinya di sebelah putrinya masih dengan melihat hpnya. Berharap Andra akan segera membalasnya. "Huh. Pak Andra lagi ngapain sih?" Yuni meletakkan hpnya.Yuni menatap buah hatinya sambil tersenyum. Kia terlihat senang sekali malam itu, tidak berhenti tersenyum karena Andra begitu baik padanya. Yuni mengelus rambut Kia, “Sebentar lagi Kia punya ayah yang sayang sama Kia. Mama janji sama Kia, Kia bakal dapat kasih sayang seorang ayah seperti yang Kia mau selama ini." Yuni mengubah posisi tidurnya menjadi telentang, dia memejamkan matanya dan membukanya kembali. Wajah Andra terbayang di pelupuk matanya. Dia mengusap wajahnya, "Kenapa aku ini." Napasnya terlihat memburu. Yuni seorang wanita biasa. Dia yang sudah menjanda selama tiga tahun tanpa pria disisinya, entah kenapa tiba-tiba malam ini hanya dengan memikirkan Andra membuat dirinya merasa panas.***Rina membuka matanya saat mendengar bunyi berisik dari ara
Rina duduk di sofa ruang tamu dengan gelisah. Sudah setengah sembilan malam tapi suaminya belum sampai rumah. Tidak ada notifikasi di hpnya dari suaminya, tapi Rina tidak ingin menghubungi lebih dulu. Dia gengsi karena sedang marah. “Lebih baik aku nonton drakor saja lah dari pada kepikiran mas Andra terus,” kata Rina sambil membaringkan dirinya di sofa. Anak-anaknya sudah tertidur lebih awal. Sepertinya mereka kecapekan karena tadi siang dia mengajak mereka ke playground. Dia sangat suntuk seharian di rumah. Pekerjaan rumah yang banyak dan itu-itu saja membuatnya bosan dan ingin menikmati waktu di luar rumah. Sambil menunggu Fikri dan Reza bermain dia memesan minuman di cafe yang berada di depan playground.Rina asyik bermain hp dan menikmati waktu sendiri. “Rina.” Dewi, temannya Rina terlihat menggandeng anaknya dan mendekat ke arahnya. Mereka heboh sendiri saat bertemu, tidak lupa cipika cipiki. Dewi meminta anaknya untuk bermain di playground bersama Fikri dan Reza, sedangkan De
“Apa salah aku istirahat sebentar dan bersenang-senang. Cuma karena baju belum dilipat dan lantai kotor sampai segitunya dia marah. Makan mi instan seminggu sekali juga enggak, banyak protes,” Rina mengomel sendirian di dalam kamar.Rina berbaring di ranjangnya dan memainkan hpnya kembali. “Terserah saja besok lagi aku nggak mau masak biar tau rasa.” Dia masih merasa kesal dengan Andra. “Aku bukan perempuan lemah mas, jangan harap aku akan berubah seperti kemauanmu kalau caramu seperti itu.”Terdengar suara pintu dibuka. Rina pura-pura tertidur dan menghadapkan wajahnya ke tembok. Andra melihat Rina dan menghela napas pelan. Bisa dipastikan besok Rina akan memulai sesi ngambeknya lagi. Siapa yang salah siapa yang minta maaf. Sudah harus rela mengalah istrinya pun tak kunjung berubah. Triing[Tidur nyenyak ya pak Andra]Andra tersenyum membuka pesan dari Yuni. Sepertinya dia akan tidur nyenyak kali ini.Seperti perkiraan Andra, Rina marah. Istrinya itu bangun lebih siang dan tetap sa
“Yun," Ibu Maryam memanggil Yuni yang sedang senyum-senyum sendiri dengan smartphonenya.“Ya bu.” Yuni bangun dan melihat pada ibunya yang mendudukkan diri di sampingnya. “Kamu sama Andra sebenarnya ada hubungan apa?” tanya bu Maryam.“Yuni belum ada hubungan apa-apa bu sama pak Andra, tapi ibu doain ya semoga sebentar lagi hubungan kami bisa ada peningkatan.” Bu Maryam agak kaget mendengar perkataan Yuni.“Kamu tahu kalau Andra punya istri? Kamu dengar kan tadi dia bilang istrinya ada di rumah.”Yuni mengangguk, “Tahu kok bu. Yuni kenal sama istrinya pak Andra.” Jawaban Yuni semakin membuat bu Maryam heran. Kalau Yuni sudah tahu Andra masih beristri bagaimana bisa dia malah ingin menjalin hubungan dengannya yang masih suami orang.“Yuni, kamu tahu dia punya istri tapi kenapa kamu ingin menjalin hubungan sama Andra.” kata bu Maryam mulai tidak sabar. “Bu, pak Andra itu beda. Dia suami setia nggak kayak mas Arya yang tukang selingkuh.”“Yun, laki-laki setia mana mungkin mau menjalin h
Andra dan Yuni saling melihat karena bingung, kenapa dengan ibu Maryam.Andra melihat jam tangannya, “Udah sore Yun, saya pamit dulu ya.” Yuni mengangguk."Om Andra pulang ya,” ucap Andra kepada Kia.Kia cemberut, “Besok main lagi ya?” Andra mengangguk, “Iya kan besok om mau beliin Kia mainan.”Kia tersenyum semakin lebar, “Janji?” katanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Andra menautkan jari kelingkingnya dan Kia.Andra pulang saat sudah mulai gelap. Lagi-lagi dia melihat rumah berantakan. Fikri dan Reza sedang menonton televisi di ruang depan, sedang Rina tidak terlihat. Mungkin sedang di belakang.“Mama ke mana kak?” Andra duduk dan bertanya pada anak pertamanya. “Nggak tahu, kayaknya tadi ke belakang.”Andra pergi ke belakang untuk mencari istrinya. Dia mendengar suara musik yang lumayan kencang. Rupanya Rina sedang merekam dirinya dan mencoba lipsing lagu yang sedang diputarnya. Dia terlihat gembira saat rekamannya selesai.“Akhirnya jadi juga.” Rina tidak sadar kalau Andr