"Tetap aja dinginnya beda kalau dengan kipas angin. Aku mau pakai AC.""Kalau ada uang kau bisa beli AC nanti kita pasang di kamarmu, Ka. Saat ini sabar dulu mengunakan kipas angin."Mbak Ani mulai berkata ketus karena Rika bertingkah seperti anak-anak. Dia tak berpikir permintaannya tak masuk akal di saat seperti ini."Atau kau hubungi saja Seno. Bukankah kalian sudah sah, menikah walau belum pasti."Aku dan ibu terkejut mendengar ucapan mbak Ani. Dia benar pernikahan Rika dan seno sah atau tidak. Karena tak ada kata sah dari penghulu, karena istri pertama seno keburu datang dan bilang tak saja."Apa maksudmu, Mbak Ani. Kau tak suka aku, Ibu dan mas Alam tinggal disini? Ingat rumah ini punya anak pertama ibu Mas Dika, jadi kami yang lebih berhak tinggal di sini.""Cukup, Ka. Mau sampai kapan kau bertingkah seperti anak-anak, aku menyayangi keluarga suamiku, karena itu tetap bersama kalian, apa kau lupa semua masalah ini terjadi karena kebodohanmu.""Sudah cukup kalian bertengkar apa
aku tersenyum melihat mas Alam dan keluarganya pucat pasi, saat mengetahui bukan rumahku yang akan di ambil oleh rentenir tapi rumah mereka.Aku sengaja membuat sertifikat palsu karena curiga dengan sikap mas Alam yang selalu berubah. Kalau tak sudi melihatku menikmati uangnya, kenapa tak dia ceraikan aku dari awal.Lagipula aku selalu dengar dia bilang punya rencana, setiap kali ribut dengan ibu atau dengan mbak Ani. Karena itu aku segera mengamankan diri, terutama rumah yang diberikan bapak dan ibu. Rumah yang menjadi saksi perjuangan orang tuaku. Sejak bapak meninggal dan ibu memilih pulang karena emaknya sudah tua dan sakit-sakitan, sedang semua saudaranya ada di luar kota semua. Hasilnya setelah nenek meninggal ibu di ijinkan menjual rumahnya, untuk membantuku merenovasi rumah bapak."Tujuh ratus juta, Asma. Ibu berhasil menjualnya atas bantuan nak Bagus."Sekali lagi pria itu memberikan bantuan yang tak bisa aku balas. Setiap kali aku mengucapkan terima kasih dia akan bilang, to
"Masuk Asma tak perlu kau lihat terus keluarga itu. Biarkan nasib membawa mereka pergi kemana?"Aku segera masuk ke dalam rumah. Menemui orang-orang yang telah banyak membantuku. Menjalankan sholat Maghrib dan makan bersama masakan Mak Ijah."Akhirnya kita bisa makan lesehan, dengan rasa makanan kampung."Kami tertawa karena Mak Ijah dan ibu memasak tumis kangkung, udang dan cumi goreng beserta ikan bakar dengan lalapan dan tentu sambal belacan tak ketinggalan sambal kecap dengan cabe potong."Setelah pertunjukan luar biasa karya Asma. Kita bisa menikmati makanan ini dengan tenang dan nikmat."Mak Ijah berkata dengan nada bercanda, namun membuat hatiku sedikit perih. Apakah tindakanku sudah keterlaluan memberi mereka pelajaran."Tak perlu kau pikirkan itu, Asma. Kalau bukan kau yang bertindak begitu, bisa jadi kau dan anakmu yang bernasib seperti mereka saat ini."Ibu benar aku tak perlu merasa kasihan pada mereka, karena mereka juga tak merasa kasihan padaku dan anak mas Alam."Sekar
"Seperti tak ada pria lain di luar sana, Mbak. Kenapa tetangga juga yang ingin mbak nikahi?"Saat itu aku sempat marah apalagi saat mendengar alasan adikku menolak Alam menjadi Abang iparnya."Waktu hari raya kau tak akan merasakan mudik, mbak. Orang rumah mertuamu beberapa langkah dari rumah. Belum lagi kalau bercerai, pasti sesama tetangga saling musuhan."Sebuah alasan yang lucu tapi waktu akhirnya membuktikan. Meski bertetangga, aku tak mengenali sifat asli Alam."Tapi aku suka, Mbak. Artinya kita bisa membuatnya malu dan gigit jari, pria seperti dia memang harus diberi pelajaran. Memberi istri tak mau tapi mau minta punya istri, kan kurang ajar itu."Kami tertawa sepertinya akan ada pertunjukan bagus lagi kali ini. Karena terus menganggu lebih baik beri lagi pelajaran pada Alam."Kau urus saja mbak ikut rencanamu tapi jangan pakai polisi. kasihan ibu dan adiknya, kalau tak ada sapi perahnya."Aku menyerahkan kunci dan surat-surat penting motor itu. Biarlah kali ini adikku yang me
"Apa ada yang kalian rahasiakan pada kami, Mas Bagus?"Aku menatap pria yang sudah banyak membantuku itu. Entahlah melihat istrinya tidur telentang begitu, aku jadi sedikit curiga.Mas Bagus justru terlihat tak enak, saat aku bertanya sembari menatap istrinya. Tiba-tiba aku terkejut saat ibu memukul bahuku dengan keras."Dasar tidak sopan, kenapa kau bertanya seperti itu. Tak usah takut nak Bagus dan Carisa tak akan merebut anakmu."Aku baru sadar lalu menatap mas Bagus yang menunduk dan mendekati istrinya. Aku segera mencekal tangan pria itu dan meninggalkan mereka kebelakang.Tak lama aku kembali membawa sesuatu. sedangkan mas Bagus dan mbak Carisa sudah bersiap hendak pulang."Tunggu dulu mbak Carisa kenapa mau pulang buru-buru. Kita belum berbicara sedari tadi."Aku menatap mbak Carisa tampak jelas wanita itu menatap benda yang aku bawa. Dia terlihat menatap suaminya lalu perlahan langkahnya mendekat padaku."Bi...bisa minta mangga mudanya satu saja, Mbak Asma."Aku memeluknya yan
Aku dan mas Bagus segera melepaskan pelukan. Dan melihat betapa marahnya saudara lelaki mbak Carisa."Kau salah paham, Mas Dewa. Kita temui Carisa."Mas Bagus meraih tangan mas Dewa dan membawanya masuk ke ruangan dokter. Aku sadar diri, sebaiknya pulang saja sembari menunggu kabar dari mas Bagus."Apa dia cemburu, kalau tidak kenapa dia semarah itu? Bukankah dia bisa bertanya dulu sebelum marah-marah."Aku berjalan menuju jalan raya, lalu menghentikan sebuah taksi. Aku memilih langsung pulang karena percuma jalan-jalan tanpa membawa dompet dan uang."Semoga aku tak salah menerka, apalagi saat melihat wajah bahagia mas Bagus. Apa mungkin mbak Carisa hamil? Yah semoga saja itu benar."Aku menarik napas sembari berucap dalam hati. Pak sopir sampai melirik dari kaca depan, mungkin terlalu keras aku menarik napas."Mbak baik-baik saja?"Aku segera mengangguk karena pak sopir tampak cemas atau mungkin takut terjadi sesuatu pada penumpangnya "Tidak apa-apa pak."Pria itu kembali tenang dan
"Itu rejeki bidadari kecil ini, mbak Asma. Jadikan itu tabungan untuknya."Aku terkejut dan bingung tapi ibu terlihat mengangukkan kepala, sedang mbak Carisa masih menciumi anakku."Nanti saja dibicarakan lagi. Saat ini biarkan mbak Carisa menikmati kebahagiaannya. Lihat dia terlihat sangat menikmati kebersamaan dengan cucu ibu."Aku keluar dari aplikasi Mbangking, lalu meletakkan ponsel ke atas meja. Kemudian ikut duduk didepan tv bersama mbak Carisa dan anakku yang menonton acara kartun.Seharian di rumahku mbak Carisa benar-benar menguasai Shela. Dia tak lepas dari bocah kecil itu, dari memberi makan sampai menidurkannya, bahkan dia sampai memandikan juga. Aku merekam semua kegiatan mbak Carisa seharian ini."Mbak ada banyak tamu dan membawa banyak barang."Aku bergegas ke depan dan melihat siapa yang datang. Ada dua mobil besar membawa pasangan yang seusia ibu dan bapak. Lalu beberapa orang membawa banyak barang yang langsung di bawa masuk."Papa, Mama kemari dengan siapa?"Mbak C
"Enak memang kalau kerja di perusahaan keluarga istri. Bisa kerja seenak hati dan masuk lewat jam tanpa potong gaji."Aku menyindir Bagus yang masuk kerja lewat tiga jam lebih. Dia pasti merasa adik ipar bos makanya bisa seenak perutnya masuk kerja."Bagus bawa ini dan bagikan pada para pegawai. Kabar bahagia harus dibagikan pada semua orang."Aku terkejut saat melihat pak Adam membawa banyak bungkusan. Melihatnya kerepotan aku segera membantu."Tolong bantu Bagus membagikan semua ini pada para pegawai. Kalau ada yang tanya, bilang ungkapan syukur karena adikku sedang hamil."Adik pak Adam hamil berarti istri Bagus, karena pria itu hanya dua bersaudara. Sialan berarti Bagus sehat tak mandul begitu juga dengan istrinya. Baru tadi pagi aku hina mereka, tuhan langsung menunjukan isi di rahim istri Bagus."Selamat pak Bagus, lihatlah tuhan memenuhi doa kalian. Orang sabar pasti tak akan kecewa.""Penjilat."Aku sengaja berkata begitu, karena para pegawai tau Bagus adik ipar pak Adam."Mak
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari