"Jadi benar barang-barang itu dibawa untuk Asma dan anaknya. Beruntung sekali, seharusnya kau dapat bagian karena anak itu juga anakmu, Lam."Dulu ibu yang minta menyingkirkan anak yang jelek itu, agar tak menghabiskan uangku dan sekarang dia mau minta bagian, karena itu juga anakku mana mungkin Asma mau memberinya."Apa saja yang kau lihat barang pemberian untuk mereka, Lam?"Aku tak menjawab pertanyaan ibu, bagaimana kalau dia tau aku melihat anakku diberi emas. Takutnya dia mati serangan jantung."Ibu heran bagaimana anak itu bisa jadi cantik dan putih. Melihat rupa Asma, tak mungkin anak itu bisa cantik dan mengemaskan begitu."Ibu tampak berkata pelan, sepertinya dia sempat melihat anakku tapi kapan dia melihatnya. Saat pengusiran anak itu hanya terlihat sekilas."Lalu motor itu udah dapat belum uangnya? Jangan bilang Asma menolak memberi bagianmu, Lam."Aku mengeluarkan uang dari kantong dan memberikan pada ibu. Terlihat wajahnya mulai tersenyum cerah."Sisakan tiga juta untuk p
Aku terkejut begitu juga dengan ibu dan Santi. Karena Rika tiba-tiba masuk sambil berteriak, dia pasti sudah melihat apa yang terjadi di rumah Asma."Perempuan sial itu bagi-bagi gamis mahal aku dapat satu, lihat ini bermerk mas harganya juga mahal."Rika menunjukan gamis dan juga gambar di ponselnya. Dia lihat dari sebuah toko online."Tiga ratus ribu, mas."Rika tampak senang, sepertinya dia lupa darimana barang yang dia pegang."Bagaimana kau bisa dapat, Ka. Apa Asma tak marah melihatmu."Brak.....Kali ini aku dan Rika yang terkejut. Karena ibu dan Santi berlari keluar sepertinya mereka menuju rumah Asma. Mampus mereka pasti mau minta gamis dari Asma."Ibu bikin malu, mau apa pergi kerumah Asma?"Aku bergegas keluar jangan sampai ibu meminta gamis itu pada Asma. Mau ditaruh dimana mukaku kalau begini.Sudah malam rumah Asma tampak semakin ramai. Mereka sedang makan-makan rupanya. Tak tau malu seharusnya dia mengantar sedikit untuk kami, kan anak itu juga anakku."Asma keterlaluan
Plak ...."Dasar setan, kau memang tak punya hati dan perasaan, Bu. Sebelum aku kehabisan kesabaran pergi dari sini sekarang!"Semua orang terkejut. Saat ibu Alam, menarik kalung di leher cucunya. Secara spontan Asma menampar mantan mertuanya.Asma semakin murka setelah melihat luka di leher sang anak. Ibunya dan Mak Ijah panik, karena anak itu menangis histris."Ibu Marlina dengarkan baik-baik ucapanku. Setelah suamimu kau telah membunuh satu anak lelakimu ...Mas Dika. Kau mau tau alasannya, baik aku beritahukan padamu, semoga kau kuat mendengarnya."Asma menekan nama Dika. Membuat ibu alam terkejut, karena wanita itu bicara soal anaknya yang telah mati. Alam yang menguping juga ingin tau, apa rahasia yang ditutupi mantan istrinya."Jangan dengarkan dia, Bu. Dia hanya berniat membuat ibu gila. Dia pasti berniat menguasai apa yang didapat anak Alam."Tiba-tiba Ani datang dan langsung memeluk sang mertua. Wanita itu berusaha menarik ibu alam untuk pulang seperti ada yang dia takutkan.
Ani terkejut ternyata Alam melihat dan mendengar keributan tadi. Dasar pengecut, dia tega melihat ibunya di siram dan ditampar mantan istrinya."Mbak tak menyangka kau tega melihat asma menyiram bahkan menampar ibumu, Lam. Dia wanita yang melahirkanmu, mungkin kalau mas Dika masih hidup dia sudah mengajar Asma. Tidak sepertimu yang diam menyaksikan semuanya." Ucap Ani dengan nada sinis untuk menutupi rasa gugup di hatinya."Asma menyiram dan menampar ibu tapi kenapa, mbak Ani?"Rika terkejut tapi dia masih bisa bertanya sebabnya. Membuat Ani semakin muak menghadapinya."Apapun alasannya tak pantas yang muda menyakiti yang tua. Sayang anak-anak ibu tak ada yang bisa membelanya."Ani segera meninggalkan kamar ibu mertuanya dan pergi masuk kekamarnya. Begitu menutup pintu, dia langsung jatuh terduduk di depan pintu."Apa yang terjadi, An? Tadi ibu lihat kau dan Alam, membawa mertuamu pulang dalam keadaan pingsan."Ibu Ani berbisik seolah takut ada yang dengar. Ternyata dia melihat merek
"Ini mienya sudah siap, Nak. Mau tambah pakai nasi? Masih ada nasi kalau mau."Alam melihat mie rebus satu mangkok. Jadi dia tak mau tambah nasi, karena itu sudah cukup banyak baginya."Mau kemana, Nak Alam? Katakan saja biar ibu ambilkan."Wanita itu heran karena Alam berjalan ke dapur, ternyata dia mengambil sepotong ayam yang tersimpan di lemari."Rakus, padahal itu untuk sarapan Adit nanti."Ibu Ani menggerutu tapi hanya di dalam hati. Dia segera masuk ke kamar, setelah memastikan Alam tak menganggunya lagi."Pak RT ada apa? Gak biasanya pagi-pagi datang kemari, seperti menyelidiki sesuatu disini."Pagi-pagi saat Alam tengah bersiap dia ketemu pak RT yang mengawasi rumah Ani. Setelah di tegur pria itu hanya bilang, ingin tau keadaan ibunya yang semalam ribut dengan Asma."Saya hanya ingin kalian jangan menggangu Asma lagi. Takutnya masalah ini jadi panjang, apalagi mantan istrimu punya bukti perbuatan ibumu yang merampas kalung anaknya."Alam terdiam dia tak habis pikir, kenapa bi
"Asma buka pintu kau harus tangungjawab. Adikmu mencelakai anakku, Alam!"Teriakan mantan mertua Asma, mengema dari halaman rumah. Wanita itu terus memaki Asma dan adiknya. "Ada apa sih, Bu. Apa tak bisa bicara pelan-pelan. Aku manusia bukan binatang kalau bicara harus berteriak."Ibu Alam melotot karena mendengar ucapan Asma. Dia merasa mantan menantunya menganggap dia binatang."Jadi kau bilang aku binatang, dasar anak setan."wanita itu hendak menghajar Asma. namun batal karena Asma mulai melawan."Cukup! Kalau tak bisa bicara baik-baik pergi dari sini, aku muak melihat tingkah kalian semua."Asma berbalik hendak masuk ke rumah, dia tak perduli meski mantan mertuanya kembali berteriak."Asma berhenti. Alam kritis di rumah sakit, karena ulah adikmu cepat kau temui Alam dan beri uang yang menjadi haknya."Asma berhenti lalu berbalik menatap ibunya Alam. Lalu dia tersenyum karena tau maksud dan tujuan wanita itu."Maaf sebaiknya ibu datang lagi, ketika dia sudah mati, jadi aku bisa p
Asma mendekati ibunya dan menepuk bahunya dengan lembut. Agar ibunya tenang dan tak berpikir macam-macam"Ibu tenang saja, mas Alam dibawa ke rumah sakit. Orang yang membawanya atas suruhan Lidya, jadi semua aman dan dipastikan Alam baik-baik saja."Asma menarik napas lega saat melihat ibunya mulai tenang, setelah dia ceritakan apa yang terjadi sebenarnya."Dasar perempuan serakah jadi dia mau memerasmu. Pikirkan lagi kalau mau memberi uang, bisa jadi dia akan ketagihan."Asma tertawa mana mungkin dia memberi mantan mertuanya uang bisa panjang urusannya."Ibu tenang saja, aku tak akan memberi sepeserpun pada mereka. Kalau soal biaya rumah sakit, sudah kami selesaikan semuanya, Bu."Wanita itu terlihat semakin tenang setelah mendengar ucapan Asma. Berarti anak bungsunya selamat dari masalah."Kalau begitu minta adikmu pulang. Ibu tak mau dia kena masalah di luar karena Alam dan ibunya."Asma segera mengambil gawai hendak menghubungi adiknya, namun tak jadi karena terdengar suara motor
(Nanti malam aku dan Carisa mau datang. Ada sesuatu yang hendak kami bicarakan.)Asma mengerutkan kening membaca pesan dari Adam. Dia heran, ada apa pria itu datang bersama Carisa. Sedangkan Bagus baru berangkat ke kantor cabang yang cukup jauh dari kota ini.(Memangnya ada masalah apa, Mas?)Dia mengirim pesan tapi tak juga dapat balasan dari Adam. Sepertinya pria itu sedang sibuk.(Nanti saja kita bicara sekarang aku sedang ada urusan sebentar.)Etdah perasaan dia yang mengirim pesan duluan tapi kenapa jadi serasa Asma yang menghubungi duluan. Wanita itu menggaruk kepalanya yang tak gatal."Pria aneh kalau sibuk buat apa kirim pesan padaku."Asma berujar dalam hati lalu meletakkan ponselnya keatas meja. Dia kembali memeriksa barang kiriman Carisa."Assalamu'alaikum."Asma baru hendak berdiri ketika terdengar suara salam dari luar. Dia melihat Lidya telah pergi untuk melihat siapa yang bertamu."Mbak, Bu. Ada pak RT mau bertemu, ada yang mau dibicarakan."Asma segera menemui pak RT y
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari