"Mau bicara boleh saja tapi jangan harap masuk ke rumahku. Soal ibu dan adikmu, silahkan ke kantor polisi, kalau aku memang tak sudi menarik laporan pada mereka."Asma benar-benar keterlaluan, dia bahkan tak perduli meski melihatku kesakitan. Dengan santai dia masuk ke rumah setelah menutup dan mengunci pagar rumah."Kau menantangku, Asma. Dengarkan sumpahku, demi air susu ibu yang mengalir di tubuh ini. Alam puteranya akan membuatmu menderita hingga menangis darah!"Aku berteriak hingga membuat banyak warga berdatangan untuk melihat. Tapi Asma dan keluarganya tetap masuk dan menutup rumah mereka."Hentikan Alam! Apa kau mau seperti ibu dan adikmu, mendekam di penjara."Aku menurunkan tangan tak jadi melempar rumah Asma. Pak RT datang tepat waktu, kalau tidak wanita itu pasti menjebloskan aku ke penjara juga."Apa kalian tak bisa berpikir. Selama ini telah membuat Asma menderita, aku takut wanita baik itu akan menjadi iblis, karena terus kalian sakiti."Sialan bukannya membantu pria i
Aku menatap mbak Ani yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Wanita itu ternyata kembali lagi, sembari mengatakan sesuatu yang menimbulkan ide di kepalaku."Kau benar mbak, hanya anak itu yang akan membuat Asma gila. Dan ibu akan senang, saat melihat mantan menantunya gila."Aku tertawa karena tau harus melakukan apa. Demi ibu aku rela mati, aku juga rela jika harus kehilangan segalanya."Apa kau yakin melakukan itu, Lam? Ingat dia anakmu, ibu tak mau kau menyesal setelah itu terjadi."Aku tersenyum setelah melihat reaksi ibu, ketika menjenguknya dan mengatakan rencanaku. Hanya ini satu-satunya cara, untuk membuat Asma gila dan tak menjadi duri di hidup kami."Ibu tenang saja semua akan aku lakukan dengan baik. Tujuanku hanya membuat Asma takut dan gila. Agar tak terus menjadi duri dalam hidup kita, aku sudah muak berurusan dengannya."Aku mengepalkan tangan menahan geram. Apalagi saat melihat ibu yang sudah tiga hari di sini, tanpa mendapat perhatian sama sekali, makan dan minumnya.
"Anakku ...tolong anakku ...Shila!"Brak ....Semua orang terkejut saat mendengar teriakan panjang Asma. Wanita itu berlari seperti orang gila hendak menyelamatkan anaknya. Mereka hampir pingsan saat mendengar suara keras benda tertabrak.Tak ada yang tau apa sebenarnya yang terjadi. Mereka segera berlarian mencoba menolong Asma yang menatap kosong ke arah jalanan."Asma sadarlah, apa yang terjadi, Nak. Apa yang terjadi padamu!"Semua orang kini mengikuti tatapan Asma yang merentangkan tangan ingin menerima sesuatu. Sedang di bagian lain, orang-orang menolong seseorang yang menabrak mobil di depannya."Adam ...Shela ....!"Mereka terkejut dan menatap gadis kecil dalam dekapan Adam yang muncul dari balik mobil di sebrang sana. "A ...apa yang terjadi sebenarnya, kenapa Shela ada di sebrang jalan?"Asma tak menjawab dia hanya menciumi anaknya. Airmatanya terus mengalir, sedangkan Adam segera pergi setelah menyerahkan Shela.Bug...bang...bug..."Cukup pak dia bisa mati!"Teriakan-teriaka
"Itu dok pasiennya, tolong periksa sepertinya kakinya ada yang patah."Entah darimana tiba-tiba Adam sudah datang membawa seorang dokter. Wanita itu langsung memeriksa kaki Asma. Sedangkan Adam segera membantu ibu Asma, agar berdiri dan keluar dari kamar anaknya."Anak ibu.""Biarkan dia tenang dulu nanti baru kita bicara dengannya. Sekarang tolong bantu dokter untuk memeriksa Shila, tadi aku menariknya terlalu keras, Bu."Ternyata Adam datang bersama dua orang dokter. Entah bagaimana bisa dia membawa dua orang dokter secara bersamaan."Anak ini baik-baik saja, Dam. Hanya sedikit shock saja. Untuk lebih pastinya bawa ke rumah sakit, siapa tau ada luka dalam. Tapi menurut ceritamu, aku rasa tak ada yang perlu di cemaskan. Bukankah kau melindunginya, meski membentur mobil?"Adam menganguk karena memang benturan itu mengenai tangannya. Karena dia memeluk Shila, setelah menariknya menghindari motor Alam."Selamat siang, bisa saya bicara dengan korban atau saksi kunci?"Kali ini semua oran
"Mbak boleh aku masuk?"Lidya memberanikan diri mengetuk pintu, sedang sang ibu berdiri di belakangnya. Dia tak mau memaksa Asma untuk memaafkannya saat ini, kerena sadar apa yang dia lakukan melukai sang putri."Masuklah tapi hanya kau saja yang boleh masuk."Mak Ijah menatap ibu Asma yang mencoba tersenyum meski getir. Dia memapah wanita itu dan menghiburnya."Berikan dia waktu. Untuk seorang wanita yang diperlakukan dunia dengan begitu kejam, justru tatapan menghakimi orang yang seharusnya membelanya, adalah sebuah hukuman yang mematikan. Dan kau melakukan itu pada Asma."Ibu Asma menangis, dia tak menyangka menjadi bagian dari orang yang membuat anaknya tersakiti."Beri dia waktu, percayalah hatinya akan kembali luluh, begitu tau betapa kau mencintainya."Ibu Asma menghapus airmatanya, dia hanya berjanji untuk kedepannya, dia akan mempercayai apa saja yang dilakukan Asma anaknya."Dia sudah banyak menderita bahkan sejak awal pernikahannya. Itulah yang memulai semua cerita ini, ras
"Tidak ...ini tidak mungkin, Pak RT. Tidak mungkin rumah ini milik orang lain!"Teriakan itu terdengar dari mulut mbak Ani dan ibu mas Alam. Kedua wanita itu berusaha menolak, ketika pemilik rumah meminta mereka keluar.Waktu tiga tahun yang diberikan mas Dika sudah pada batasnya. Sedangkan aku juga meminta mereka diusir sekarang, setelah meminta beberapa bulan, waktu untuk membuat keluarga itu senang.Perbuatan mas Alam beberapa hari yang lalu. Cukup membuat habis kesabaran ku, dia tega berniat menghabisi nyawa anak kandungnya.Selain berniat kejam pada anak kami, dia juga melemparkan sebuah fitnah keji padaku dan mas Dika yang telah damai ditempat peristirahatan terakhirnya.Kali ini aku menikmati pertunjukan itu. Dijaga dua orang pria suruhan mas Adam. Pria itu sengaja memberi waktu mas Alam istirahat, hanya untuk melancarkan aksi balas dendam ku."Aku istri mas Dika, kenapa tak tau kalau rumah ini sudah dijual?"Mbak Ani berkata pelan, setelah pak RT dan pemilik rumah membiarkanny
Aku tersenyum sinis kearah mantan ibu mertua, sedang mbak Ani terlihat mulai gugup."Bukankah kau sudah mendapat seorang cucu laki-laki, meski dia bukan darah daging mas Dika.""Asma tutup mulutmu!"Sekali lagi mbak Ani berteriak, dia bergegas mendekat dan bersiap menyerangku."Jangan berani menyentuh, Bu asma. Kalau tidak kau akan menyesal harus menghadapi kami, meski laki-laki kami bisa menghajar wanita sepertimu."Mbak Ani mundur lagi, saat dua orang pria suruhan mas Adam maju menghadangnya."Apa yang kau maksud dengan Adit bukan darah daging mas Dika, Asma?"Mas Alam menunggu jawaban dariku. Dia terlihat terpukul, begitu juga dengan ibunya."Kenapa kau pucat, Bu. Jangan bilang kau baru mengetahui soal ini? Ayolah, aku pernah dengar mas Dika mengatakannya padamu." ujarku sinis."Diam kau, Asma. Saat itu Dika hanya curiga tapi kenyataannya Adit anak kandung Dika.""Darimana ibu tau, dari uang yang disumpalkan mbak Ani ketangan mu?"Wanita itu menatapku tak percaya. Mungkin dia tak t
"Mana mungkin kami akan pergi sekarang. Beri kami waktu untuk cari kontrakan, Pak."Mendengar permintaan Alam pak RT segera memberi usul."Rumah di ujung jalan itu masih kosong kalian sewa saja. Aku rasa Bu Anti mau menerima, daripada rumahnya kosong."Pak RT memberi saran, dia pasti tak mau berurusan dengan keluarga Alam terlalu lama. Makanya dia menawarkan rumah diujung jalan yang lumayan jauh dari tetangga."Pak Mantan, untung masih disini."Aku menatap Mak Ijah yang tampak ngos-ngosan. Sepertinya dia habis berlari kencang, tapi untuk apa dia mencari pak RT lama, yang kami panggil pak mantan."Ijah kau masih hidup? Panjang umur juga kau rupanya."Pria tua itu membetulkan kacamatanya dan menatap Mak Ijah yang datang membawa sebuah berkas. Seperti sertifikat tanah."Ada urusan apa kau mencariku sampai ngos-ngosan begitu?"Karena pak mantan ada disini, sekalian selesaikan urusanku dengan Asma dan orangtuanya.Aku memutar kursi roda menatap Mak Ijah dan pak mantan, ada urusan apa wanit
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari