"Mana mungkin kami akan pergi sekarang. Beri kami waktu untuk cari kontrakan, Pak."Mendengar permintaan Alam pak RT segera memberi usul."Rumah di ujung jalan itu masih kosong kalian sewa saja. Aku rasa Bu Anti mau menerima, daripada rumahnya kosong."Pak RT memberi saran, dia pasti tak mau berurusan dengan keluarga Alam terlalu lama. Makanya dia menawarkan rumah diujung jalan yang lumayan jauh dari tetangga."Pak Mantan, untung masih disini."Aku menatap Mak Ijah yang tampak ngos-ngosan. Sepertinya dia habis berlari kencang, tapi untuk apa dia mencari pak RT lama, yang kami panggil pak mantan."Ijah kau masih hidup? Panjang umur juga kau rupanya."Pria tua itu membetulkan kacamatanya dan menatap Mak Ijah yang datang membawa sebuah berkas. Seperti sertifikat tanah."Ada urusan apa kau mencariku sampai ngos-ngosan begitu?"Karena pak mantan ada disini, sekalian selesaikan urusanku dengan Asma dan orangtuanya.Aku memutar kursi roda menatap Mak Ijah dan pak mantan, ada urusan apa wanit
"Alam siapkan ember lagi, lihat masih banyak yang bocor. Sialan pantas tak ada yang menyewa rumah ini, rupanya sudah rusak parah."Aku mencoba mentulikan kuping saat mendengar omelan ibu. Otakku rasanya mau meledak, apalagi saat melihat Adit mulai bertingkah. Anak penderita autism itu, mulai mengerakkan kepalanya dengan sangat cepat. Itu pertanda kalau dia sedang ketakutan."Hentikan anakmu, mbak Ani! Aku bisa gila jika melihatnya begitu."Adit semakin bertingkah beringas setelah aku berteriak, dia mulai membanting semua barang. Mbak Ani dan ibunya berusaha menenangkannya."Cukup aku muak!"Teriak ku sambil melangkah keluar, meninggalkan kekacauan di rumah yang kami sewa."Kau mau kemana Alam? Di luar sedang hujan lebat. Kau bisa sakit, Lam."Aku tak perduli lebih baik keluar dari rumah bak neraka itu. Aku berjalan tak tentu arah, hingga tanpa sadar telah berdiri di depan rumah Asma."Seharusnya rumah ini bisa aku tempati bersama Asma dan keluargaku. Kalau saja tak berbuat bodoh waktu
Aku merampas baju baru yang aku beli. Namun terlambat baju itu sudah habis terbakar."Asma!"Aku berteriak dan membuat Asma terkejut dia menatapku dengan heran. Melihatnya seperti orang linglung aku jadi takut."Besok kita antar bayi itu ke rumah ibu, mas. Daripada ke panti asuhan, akan lebih baik dia dirawat ibu saja."Aku senang bukan kepalang mendengar ucapan Asma. Hari itu juga aku mengantarnya pulang kampung dan menitipkan bayi itu pada ibunya."Kalian baik-baiklah disana. Anak ini akan ibu jaga, seperti kalian menjaganya."Setelah menyerahkan bayi itu aku langsung membawa Asma kembali pulang. Di perjalanan kembali Asma hanya diam saja, meski dadanya telah membesar dan basah. Mungkin air susunya berlimpah dan banjir.Aku kira setelah tak ada bayi itu hidup kami semakin damai. Ternyata tidak, asma semakin berani melawan. Apalagi saat jatah lima puluh ribunya sudah termasuk rokokku sebungkus.Dan semua akhirnya meledak ketika aku menceraikannya, karena merasa sudah mendapatkan sert
"Cuaca dingin, Lam. Makanlah mbak masak mie rebus, masih panas pasti enak, bisa menghangatkan perutmu."Saat keluar dari kamar mandi mbak Ani menegur. Dan aku menatap semangkok mie yang masih mengeluarkan asap. Terlihat enak dan menggugah selera, dengan telor rebus di atasnya."Aku dan ibu mau juga, mbak. Masih ada tidak?"Mbak Ani menunjuk kearah dapur. Tak lama ibu dan Rika sudah membawa semangkuk mie ke depan tv."Dingin-dingin enak juga makan mie rebus begini. Untung mbak Ani terpikir untuk masak ini, jadi kita tak kelaparan, setelah sibuk menampung air hujan."Aku menatap mbak Ani yang tersenyum kecut, saat mendengar ucapan Rika. Wanita ini pasti kesal, karena pujian adikku itu terdengar basi."Mau tambah lagi, Lam. Masih banyak kok di dapur.""Habis mbak, ini saja hanya cukup buatku dan ibu saja."Mbak Ani terkejut, dia hanya bisa menatap Rika. Karena mangkok adikku sudah hampir kosong, begitu juga punya ibu."Jangan bilang kau belum makan, Mbak. Kenapa tak ambil dulu buatmu?"M
"Jadi begini kelakuanmu, Mas? Bukankah sudah aku katakan. Jangan memberi apapun pada Asma. Susah sekali rupanya, kau mengerti ucapanku."Akhirnya aku menangkap basah mas Dika yang baru mengantar susu dan vitamin untuk Asma adik iparnya."Memangnya kenapa, kalau aku memberi susu dan vitamin untuk Asma? Semua ini untuk kebaikan keponakanku juga. Kau tak perlu berlebihan begitu, An. Ini belum seberapa dibandingkan uang Alam yang kau nikmati."Sialan bukannya mengerti ucapanku, mas Dika justru mengungkit uang yang aku terima dari adik kandungnya."Uang dari Alam itu aku hutang, Mas. Kalau ada uang aku bayar," ucapku kesal."Kapan? Kapan kau berniat membayarnya? Aku rasa sampai sapi bisa bicara sekalipun. Kau tak akan berniat membayar, An. Jadi sudah sepantasnya, Alam menafkahi mu sedang aku yang menafkahi Asma."Aku mengepalkan tangan karena geram. Bisa-bisanya mas Dika berkata begitu, apa dia tak menganggap aku istrinya."Sudahlah mas, tak perlu pakai drama segala. Aku minta sekali lagi,
Anak itu pasti mendengar pertengkaran ku dengan mas Dika. Sekarang dia sedang membenturkan kepalanya ke dinding, sedang ibu masih berusaha menolong agar anak itu tak terluka. Justru tangannya yang terlihat memerah, karena menghalangi kepala Adit agar tak membentur dinding."Apa yang kalian lakukan? Sudah tau Adit tak suka melihat atau mendengar orang bertengkar. Kalian justru saling berteriak di rumah."Aku tak menjawab hanya membantu ibu menarik tubuh Adit menjauhi dinding. Kini anak itu tengah meringkuk di tempat tidur."Anak setan, kau hanya menyusahkan aku saja!" teriak ku."Ani tutup mulutmu!"Aku terkejut saat mendengar teriakan ibu. Aku kesal karena semua masalah yang timbul karena Asma dan kandungannya. Sekarang mas Dika pergi, tanpa aku ketahui tujuannya."Makanya kau harus sabar, An. Kuasai dulu rumah ini, baru kau bisa bertindak sesukamu. Sekarang kau sendiri yang rugi kalau begini."Ibu benar aku harus mulai hati-hati. Bisa jadi mas Dika akan berbuat macam-macam kalau dia
ANI."Kita lihat saja Mbak, siapa yang akan hidup dalam neraka. Apalagi saat ibu dan mas Alam tau, apa yang sebenarnya terjadi."Plak ....Aku menghadiahi Asma sebuah tamparan, namun dia hanya tersenyum tanpa berniat membalasnya. "Aku sudah berjanji pada mas Dika, Mbak. Hanya dua tahun memberimu kesempatan, kalau kau berubah hidupmu akan baik-baik saja, tapi jika kau tak berubah maka aku akan membuat hidupmu menderita."Asma berjalan meninggalkan aku, setelah dia membereskan rumah yang berantakan, sebelum pemakaman mas Dika tadi.Menerima ancaman Asma membuatku harus lebih waspada. Apalagi sampai sekarang, aku tak menemukan sertifikat itu. Justru aku temukan benda itu sudah menjadi hak milik orang lain. Beberapa tahun kemudian, setelah Asma mulai berani melawan."Dika setan semoga kau membusuk di neraka. Tega kau jual rumah dan menghibahkan semua uangnya untuk anak Asma yang saat itu justru belum lahir."Aku kecewa tapi tak bisa berbuat apa-apa. Saat ini aku hanya bisa menumpang hidu
"Berhenti!"Aku yang tengah mengawasi pengukuran tanah terkejut. saat melihat keributan dikerumunan para wanita biang kerusuhan kampung. Untung pak RT ada disitu juga bersamaku, sehingga kami bisa segera melerai keribuatan itu, namun sayang semua terlambat, korban sudah terkapar tak sadarkan diri."Da ...darah, Pak RT."Aku menunjuk kearah kaki wanita yang baru aku ketahui ternyata mbak Ani. Pak RT terkejut dan segera meminta para wanita itu mengangkat mbak Ani untuk dibawa ke puskesmas."Mbak Asma mau ikut mengantar ke puskesmas?"Aku segera mengelengkan kepala bagiku mencari aman akan jauh lebih baik. Toh ada pak RT biar dia yang mengurus wanita itu."Biar mampus sekalian, Ma. Dia tadi menghinamu jadi kami beri pelajaran padanya."Aku hanya tersenyum mendengar ucapan wanita itu. Biar dia mau berkata apa yang penting aku tak ikut campur."Tapi tak harus mencelakai bayi dalam perutnya juga mbak."Aku berkata sembari meninggalkan mereka. Wanita-wanita ini belum dapat balasan, jadi masi
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari