Kedua pria itu berlari menuju ke ruangan gawat darurat. Mereka mencari Santi yang konon berada di rumah sakit karena kritis, begitu menghubungi bagian informasi. Mereka dibawa menemui seorang dokter."Ibu Santi adalah pasien saya sejak tiga tahun yang lalu. Kemarin dia datang lagi dan meminta untuk melakukan operasi."Dokter menjelaskan tentang Santi yang telah menjadi pasiennya."Operasi apa, Dok? Dia sehat-sehat saja. Bahkan sebentar lagi dia akan melahirkan."Burhan berkata dengan bibir bergetar. Dia benar-benar tak percaya, dengan ucapan dokter pria itu."Dia tidak sedang hamil, tapi diperutnya ada tumor ganas. Seharusnya dia operasi tiga tahun yang lalu, karena terkendala biaya dia menundanya."Burhan terkejut dia terduduk lemas, karena tak menyangka adiknya menyimpan rahasia sebesar ini. Sekarang gadis itu terbaring tak berdaya."Dia tak perduli berhasil atau tidak operasinya.. Keinginannya cuma satu, meninggal tanpa penyakit itu."Burhan menangis setelah mendengar ucapan sang d
"Maaf mas Burhan aku pulang dulu. Insyaallah besok akan datang lagi, untuk mempersiapkan tahlilan untuk Santi."Burhan mengangguk dia menatap kepergian Asma dan Bu RT. Kedua wanita itu yang sedari tadi siang, mengurus masalah pemakaman Santi.Lalu matanya menatap Alam yang masih duduk dibawah pohon mangga. Tangannya sedang memainkan bendera tanda kematian istrinya."Biarkan saja dia. Selagi tidak bikin masalah diluar."Pak RT menarik tangan Burhan, dia takut pria itu lepas kendali. Sedikit atau banyak, Alam terlibat dalam masalah kematian Santi."Dia orang yang paling dekat dengan Santi. Kenapa tak curiga dengan perut istrinya, Pak RT. Kalau dia sedikit perhatian, mungkin nyawa adikku bisa diselamatkan," ucap Burhan lirih."Istifar, Burhan. Jangan suka berandai-andai, bukankah Allah tidak menyukainya."Burhan menarik napas lalu dia memejamkan mata. Mencoba menahan sesak di dadanya."Lagipula saat ini Alam sedang tak baik-baik saja. Dia depresi berat dan hampir gila, itu mungkin hukuma
"Burhan kalau kerja yang fokus jangan melamun. Kita tak mau ada pekerja yang kecelakaan, hanya karena salah satunya pekerja melamun.""Siapa yang melamun sih, daritadi juga bekerja dengan serius kok."Burhan terlihat salah tingkah, apalagi saat bersitatap dengan Asma. Wanita itu hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya."Kalau begitu tolong buat perinciannya, Pak RT. Nanti kita bicarakan soal biayanya. Sekarang saya permisi, ada urusan keluar sebentar."Asma segera berjalan meninggalkan masjid, dia bergegas pulang. Ada beberapa barang yang harus di kirimkan pada resellernya."Mbak ada panggilan dari mbak Carisa. Dia bilang ada sumbangan dari hamba Allah, untuk pembangunan masjid. Tadi mbak Carisa sedang buru-buru, jadi meninggalkan pesan saja."Asma memang sengaja meninggalkan ponsel di rumah. Siapa sangka langsung mendapat dana bantuan, ketika sedang membutuhkan uang untuk pembangunan masjid."Alhamdullilah tepat waktu, Dek. Pak RT tadi bilang kas masjid tinggal sedikit, ternyata a
"Asma awas ....!"Brak ...."Aduh!"Asma terkejut, saat merasakan seseorang mendorong tubuhnya ketepi jalan. Dia merasakan sakit di pinggang, karena terhempas cukup keras.Kejadian itu terlalu cepat, tapi dia masih bisa melihat tubuh penolongnya. Terlempar cukup jauh, karena tertabrak mobil yang langsung tancap gas."Mas Adam!"Dia berdiri dibantu seorang wanita, lalu menghampiri Adam yang telah berlumuran darah. Wanita itu menangis meminta tolong. Dia tersentak saat merasakan pipinya di belai dengan lembut."Tolong panggil ambulan!"Asma menjadi takut karena tangan Adam yang berlumuran darah. Jatuh dengan lemah setelah menyentuh pipinya."Tolong bantu aku membawanya kerumah sakit."Dua orang pria dengan hati-hati mengangkat tubuh Adam. Lalu menemani Asma menuju ke rumah sakit terdekat."Mbak fokus saja menyetir, agar kita semua selamat."Pria di belakang mengingatkan Asma karena wanita itu terlihat gugup. Dia semakin ketakutan, ketika sampai rumah sakit dan Adam langsung dibawa ke IG
"Iya mbak, ikuti ibumu periksa takutnya ada luka dalam. Mas Adam pasti marah, kalau tau dia tak berhasil melindungimu."Mendengar ucapan Carisa, membuat Asma mau mengikuti perawat, yang membawanya ke sebuah ruangan. Sang ibu terus mendampinginya dari tadi."Syukurlah tak ada luka serius, hanya siku dan telapak tangan saja yang terluka."Ucap Ibu Asma setelah kembali dari memeriksa keadaan Asma."Benarkah dia baik-baik saja. Anakku yang berkorban karena kesialan anakmu itu."Karena ibunya Adam terus menghina anaknya. Membuat ibu Asma marah dan mulai menghajar wanita itu. Hingga berakhir pengusiran keduanya, yang langsung di bawa ke ruang keamanan."Kalian tunggu di sini dan jangan mencoba bikin ribut lagi."Kedua wanita itu terduduk berdampingan. Jelas mereka cemas, tapi tak bisa mengontrol emosinya."Makanya kalau bicara dijaga. Memangnya enak berada disini, tanpa mengetahui kabar Adam yang sedang dioperasi."Ibunya Asma berkata dengan ketus, membuat mama Adam menangis. Dia takut terj
"Dia masih belum sadar, akibat obat bius bekas operasi."Lidya beruntung bertemu Carisa. Dari wanita itu dia tau Adam baik-baik saja sekarang."Lalu mbak Asma, bagaimana keadaannya?"Lidya menarik napas meski dia belum tau apa yang terjadi. Tapi dari raut wajah Asma dia tau kakaknya sangat mencemaskan Adam."Dia baik-baik saja, Mbak. Hanya ibu minta dicarikan tukang pijat, agar tubuh mbak Asma tak terkejut karena kecelakaan itu."Lidya menarik napas lalu dia menatap Carisa. Ada sesuatu yang ingin dia tanyakan, tapi takut Carisa marah."Ada apa menatapku begitu?"Carisa bertanya, karena dia melihat Lidya seperti terlihat ragu-ragu."Aku hanya heran saja, kalau mas Adam pergi keluar kota selama ini. Lalu bagaimana bisa, dia berada ditempat yang sama dengan Mbak Asma?"Mendapat pertanyaan Lidya, Carisa hanya diam saja, bagaimana mau bilang, kalau Adam mengikuti wanita itu karena terlalu rindu."Apa karena dia belum bisa melupakan mbak Asma. Kalau iya, kenapa tak menunjukan wajahnya?"Men
"Datanglah mbak, temui mas Adam, kasihan dia."Asma terdiam dia tak merespon ucapan Carisa. Dia takut kedatangannya akan semakin membuat runyam, masalah antara Adam dan ibunya."Maaf mbak Carisa, saya tidak bisa datang sekarang, semoga mas Adam segera sembuh."Carisa menarik napas, dia tak bisa memenuhi janjinya pada Adam. Untuk membawa Asma menemui pria itu."Tapi mas Adam butuh dirimu, mbak. Kali ini saja tolong temui dia, anggaplah sebagai balas budi atas kebaikannya selama ini padamu."Asma menarik napas mendengar ucapan Carisa. Apa yang dia takutkan selama ini terjadi juga, Carisa dan Adam meminta balas budi telah membantunya."Apa yang kau inginkan mbak Carisa? Tubuhku atau harga diriku, seperti permintaan ibumu?"Carisa terkejut, dia tak terpikir soal perasaan Asma. Tadinya dia hanya ingin Asma menemui Adam, yang sedang berada di masa terendah dalam hidupnya.Dreet ....Carisa terkejut saat mendengar suara dari ponselnya. Setelah dilihat ternyata dari ibunya."Apa, mas Adam tak
"Kasihan dia terlihat putus asa. Dengan kaki cacat begitu, tentu mati adalah pilihan tepat untuknya."Asma hendak bertanya pada seorang pedagang asongan, ketika mendengar dua orang wanita sedang berbicara di pinggir jalan."Dimana kalian melihat orang cacat itu?"Asma segera turun dan bertanya pada kedua wanita itu, yang langsung menunjuk ke arah jembatan."Hai, tapi dia ...."Wanita itu tak melanjutkan ucapannya, karena Asma keburu naik ke mobil dan melaju menuju ke jembatan."Sepi tak ada apapun disini."Asma berkata pelan dia turun dan melihat kebawah jembatan. Tapi tetap sama saja, sepi seperti tak ada kejadian apapun."Kau dimana mas? Tolong jangan buat aku takut."Asma menangis, dia berjalan kesana-kemari mencari keberadaan Adam. Disaat sudah putus asa, dia melihat keramaian di sebuah warung. Bergegas dia berlari menghampiri, airmatanya tumpah saat melihat Adam keluar dari warung dengan tertatih."Mas Adam!"Adam terkejut karena mendengar suara wanita yang dia rindukan. Dia terp
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari