"Datanglah mbak, temui mas Adam, kasihan dia."Asma terdiam dia tak merespon ucapan Carisa. Dia takut kedatangannya akan semakin membuat runyam, masalah antara Adam dan ibunya."Maaf mbak Carisa, saya tidak bisa datang sekarang, semoga mas Adam segera sembuh."Carisa menarik napas, dia tak bisa memenuhi janjinya pada Adam. Untuk membawa Asma menemui pria itu."Tapi mas Adam butuh dirimu, mbak. Kali ini saja tolong temui dia, anggaplah sebagai balas budi atas kebaikannya selama ini padamu."Asma menarik napas mendengar ucapan Carisa. Apa yang dia takutkan selama ini terjadi juga, Carisa dan Adam meminta balas budi telah membantunya."Apa yang kau inginkan mbak Carisa? Tubuhku atau harga diriku, seperti permintaan ibumu?"Carisa terkejut, dia tak terpikir soal perasaan Asma. Tadinya dia hanya ingin Asma menemui Adam, yang sedang berada di masa terendah dalam hidupnya.Dreet ....Carisa terkejut saat mendengar suara dari ponselnya. Setelah dilihat ternyata dari ibunya."Apa, mas Adam tak
"Kasihan dia terlihat putus asa. Dengan kaki cacat begitu, tentu mati adalah pilihan tepat untuknya."Asma hendak bertanya pada seorang pedagang asongan, ketika mendengar dua orang wanita sedang berbicara di pinggir jalan."Dimana kalian melihat orang cacat itu?"Asma segera turun dan bertanya pada kedua wanita itu, yang langsung menunjuk ke arah jembatan."Hai, tapi dia ...."Wanita itu tak melanjutkan ucapannya, karena Asma keburu naik ke mobil dan melaju menuju ke jembatan."Sepi tak ada apapun disini."Asma berkata pelan dia turun dan melihat kebawah jembatan. Tapi tetap sama saja, sepi seperti tak ada kejadian apapun."Kau dimana mas? Tolong jangan buat aku takut."Asma menangis, dia berjalan kesana-kemari mencari keberadaan Adam. Disaat sudah putus asa, dia melihat keramaian di sebuah warung. Bergegas dia berlari menghampiri, airmatanya tumpah saat melihat Adam keluar dari warung dengan tertatih."Mas Adam!"Adam terkejut karena mendengar suara wanita yang dia rindukan. Dia terp
"Asma kau makan disini juga?"Asma mengangkat kepala melihat siapa yang menegurnya. Ternyata Burhan dia jadi serba-salah."I ... iya mas tadi ibu minta, dibeliin mie ayam special."Asma menelan ludah, dia terpaksa berbohong, karena tak ingin berada di luar bersama Burhan. Takut tersebar fitnah jika ada yang melihat mereka berduaan di luar."Mas bungkus ya, bukan makan disini!"Kembali Asma berteriak, agar penjual membungkus pesanannya. Burhan menatap wanita di depannya, dia merasa kalau Asma malu berada di luar bersamanya."Apa dia punya perasaan juga padaku? Sehingga mencoba menghindar karena malu."Burhan berkata dalam hati, dia ternyata salah paham. Untuk sesaat hatinya berbunga-bungga."Aku duluan, Mas Burhan. Sepertinya pesananku sudah siap."Asma bergegas berdiri dan menghampiri penjual yang menyerahkan pesanannya. Setelah membayar dia kembali ke mobilnya."Ais, kalau begini mana enak dibawa pulang."Asma berkata dengan kesal. Niat hati makan untuk menghilangkan kesal, ternyata
"Ibu tak bisa memutuskan masalah ini, Nak. Asma yang menjalani, biar dia yang putuskan."Adam menarik napas dia belum siap jika Asma yang harus memutuskan. Wanita itu pasti menolaknya lagi."Saya minta maaf, kalau apa yang saya putuskan membuat mas Adam kecewa."Adam menarik napas, dia tau apa yang telah diputuskan wanita itu. Meski dia sudah tau tapi sakitnya masih terasa."Saya men....""Tunggu, Asma!"Asma terkejut dia tak melanjutkan ucapannya, karena terdengar suara ibunya Adam. Dia jadi gemetar, saat menatap wanita yang telah melahirkan pria yang kini dia cintai."Saya minta maaf sebelumnya. Tolong terima Adam jika kau memang mencintainya, kami menerima keputusannya, untuk memilihmu menjadi istrinya."Adam bersorak, karena kali ini dia mendapat restu dari keluarganya. Terutama sang ibu, yang selama ini menjadi penghalang cintanya."Kau dengar, Ma. Tak ada alasan lagi kau menolakku, pernikahan akan segera kita lakukan secepatnya."Asma menarik napas, sepertinya dia memang tak bis
"Kau tidak bisa berbuat begini, Ma. Katakan kalau memang menolak, kasihan Adam kalau di gantung begini."Asma menatap ibunya yang masuk menemuinya, setelah semua tamu pulang. Termasuk keluarga Adam."Maaf Bu sebaiknya Asma pikirkan soal pernikahan ini. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, apalagi banyak perbedaan antara kita dan keluarga mas Adam."Mendengar ucapan Asma, membuat sang ibu terdiam. Dia tak lagi mendesak anaknya karena merasa ucapan Asma ada benarnya."Kalau begitu pikirkan semuanya. Kalau memang tak bisa, katakan pada Adam baik-baik."Asma mengangguk dia kembali duduk di tempat tidur. Setelah menutup pintu saat sang ibu keluar. Dia menatap cincin di tangannya, lalu mengambil ponsel. Namun benda itu hanya diam di tangannya."Apa yang harus aku lakukan, Mas. Rasanya tak siap jika harus mengarungi lagi, mahligai pernikahan di tengah kebencian mertua."Asma berkata pelan, sembari menatap cincin dan ponsel di tangannya. Dia sedang dilema antara cinta dan ketakutannya."Kal
"Kau minta aku menikah dengan Lidya. Sedangkan kau tau, tak ada cinta untuk adikmu itu dihatiku."Asma memejamkan mata, dia sangat terluka dengan membuat Adam terluka begini. Namun dia yakin hanya itu satu-satunya cara mengakhiri dilema ini."Wajah dan sifat kami hampir sama, Mas. Percayalah kau akan mencintai Lidya, sama seperti kau mencintaiku. Itu juga akan membuat keluargamu bahagia."Brak ....Adam memukul meja, hingga semua pengunjung restoran menatap kearah mereka. Asma tau pria di hadapannya sedang menahan emosi karena dia."Tutup mulutmu, Asma. Aku tak menyangka dibalik wajah cantikmu, ada iblis yang siap menyakiti semua orang demi mempertahankan egomu."Adam menarik napas dia tak menyangka. Penolakan kali ini begitu menyakitkan baginya."Bagus akhirnya kau sadar, Mas. Perempuan ini murahan, dia rela menyakitimu demi kembali bersama mantan suaminya yang gila itu."Asma dan Adam terkejut setelah mengetahui kedatangan Raisa. Entah darimana dia tau mereka ketemuan di sini."Bagu
"Asma, apa yang kau lakukan?"Adam berlari menyongsong tubuh Asma yang mulai limbung. Dengan airmata di pipinya Adam membawa Asma ke rumah sakit."Puas kau hancurkan anakku, Burhan. Aku tak menyangka kau sama saja seperti Alam dan Santi adikmu itu. Bisanya kalian menghancurkan Asma."Dengan kemarahan luar biasa, ibunya Asma menampar wajah Burhan yang sudah babak belur. Karena menjaga cucunya ibu Asma menunggu di rumah, sedangkan Adam pergi bersama Lidya."Aku minta maaf, Bu. Percayalah Asma masih bersih, aku belum menyentuhnya."Plak ....Sekali lagi Burhan menerima tamparan dari wanita itu. Meski belum terjadi, apa dia tak berpikir orang akan memandang hina anaknya."Seharusnya sejak awal, aku melarang Asma dekat-dekat denganmu. Perbuatan Santi sudah cukup untuk menilai, kalau kau sama seperti adikmu itu."Burhan merasa sakit hati mendengar adiknya yang sudah meninggal dihina begitu. Namun menyadari perbuatannya yang melukai Asma, dia hanya bisa diam."Pak RT kau tau apa yang harus d
"Mbak Lidya sudah pulang, kalau begitu saya permisi. Ini Shila sudah tidur daritadi mbak, sebentar lagi pasti bangun mencari ibunya."Mendengar ucapan wanita itu, Lidya segera mengucapkan terima kasih dan mengulurkan uang berwarna merah. Wanita yang menjaga keponakannya terlihat senang."Terima kasih mbak Lidya, kalau begitu saya permisi."Lidya mengangguk dia segera melihat keponakannya lalu kembali menemui sang ibu. Wanita itu terlihat memijat pelipisnya, mungkin merasa pusing dengan semua masalah yang tiba-tiba datang."Mbak Asma baik-baik saja, Bu. Lukanya tak terlalu dalam, Dokter sudah mengijinkan pulang. Saat ini mas Adam tengah mengajak mbak Asma bicara."Lidya menjelaskan keadaan Asma yang tadi di bawa kerumah sakit. Mendengar Adam dan Asma bicara sang ibu terlihat kesal."Bicara apa lagi, Dia. Kenapa kau biarkan Mbak mu bersama Adam? Segera hubungi dia, minta mengantar Asma pulang."Lidya terdiam mendengar ucapan ibunya yang terlihat ketus. Dia tak menyangka akan berada dala
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari