"Menikahlah dengan Adam, Nak. Tak ada kewajiban seorang pria, untuk meminta ijin pada ibu yang keras hatinya."Asma menunduk, dia tak menyangka papa Adam langsung datang, demi membujuknya menikah dengan putranya."Saya tak sanggup lagi, Om. Jika harus menghadapi kebencian ibu mertua, alasan saya menjanda juga karena hal itu."Asma menangis, dia tak bisa menahan diri saat menatap mata Adam. Cintanya terlalu kuat, begitu juga dengan ketakutannya."Percayalah kau tak akan menghadapi masalah yang sama, Ma. Kau akan tinggal di rumah Adam, kalau perlu kalian pindah ke luar negeri saja" Ucap Papa Adam dengan kesal."Jangan begitu, Pa. Kan kita datang untuk meminang Asma. Kenapa jadi mengancam mama."Semua orang terkejut dan menatap ke arah pintu, tampak Carisa datang bersama ibunya. Wanita itu segera duduk di samping suaminya."Mama mengalah segeralah kalian menikah. Untuk sekarang mama meminta, terima lamaran Adam, Asma."Wanita itu mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi sebuah cincin. Adam
"Sekarang hentikan mobil ini dan pergilah, karena aku tak mau terlibat lagi dengan mu. Apalagi kau tak bisa membantuku, memisahkan Adam dan Asma."Mendengar ucapan Raisa membuat Alam tertawa. Dia merasa senang, karena Raisa tak mengetahui kabar terbaru tentang Adam dan Asma."Siapa bilang? Justru aku datang menemui mu, karena ada kabar baik tentang hubungan Adam dan Asma."Mendengar ucapan Alam membuat Raisa mengerutkan keningnya. Dia masih belum tau apa maksud ucapan Alam."Aku pastikan Asma tak akan bersatu dengan Adam. Sudah saatnya kau masuk, lalu menghibur mantan suamimu yang sedang patah hati."Raisa melonjak senang, namun dia kembali mencoba menguasai dirinya. Saat ini dia tak boleh begitu percaya pada Alam."Aku minta Lima ratus juta, maka kau akan menjadi istri sah pria bodoh itu. Karena saat ini Asma tengah pergi meninggalkan rumah. Dia menghindari lamaran Adam, karena mantan mertuamu tak mengiginkan dia menjadi menantunya."Alam sebenarnya tak asal bicara, karena sebelum me
Semua orang terkejut saat mendengar sesuatu, lalu tubuh Adam jatuh berlumuran darah. Pisau di tangan mamanya telah menancap di perutnya."Biar Adam saja yang mati, Ma. Aku tak sanggup menyakiti salah satu dari kalian."Semua orang jadi panik, ketika melihat Adam tak lagi bergerak. Mamanya berteriak histris, karena merasa telah membunuh anak lelakinya. Dengan cepat mereka membawa Adam kerumah sakit, tak lama pria itu segera di tangani oleh dokter."Mama tenang dulu biar Dokter menangani Adam. Semoga kita tak kehilangan dia."Papa Adam memeluk istrinya yang terisak dari tadi. Dia tak berniat melukai anaknya, pisau itu hanya dia gunakan untuk membuat Adam mengurungkan niatnya. Siapa tau anaknya justru mengunakan benda itu untuk bunuh diri."Apa ini yang mama inginkan? Dengan begini mas Adam akan selamanya berada di samping Mama, walau hanya pusaranya."Carisa terlihat sangat marah, dia tak menyangka Adam memilih jalan pintas, karena tak tahan lagi menahan sakit hatinya."Carisa jangan as
"Dia terlalu mencintaimu, Mbak Asma. Sama besarnya seperti cintanya pada mama. Dia tak bisa memilih di antara kalian berdua."Asma menunduk dia menatap Adam yang terbaring di tempat tidur. Anaknya yang demam, membuatnya mendatangi rumah sakit yang sama tempat Adam di rawat."Beri kesempatan mas Adam, Mbak. Aku yakin dia bisa membuktikan, kalau dia akan adil padamu dan mama."Asma menangis, trauma masa lalunya begitu berat. Namun melihat Adam seperti ini, jadi membuatnya begitu terluka."Berjuanglah bersamanya untuk meluluhkan hati mama. Aku yakin dia tak akan membiarkanmu sendirian, Mbak Asma."Asma menatap Carisa. Perlahan dia menganggukan kepalanya. Dengan pasti dia mengambil keputusan untuk berjuang bersama Adam."Bangunlah mas, kita berjuang bersama."Asma memegang tangan Adam. Dia terkejut saat pria itu membalas genggaman tangannya."Kau sudah berjanji jangan mengingkarinya lagi, Ma."Adam berkata pelan membuat Asma ingin menarik tangannya. Namun Adam menahannya dengan kuat."Kau
."Jangan mengambil keputusan sesuka hati, Asma. Sudah cukup kau melukai Adam dan Lidya jangan lagi."Asma menangis dia baru sadar kalau telah melukai adiknya. Permintaannya pada gadis itu, tentu menimbulkan harapan indah di hatinya."Mbak Asma tenang dulu, kita pasti menemukan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah ini."Carisa menepuk bahu Asma, dia berharap kali ini tak ada masalah lagi untuk menyatukan Adam dan Asma."Kau tak perlu mencemaskan Lidya. Aku punya cara untuk mendapatkan restu darinya."Adam tersenyum, setelah mendengarkan apa yang di katakan Asma. Dia memang tau Lidya pasti sempat menyukainya, apalagi saat Asma menyerahkan dirinya pada gadis itu."Percayalah dia akan datang dan memberikan restunya pada kita."Asma terpaksa mempercayai ucapan Adam. Apalagi saat Carisa mendukung ucapan kakaknya."Kau tak tau saja, kalau kami punya senjata untuk meluluhkan hati Lidya. Percayalah semua akan baik-baik saja."Carisa menepuk bahu Asma. Hal itu membuat Asma sedikit tenang
Lidya menatap pintu kamar karena terdengar ketukan di sana. Perlahan dia membuka pintu dan melihat senyuman Asma."Sampai kapan kau di dalam sana? Apa tak takut kehilangan kesempatan baik ini, Dek?"Lidya terdiam, dia tak tau harus berbuat apa menghadapi situasi sulit ini. "Mandi dan bersiaplah. Cowok tampan itu masih bersedia menunggu mu."Brak ....Tanpa bicara apa-apa Lidya segera menutup pintu. Gadis itu segera mandi dan merapikan penampilannya. Tak sampai satu jam dia sudah bersiap untuk keluar dari kamarnya."Alhamdullilah yang di tunggu sudah keluar dari kamar."Lidya terpaku saat semua mata menatapnya. Matanya terpaku di wajah tampan di samping Adam. Dia masih heran dengan cowok bernama Aji itu."Kau pasti heran dengan cowok tampan ini kan. Dia Aji adik bungsu mas Adam, kau satu kampus tapi belum kenalan."Lidya menatap Asma karena wanita itu seperti kenal baik dengan Aji. Cowok tampan idola para cewek di kampusnya."Dia yang menolong mbak waktu Shila sakit kemarin. Siapa san
IBU ALAM."Pak bangun ini sudah siang. Apa tak pergi kerja? Ingat kita butuh banyak uang agar cepat kaya. Jangan malas-malasan."Untuk kesekian kalinya, aku berteriak pada suami ku. Dia selalu saja begitu harus di marahi dulu baru mau kerja."Dika dan Alam butuh makan pak. Belum lagi yang di dalam perut ini, kita butuh uang untuk persalinan nanti.Aku kembali mengingatkan kalau kami terbebani tiga orang anak. Jadi sebagai seorang bapak, dia harus bekerja keras."Bapak tau Bu, tapi sekarang badan bapak sakit semua. Mungkin karena bapak lelah, ngojek sampai malam setelah pulang dari pabrik. Belum lagi memulung barang bekas, membuat kaki bapak pegal-pegal."Banyak sekali alasan suamiku ini. Dia pasti mau bersantai di rumah, apa tak terpikir untuk cari kerja, yang menghasilkan uang banyak daripada ngeluh."Sudahlah tidak usah banyak bicara pak. Aku tak mau kesusahan, apalagi saat melahirkan anak kita ini."Aku melemparkan baju kerjanya. Agar dia segera bersiap untuk pergi mencari nafkah,
.IBU ALAM.Dasar, bukannya senang si Surti justru tak percaya. Heran, katanya benci tapi kok seperti membela gitu."Tau ah, percuma bicara dengan mu, Sur. Gak asyik bikin malas."Nging ...nguing ....Aku dan Surti terkejut, melihat ambulan lewat depan rumah Surti. Baru mau angkat pantat, aku memilih duduk lagi."Siapa yang mati? Jangan-jangan keluarga Abdullah. Bisa saja salah satu dari suami-istri itu kena serangan jantung, karena gak kuat jatuh miskin."Aku dan Surti tertawa, kali ini wanita itu terlihat senang. Tapi aku heran, karena ambulan itu melewati rumah abdullah, jadi kemana sebenarnya tujuan ambulan itu."Mak Dika kok disini. Itu bapak Dika pulang di bawa ambulan!"Deg ...Aku terkejut dan langsung berlari pulang. Ada apa dengan suami ku, kenapa di antar ambulan pulang.Begitu sampai rumah sudah banyak tetangga. Mereka terlihat iba pada ku, entah apa yang terjadi."Darimana saja Mak Dika, daritadi aku hubungi gak di angkat-angkat. Sekarang cepat buka pintu rumah mu."Seper
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari