Lidya menatap pintu kamar karena terdengar ketukan di sana. Perlahan dia membuka pintu dan melihat senyuman Asma."Sampai kapan kau di dalam sana? Apa tak takut kehilangan kesempatan baik ini, Dek?"Lidya terdiam, dia tak tau harus berbuat apa menghadapi situasi sulit ini. "Mandi dan bersiaplah. Cowok tampan itu masih bersedia menunggu mu."Brak ....Tanpa bicara apa-apa Lidya segera menutup pintu. Gadis itu segera mandi dan merapikan penampilannya. Tak sampai satu jam dia sudah bersiap untuk keluar dari kamarnya."Alhamdullilah yang di tunggu sudah keluar dari kamar."Lidya terpaku saat semua mata menatapnya. Matanya terpaku di wajah tampan di samping Adam. Dia masih heran dengan cowok bernama Aji itu."Kau pasti heran dengan cowok tampan ini kan. Dia Aji adik bungsu mas Adam, kau satu kampus tapi belum kenalan."Lidya menatap Asma karena wanita itu seperti kenal baik dengan Aji. Cowok tampan idola para cewek di kampusnya."Dia yang menolong mbak waktu Shila sakit kemarin. Siapa san
IBU ALAM."Pak bangun ini sudah siang. Apa tak pergi kerja? Ingat kita butuh banyak uang agar cepat kaya. Jangan malas-malasan."Untuk kesekian kalinya, aku berteriak pada suami ku. Dia selalu saja begitu harus di marahi dulu baru mau kerja."Dika dan Alam butuh makan pak. Belum lagi yang di dalam perut ini, kita butuh uang untuk persalinan nanti.Aku kembali mengingatkan kalau kami terbebani tiga orang anak. Jadi sebagai seorang bapak, dia harus bekerja keras."Bapak tau Bu, tapi sekarang badan bapak sakit semua. Mungkin karena bapak lelah, ngojek sampai malam setelah pulang dari pabrik. Belum lagi memulung barang bekas, membuat kaki bapak pegal-pegal."Banyak sekali alasan suamiku ini. Dia pasti mau bersantai di rumah, apa tak terpikir untuk cari kerja, yang menghasilkan uang banyak daripada ngeluh."Sudahlah tidak usah banyak bicara pak. Aku tak mau kesusahan, apalagi saat melahirkan anak kita ini."Aku melemparkan baju kerjanya. Agar dia segera bersiap untuk pergi mencari nafkah,
.IBU ALAM.Dasar, bukannya senang si Surti justru tak percaya. Heran, katanya benci tapi kok seperti membela gitu."Tau ah, percuma bicara dengan mu, Sur. Gak asyik bikin malas."Nging ...nguing ....Aku dan Surti terkejut, melihat ambulan lewat depan rumah Surti. Baru mau angkat pantat, aku memilih duduk lagi."Siapa yang mati? Jangan-jangan keluarga Abdullah. Bisa saja salah satu dari suami-istri itu kena serangan jantung, karena gak kuat jatuh miskin."Aku dan Surti tertawa, kali ini wanita itu terlihat senang. Tapi aku heran, karena ambulan itu melewati rumah abdullah, jadi kemana sebenarnya tujuan ambulan itu."Mak Dika kok disini. Itu bapak Dika pulang di bawa ambulan!"Deg ...Aku terkejut dan langsung berlari pulang. Ada apa dengan suami ku, kenapa di antar ambulan pulang.Begitu sampai rumah sudah banyak tetangga. Mereka terlihat iba pada ku, entah apa yang terjadi."Darimana saja Mak Dika, daritadi aku hubungi gak di angkat-angkat. Sekarang cepat buka pintu rumah mu."Seper
IBU ALAM.Saat anak-anak sudah dewasa, Dika sudah bekerja hingga punya rumah sendiri dan menikah dengan seorang wanita pilihan ku yang royal memberi uang.Namun sialnya anak kedua ku justru menikahi anak orang yang sangat aku benci. Halimah dan Abdullah, syukurnya besan ku pulang kampung, sejak suaminya meninggal sedangkan Alam tinggal di rumah Asma. Dia punya rencana menguasai rumah istrinya sebelum menceraikan wanita tak berguna itu.Wanita yang merusak hubungan anak-anakku. Berani dia berselingkuh dengan Dika, mulanya aku tak percaya, tapi saat Dika meninggal kecelakaan dia menyentuh perut adik iparnya itu tentu saja aku marah. Hingga meminta agar Alam menyingkirkan anaknya yang buruk rupa itu."Bagaimana kalau anak itu bukan anak mas Dika? Tapi anakku bu, bisa-bisa Asma menolakku mendekati anak itu."Mendengar ucapan Alam aku jadi naik pitam. Sudah jelas anak itu bukan anaknya, bisa-bisanya memikirkan anak sial itu."Anak itu mana mungkin anak mu, Lam. Lihat wajahnya tak ada bagus
Selamat datang di cerita yang berjudul "Istriku Minta Cerai Setelah Aku Tagih Hutangnya" season2."Sayang, mas pulang."Mendengar teriakan suaminya, Asma bergegas keluar. Mencium tangan sang suami, lalu mengambil tas kerja pria yang dua tahun ini menikahinya."Sepi amat sayang, Shila mana?"Pria itu bergegas mengikuti sang istri, dia melihat Shila bersama wanita yang telah melahirkan dirinya."Mama, kapan datang? Kenapa tidak memberi kabar?"Pria itu mendekati ibunya dan mencium tangannya. Dia mantap sang istri, baru tau kenapa wanita itu tak bicara sedari tadi."Mama mengunjungi anaknya Dam, apa perlu bikin janji terlebih dahulu?"Mendengar ucapan ibunya, membuat Adam menatap Asma. Dia tau istrinya belum bisa mengakrabkan dirinya dengan mertuanya, karena sang ibu yang masih belum seratus persen, menerima janda itu menjadi istrinya."Bukan begitu Ma, kalau memberi kabar kan Asma dan mas Adam bisa masak makanan kesukaan mama."Wanita itu melirik Asma sekilas, terlihat dia menarik napa
SEASON2 :"Apa tak sebaiknya kita ikuti saja permintaan mama, Mas?"Malam itu setelah mertuanya pulang. Asma menemui Adam, untuk membicarakan permintaan mertuanya."Apa kau rela di madu, Sayang?"Asma terdiam mendengar pertanyaan Adam. Dia memang tak akan sanggup, jika harus berbagi suami dengan wanita lain. Tapi dalam agamanya, Adam pantas dan bisa untuk melakukan poligami."Untuk nafkah lahir dan batin, aku pastikan bisa membaginya. Namun untuk adil mungkin tak akan pernah bisa, karena aku terlalu mencintaimu, pasti perhatian ku akan condong pada mu."Asma menarik napas panjang. Dia juga tak mau melakukan cara ini, tapi semua cara sudah mereka lakukan, tapi tak ada yang berhasil."Kalau begitu kita berpisah saja mas, kasihan mama jika terus menunggu. Siapa tau wanita pilihannya bisa memenuhi impiannya untuk menimang cucu."Adam mengangkat kepalanya dari pangkuan sang istri. Ucapan Asma membuatnya kecewa, seolah pernikahan mereka tak berarti dengan mudahnya berkata pisah."Apa selama
"Maaf Bu, hari ini kan saya sedang datang bulan. Tadi ijin pergi beli pembalut."Asma menepuk kepalanya, karena masalah tadi siang dia jadi lupa, kalau Yuni tadi ijin beli pembalut, jadi tak bisa ikut berjamaah."Baiklah kalau begitu, temani Shila di kamar saja ya."Asma segera menyiapkan tempat untuk sholat. Yuni juga menuju ke kamar Shila untuk menemani anak itu."Sudah siap, Sayang."Adam segera memimpin istrinya sholat magrib. Setelah selesai mereka berdoa, agar bisa menghadapi masalah yang sedang menguji pernikahan mereka."Sayang, mas tak mau lagi mendengar kata pisah dari mu. Apapun yang terjadi tetaplah bersama, untuk mengatasi masalah yang menguji pernikahan kita."Adam menatap wajah istrinya. Dia berharap Asma akan mengerti, kalau dia tak akan pernah mau berpisah, apapun yang akan terjadi nanti."Maaf mas, tapi kita juga harus pikirkan mama. Dia pasti akan semakin membenciku, bila kau semakin keras menentang permintaannya."Asma semakin serba salah. Suami dan mertuanya berad
"Apa kabar, Ma? Aku dengar kau sudah hidup bahagia dengan Adam. Tapi kenapa kau belanja sendirian, Adam pergi kemana?"Asma menarik napas, lalu meletakkan sabun mandi yang baru dia pegang. Matanya menatap kedatangan Alam dan Raisa.Laki-laki yang mulutnya seperti wanita. Suka kepo urusan mantan istrinya."Memangnya kenapa kalau aku belanja sendiri? Toh kartu debit yang di beri suamiku tak kecil isinya. Cukup untuk belanja tanpa perlu meminta padanya."Alam meringis, dia merasa tersindir seperti keinginan Asma. Sekali-kali pria ini memang harus diberi pelajaran."Kau ada di sini juga rupanya. Tidak aku sangka, kalian bisa bertahan selama ini."Asma tersenyum sinis. Dengan lancang dia menatap selangkangan Alam, membuat pria itu merasa rendah diri."Yah, aku tau kok banyak alat untuk membuat pasangan puas, meski tanpa benda hidup."Asma kembali tersenyum sembari menatap wajah Alam dan Raisa. Kedua orang itu segera berlalu pergi, karena malu jika Asma membuka semuanya."Sudah ku bilang ja
"Mami! Papi! Sudah siang bangun dong, kita harus ke Bandara."Adam mengeliat mendengar teriakan di depan pintu. Bukan hanya teriakan tapi juga ketukan, dia melingkarkan tangan di pingganga istrinya dan mengigit daun telinga Asma pelan."Putrimu memanggil Papi, Mami. Pasti dia sedang mengiginkan sesuatu, lihat dulu mau apa anak itu."Asma menghempaskan tangan suaminya, lalu mencari baju tidur yang entah lari kemana. Mereka sudah menikah cukup lama, tapi gairah itu bukan surut makin meningkat saja.Setelah memakai baju tidurnya, Asma segera membuka pintu. Matanya terbuka lebar, saat anak bungsunya hendak masuk ke kamar menemui papanya."Hai ...papa sedang tidur. Kau butuh apa biar mama yang bantu?"Asma mendorong anak bungsunya lalu menutup pintu agar anak gadis itu tak nelihat kalau papanya tidur dalam keadaan bugil."Mama dan papa pasti habis."Raina memainkan alisnya membuat Asma menepuk jidat putrinya. Anak berusia 19 tahun itu tertawa melihat mamanya tersipu."Minta uang Ma, besok m
"Kenapa kau harus meninggal seperti ini Lam? Kita baru saja mau serius bertobat. Kau tinggalkan aku demi menolong mantanmu itu."Asma menarik napas, saat mendengar ucapan Raisa di makan Alam. Wanita itu membelakanginya, jadi tak tau kalau dia dan Adam datang ke makam Alam."Kalau begini apa yang akan aku lakukan, Lam. Hidup akan semakin sulit tanpamu, anak itu harus bagaimana aku besarkan nanti?"Asma mengerutkan kening lalu menatap Adam. Pria itu juga sama sepertinya, bingung dengan maksud ucapan Raisa barusan."Anak apa maksudmu, Sa?"Raisa terkejut mendengar pertanyaan Asma, dia menyingkir untuk memberi jalan bagi pasangan suami-istri itu."Kau belum menjawab pertanyaanku, Sa? Apa yang kau maksud dengan anak itu? Katakan mungkin kami bisa bantu."Asma kembali bertanya setelah selesai tabur bungga dan berdoa."Bukan urusanmu Ma, jadi jangan sok baik di depanku. Kau pasti senang karena Alam meninggal, jadi tak ada yang akan mengganggumu."Asma kembali menarik napas panjang. Raisa bel
"Assalamu'alaikum, Sayang. Sudah lima hari, betah banget tidurnya, bangun dong kagen nih."Aku mencium tangan mas Adam, hari ini dokter bilang kalau alat bantu pernapasannya sudah bisa dilepas. Awalnya aku heran tapi Dokter bilang Mas Adam sudah bisa bernapas tanpa alat bantu, tentu saja aku senang mendengarnya."Hari ini anak-anak mau ikut menjenguk Mas, tapi ibu tak mengijinkannya. Mereka sangat merindukanmu Mas, bangunlah."Aku membelai wajah mas Adam, berharap dia merasakan sentuhan tanganku dan membuatnya bangun. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mulai merona, tidak pucat seperti beberapa hari ini."Aku mencintaimu Mas, bangunlah agar kita bisa hidup bersama dan bahagia."Aku mendekati wajah mas Adam dan mencium bibirnya. Masih dengan harapan dia bangun, setelah merasakan sentuhan di bibirnya. Namun aku terkejut saat merasakan hisapan kuat di bibirku."Tidak mungkin kau masih koma kan Mas? Kenapa bisa membalas ciumanku?"Aku menatap tajam wajah mas Adam. Tak terlihat pergerakan
"Suami saya tidak bersalah Pak, saya punya buktinya kalau wanita itu yang menjebaknya. Sekarang saya akan melaporkan balik wanita itu, pengacara saya akan mengurus semuanya."Asma menyerahkan bukti yang dia miliki. Naura terlihat pucat saat polisi memeriksa bukti yang diberikan Asma."Itu tidak mungkin pak polisi, CCTV ruangan itu sudah dimatikan."Semua orang terkejut mendengar pengakuan Naura. Wanita itu membekap mulutnya agar tidak bersuara, namun sayang semua sudah terjadi, banyak orang yang mendengar ucapannya.Plak ....Naura terdiam saat Asma menamparnya. Hingga membuat kepalanya menoleh ke samping. Wanita itu tak menyangka, mendapatkan itu dari wanita yang dia kira lemah."Kau memang wanita tak tau diri. Tega menjebak pria yang sudah baik pada keluarga dan anakmu, apa kau tak tau perbuatanmu hampir menghancurkan keluargaku. Tenang saja sebentar lagi kau akan bertemu dengan rekan kerjamu."Naura terlihat ketakutan sepertinya dia sangat takut pada rekan kerjanya. Terlihat dari ra
"Bu, apa perlu kita ke Dokter?"Asma segera duduk di samping ibunya. Wanita itu tampak berbaring memijat keningnya, dia segera bangun ketika melihat Asma datang."Tidak apa-apa, ibu hanya pusing sedikit. Kabar tadi siang sungguh membuat ibu kaget, kau harus berhati-hati Ma, ada suami dan ketiga anakmu yang butuh perhatianmu. Jangan terlalu keras hati Nak, sudahi semua masalah yang tak penting."Asma melotot ke arah Adam, pria itu hanya menundukkan kepala. Dia tau kesalahannya karena itu dia tak melawan."Asma hanya ingin dia bertanggungjawab pada perbuatannya Bu, sikap acuh pada ucapan istrinya adalah hal yang tak bisa dianggap remeh. Berkali-kali aku bilang tapi dia tak juga percaya, setelah kejadian begini aku tak bisa jika di suruh diam. Ibu tak mau aku bercerai dengan pria yang tak bersalah kan? Karena itu aku minta dia buktikan, agar lain kali dia tak seenak hati saat bicara. Apalagi tentang wanita lain yang bukan istrinya."Asma melotot saat Adam mengangkat kepala hendak bicara.
"Siapa namamu?"Asma duduk sembari menatap seorang pria dan wanita di hadapannya. Keduanya terlihat menunduk di depan Asma."Wahyu dan ini istri saya Intan.""Mantan Bu, sebentar lagi kami bercerai. Setelah pria bodoh ini, mengambil kembali harta kami yang di bawa kabur pelacur itu."Asma menatap jijik pada Wahyu. Dari ucapan Intan dia tau, kalau pria di depannya adalah selingkuhan Ani. "Jadi benar kalian kenal dengan Mbak Ani. Harta kalianlah yang digunakan wanita itu untuk datang ke kota ini, demi membalas dendam padaku."Kini Asma benar-benar mengerti, kenapa bisa Ani memiliki uang untuk bekerjasama dengan Naura. Wanita itu masih Ani yang licik."Iya, itu karena si bodoh ini. Hanya karena selangkangan wanita itu, dia rela menyerahkan tabungan kami yang tersimpan selama sepuluh tahun. Tabungan yang kami persiapkan untuk masa depan anak kami, yang dua tahun lagi masuk kuliah kedokteran."Asma terpaku ketika menyadari rasa sakit wanita di depannya, pasti sama seperti yang dia rasakan
"apa! CCTV ruanganku mati, kok bisa?"Adam geram saat mendengar ucapan dari bagian keamanan. Salahnya tak melihat langsung, kini semua kacau dia tak punya bukti dan saksi."Lebih baik kau tenang saja Pak, aku bisa melayanimu jauh lebih baik dari wanita udik itu."Adam menepis tangan Naura yang berada di pinggangnya. Entah sejak kapan wanita itu ada di ruang sekuriti."Kau boleh bermimpi tapi asal tau saja. Wanita yang kau bilang udik itu, dia jauh lebih berharga dari sampah sepertimu."Adam terlihat marah dia menatap para penjaga kantornya. Namun mereka semua tertunduk takut."Aku yang memberi kalian gaji. Tapi menjaga keamanan saja tak mampu, lihat wanita ini bisa masuk dengan mudah kemari."Para penjaga itu semakin takut, mereka bingung karena Naura mengancam, kalau berhasil menjadi istri Adam mereka akan dipecat."Usir dia atau kalian yang keluar dari perusahaan ini."Adam keluar dari ruang sekuriti setelah melihat Naura diarak keluar. Pria itu terlihat kalut karena belum menemukan
Asma mengusap bibir Adam dengan jari jempolnya. Meski berat dia harus membuat Adam tau, bahwa apa yang dia lakukan harus dipertanggungjawabkan. Jika Adam bisa lepas dari Adisty dan wanita suruhan mama tirinya, sekarang dia harus menghadapi kebodohannya itu."Beri aku waktu, jangan pernah menyerah sebelum aku bilang kalah."Asma mengangguk setelah ini biar Adam melawan Naura. Sedangkan dia akan memberi pelajaran buat Ani, sudah cukup dia mengalah sudah saatnya menyerang."Satu lagi, bisakah kau tertawa hanya denganku. Rasanya sakit melihat tawamu saat bersama Bima."Plak ....Asma menepis tangan Adam dari wajahnya. Permintaan suaminya terdengar bodoh di telinganya."Bagaimana aku bisa tertawa di depanmu. Sedangkan masalah besar justru belum kau selesaikan."Asma hendak berdiri, tapi Adam menarik tangannya hingga kembali jatuh kepangkuannya. Pria itu meletakan sendok dan memeluk pinggang istrinya."Tetaplah disini sebentar lagi. Aku belum puas memelukmu."Asma meringis mendengar ucapan A
"Siapa saksinya dan bukti apa yang dibawa Naura?"Adam bertanya pada Bima, namun pria itu tak membuka mulutnya membuat Adam kesal."Kami tak boleh memberitahu tersangka Mas. Maaf itu melangar kode etik."Bima segera pergi untuk menghindari Adam. Dia tak mau keceplosan saat bersama suami Asma."Kau yakin tak akan membantu mas Adam, Mbak. Aku rasa dia akan berada dalam masalah besar, wanita itu punya saksi dan bukti."Bima memberitahu Asma apa bukti yang wanita itu bawa. Kalau dari Adam dia bungkam tapi dengan Asma dia terbuka begitu saja."Biarkan mas Adam membereskan masalahnya. Aku akan bergerak setelah dia merasa kalah, siapa suruh membuatku marah."Bima tertawa melihat wajah calon kakak iparnya. Dia tak menyangka wanita itu begitu tegar setelah apa yang dia dengar dari Niko dan Renno."Kau cantik Mbak, sayang ada sisi menakutkan juga dalam dirimu. Ibarat mawar yang cantik tapi menyimpan duri yang tajam."Bima dan Asma tertawa tanpa melihat sorot mata penuh cemburu. Adam melihat dari