Malam ini hasratku akhirnya tersampaikan. Dari kemarin kepalaku terasa sakit sekali tetapi setelah hasrat itu telah ku keluarkan, aku merasa sakit kepalaku sudah lebih membaik. Aku sempat berpikir, apakah memang ada hubungannya dengan hasratku yang tidak tersalurkan dengan sakit kepala yang aku rasakan.
Aku masih memeluk Dina sejak keluarnya cairan nikmatku yang tertunda, saat ini aku merasa Dina lebih santai dan tidak terlihat seperti hari-hari lalu ketika kami sama-sama meraih kenikmatan bersama.
“Mas, aku ingin membersihkan diri,” ucap Dina sambil melepaskan diri dari pelukanku berjalan kekamar mandi tanpa busana.
Setelah selesai, ia lalu beranjak ke tempat tidur kami dan memakai baju tidurnya kembali.
“Din, aku ingin kamu tidur tanpa mengunakan baju tidurmu” bisikku pada telinganya, ketika beranjak keatas tempat tidur kami.
Lalu aku pun kekamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu aku merasa air yang aku gunakan untuk membersihkan di
Terima kasih banyak untuk semua pembaca yang budiman...terus membacanya yaa.. karena masih banyak kejutan atas kisah selanjutnya... mohon bantu kasih bintang dan sharenya... sekali lagi terima kasih🙏🙏💞
Seperti biasa, setiap pagi aku menyiram tanaman dan memetik beberapa tanaman yang harus di panen. Sedangkan bibi saat ini berada di dapur dan paman serta ayahnya Bram sedang berolah raga di lapangan yang berada dialun-alun. Atas permintaanku mas Bram tidak ke rumah, dan ini sudah dua hari ia tidak ke rumah. Bagiku wajar saja karena saat ini Dina sedang berduka karena harus kehilangan mamanya, jadi sudah pasti mas Bram harus bisa menghibur dirinya. “Bu Bram, lagi panen lagi ya,” tanya tetanggaku ibu Tuti sembari menghampiri diriku. “Iya Ibu ada beberapa yang harus di panen, nanti ibu ambil saja sayurannya lumayan bisa ibu masak nanti,” ucapku yang sedang memanen daun selada. “Aduh terima kasih banyak ibu Bram,” ucap ibu Tuti. “Bu Bram maaf, masalah sama suaminya yang waktu itu sudah selesai?” tanya ibu Tuti lagi. Memang kala itu ketika melewati masa sulitnya ada beberapa tetangganya seperti ibu Tuti dan ada dua orang ibu-ibu di lingkung
Aku sampai ke rumah Ajeng ketika sore hari dan aku langsung menemui ayah dan bunda, setelah bertemu dengan mereka aku langsung memeluk mereka berdua. Inilah momen terindah dalam hidupku, karena setelah tiga puluh satu tahun aku akan merasakan hidup bersama kedua orang tuaku. “Bram, ayah minta maaf karena baru sekarang semua harapanmu ayah wujudkan,” ucap ayahku dengan memeluk diriku. Aku sangat ingat sewaktu mereka berpisah, ayah setiap hari selalu mengunjungi diriku disekolah. Dan pada saat ulang tahunku yang ke sepuluh ayah pernah berjanji akan ke rumah dan berkumpul kembali. Tetapi setiap ulang tahun telah berlalu tidak pernah sekalipun ayah kembali hingga pada saat aku telah bersekolah di sekolah menengah pertama baru aku memahami arti perpisahan yang terjadi antara ayah dan bundaku. Begitu pun dengan ibunda yang selalu memberikan harapan pada diriku, kalau suatu saat ayahku akan kembali dan itu terus ibunda ucapkan hingga aku menduduk
Pagi sekali Bram telah bangun pagi dan telah bersiap ke rumah Ajeng bersama bundanya. Mereka telah berdandan rapi. Sebenarnya bunda Bram ingin Dina ikut bersama rumah Ajeng untuk menyaksikan pernikahan tersebut sekalian berkenalan dengan Ajeng, dan ayahnya Bram. Tetapi Dina tidak bisa menyaksikan pernikahan bunda dikarenakan Dina harus menyambut kedatangan ayah dan ibu sebagai pengantin baru di rumah nanti, jadi hari ini Dina akan sangat sibuk menghiasi kamar pengantin ayah dan bunda. Akhirnya bunda dan aku saja yang ke rumah Ajeng, tiga puluh menit kemudian kami pun sampai disambut oleh bibi dan pamannya Ajeng. “Bunda cantik sekali, pasti ayah akan pangling melihat bunda yang tetap cantik sediakala,” ucap Ajeng ketika melihat ibunda memasuki rumahnya. Dibalas dengan senyuman bahagia dari ibunda dengan merangkul Ajeng. “Terima kasih Ajeng, untuk segalaketulusanmu,” ucap ibunda dengan menggenggam kedua tangan ajeng. Hari ini memang ibun
Seperti biasa aku bangun dan langsung menuju kamar mandi. Dan alangkah terkejutnya ketika aku akan membuang air kecil, aku melihat flek darah di pakaian dalamku. Aku mencoba untuk mengingat-ingat buku panduan ketika seseorang akan melahirkan dan seingatku hal ini ada dalam buku panduan tersebut. Aku berpikir kembali tentang jadwal melahirkan berdasarkan hari terakhir aku menstruasi. Memang ada beberapa wanita melahirkan dua minggu sebelum jadwal yang ditentukan ,bisa jadi pada saat kita memberikan informasi pada dokter ada kesalahan pada saat terakhir kita menstruasi. Tetapi seperti yang dokter katakan maju atau mundurnya suatu persalinan adalah hal yang biasa dan tidak menjadi masalah asalkan masa kehamilan telah melewati waktu selama tujuh bulan. Aku lalu mencari bibi untuk memberitahukan hal ini padanya. “Bibi ada flek pada pakaian dalamku sekarang apa kita harus ke rumah sakit?” tanyaku. “Apa kamu ada merasakan rasa panas pada bagian pinggangmu at
Ajeng harus meninggalkan bayinya yang menderita Hidrosefalus di Rumah sakit. Ia seharusnya ikhlas menerima ketentuan ini. Yang ada dihatinya adalah sebuah pengharapan atas kesembuhan bayinya. Selama empat bulan setiap hari Ajeng menghabiskan waktu di Rumah sakit menemani sang buah hati menjalani serangkaian pemeriksaan. Ajeng kembali ke rumah ketika waktu jam tidur. Kini kebun dan semua tanaman yang ia tanam seolah mengerti kepedihan hatinya saat ini. Ia sudah menjadi pribadi yang tidak peduli atas apapun yang terjadi di sekitarnya. Yang dipikirkannya hanya kesembuhan bayinya. Disisi lain aku, membutuhkan dirinya sebagai teman berbicara dan teman hidupku tetapi yang aku rasakan saat ini dia bukanlah Ajeng yang kukenal selama ini. Waktuku banyak dihabiskan bersama teman bisnisku di luar rumah, dan kebutuhan batinku selama ini pun hanya dicukupi oleh Dina. Karena selama ini Ajeng selalu menolak ketika aku ingin bersamanya. Entah sampai kapan komunikasi antara a
Setelah lima bulan perjuanganku, untuk kesembuhan anakku yang aku sangat kasihi, akhirnya perjuanganku runtuh tidak menyisakan harapan sekecil apapun, karena Dokter telah angkat tangan dan mengatakan sudah tidak ada harapan lagi untuk kesembuhannya. Itu membuat diriku sangat terpukul dan di pagi hari ini adalah hari terburuk dalam kehidupanku, karena akhirnya semua harapan itu hilang dengan meninggalkan duka yang begitu dalam bagi diriku. “Tidakkkkkkk!!!!!! Bangun anakku, ini mama sayang....,” aku menangis histeris di samping tempat tidur anakku disaat aku melihat napas terakhirnya berhenti. “Sudah Ajeng, kamu harus kuat...,” ucap bibinya menguatkan hatiku turut menangisi kepergiannya. “Ajeng anakku, tolong bersabar sayang,” ucap pamannya sambil memapah tubuhku yang terduduk lemas di samping tempat tidur anakku. Aku menangis dalam pelukan paman yang dengan kasih sayangnya terus mengelus-ngelus punggungku dengan memberikan kekuatan. Sedangkan b
*BRAM POV* Aku dan keluarga meninggalkan rumah Ajeng ketika jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dalam perjalanan tanpa terasa aku pun menangisi kepergian anak lelakiku yang seharusnya saat ini sudah mengenal diriku dari suaraku, tetapi takdir berkata lain. Aku, Dina dan semua keluarga telah berusaha semaksimal mungkin bagi kesembuhan anak lelakiku. Tetapi seperti kata pepatah yang sering aku dengar, ‘malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih’ begitulah aku mengganggap nasibku saat ini. “Mas Bram, sudah jangan bersedih lagi saat ini kita hanya perlu ikhlas dan yakinlah ini yang terbaik, dibandingkan ia harus merasakan rasa sakit sepanjang hidupnya,” ucap Dina memberikan semangat agar aku mengikhlaskan anakku. “Bram, lebih baik kita mencari penginapan di sekitar sini, hari sudah tengah malam di samping itu kita semua dari tadi tidak beristirahat sama sekali,” ucap ayahku. Aku meminta pada Dina untuk mencari tempat penginapa
*BRAM POV*Aku bersama ke empat temanku telah menyusuri jalan raya menuju lokasi untuk mencari tempat bagi cafe kami yang baru. Dalam perjalanan yang membutuhkan waktu sekitar empat jam dari kota tempatku tinggal. Kami berangkat dengan menggunakan satu mobil. Tepat pukul delapan aku menjemput mereka yang telah menunggu di cafe kami. Selama dalam mobil kami berbincang mengenai bisnis cafe yang telah kami jalani. Kami sedang melihat beberapa kelemahan yang telah kita ketahui sebelumnya dari cafe kami. Ada beberapa idea yang dikemukan oleh rekan bisnisku untuk pengembangan bisnis cafe yang pangsa pasarnya meliputi anak-anak muda millenial. Karena itu kami memilih lokasi dekat dengan beberapa kampus. “Bram menurutku, lebih baik kita mencari tenaga dari kalangan mahasiswa dengan cara part time,” ucap temanku Andy mengemukakan pendapatnya. “Aku setuju itu Bram, jadi secara tidak langsung kita bisa promo secara tidak langsung, tahulah anak-anak model sekarang yan
*AJENG POV* Pagi hari ini aku terbangun lebih awal karena aku akan melakukan pengecekan pada beberapa barang bawaan kami yang telah kami cek semalam, hanya saja aku ingin memastikan semuanya telah masuk dalam cek list ku. keberangkatan kami ke kota dengan menggunakan pesawat pada keberangkatan pertama membuat aku sangat sibuk di pagi ini. Saat ini kehamilanku telah memasuki usia lima bulan, dan itu dapat terlihat dari perut buncitku. Begitu pun dengan putri kami Angel telah mulai bisa memanggil kami dengan sebutan mama dan papa. Oleh karena itu, sekarang aku memanggil Teguh dengan sebutan papa begitu pun dengan Teguh memanggilku dengan sebutan mama. Semua itu atas nasehat dari bibiku, yang biasanya aku memanggil dengan sebutan namanya pada Teguh, kini kami membiasakan diri dengan sebutan mama, papa, agar Angel biasa lebih mengetahui keberadaan kami sebagai orang tuanya. Dan syukurnya setelah kehamilan kedua sejak pertama kali aku hamil dulu, membuat d
*BRAM POV* Kondisi Dina yang telah melakukan pengobatan selama tiga bulan ini tidak membuahkan hasil seperti yang di harapkan. Dan hal ini semakin membuat keputusasaanku berakhir dengan sikapku yang mudah emosional. Seperti pagi ini ketika aku mendapatkan hubungan telepon dari suami Ajeng, yang menanyakan kepindahanku dari rumahnya, semakin membuat suasanya tidak menyenangkan bagi seluruh pihak. Aku seharusnya tidak berkata kasar padanya, karena mereka memang tidak mengetahui kondisiku saat ini. Saat ini aku sedang menunggu Dina yang sedang menjalani kemoterapi untuk ke sekian kalinya. Dina kini bukanlah seperti yang dulu, ia kini kurus kering, tidak ada lagi keseksian dalam tubuhnya. Pada bagian rambutnya pun telah habis berjatuhan, sehingga ia sudah tidak ingin melihat wajahnya. Cermin di dalam kamar, telah aku singkirkan. Aku sangat terharu ketika ia mengatakan dirinya telah berubah menjadi seorang yang sangat jelek dan menakutkan, dan ia mer
*AJENG POV* Sesampai di rumah kami langsung beristirahat karena terlalu lelah liburan yang kami lakukan dua hari ini. Aku lihat Teguh telah tertidur sangat nyenyak. Kulihat dirinya yang begitu menyayangiku, membuat diriku merasa, dialah seseorang lelaki pilihan yang memang dipersiapkan untuk diriku. Setelah segala kehancuran yang telah aku jalani, dalam berumah tangga bersama Bram. Tuhan menggantikannya dengan seorang lelaki yang membahagiakan diriku lahir dan batin. Suara ketukan pintu membuat rasa kantukku hilang, aku lalu beranjak ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. “Permisi ibu Teguh, perkenalkan saya bapak Paimin, yang mengurusi tambak bapak,” sapa bapak itu dengan memperkenalkan dirinya. “Silakan masuk pak, bisa saya bantu ya pak, karena pak Teguh baru saja beristirahat,” jawabku untuk memberitahukannya kalau suamiku sedang tidur. “Ibu, kapan hari bapak berbicara pada saya, kalau dirinya mau mengambil cucu saya yang tidak memp
*BRAM POV* Hari ini aku ke Rumah Sakit bersama Dina, untuk mengambil hasil dari biopsi. Kami menunggu dengan cemas begitu pun dengan Dina. Ia sangat gelisah sekali atas hasil yang akan diterimanya. Sekitar setengah jam kemudian nama Dina di panggil oleh perawat. Aku menggandeng tangan Dina yang terasa Dingin. Aku mengusapnya agar ia merasa tenang. Sesampai di meja, Dokter membuka hasilnya lalu mengatakan pada kami, “Ibu Dina, hasil yang didapat dari hasil biopsi, “menyatakan kalau ibu positif kanker serviks.” Seketika aku melihat Dina yang lunglai seperti tak berdaya, langsung menangis dengan pilu, ia menutupi mulutnya untuk menahan ledakan tangisnya. Melihat hal itu, hatiku serasa hancur, dan tidak ada kata yang bisa aku ucapkan. Aku hanya memeluk bahunya. “Din, kita pasti bisa melalui ini, kita harus yakin, aku mohon kuatkan diri mu,” ucapku dengan menahan isak tangisku. Aku melihat Dokter memberikan waktu bagi Dina untuk meluapkan seg
*AJENG POV* Kami terbangun pada pukul sepuluh pagi, Aku melihat di sampingku, seorang suami yang penuh tanggung jawab. Bukan hanya tetapi bertanggung jawab pada kehidupanku saja, ia selalu berupaya untuk kebahagiaan ku dalam segala hal. Teguh tidak melihat sedikit pun celah cacat pada dirinya. Pendidikannya, bidang pekerjaannya, jiwa sosialnya, tutur, hubungan sosialnya, dan secara fisik Teguh adalah lelaki dengan postur tubuh yang tinggi, dengan bentuk dada yang, berkulit coklat muda, wajah yang manis, walaupun tidak setampan Bram, dan yang pasti memiliki keistimewaan pada alat vitalnya yang mampu membuat wanita mana p
*AJENG POV* Masa-masa bahagia yang dilalui oleh Aku dan Teguh, membuat kehidupan di lingkungan desa kami terasa lebih bahagia. Aku yang kini telah menjadi seorang istri dari seorang Teguh Pratama, sering ikut membantu suamiku dalam penyuluhan yang dilakukan di desa-desa. Aku juga sangat aktif di dalam pemberdayaan wanita di desa kami. Selain itu karena suamiku seorang ASN maka aku juga aktif dalam kegiatan Dharma wanita, yang biasanya kami lakukan setiap satu bulan sekali mewakili dari dinas pertanian tempat dari Teguh bekerja. Aku sungguh sangat beruntung bertemu dengan Teguh, banyak sekali pembelajaran yang aku dapatkan dari dirinya tentang hidup ini. “Sayang... lihat, aku bawakan bunga anggrek dari kota,” ucap Teguh yang telah dua hari mengikuti seminar kedinasan di kantor pusat. “Aah...cantiknya, tetapi aku kangen sama yang bawa anggreknya,” ucapku bahagia melihat dirinya sudah di rumah dengan memeluk erat tubuhnya. Melihat kerindu
*BRAM POV* Kepulangan Dina dan Bayi perempuanku yang cantik membawa kebahagiaan bagiku dan Dina. Walaupun saat ini keadaan ekonomi ku tidak dalam keadaan membaik, aku berharap bayi perempuanku yang cantik ini kelak dapat mendatangkan Rizky bagi keluarga kami. Hanya saja beberapa tetangga di lingkungan kami yang memang tidak menyukai Dina, tidak ada yang menjenguk atau sekedar menanyakan tentang Dina sudah melahirkan atau belum. Stigma pandangan pada masyarakat yang selalu melekat pada diri Dina, yang di anggap sebagai penghancur dari hubungan rumah tangga orang lain membuat dirinya tidak disukai dalam masyarakat. Dan itu sudah risiko dari hidup bermasyarakat yang harus di tanggung oleh kita semua termasuk Dina. “Sayang, anak cantik...tante dini akan pulang dulu ya, sehat-sehat ya..,” ujar Dini ketika melihat putriku di kamar kami. “Kak Dina, aku akan balik ke kost, karena besok ada jadwal ke kampus,” Dini izin pada Dina untuk kembali ke kost n
*BRAM POV* Kelahiran seorang bayi cantik yang selama ini telah aku tunggu telah membawa kebahagiaan yang tiada taranya. Aku merasa sangat berbahagia melihat persalinan Dina, yang aku lihat secara langsung. Aku melihat bagaimana Dina berjuang antara hidup dan mati, ketika melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan dengan panjang 49centimeter dan berat 3kilogram. Aku berterima kasih pada Dina yang sudah tetap menemani diriku disaat aku terpuruk. Malah dirinya memberikan kebahagiaan dengan melengkapi statusku dari hanya sebagai seorang suami kini menjadi seorang ayah. Aku berjanji akan menjadi seorang Ayah yang baik dan bertanggung jawab serta sangat mencintai dirinya melebihi aku mencintai diriku sendiri. “Terima kasih sayang, untuk perjuangan dirimu bagi kebahagiaan kita,” ujarku sambil mengelus-ngelus kepala Dina. “Bagaimana kondisi anak kita, mas?” tanya Dina dengan suara yang lemah. “Apakah mas sudah menghubungi Dini, unt
*AJENG POV* Sidang gugatan perceraian yang seharusnya di hadiri oleh Bram, sudah kedua kalinya tidak di hadiri oleh Bram. Dan saat ini adalah sidang yang ketiga untuk mendengarkan keputusan hakim atas gugatan perceraian antara aku dan Bram. Aku yang selalu di dampingi oleh Teguh, dan berharap Bram secara jantan menghadiri sidang gugatan atas perceraian ini. Tetapi tidak sekali pun Bram menghadiri persidangan tersebut. Dan pada kali ini Bram justru mengirimkan sebuah surat pernyataan yang ditujukan pada majelis hakim, pada lanjutan sidang gugatan perceraian ketiga. Dimana hari ini rencananya akan diputuskan gugatan perceraian ini dengan membacakan surat yang diterima oleh majelis hakim dari Bram. Pada surat ini, Bram menerima semua keputusan dari hakim sidang dan mengabulkan seluruh gugatan perceraian dariku, termasuk gugatan tambahan atas kepemilikan sebuah rumah yang memang sudah atas nama diriku sendiri. Dan semua itu telah diputuskan oleh hak